Sabtu, 03 November 2012

"Manusia-manusia Malaikat" & "Umat Terbaik"






بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


  SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN



Bab 117
    
“Manusia-manusia  Malaikat” &
“Umat Terbaik”


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma


Dalam   Bab-bab  sebelumnya  telah dibahas mengenai    kaum-kaum purbakala,  -- mulai dari kaum Nabi Nuh a.s. sampai dengan Dinasti Fir’aun di Mesir  dan Abu Jahal yang merupakan fir’aun zaman Nabi Besar Muhammad saw. --  yang diazab Allah Swt. ketika mereka mendustakan dan  menentang rasul-rasul Allah yang diutus di kalangan mereka, karena mereka bangga dengan  kesuksesan kehidupan duniawi mereka dan memandang rendah keadaan duniawi para rasul Allah dan para pengikutnya, firman-Nya:
فَلَا یَحۡزُنۡکَ قَوۡلُہُمۡ ۘ اِنَّا نَعۡلَمُ مَا یُسِرُّوۡنَ  وَ مَا  یُعۡلِنُوۡنَ ﴿ ﴾
Maka janganlah menyedihkan engkau ucapan mereka, sesungguhnya  Kami mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka tampakkan.  (Yā Sīn [36]:77).

Menjadi Pembantah yang Nyata

       Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai keadaan awal manusia yang sangat  hina,  lalu Allah Swt. memberikan berbagai kemampuan sebagaimana yang dikehendaki-Nya, namun berbagaia kemampuan jasmani ruhani anugerah Allah Swt.  tersebut bukannya dimanfaatkan untuk mencapai tujuan utama penciptaan mereka, -- yakni untuk beribadah kepada Allah Swt. (QS.51:57) -- namun mereka justru menjadi pembantah yang nyata terhadap Allah Swt. dan para rasul-Nya, firman-Nya:
اَوَ لَمۡ یَرَ الۡاِنۡسَانُ  اَنَّا خَلَقۡنٰہُ مِنۡ نُّطۡفَۃٍ  فَاِذَا ہُوَ  خَصِیۡمٌ  مُّبِیۡنٌ ﴿﴾  وَ ضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَّ نَسِیَ خَلۡقَہٗ ؕ قَالَ مَنۡ  یُّحۡیِ  الۡعِظَامَ  وَ  ہِیَ  رَمِیۡمٌ ﴿۷۸﴾  قُلۡ یُحۡیِیۡہَا الَّذِیۡۤ  اَنۡشَاَہَاۤ  اَوَّلَ  مَرَّۃٍ ؕ وَ  ہُوَ  بِکُلِّ  خَلۡقٍ عَلِیۡمُۨ  ﴿ۙ﴾ 
Apakah insan (manusia) tidak melihat bahwasanya  Kami telah menciptakan dia dari setetes air mani lalu tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata?  Dan ia mengemukakan  perumpamaan mengenai Kami dan ia melupakan penciptaan dirinya sendiri, ia berkata:  Siapakah yang akan menghidupkan tulang itu setelah hancur-luluh?”    Katakanlah: “Dia-lah Yang menghidupkannya, Yang menciptakannya pertama kali, dan Dia Maha Mengetahui keadaan setiap makhluk. (Yā Sīn [36]:78-80).
   Kalimat “Siapakah yang akan menghidupkan tulang itu setelah hancur-luluh?” merupakan ketidakpercayaan orang-orang kafir mengenai adanya kehidupan (kebangkitan) di alam akhirat setelah  manusia mengalami kematian. Mengenai hal tersebut Allah Swt. berfirman dalam Surah lain:
وَ یَقُوۡلُ الۡاِنۡسَانُ ءَ اِذَا مَا مِتُّ  لَسَوۡفَ اُخۡرَجُ  حَیًّا ﴿﴾   اَوَ لَا یَذۡکُرُ الۡاِنۡسَانُ اَنَّا خَلَقۡنٰہُ مِنۡ قَبۡلُ  وَ لَمۡ  یَکُ شَیۡئًا ﴿﴾   فَوَ رَبِّکَ لَنَحۡشُرَنَّہُمۡ وَ الشَّیٰطِیۡنَ ثُمَّ لَنُحۡضِرَنَّہُمۡ  حَوۡلَ  جَہَنَّمَ  جِثِیًّا ﴿ۚ﴾  ثُمَّ  لَنَنۡزِعَنَّ مِنۡ کُلِّ  شِیۡعَۃٍ  اَیُّہُمۡ  اَشَدُّ عَلَی الرَّحۡمٰنِ عِتِیًّا ﴿ۚ﴾   ثُمَّ لَنَحۡنُ اَعۡلَمُ بِالَّذِیۡنَ ہُمۡ اَوۡلٰی بِہَا صِلِیًّا ﴿﴾
Dan insan   (manusia) berkata:  Apakah jika aku mati  aku benar-benar segera akan dibangkitkan hidup kembali?"   Ataukah  insan (manusia) tidak ingat   bahwa Kami telah menciptakan dia dahulu, padahal  dia tadinya bukanlah sesuatu.  Maka demi Tuhan engkau, niscaya Kami akan menghimpun mereka dan syaitan-syaitan  kemudian Kami niscaya akan menghadirkan mereka di sekeliling Jahannam dalam keadaan berlutut.   Kemudian  niscaya Kami  akan memisahkan dari tiap-tiap go-longan siapa-siapa di antara mereka yang lebih keras dalam kedurhakaan terhadap Yang Maha Pemurah.   Lalu sesungguhnya Kami benar-benar  lebih mengetahui orang-orang yang lebih layak dimasukkan ke dalamnya. (Maryam [19]:67-71).
  Al-insān (manusia) di sini bukan berarti manusia pada umumnya, melainkan  tertentu yaitu orang-orang kafir yang bernasib sial   dan ragu-ragu akan adanya kehidupan sesudah mati. Pada hakikatnya di dunia ini sangat sedikit  orang yang menolak sama sekali adanya kehidupan sesudah mati.

Penolakan dengan Amal Perbuatan

   Penolakan  mereka itu bukan dengan ucapan mulut  melainkan dengan amal-perbuatan dan perilaku mereka — yakni  kesibukan mereka dalam mengejar tujuan-tujuan kebendaan (kehidupan duniawi) — mereka menyatakan keraguan dan penolakan terhadap adanya kehidupan di seberang kubur. Kalimat “padahal  dia tadinya bukanlah sesuatu“ sesuatu yang pantas disebut, atau yang mempunyai sesuatu nilai atau bersifat penting. Arti ini didukung oleh QS.76:2.  
    Berikut ini firman-Nya  mengenai perkataan para pemuka kaum Nabi Nuh a.s. mengenai ketidak-percayaan mereka kepada adanya kehidupan alam akhirat sebagaimana dikemukakan oleh Nabi Nuh a.s.:
وَ قَالَ الۡمَلَاُ مِنۡ قَوۡمِہِ الَّذِیۡنَ  کَفَرُوۡا وَ کَذَّبُوۡا بِلِقَآءِ الۡاٰخِرَۃِ وَ اَتۡرَفۡنٰہُمۡ فِی الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا ۙ مَا ہٰذَاۤ  اِلَّا بَشَرٌ مِّثۡلُکُمۡ ۙ یَاۡکُلُ  مِمَّا تَاۡکُلُوۡنَ مِنۡہُ وَ  یَشۡرَبُ  مِمَّا تَشۡرَبُوۡنَ ﴿۪ۙ﴾   وَ لَئِنۡ اَطَعۡتُمۡ بَشَرًا مِّثۡلَکُمۡ  اِنَّکُمۡ  اِذًا لَّخٰسِرُوۡنَ ﴿ۙ﴾   اَیَعِدُکُمۡ اَنَّکُمۡ  اِذَا مِتُّمۡ وَ کُنۡتُمۡ تُرَابًا وَّ عِظَامًا  اَنَّکُمۡ  مُّخۡرَجُوۡنَ ﴿۪ۙ﴾   ہَیۡہَاتَ ہَیۡہَاتَ لِمَا تُوۡعَدُوۡنَ ﴿۪ۙ﴾  اِنۡ ہِیَ  اِلَّا حَیَاتُنَا الدُّنۡیَا نَمُوۡتُ وَ نَحۡیَا وَ مَا نَحۡنُ بِمَبۡعُوۡثِیۡنَ ﴿۪ۙ﴾  اِنۡ ہُوَ  اِلَّا رَجُلُۨ  افۡتَرٰی عَلَی اللّٰہِ  کَذِبًا وَّ  مَا نَحۡنُ  لَہٗ  بِمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾   قَالَ رَبِّ انۡصُرۡنِیۡ  بِمَا کَذَّبُوۡنِ ﴿﴾   قَالَ عَمَّا قَلِیۡلٍ لَّیُصۡبِحُنَّ نٰدِمِیۡنَ ﴿ۚ﴾  فَاَخَذَتۡہُمُ الصَّیۡحَۃُ بِالۡحَقِّ فَجَعَلۡنٰہُمۡ غُثَآءً ۚ فَبُعۡدًا لِّلۡقَوۡمِ  الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾  ثُمَّ اَنۡشَاۡنَا مِنۡۢ بَعۡدِہِمۡ قُرُوۡنًا اٰخَرِیۡنَ ﴿ؕ﴾
Dan berkata para pemuka dari kaumnya yang kafir serta mendustakan pertemuan di akhirat dan  yang kepada mereka Kami telah memberikan kesenangan dalam kehidupan dunia: “Ia tidak lain melainkan manusia seperti kamu.  Ia makan dari apa yang kamu makan, dan ia minum dari apa yang kamu minum.  Dan jika kamu mentaati  seorang manusia seperti kamu, sesungguhnya kamu jika demikian niscaya menjadi orang-orang yang rugi.   Apakah  ia menjanjikan kepada kamu bahwasanya apabila kamu telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang-belulang bahwa sesungguhnya kamu akan dikeluarkan?  Jauh, jauh sekali  apa yang telah dijanjikan kepada kamu itu.  Tidak ada kehidupan lain kecuali kehidupan kita di dunia, kita mati dan kita hidup  dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan.  Ia tidak lain melainkan seorang laki-laki yang telah mengada-adakan dusta terhadap Allah, dan   kami sekali-kali tidak akan beriman kepadanya.”  Ia, Nuh, berkata: “Ya Tuhan-ku, tolonglah aku  karena mereka telah mendustakanku.”   Allah berfirman: “Dalam sedikit waktu lagi mereka pasti akan menjadi orang yang menyesal.” Maka  serta-merta suara yang keras menimpa mereka, dan Kami menjadikan mereka sampah, maka terkutuklah  bagi kaum yang zalim! (Al-Mukminun [23]:34-43).
       Haihāta (jauh, jauh sekali) menyatakan hal yang orang menganggapnya jauh atau mustahil, serta ia putus-asa mengenainya, dan berarti ba’uda jiddan (ia atau sesuatu  telah atau menjadi amat jauh) atau  ma’badahu (betapa jauhnya itu) yang mengandung arti kesangatan rasa mengenai jarak yang amat jauh itu (Lexicon Lane).

Menjadi Sampah yang Hina &
Kemuliaan  Rasul Allah dan Para Pengikutnya

         Perhatikanlah, betapa para pemuka kaum Nabi Nuh a.s. yang sangat takabur dan bangga dengan keadaan kehidupan duniawi mereka serta menghina Nabi Nuh a.s. dan orang-orang yang beriman kepada beliau, melalui azab Allah Swt. berupa banjir dahsyat telah membuat kaum yang takabur tersebut menjadi sesuatu yang sangat hina dan tak bermakna seperti sampah.
       Ghutsa’ berarti, sampah, atau pecahan-pecahan (partikel-partikel) benda, kotoran serta buih dan daun-daun busuk dengan buih yang terapung pada permukaan arus yang sangat deras. Ghutsa’annas berarti  golongan rendah lagi hina dan sampah masyarakat manusia (Lexicon Lane).    Bu’d berarti: kebinasaan atau maut; kutukan atau laknat, dan sebagainya (Lexicon Lane).
           Sebaliknya, Nabi Nuh a.s. dan orang-orang beriman yang naik bahtera bersama beliau a.s.,   ketika banjir dahsyat telah surut, bahtera tersebut telah bersandar (berlabuh) di puncak sebuah gunung,  yang melambangkan bahwa pada akhirnya para rasul Allah dan orang-orang yang beriman,   mereka itu akan memperoleh kemuliaan hidup yang bertolak-belakang dengan kehinaan yang melanda para penentang mereka, firman-Nya:
وَ قِیۡلَ یٰۤاَرۡضُ ابۡلَعِیۡ مَآءَکِ وَ یٰسَمَآءُ اَقۡلِعِیۡ وَ غِیۡضَ الۡمَآءُ وَ قُضِیَ الۡاَمۡرُ وَ اسۡتَوَتۡ عَلَی الۡجُوۡدِیِّ  وَ قِیۡلَ بُعۡدًا لِّلۡقَوۡمِ  الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ ﴾
Dan difirmankan:  “Hai bumi, telanlah air engkau, dan hai langit, hentikanlah hujan.” Maka air pun  surut  dan perintah itu selesai,   dan bahtera itu pun berlabuh di atas Al-Judi. dan dikatakan: “Kebinasaanlah bagi orang-orang yang zalim!”  (Hūd [11]:45).
          Pegunungan Al-Judi, menurut  Yaqut-al-Hamwi, merupakan rangkaian gunung pada sebelah timur sungai Tigris (Dajlah) di provinsi Mosul (Mu’jam). Menurut  Sale “Al-Judi” adalah salah sebuah dari gunung-gunung yang di selatan memisahkan Armenia dari Mesopotamia dan dari bagian Assiria yang didiami oleh kaum Kurdi, yang darinya gunung itu memperoleh nama Kardu atau Gardu, tetapi orang-orang Yunani mengubahnya menjadi Gordyoei .... Riwayat yang menyatakan bahwa bahtera itu telah terdampar dan berada di gunung itu tentu sangat tua karena hal itu merupakan riwayat turun temurun  kaum Chaldea sendiri (Borosus, apud Yosef, Antiq.....).
          Reruntuhan bahtera itu dapat disaksikan di sana di zaman Epiphanius —- dan kepada kita diceritakan bahwa Kaisar Heraclius berangkat dari kota Tamanin ke gunung Al-Judi dan mengunjungi tempat bahtera itu. Di sana dahulu ada pula sebuah biara terkenal yang disebut “Biara Bahtera”. Di atas salah sebuah dari  pegunungan itu kaum Nestoria lazim merayakan hari raya di tempat  yang menurut anggapan mereka bahtera itu bersandar, tetapi pada tahun 776 M biara  itu hancur karena petir.  (Sale, hlm. 179-180)....
        “Judi adalah gugusan gunung tinggi di distrik Bohtan, kira-kira 5 mil di timurt-laut Jazirah Ibn ‘Umar pada posisi 37o30’ LU (Lintang Utara). Judi mendapat kemasyhuran itu dari sejarah Mesopotamia, yang disebut sebagai tempat di mana bahtera Nuh itu telah bersandar dan bukan gunung Ararat...Keterangan-keterangan dari Kitab-kitab suci yang lebih tua menetapkan gunung yang sekarang disebut Judi itu, atau menurut sumber-sumber Kristen, pegunungan Ordyene — sebagai tampat terdamparnya bahtera Nuh” (Encyclopaedia  Of Islam jld. I, hlm. 1059). Sejarah Babil pun menetapkan letaknya  gunung Al-Judi itu di Armenia (Jewish Encyclopaedia Pada “Ararat”) dan Bible mengakui bahwa Babil adalah tempat keturunan Nabi Nuh a.s. pernah tinggal (Kejadian 11:9).

Penolakan Kaum Nabi Besar Muhammad Saw.

       Dengan demikian benarlah firman Allah Swt. sebelum ini mengenai ketidak-bersyukuran insan (manusia) – yakni orang-orang kafir -- kepada Allah Swt. yang telah menganugerahkan berbagai kemampuan melebihi makhluk-makhluk  lainnya:
اَوَ لَمۡ یَرَ الۡاِنۡسَانُ  اَنَّا خَلَقۡنٰہُ مِنۡ نُّطۡفَۃٍ  فَاِذَا ہُوَ  خَصِیۡمٌ  مُّبِیۡنٌ ﴿﴾  وَ ضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَّ نَسِیَ خَلۡقَہٗ ؕ قَالَ مَنۡ  یُّحۡیِ  الۡعِظَامَ  وَ  ہِیَ  رَمِیۡمٌ ﴿۷۸﴾  قُلۡ یُحۡیِیۡہَا الَّذِیۡۤ  اَنۡشَاَہَاۤ  اَوَّلَ  مَرَّۃٍ ؕ وَ  ہُوَ  بِکُلِّ  خَلۡقٍ عَلِیۡمُۨ  ﴿ۙ﴾ 
Apakah insan (manusia) tidak melihat bahwasanya  Kami telah menciptakan dia dari setetes air mani lalu tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata?  Dan ia mengemukakan  perumpamaan mengenai Kami dan ia melupakan penciptaan dirinya sendiri, ia berkata:  Siapakah yang akan menghidupkan tulang itu setelah hancur-luluh?” Katakanlah: “Dia-lah Yang menghidupkannya, Yang menciptakannya pertama kali, dan Dia Maha Mengetahui keadaan setiap makhluk. (Yā Sīn [36]:78-80).
        Ketidak-percayaan insan (manusia)  -- yakni kaum-kaum purbakala -- terhadap adanya hari Kebangkitan di alam akhirat  yang  dikemukakan oleh para rasul Allah tersebut,  terjadi juga para kaum Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ قَالُوۡۤاءَ اِذَا کُنَّا عِظَامًا  وَّ  رُفَاتًاءَ اِنَّا  لَمَبۡعُوۡثُوۡنَ  خَلۡقًا جَدِیۡدًا ﴿ ﴾   قُلۡ  کُوۡنُوۡا  حِجَارَۃً   اَوۡ  حَدِیۡدًا ﴿ۙ ﴾  اَوۡ خَلۡقًا مِّمَّا یَکۡبُرُ فِیۡ صُدُوۡرِکُمۡ ۚ فَسَیَقُوۡلُوۡنَ مَنۡ یُّعِیۡدُنَا ؕ قُلِ الَّذِیۡ فَطَرَکُمۡ   اَوَّلَ مَرَّۃٍ ۚ فَسَیُنۡغِضُوۡنَ اِلَیۡکَ رُءُوۡسَہُمۡ وَ یَقُوۡلُوۡنَ مَتٰی ہُوَ ؕ  قُلۡ  عَسٰۤی  اَنۡ  یَّکُوۡنَ  قَرِیۡبًا ﴿ ﴾   یَوۡمَ  یَدۡعُوۡکُمۡ فَتَسۡتَجِیۡبُوۡنَ بِحَمۡدِہٖ وَ  تَظُنُّوۡنَ   اِنۡ   لَّبِثۡتُمۡ   اِلَّا   قَلِیۡلًا  ﴿٪ ﴾
Dan mereka berkata:  Apakah apabila kami telah menjadi tulang-belulang dan benda yang hancur, apakah kami benar-benar akan di-bangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?”  Katakanlah: “Jadilah kamu batu atau besi,   atau makhluk yang nampaknya terkeras  dalam pikiran kamu, kamu pasti akan dibangkitkan lagi.” Maka pasti mereka akan mengatakan:  Siapakah yang akan menghidupkan kami kembali?” Katakanlah: “Dia Yang telah menjadikan kamu pertama kali.” Maka pasti mereka akan menggelengkan kepalanya terhadap engkau dan berkata: Kapankah itu akan terjadi?” Katakanlah: “Boleh jadi itu dekat.    Yaitu pada hari ketika Dia   memanggil kamu lalu kamu menyambut dengan memuji-Nya dan kamu akan beranggapan bahwa  kamu tidak tinggal di dunia kecuali hanya sebentar.” (Bani Israil [17]:50:53).
   Kalimat “Katakanlah: “Jadilah kamu batu atau besi,   atau makhluk yang nampak-nya terkeras  dalam pikiran kamu, kamu pasti akan dibangkitkan lagi”  dapat dianggap mengatakan kepada orang-orang kafir, bahwa meskipun seandainya hati mereka menjadi keras seperti besi atau batu atau suatu benda lain semacam itu, namun demikian   Allah Swt.  akan menimbulkan di antara mereka perubahan segar yang kedatangannya Dia takdirkan melalui  Nabi Besar Muhammad  saw. (QS.57:17-18), sehingga bangsa Arab yang disebut kaum jahiliyah, yang berada dalam kesesatan yang nyata (QS.62:3-5),  hanya dalam waktu 23 tahun saja telah berubah menjadi “manusia-manusia malaikat” yang disebut “khayrul ummah” (umat terbaik – QS.2:144; QS.3:111).
        Atau dapat pula diartikan menjawab keragu-raguan mereka mengenai hari kebangkitan, seperti disebutkan dalam ayat sebelumnya, seraya berkata kepada mereka, bahwa mereka tidak dapat menghindarkan diri dari azab Ilahi, seandainya mereka akan berubah menjadi besi atau batu atau suatu benda keras yang lain.

(Bersambung).

 Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar”, 3 November 2012
Ki Langlang Buana Kusuma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar