بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN
Bab 117
“Manusia-manusia Malaikat” &
“Umat
Terbaik”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam Bab-bab sebelumnya telah dibahas mengenai kaum-kaum purbakala, -- mulai dari kaum Nabi Nuh a.s. sampai
dengan Dinasti Fir’aun di Mesir dan Abu
Jahal yang merupakan fir’aun zaman
Nabi Besar Muhammad saw. -- yang diazab Allah Swt. ketika mereka mendustakan dan menentang
rasul-rasul Allah yang diutus di kalangan mereka, karena mereka bangga dengan kesuksesan
kehidupan duniawi mereka dan memandang rendah keadaan duniawi para rasul
Allah dan para pengikutnya, firman-Nya:
فَلَا یَحۡزُنۡکَ
قَوۡلُہُمۡ ۘ اِنَّا نَعۡلَمُ مَا یُسِرُّوۡنَ وَ مَا یُعۡلِنُوۡنَ
﴿ ﴾
Maka janganlah menyedihkan engkau ucapan mereka,
sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka sembunyikan
dan apa yang mereka tampakkan. (Yā Sīn [36]:77).
Menjadi Pembantah yang Nyata
Selanjutnya Allah Swt. berfirman
mengenai keadaan awal manusia yang sangat
hina, lalu Allah Swt. memberikan berbagai kemampuan sebagaimana yang
dikehendaki-Nya, namun berbagaia kemampuan jasmani
ruhani anugerah Allah Swt. tersebut
bukannya dimanfaatkan untuk mencapai tujuan
utama penciptaan mereka, -- yakni untuk beribadah
kepada Allah Swt. (QS.51:57) -- namun mereka justru menjadi pembantah yang nyata terhadap Allah Swt. dan para rasul-Nya, firman-Nya:
اَوَ لَمۡ یَرَ
الۡاِنۡسَانُ اَنَّا خَلَقۡنٰہُ مِنۡ
نُّطۡفَۃٍ فَاِذَا ہُوَ خَصِیۡمٌ مُّبِیۡنٌ ﴿﴾
وَ ضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَّ نَسِیَ خَلۡقَہٗ ؕ قَالَ
مَنۡ یُّحۡیِ الۡعِظَامَ وَ ہِیَ
رَمِیۡمٌ ﴿۷۸﴾
قُلۡ یُحۡیِیۡہَا الَّذِیۡۤ اَنۡشَاَہَاۤ
اَوَّلَ مَرَّۃٍ ؕ وَ ہُوَ بِکُلِّ خَلۡقٍ عَلِیۡمُۨ ﴿ۙ﴾
Apakah insan (manusia) tidak melihat bahwasanya Kami telah menciptakan dia dari
setetes air mani lalu tiba-tiba ia
menjadi pembantah yang nyata? Dan ia mengemukakan perumpamaan mengenai Kami dan ia melupakan penciptaan dirinya sendiri,
ia berkata: ”Siapakah yang akan menghidupkan tulang
itu setelah hancur-luluh?” Katakanlah: “Dia-lah Yang menghidupkannya, Yang
menciptakannya pertama kali, dan Dia
Maha Mengetahui keadaan setiap
makhluk. (Yā Sīn [36]:78-80).
Kalimat “Siapakah yang akan menghidupkan
tulang itu setelah hancur-luluh?” merupakan ketidakpercayaan
orang-orang kafir mengenai adanya kehidupan
(kebangkitan) di alam akhirat
setelah manusia mengalami kematian. Mengenai hal tersebut Allah
Swt. berfirman dalam Surah lain:
وَ یَقُوۡلُ الۡاِنۡسَانُ ءَ اِذَا
مَا مِتُّ لَسَوۡفَ اُخۡرَجُ حَیًّا ﴿﴾
اَوَ لَا یَذۡکُرُ الۡاِنۡسَانُ اَنَّا خَلَقۡنٰہُ
مِنۡ قَبۡلُ وَ لَمۡ یَکُ شَیۡئًا ﴿﴾
فَوَ رَبِّکَ لَنَحۡشُرَنَّہُمۡ وَ الشَّیٰطِیۡنَ
ثُمَّ لَنُحۡضِرَنَّہُمۡ حَوۡلَ جَہَنَّمَ جِثِیًّا ﴿ۚ﴾
ثُمَّ لَنَنۡزِعَنَّ
مِنۡ کُلِّ شِیۡعَۃٍ اَیُّہُمۡ اَشَدُّ عَلَی الرَّحۡمٰنِ عِتِیًّا ﴿ۚ﴾ ثُمَّ
لَنَحۡنُ اَعۡلَمُ بِالَّذِیۡنَ ہُمۡ اَوۡلٰی بِہَا صِلِیًّا ﴿﴾
Dan insan (manusia) berkata:
”Apakah jika aku mati aku
benar-benar segera akan dibangkitkan hidup kembali?" Ataukah
insan (manusia) tidak ingat bahwa Kami
telah menciptakan dia dahulu, padahal
dia tadinya bukanlah
sesuatu. Maka demi Tuhan
engkau, niscaya Kami akan menghimpun
mereka dan syaitan-syaitan kemudian Kami
niscaya akan menghadirkan mereka di sekeliling Jahannam dalam
keadaan berlutut. Kemudian niscaya Kami
akan memisahkan dari tiap-tiap go-longan siapa-siapa di antara mereka yang lebih keras dalam kedurhakaan
terhadap Yang Maha Pemurah. Lalu sesungguhnya Kami
benar-benar lebih mengetahui orang-orang
yang lebih layak dimasukkan ke dalamnya. (Maryam [19]:67-71).
Al-insān
(manusia) di sini bukan berarti manusia
pada umumnya, melainkan tertentu yaitu orang-orang kafir yang bernasib sial
dan ragu-ragu akan adanya kehidupan sesudah mati. Pada hakikatnya
di dunia ini sangat sedikit orang yang
menolak sama sekali adanya kehidupan
sesudah mati.
Penolakan dengan Amal Perbuatan
Penolakan mereka itu bukan dengan ucapan mulut melainkan
dengan amal-perbuatan dan perilaku mereka — yakni kesibukan
mereka dalam mengejar tujuan-tujuan
kebendaan (kehidupan duniawi) — mereka menyatakan keraguan dan penolakan
terhadap adanya kehidupan di seberang
kubur. Kalimat “padahal dia tadinya bukanlah sesuatu“ sesuatu
yang pantas disebut, atau yang
mempunyai sesuatu nilai atau bersifat
penting. Arti ini didukung oleh QS.76:2.
Berikut ini firman-Nya mengenai perkataan para pemuka kaum Nabi Nuh a.s. mengenai ketidak-percayaan mereka kepada adanya kehidupan alam akhirat sebagaimana dikemukakan oleh Nabi Nuh a.s.:
وَ قَالَ الۡمَلَاُ مِنۡ قَوۡمِہِ الَّذِیۡنَ
کَفَرُوۡا وَ کَذَّبُوۡا
بِلِقَآءِ الۡاٰخِرَۃِ وَ اَتۡرَفۡنٰہُمۡ فِی الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا ۙ مَا
ہٰذَاۤ اِلَّا بَشَرٌ مِّثۡلُکُمۡ ۙ
یَاۡکُلُ مِمَّا تَاۡکُلُوۡنَ مِنۡہُ
وَ یَشۡرَبُ مِمَّا تَشۡرَبُوۡنَ ﴿۪ۙ﴾ وَ لَئِنۡ اَطَعۡتُمۡ بَشَرًا
مِّثۡلَکُمۡ اِنَّکُمۡ اِذًا لَّخٰسِرُوۡنَ ﴿ۙ﴾ اَیَعِدُکُمۡ اَنَّکُمۡ اِذَا مِتُّمۡ وَ کُنۡتُمۡ تُرَابًا وَّ
عِظَامًا اَنَّکُمۡ مُّخۡرَجُوۡنَ ﴿۪ۙ﴾ ہَیۡہَاتَ ہَیۡہَاتَ لِمَا تُوۡعَدُوۡنَ
﴿۪ۙ﴾ اِنۡ ہِیَ اِلَّا حَیَاتُنَا الدُّنۡیَا نَمُوۡتُ وَ
نَحۡیَا وَ مَا نَحۡنُ بِمَبۡعُوۡثِیۡنَ ﴿۪ۙ﴾ اِنۡ ہُوَ
اِلَّا رَجُلُۨ افۡتَرٰی عَلَی
اللّٰہِ کَذِبًا وَّ مَا نَحۡنُ
لَہٗ بِمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾ قَالَ رَبِّ
انۡصُرۡنِیۡ بِمَا کَذَّبُوۡنِ ﴿﴾ قَالَ عَمَّا
قَلِیۡلٍ لَّیُصۡبِحُنَّ نٰدِمِیۡنَ ﴿ۚ﴾ فَاَخَذَتۡہُمُ الصَّیۡحَۃُ بِالۡحَقِّ فَجَعَلۡنٰہُمۡ
غُثَآءً ۚ فَبُعۡدًا لِّلۡقَوۡمِ
الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾ ثُمَّ اَنۡشَاۡنَا
مِنۡۢ بَعۡدِہِمۡ قُرُوۡنًا اٰخَرِیۡنَ ﴿ؕ﴾
Dan berkata
para pemuka dari kaumnya yang kafir
serta mendustakan pertemuan di akhirat
dan yang kepada mereka
Kami telah memberikan kesenangan dalam
kehidupan dunia: “Ia tidak lain
melainkan manusia seperti kamu. Ia makan dari apa yang kamu makan,
dan ia minum dari apa yang kamu minum. Dan jika kamu mentaati seorang manusia seperti kamu,
sesungguhnya kamu jika demikian niscaya
menjadi orang-orang yang rugi. Apakah
ia
menjanjikan kepada kamu bahwasanya apabila kamu telah mati dan telah menjadi
tanah dan tulang-belulang bahwa sesungguhnya kamu akan dikeluarkan? Jauh, jauh sekali apa yang telah dijanjikan kepada kamu itu. Tidak
ada kehidupan lain kecuali kehidupan
kita di dunia, kita mati dan
kita hidup dan kita
sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Ia tidak lain melainkan seorang laki-laki yang telah mengada-adakan dusta terhadap Allah,
dan kami sekali-kali tidak akan beriman kepadanya.” Ia, Nuh, berkata: “Ya Tuhan-ku, tolonglah aku karena mereka
telah mendustakanku.” Allah berfirman: “Dalam sedikit waktu lagi mereka pasti akan menjadi orang yang menyesal.” Maka
serta-merta suara yang keras menimpa mereka, dan Kami menjadikan mereka sampah, maka
terkutuklah bagi kaum yang zalim! (Al-Mukminun
[23]:34-43).
Haihāta
(jauh, jauh sekali) menyatakan hal yang orang menganggapnya jauh atau mustahil, serta ia putus-asa mengenainya, dan berarti ba’uda
jiddan (ia atau sesuatu telah atau
menjadi amat jauh) atau ma’badahu (betapa
jauhnya itu) yang mengandung arti kesangatan rasa mengenai jarak yang amat jauh
itu (Lexicon Lane).
Menjadi Sampah yang Hina
&
Kemuliaan Rasul Allah dan
Para Pengikutnya
Perhatikanlah,
betapa para pemuka kaum Nabi Nuh a.s.
yang sangat takabur dan bangga dengan
keadaan kehidupan duniawi mereka
serta menghina Nabi Nuh a.s. dan orang-orang yang beriman kepada beliau,
melalui azab Allah Swt. berupa banjir
dahsyat telah membuat kaum yang takabur tersebut menjadi sesuatu yang sangat
hina dan tak bermakna seperti sampah.
Ghutsa’ berarti, sampah, atau
pecahan-pecahan (partikel-partikel) benda, kotoran serta buih dan daun-daun
busuk dengan buih yang terapung pada permukaan arus yang sangat deras. Ghutsa’annas
berarti golongan rendah lagi hina dan
sampah masyarakat manusia (Lexicon
Lane). Bu’d berarti: kebinasaan atau maut;
kutukan atau laknat, dan sebagainya (Lexicon
Lane).
Sebaliknya, Nabi Nuh a.s. dan
orang-orang beriman yang naik bahtera
bersama beliau a.s., ketika banjir dahsyat telah surut, bahtera tersebut telah bersandar
(berlabuh) di puncak sebuah gunung,
yang melambangkan bahwa pada akhirnya
para rasul Allah dan orang-orang yang beriman, mereka itu
akan memperoleh kemuliaan hidup yang
bertolak-belakang dengan kehinaan
yang melanda para penentang mereka, firman-Nya:
وَ قِیۡلَ یٰۤاَرۡضُ ابۡلَعِیۡ مَآءَکِ وَ یٰسَمَآءُ اَقۡلِعِیۡ وَ غِیۡضَ
الۡمَآءُ وَ قُضِیَ الۡاَمۡرُ وَ اسۡتَوَتۡ عَلَی الۡجُوۡدِیِّ وَ قِیۡلَ بُعۡدًا لِّلۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ ﴾
Dan
difirmankan: “Hai bumi, telanlah air engkau,
dan hai langit, hentikanlah hujan.” Maka air pun surut dan perintah
itu selesai, dan bahtera itu pun berlabuh di atas Al-Judi.
dan dikatakan: “Kebinasaanlah bagi
orang-orang yang zalim!” (Hūd
[11]:45).
Pegunungan Al-Judi, menurut
Yaqut-al-Hamwi, merupakan rangkaian gunung pada sebelah timur sungai
Tigris (Dajlah) di provinsi Mosul (Mu’jam). Menurut Sale “Al-Judi” adalah salah sebuah dari
gunung-gunung yang di selatan memisahkan Armenia dari Mesopotamia dan dari
bagian Assiria yang didiami oleh kaum Kurdi, yang darinya gunung itu memperoleh
nama Kardu atau Gardu, tetapi orang-orang Yunani mengubahnya menjadi Gordyoei
.... Riwayat yang menyatakan bahwa bahtera itu telah terdampar dan berada di
gunung itu tentu sangat tua karena hal itu merupakan riwayat turun temurun kaum Chaldea sendiri (Borosus, apud Yosef,
Antiq.....).
Reruntuhan bahtera itu dapat
disaksikan di sana di zaman Epiphanius —- dan kepada kita diceritakan bahwa
Kaisar Heraclius berangkat dari kota Tamanin ke gunung Al-Judi dan mengunjungi
tempat bahtera itu. Di sana dahulu ada pula sebuah biara terkenal yang disebut
“Biara Bahtera”. Di atas salah sebuah
dari pegunungan itu kaum Nestoria lazim
merayakan hari raya di tempat yang
menurut anggapan mereka bahtera itu bersandar, tetapi pada tahun 776 M
biara itu hancur karena petir. (Sale, hlm. 179-180)....
“Judi adalah gugusan gunung tinggi di distrik
Bohtan, kira-kira 5 mil di timurt-laut Jazirah Ibn ‘Umar pada posisi 37o30’
LU (Lintang Utara). Judi mendapat kemasyhuran itu dari sejarah Mesopotamia,
yang disebut sebagai tempat di mana bahtera Nuh itu telah bersandar dan bukan
gunung Ararat...Keterangan-keterangan dari Kitab-kitab suci yang lebih tua
menetapkan gunung yang sekarang disebut Judi itu, atau menurut sumber-sumber
Kristen, pegunungan Ordyene — sebagai tampat terdamparnya bahtera Nuh” (Encyclopaedia Of Islam jld. I, hlm. 1059).
Sejarah Babil pun menetapkan letaknya
gunung Al-Judi itu di Armenia (Jewish
Encyclopaedia Pada “Ararat”) dan Bible mengakui bahwa Babil adalah
tempat keturunan Nabi Nuh a.s. pernah tinggal (Kejadian 11:9).
Penolakan Kaum Nabi Besar Muhammad Saw.
Dengan demikian benarlah firman
Allah Swt. sebelum ini mengenai ketidak-bersyukuran
insan (manusia) – yakni orang-orang kafir -- kepada Allah Swt. yang telah
menganugerahkan berbagai kemampuan
melebihi makhluk-makhluk lainnya:
اَوَ لَمۡ یَرَ
الۡاِنۡسَانُ اَنَّا خَلَقۡنٰہُ مِنۡ
نُّطۡفَۃٍ فَاِذَا ہُوَ خَصِیۡمٌ مُّبِیۡنٌ ﴿﴾
وَ ضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَّ نَسِیَ خَلۡقَہٗ ؕ قَالَ
مَنۡ یُّحۡیِ الۡعِظَامَ وَ ہِیَ
رَمِیۡمٌ ﴿۷۸﴾
قُلۡ یُحۡیِیۡہَا الَّذِیۡۤ اَنۡشَاَہَاۤ
اَوَّلَ مَرَّۃٍ ؕ وَ ہُوَ بِکُلِّ خَلۡقٍ عَلِیۡمُۨ ﴿ۙ﴾
Apakah insan (manusia) tidak melihat bahwasanya Kami telah menciptakan dia dari
setetes air mani lalu tiba-tiba ia
menjadi pembantah yang nyata? Dan ia mengemukakan perumpamaan mengenai Kami dan ia melupakan penciptaan dirinya sendiri,
ia berkata: ”Siapakah yang akan menghidupkan tulang
itu setelah hancur-luluh?” Katakanlah: “Dia-lah Yang menghidupkannya, Yang
menciptakannya pertama kali, dan Dia
Maha Mengetahui keadaan setiap
makhluk. (Yā Sīn [36]:78-80).
Ketidak-percayaan insan (manusia) -- yakni
kaum-kaum purbakala -- terhadap adanya hari
Kebangkitan di alam akhirat yang
dikemukakan oleh para rasul Allah
tersebut, terjadi juga para kaum Nabi
Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ قَالُوۡۤاءَ اِذَا کُنَّا عِظَامًا
وَّ رُفَاتًاءَ اِنَّا لَمَبۡعُوۡثُوۡنَ خَلۡقًا جَدِیۡدًا ﴿ ﴾ قُلۡ
کُوۡنُوۡا حِجَارَۃً اَوۡ
حَدِیۡدًا ﴿ۙ ﴾ اَوۡ خَلۡقًا
مِّمَّا یَکۡبُرُ فِیۡ صُدُوۡرِکُمۡ ۚ فَسَیَقُوۡلُوۡنَ مَنۡ یُّعِیۡدُنَا ؕ قُلِ
الَّذِیۡ فَطَرَکُمۡ اَوَّلَ مَرَّۃٍ ۚ
فَسَیُنۡغِضُوۡنَ اِلَیۡکَ رُءُوۡسَہُمۡ وَ یَقُوۡلُوۡنَ مَتٰی ہُوَ ؕ قُلۡ
عَسٰۤی اَنۡ یَّکُوۡنَ
قَرِیۡبًا ﴿ ﴾ یَوۡمَ
یَدۡعُوۡکُمۡ فَتَسۡتَجِیۡبُوۡنَ بِحَمۡدِہٖ وَ تَظُنُّوۡنَ
اِنۡ لَّبِثۡتُمۡ اِلَّا
قَلِیۡلًا ﴿٪ ﴾
Dan mereka berkata: ”Apakah apabila kami telah menjadi tulang-belulang dan benda yang hancur,
apakah kami benar-benar akan
di-bangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?” Katakanlah: “Jadilah kamu batu atau besi,
atau makhluk yang nampaknya terkeras dalam pikiran kamu, kamu pasti akan
dibangkitkan lagi.” Maka
pasti mereka akan mengatakan: “Siapakah yang akan menghidupkan kami
kembali?” Katakanlah: “Dia Yang
telah menjadikan kamu pertama kali.” Maka pasti mereka akan menggelengkan kepalanya terhadap engkau dan berkata: ”Kapankah itu akan terjadi?” Katakanlah: “Boleh jadi itu dekat. Yaitu pada
hari ketika Dia memanggil kamu lalu
kamu menyambut dengan memuji-Nya dan
kamu akan beranggapan bahwa kamu tidak tinggal di dunia kecuali
hanya sebentar.” (Bani Israil [17]:50:53).
Kalimat “Katakanlah: “Jadilah kamu batu atau besi,
atau makhluk yang nampak-nya terkeras dalam pikiran kamu, kamu pasti akan
dibangkitkan lagi” dapat
dianggap mengatakan kepada orang-orang kafir, bahwa meskipun seandainya hati mereka menjadi keras seperti besi atau batu
atau suatu benda lain semacam itu, namun demikian Allah
Swt. akan menimbulkan di
antara mereka perubahan segar yang
kedatangannya Dia takdirkan melalui Nabi Besar Muhammad saw. (QS.57:17-18), sehingga bangsa Arab yang disebut kaum jahiliyah, yang berada dalam kesesatan yang nyata (QS.62:3-5), hanya dalam waktu 23 tahun saja telah berubah
menjadi “manusia-manusia malaikat”
yang disebut “khayrul ummah” (umat
terbaik – QS.2:144; QS.3:111).
Atau dapat pula diartikan menjawab keragu-raguan mereka mengenai hari kebangkitan, seperti disebutkan dalam
ayat sebelumnya, seraya berkata kepada mereka, bahwa mereka tidak dapat
menghindarkan diri dari azab Ilahi,
seandainya mereka akan berubah menjadi besi
atau batu atau suatu benda keras yang lain.
(Bersambung).
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam
Farid
***
“Pajajaran Anyar”, 3 November 2012
Ki
Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar