بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN
JANTUNG AL-QURAN
Bab 57
Sikap Terpuji
Nabi Zakaria a.s.
Terhadap Maryam binti ‘Imran
Oleh
Ki Langlang
Buana Kusuma
Dalam bagian awal Bab sebelumnya
telah dikemukakan mengenai rasa
sakit yang diderita Maryam binti ‘Imran ketika melahirkan Isa Ibnu Maryam
a.s., firman-Nya:
فَاَجَآءَہَا الۡمَخَاضُ اِلٰی جِذۡعِ النَّخۡلَۃِ ۚ قَالَتۡ یٰلَیۡتَنِیۡ مِتُّ
قَبۡلَ ہٰذَا وَ کُنۡتُ نَسۡیًا
مَّنۡسِیًّا ﴿﴾
Maka rasa sakit melahirkan
memaksanya pergi ke
sebatang pohon kurma. Ia berkata: "Alangkah baiknya jika aku mati sebelum ini dan aku menjadi sesuatu yang dilupakan sama sekali!" (Maryam
[19]:24).
Pada bagian akhir dari Bab sebelum dikemukakan mengenai misal “Maryam binti ‘Imran”, bahwa
mengisyaratkan kepada tingkat
ketiga dan tertinggi pada
perkembangaan ruh (jiwa) manusia
adalah yang disebut nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram –
QS.98:27-31) itulah firman Allah Swt. selanjutnya:
وَ مَرۡیَمَ ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِیۡۤ
اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا فَنَفَخۡنَا
فِیۡہِ مِنۡ رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا
وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ الۡقٰنِتِیۡنَ
Dan juga Maryam putri ‘Imran, yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami meniupkan ke dalamnya Ruh Kami, dan ia menggenapi
firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya,
dan ia termasuk orang-orang yang patuh.
(Al-Tahrīm
[66]:13).
Maryam binti ‘Imran, ibunda Nabi Isa a.s. melambangkan hamba-hamba Allah yang bertakwa, yang karena telah menutup segala jalan dosa dan karena telah berdamai
dengan Allah Swt. mereka dikaruniai ilham
Ilahi; kata pengganti hi dalam fīhi menunjuk kepada orang-orang beriman yang bernasib
baik serupa itu. Atau, kata pengganti itu dapat pula menggantikan kata farj,
yang secara harfiah berarti celah
atau sela, artinya lubang yang dengan melaluinya dosa dapat masuk. Berikut firman-Nya
mengenai tingkatan nafs muthmainnah:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾ ارۡجِعِیۡۤ
اِلٰی رَبِّکِ رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾ فَادۡخُلِیۡ
فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ
جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tentram! Kembalilah
kepada Tuhan engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia ridha kepada engkau,
maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah
ke dalam surga-Ku “ (Al-Fajr [98]:28-31).
“Peniupan Ruh” Allah
atau “Ilmu Ladunni”
Karena antara keadaan di
alam jasmani dengan keadaan di alam
ruhani terdapat kesejajaran, itulah sebabnya sebagaimana hamilnya gadis Maryam binti ’Imran
adalah semata-mata “tiupan ruh” dari Allah Swt. melalui suatu mukjizat yang dikenal dengan istilah “Kun
fayakun” (“Jadilah” maka terjadilah – QS.3:43-48), demikian juga dalam dunia keruhanian pun ketika seorang hamba Allah dengan karunia Allah Swt. dapat
meningkat dari keadaan nafs lawwamah ke tingkatan nafs muthmainnah; atau dari misal istri Fir’aun ke tingkat ruhani Maryam binti ‘Imran
(QS.66:12-13) maka yang memberikan ta’lim
dan tarbiyat kepadanya adalah Allah
Swt. -- yang Maryam binti ‘Imran menyebutnya sebagai “rizqan” (rezeki) dari Allah,
ketika ditanya oleh pembimbingnya, Nabi Zakaria a.s. (QS.3:38).
Sebagaimana tel;ah dijelaskan bahwa Maryam
binti ‘Imran, ibunda Nabi Isa a.s.
melambangkan hamba-hamba Allah yang bertakwa – yang telah mencapai tingkatan
nafs muthmainnah -- yang karena telah menutup segala jalan dosa
dan karena telah berdamai dengan Allah
Swt. --
yakni berhasil melewati tingkatan nafs
Ammarah (QS.12:54) dan Nafs Lawwamah
(QS.76:2-3) -- mereka dikaruniai ilham
Ilahi; kata pengganti hi dalam fīhi menunjuk kepada orang-orang beriman yang bernasib
baik serupa itu. Atau, kata pengganti itu dapat pula menggantikan kata farj,
yang secara harfiah berarti celah
atau sela, artinya lubang yang dengan melaluinya dosa dapat masuk.
Maknanya adalah, bahwa
sebagaimana Maryam binti ‘Imran telah
menjaga kesucian jiwanya
sedemikian rupa, sehingga
sebagaimana ke dalam “rahim jasmani”
Maryam binti ‘Imran lalu Allah Swt. “meniupkan ruh-Nya” -- yang mengakibatkan
kehamilan dan kemudian melahirkan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., walau pun
tanpa campur-tangan “pembuahan” dari seorang
laki-laki” (QS.3:43-48) – demikian
pula kepada orang-orang beriman
sejati yang telah mencapai derajat kesucian
ruhani seperti keadaan Maryam binti ‘Imran pun Allah Swt. akan membuahi “rahim hatinya”
dengan “tiupan ruh-Nya” berupa wahyu
Ilahi, sehingga pada diri hamba Allah
tersebut terjadi peningkatan ruhani
dari keadaan tingkatan ruhani Maryam
binti ‘Imran menjadi tingkatan ruhani
Isa Ibnu Maryam a.s..
Inilah salah satu
hakikat kenapa Maryam binti ‘Imran dan Isa
Ibnu Maryam a.s. telah dijadikan misal (perumpamaan) bagi perkembangan ruhani yang mungkin dicapai
hamba-hamba Allah yang menjaga kesucian jiwanya secara ketat, yakni
dari keadaan ruhani Maryam binti ‘Imran
meningkat menjadi keadaan ruhani Isa Ibnu
Maryam a.s..
Pada tingkatan ruhani Maryam binti ‘Imran seperti itu
perkembangan ruhani hamba-hamba Allah yang hakiki tidak lagi berhubungan
dengan guru-guru secara jasmani – yang
dari segi ruhani mereka itu
berkedudukan sebagai “suami ruhani”
bagi murid-muridnya -- melainkan Allah Swt. Sendiri-lah yang menjadi
“Guru” mereka, yang pengajaran-Nya dilambangkan dengan ungkapan “peniupan ruh-Nya” kepada “rahim hati” Maryam binti ‘Imran,
sehingga terjadi “kehamilan ruhani.”
Fatwa Pengkafiran dari Zaman ke Zaman
“Kehamilan ruhani” yang
dialami oleh hamba-hamba Allah yang
hakiki – khususnya para wali Allah –
inilah yang seringkali tidak dimengerti
oleh para ulama jasmani (ulama
duniawi), sehingga berujung pada fatwa pengkafiran
terhadap para ulama rabbani tersebut,
misalnya fatwa pengkafiran terhadap Hujjatul
Islam Imam Ghazali, Syekh Abdul Qadir Jailani, Ibnu ‘Araby dan banyak
lagi para wali Allah besar lainnya, bahkan ada di antara mereka yang berakhir dengan pembunuhan, contohnya yang menimpa Sufi Al-Hallaj dll -- akibat “ucapan-ucapannya”
yang dalam keadaan diliputi kemabukan
cinta (sakr) kepada Allah Swt., yang
hanya dapat dicerna oleh
orang-orang yang mata ruhaninya melihat
dan memiliki cita rasa ruhani (dzawq)
yang baik.
Kenyataan menyedihkan
seperti itu terjadi juga di kalangan Bani
Israil atau kaum Yahudi, berikut adalah bagian terakhir dari kecaman keras Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. (Yesus Kristus) terhadap Ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi:
Celakalah
kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu membangun makam nabi-nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh dan
berkata: “Jika kami hidup di zaman
nenek-moyang kita, tentulah kami tidak akan ikut dengan mereka dalam pembunuhan
nabi-nabi itu.” Tetapi dengan demikian kamu
bersaksi terhadap diri kamu sendiri, bahwa kamu adalah keturunan pembunuh
nabi-nabi itu. Jadi penuhilah juga
takanan nenek-moyangmu! Hai kamu ular-ular,
hai kamu keturunan ular beludak!
Bagaimana mungkin kamu dapat meluputkan
diri dari hukuman neraka? Sebab itu, lihatlah, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi,
orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat: separuh di antara
mereka akan kamu bunuh dan kamu salibkan, yang lain akan kamu sesah di rumah-rumah ibadatmu dan kamu aniaya dari kota ke kota, supaya
kamu menanggung akibat penumpahan darah orang yang tidak bersalah
mulai dari Habel, orang benar itu, sampai Zakharia
anak Berekhya, yang kamu bunuh di antara tempat kudus dan mezbah.
Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya semua
ini akan ditanggung angkatan ini! (Matius 23:29-36).
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya
bahwa fatwa pengkafiran bahkan
tuduhan lebih jahat daripada iblis pun
telah dialami pula pada masanya masing-masing oleh ulama-ulama rabbani atau para wali
Allah besar seperti Imam Ghazali, Syeik Abdul Qadir Jailani, Ibnu
‘Araby, dan beberapa Imam Mazhab
pada zamannya masing-masing, bahkan ulama
fiqih sekaliber Ibnu Jauzi dan Ibnu Taimiyah
pun terjerembab pula pada sikap
tidak terpuji seperti itu. Mengisyaratkan kepadanya kenyataan itu pulalah
Ibnu ‘Araby telah berkata bahwa yang akan paling memusuhi Imam Mahdi atau Al-Masih Mau’ud a.s. adalah para fuqaha (ahli fiqih).
Sikap Terpuji Nabi Zakaria a.s. Terhadap Maryam binti ‘Imran
Terdapat perbedaan sikap yang sangat mencolok
antara sikap terpuji para “ulama rabbani” dengan sikap tidak terpuji para “ulama duniawi” terhadap “rezeki”
(rizqan) dari Allah yang dianugerahkan kepada “hamba-hamba-Nya” yang hakiki, contohnya adalah Maryam binti ‘Imran. Berikut
adalah sikap terpuji Nabi Zakaria
a.s., firman-Nya mengenai kelahiran
Maryam binti ‘Imran:
فَلَمَّا وَضَعَتۡہَا قَالَتۡ
رَبِّ اِنِّیۡ وَضَعۡتُہَاۤ اُنۡثٰی ؕ وَ اللّٰہُ
اَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ ؕ وَ لَیۡسَ الذَّکَرُ کَالۡاُنۡثٰی ۚ وَ اِنِّیۡ سَمَّیۡتُہَا
مَرۡیَمَ وَ اِنِّیۡۤ اُعِیۡذُہَا بِکَ وَ
ذُرِّیَّتَہَا مِنَ الشَّیۡطٰنِ الرَّجِیۡمِ
﴿﴾
Maka tatkala ia yakni istri ’Imran telah melahirkannya ia
berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya bayi yang kulahirkan ini seorang perempuan; dan Allah
lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, sedangkan
anak lelaki yang
diharapkannya itu tidaklah sama baiknya
seperti anak perempuan ini; dan
bahwa aku menamainya Maryam, dan sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya dari
syaitan yang terkutuk.” (Ali
‘Imran) [3]:37).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman
mengenai pelaksanaan pengabulan doa
ibu yang menazarkan anak perempuan yang baru dilahirkannya
tersebut, firman-Nya:
فَتَقَبَّلَہَا رَبُّہَا
بِقَبُوۡلٍ حَسَنٍ وَّ اَنۡۢبَتَہَا نَبَاتًا حَسَنًا ۙ وَّ کَفَّلَہَا زَکَرِیَّا
ۚؕ کُلَّمَا دَخَلَ عَلَیۡہَا زَکَرِیَّا الۡمِحۡرَابَ ۙ وَجَدَ عِنۡدَہَا رِزۡقًا
ۚ قَالَ یٰمَرۡیَمُ اَنّٰی لَکِ ہٰذَا ؕ قَالَتۡ ہُوَ مِنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ ؕ اِنَّ
اللّٰہَ یَرۡزُقُ مَنۡ یَّشَآءُ بِغَیۡرِ حِسَابٍ ﴿﴾
Maka Tuhan-nya telah menerimanya dengan penerimaan yang sangat baik,
menumbuhkannya dengan pertumbuhan yang
sangat baik dan menyerahkan
pemeliharaannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria datang menemuinya di mihrab
didapatinya ada rezeki padanya. Ia
berkata: “Hai Maryam, dari manakah
engkau mendapatkan rezeki ini?” Ia berkata: “Rezeki itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya
Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa hisab. (Ali
‘Imran [3]:38).
Jawaban
yang mengandung “nilai-nilai ruhani” yang
sangat tinggi tersebut benar-benar sangat mempengaruhi jiwa Nabi Zakaria a.s., salah seorang nabi
Allah yang dibangkitkan di kalangan Bani
Israil sebelum Nabi Yahya a.s.
dan Nabi isa Ibnu Maryam a.s., yakni
membangkitkan semangat berdoa yang selama itu beliau panjatkan kepada Allah
Swt., firman-Nya:
ہُنَالِکَ دَعَا زَکَرِیَّا رَبَّہٗ ۚ قَالَ رَبِّ ہَبۡ
لِیۡ مِنۡ لَّدُنۡکَ ذُرِّیَّۃً طَیِّبَۃً ۚ اِنَّکَ سَمِیۡعُ الدُّعَآءِ ﴿﴾ فَنَادَتۡہُ الۡمَلٰٓئِکَۃُ وَ ہُوَ قَآئِمٌ یُّصَلِّیۡ فِی
الۡمِحۡرَابِ ۙ اَنَّ اللّٰہَ یُبَشِّرُکَ بِیَحۡیٰی مُصَدِّقًۢا بِکَلِمَۃٍ مِّنَ
اللّٰہِ وَ سَیِّدًا وَّ حَصُوۡرًا وَّ نَبِیًّا مِّنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾
Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhan-nya, dia
berkata: ”Ya Tuhan-ku, anugerahilah aku juga
dari sisi Engkau keturunan yang suci, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” Maka malaikat
menyerunya ketika ia sedang berdiri shalat di mihrab: “Sesungguhnya Allah
memberi engkau kabar gembira tentang
Yahya, yang akan menggenapi
kalimat dari Allah, dan ia seorang pemimpin, pengekang hawa nafsu, dan seorang nabi dari antara orang-orang saleh.” (Ali ‘Imran [3]:39-40).
(Bersambung).
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
“Pajajaran
Anyar”, 1 September 2012
Ki Langlang Buana Kusuma