Jumat, 31 Agustus 2012

Sikap Terpuji Nabi Zakaria a.s. terhadap Maryam binti 'Imran



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


  SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN

Bab 57

 Sikap  Terpuji Nabi Zakaria a.s.
Terhadap Maryam binti ‘Imran

Oleh
                                                                                
Ki Langlang Buana Kusuma


Dalam bagian awal Bab sebelumnya telah dikemukakan  mengenai  rasa sakit yang diderita Maryam binti ‘Imran ketika melahirkan Isa Ibnu Maryam a.s., firman-Nya:
فَاَجَآءَہَا الۡمَخَاضُ  اِلٰی جِذۡعِ  النَّخۡلَۃِ ۚ قَالَتۡ یٰلَیۡتَنِیۡ مِتُّ قَبۡلَ ہٰذَا  وَ کُنۡتُ نَسۡیًا مَّنۡسِیًّا ﴿﴾
Maka rasa sakit melahirkan  memaksanya pergi ke sebatang pohon kurma. Ia berkata: "Alangkah baiknya jika aku mati sebelum ini dan aku menjadi sesuatu yang dilupakan sama sekali!" (Maryam [19]:24).
         Pada bagian akhir  dari Bab sebelum dikemukakan mengenai misal “Maryam binti ‘Imran”, bahwa mengisyaratkan  kepada   tingkat ketiga dan tertinggi pada perkembangaan ruh (jiwa) manusia adalah yang disebut nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram – QS.98:27-31)  itulah  firman Allah Swt. selanjutnya:
  وَ مَرۡیَمَ  ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ  الَّتِیۡۤ  اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا  فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ  مِنۡ  رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ  الۡقٰنِتِیۡنَ
 Dan juga Maryam putri ‘Imran,  yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami meniupkan ke dalamnya Ruh Kami,  dan ia menggenapi firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya, dan ia termasuk orang-orang yang patuh. (Al-Tahrīm [66]:13).
     Maryam binti ‘Imran,  ibunda Nabi Isa a.s. melambangkan hamba-hamba Allah yang bertakwa, yang karena telah menutup segala jalan dosa dan karena telah berdamai dengan Allah Swt. mereka dikaruniai ilham Ilahi; kata pengganti hi dalam fīhi  menunjuk kepada orang-orang beriman yang bernasib baik serupa itu. Atau, kata pengganti itu dapat pula menggantikan kata farj, yang secara harfiah berarti celah atau sela, artinya lubang yang dengan melaluinya dosa dapat masuk. Berikut firman-Nya mengenai tingkatan nafs muthmainnah:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾   ارۡجِعِیۡۤ  اِلٰی  رَبِّکِ رَاضِیَۃً  مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾   فَادۡخُلِیۡ  فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾  وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tentram! Kembalilah kepada Tuhan engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia ridha kepada engkau, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku “ (Al-Fajr [98]:28-31).

Peniupan Ruh” Allah atau “Ilmu Ladunni

        Karena antara  keadaan di alam jasmani dengan keadaan di alam ruhani terdapat kesejajaran, itulah sebabnya sebagaimana hamilnya gadis Maryam binti ’Imran adalah semata-mata “tiupan ruh” dari Allah Swt. melalui suatu mukjizat yang dikenal dengan  istilah “Kun fayakun” (“Jadilah” maka terjadilah – QS.3:43-48), demikian juga dalam dunia keruhanian pun ketika seorang hamba Allah  dengan karunia Allah Swt. dapat meningkat  dari keadaan nafs lawwamah ke tingkatan nafs muthmainnah; atau dari misal istri Fir’aun ke tingkat ruhani Maryam binti ‘Imran (QS.66:12-13) maka yang memberikan ta’lim dan tarbiyat kepadanya adalah Allah Swt. -- yang Maryam binti ‘Imran menyebutnya sebagai “rizqan” (rezeki) dari Allah,  ketika ditanya oleh pembimbingnya, Nabi Zakaria a.s. (QS.3:38).           
     Sebagaimana tel;ah dijelaskan bahwa Maryam binti ‘Imran,  ibunda Nabi Isa a.s. melambangkan hamba-hamba Allah yang bertakwa – yang telah mencapai tingkatan nafs muthmainnah --  yang karena telah menutup segala jalan dosa dan karena telah berdamai dengan Allah Swt.  --  yakni berhasil melewati tingkatan nafs Ammarah (QS.12:54) dan Nafs Lawwamah (QS.76:2-3) -- mereka dikaruniai ilham Ilahi; kata pengganti hi dalam fīhi  menunjuk kepada orang-orang beriman yang bernasib baik serupa itu. Atau, kata pengganti itu dapat pula menggantikan kata farj, yang secara harfiah berarti celah atau sela, artinya lubang yang dengan melaluinya dosa dapat masuk.
  Maknanya adalah, bahwa sebagaimana Maryam binti ‘Imran telah menjaga kesucian  jiwanya  sedemikian rupa,  sehingga sebagaimana ke dalam “rahim jasmani” Maryam binti ‘Imran lalu  Allah Swt. “meniupkan ruh-Nya” -- yang mengakibatkan kehamilan dan kemudian melahirkan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., walau pun tanpa campur-tangan “pembuahan” dari seorang laki-laki” (QS.3:43-48) –  demikian pula kepada orang-orang beriman sejati yang telah mencapai derajat kesucian ruhani seperti  keadaan Maryam binti ‘Imran   pun Allah Swt. akan membuahi “rahim hatinya” dengan “tiupan ruh-Nya” berupa wahyu Ilahi, sehingga pada diri hamba Allah tersebut terjadi peningkatan ruhani dari keadaan tingkatan ruhani Maryam binti ‘Imran menjadi tingkatan ruhani Isa Ibnu Maryam a.s..
    Inilah salah satu hakikat kenapa  Maryam binti ‘Imran dan Isa Ibnu Maryam  a.s. telah dijadikan misal (perumpamaan) bagi perkembangan ruhani yang mungkin dicapai hamba-hamba Allah yang menjaga kesucian jiwanya secara ketat, yakni dari keadaan ruhani Maryam binti ‘Imran meningkat menjadi keadaan ruhani Isa Ibnu Maryam a.s..
   Pada tingkatan ruhani Maryam binti ‘Imran seperti itu perkembangan ruhani hamba-hamba Allah  yang hakiki tidak lagi berhubungan dengan  guru-guru secara jasmani – yang  dari segi ruhani mereka itu berkedudukan sebagai “suami ruhani” bagi murid-muridnya --  melainkan Allah Swt. Sendiri-lah yang menjadi “Guru” mereka, yang pengajaran-Nya dilambangkan dengan ungkapan “peniupan ruh-Nya” kepada “rahim hati” Maryam binti ‘Imran, sehingga terjadi “kehamilan ruhani.”

Fatwa Pengkafiran dari Zaman ke Zaman

  “Kehamilan ruhani” yang dialami oleh hamba-hamba Allah yang hakiki – khususnya para wali Allah – inilah yang seringkali tidak dimengerti oleh para ulama jasmani (ulama duniawi), sehingga berujung pada fatwa pengkafiran terhadap para ulama rabbani tersebut, misalnya  fatwa pengkafiran terhadap Hujjatul Islam Imam Ghazali, Syekh Abdul Qadir Jailani, Ibnu ‘Araby dan banyak lagi  para wali Allah besar lainnya, bahkan ada di antara mereka  yang berakhir dengan pembunuhan, contohnya yang menimpa Sufi Al-Hallaj dll -- akibat “ucapan-ucapannya” yang dalam keadaan diliputi kemabukan cinta (sakr) kepada Allah Swt., yang  hanya dapat dicerna oleh orang-orang yang mata ruhaninya melihat dan memiliki cita rasa ruhani (dzawq) yang baik.
   Kenyataan menyedihkan seperti itu terjadi juga di kalangan Bani Israil atau kaum Yahudi,  berikut adalah bagian  terakhir dari kecaman  keras Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (Yesus Kristus) terhadap Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi:
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu membangun makam nabi-nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh dan berkata: “Jika kami hidup di zaman nenek-moyang kita, tentulah kami tidak akan ikut dengan mereka dalam pembunuhan nabi-nabi itu.” Tetapi dengan demikian kamu bersaksi terhadap diri kamu sendiri, bahwa kamu adalah keturunan  pembunuh nabi-nabi itu. Jadi penuhilah juga takanan nenek-moyangmu! Hai kamu ular-ular, hai kamu keturunan ular beludak! Bagaimana mungkin kamu dapat meluputkan diri dari hukuman neraka? Sebab itu, lihatlah, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat: separuh di antara mereka akan kamu bunuh dan kamu salibkan, yang lain akan kamu sesah di rumah-rumah ibadatmu dan kamu aniaya dari kota ke kota, supaya kamu menanggung akibat  penumpahan darah orang yang tidak bersalah mulai dari Habel, orang benar itu, sampai Zakharia anak Berekhya, yang kamu bunuh di antara tempat kudus dan mezbah. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya semua ini akan ditanggung angkatan ini! (Matius 23:29-36).
       Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa fatwa pengkafiran bahkan tuduhan lebih jahat daripada iblis pun telah dialami pula pada masanya masing-masing oleh ulama-ulama rabbani atau para wali Allah  besar seperti Imam Ghazali, Syeik Abdul Qadir Jailani, Ibnu ‘Araby, dan beberapa Imam Mazhab pada zamannya masing-masing, bahkan ulama fiqih  sekaliber Ibnu Jauzi dan Ibnu Taimiyah pun  terjerembab pula pada  sikap tidak terpuji seperti itu. Mengisyaratkan kepadanya kenyataan itu pulalah Ibnu ‘Araby telah berkata bahwa   yang akan paling memusuhi Imam Mahdi atau  Al-Masih Mau’ud a.s. adalah para fuqaha (ahli fiqih).

Sikap  Terpuji Nabi Zakaria a.s. Terhadap Maryam binti ‘Imran

       Terdapat perbedaan sikap yang sangat mencolok antara sikap terpuji para “ulama rabbani” dengan sikap tidak terpuji para “ulama duniawi” terhadap “rezeki” (rizqan) dari Allah yang dianugerahkan kepada “hamba-hamba-Nya” yang hakiki, contohnya adalah Maryam  binti ‘Imran. Berikut adalah sikap terpuji Nabi Zakaria a.s.,   firman-Nya mengenai kelahiran Maryam binti ‘Imran:
 فَلَمَّا وَضَعَتۡہَا قَالَتۡ رَبِّ اِنِّیۡ وَضَعۡتُہَاۤ  اُنۡثٰی ؕ وَ اللّٰہُ اَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ ؕ وَ لَیۡسَ الذَّکَرُ  کَالۡاُنۡثٰی ۚ وَ اِنِّیۡ سَمَّیۡتُہَا مَرۡیَمَ وَ اِنِّیۡۤ  اُعِیۡذُہَا بِکَ وَ ذُرِّیَّتَہَا مِنَ الشَّیۡطٰنِ  الرَّجِیۡمِ ﴿﴾
Maka tatkala ia yakni istri ’Imran telah melahirkannya ia berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya bayi yang kulahirkan ini seorang perempuan;  dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu,   sedangkan  anak lelaki yang diharapkannya itu tidaklah sama baiknya seperti anak perempuan ini; dan bahwa aku menamainya Maryam,  dan sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya  dari syaitan yang terkutuk.” (Ali ‘Imran) [3]:37).
         Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai pelaksanaan pengabulan doa ibu yang menazarkan anak  perempuan yang baru dilahirkannya tersebut, firman-Nya:
 فَتَقَبَّلَہَا رَبُّہَا بِقَبُوۡلٍ حَسَنٍ وَّ اَنۡۢبَتَہَا نَبَاتًا حَسَنًا ۙ وَّ کَفَّلَہَا زَکَرِیَّا ۚؕ کُلَّمَا دَخَلَ عَلَیۡہَا زَکَرِیَّا الۡمِحۡرَابَ ۙ وَجَدَ عِنۡدَہَا رِزۡقًا ۚ قَالَ یٰمَرۡیَمُ اَنّٰی لَکِ ہٰذَا ؕ قَالَتۡ ہُوَ مِنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ یَرۡزُقُ مَنۡ یَّشَآءُ بِغَیۡرِ حِسَابٍ ﴿﴾
Maka Tuhan-nya telah menerimanya dengan penerimaan yang sangat baik, menumbuhkannya dengan pertumbuhan yang sangat baik dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria datang menemuinya di mihrab didapatinya ada rezeki padanya. Ia berkata: “Hai Maryam,  dari manakah engkau mendapatkan rezeki ini?” Ia berkata: “Rezeki itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa hisab. (Ali ‘Imran  [3]:38).
    Jawaban yang  mengandung “nilai-nilai ruhani” yang  sangat tinggi tersebut benar-benar sangat mempengaruhi jiwa Nabi Zakaria a.s., salah  seorang nabi Allah yang dibangkitkan di kalangan Bani Israil sebelum Nabi Yahya a.s. dan Nabi isa Ibnu Maryam a.s., yakni membangkitkan semangat berdoa yang selama itu beliau panjatkan kepada Allah Swt., firman-Nya:
ہُنَالِکَ دَعَا زَکَرِیَّا رَبَّہٗ ۚ قَالَ رَبِّ ہَبۡ لِیۡ مِنۡ لَّدُنۡکَ ذُرِّیَّۃً طَیِّبَۃً ۚ اِنَّکَ سَمِیۡعُ  الدُّعَآءِ ﴿﴾   فَنَادَتۡہُ  الۡمَلٰٓئِکَۃُ وَ ہُوَ قَآئِمٌ یُّصَلِّیۡ فِی الۡمِحۡرَابِ ۙ اَنَّ اللّٰہَ یُبَشِّرُکَ بِیَحۡیٰی مُصَدِّقًۢا بِکَلِمَۃٍ مِّنَ اللّٰہِ وَ سَیِّدًا وَّ حَصُوۡرًا وَّ نَبِیًّا مِّنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾
Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhan-nya, dia berkata: ”Ya Tuhan-ku, anugerahilah aku juga dari sisi Engkau keturunan yang suci, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.”   Maka malaikat menyerunya ketika ia sedang berdiri shalat di mihrab: “Sesungguhnya  Allah memberi engkau kabar gembira  tentang Yahya, yang akan menggenapi  kalimat dari  Allah, dan ia seorang pemimpin, pengekang hawa nafsu, dan seorang nabi  dari antara orang-orang saleh.” (Ali ‘Imran [3]:39-40).

(Bersambung). 


Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar”, 1 September 2012
Ki Langlang Buana Kusuma

Hakikat "Rasa Sakit melahirkan" yang Dialami Maryam binti 'Imran



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


  SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN

Bab 56

 Hakikat Ruhani “Rasa Sakit Melahirkan”
yang Dialami Maryam binti ‘Imran  

 Oleh
                                                                                
Ki Langlang Buana Kusuma


Dalam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan  mengenai  rasa sakit yang diderita Maryam binti ‘Imran ketika melahirkan Isa Ibnu Maryam a.s., firman-Nya:
فَاَجَآءَہَا الۡمَخَاضُ  اِلٰی جِذۡعِ  النَّخۡلَۃِ ۚ قَالَتۡ یٰلَیۡتَنِیۡ مِتُّ قَبۡلَ ہٰذَا  وَ کُنۡتُ نَسۡیًا مَّنۡسِیًّا ﴿﴾
Maka rasa sakit melahirkan  memaksanya pergi ke sebatang pohon kurma. Ia berkata: "Alangkah baiknya jika aku mati sebelum ini dan aku menjadi sesuatu yang dilupakan sama sekali!" (Maryam [19]:24).
       Dalam Bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa sebagimana nampak dari Injil, tidak ada terdapat kamar di rumah penginapan  tempat Nabi Isa a.s. dilahirkan di kota  Bethlehem itu. Yusuf dan  Maryam binti ‘Imran  rupanya terpaksa tinggal di padang terbuka dan   Maryam binti ‘Imran berlindung di bawah sebatang pohon kurma, untuk beristirahat di bawah naungannya, dan boleh jadi juga untuk mendapat tempat bersandar di saat mengalami penderitaan waktu melahirkan bayi.  Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
فَنَادٰىہَا مِنۡ تَحۡتِہَاۤ  اَلَّا تَحۡزَنِیۡ قَدۡ جَعَلَ  رَبُّکِ  تَحۡتَکِ  سَرِیًّا ﴿﴾   وَ ہُزِّیۡۤ  اِلَیۡکِ بِجِذۡعِ النَّخۡلَۃِ  تُسٰقِطۡ عَلَیۡکِ  رُطَبًا جَنِیًّا ﴿۫﴾
Maka ia, malaikat, menyerunya dari arah bawah dia: "Janganlah engkau bersedih hati,  sungguh Tuhan engkau telah membuat anak sungai  di   bawah engkau, dan goyangkan ke arah engkau pelepah batang kurma itu, ia akan menjatuhkan berturut-turut atas engkau buah kurma yang matang lagi segar.”  (Maryam [19]:25-26).

Dua Perumpamaan “Orang-orang yang Beriman

       Sebelum membahas hakikat  ruhani “rasa sakit melahirkan” yang dialami oleh Maryam binti ‘Imran, perlu  kiranya  mengingatkan kembali  para pembaca terhadap  perumpamaan orang-orang yang beriman dalam Surah Al-Tahrim [66]:11-13). Dalam beberapa Bab sebelumnya  telah dikemukakan mengenai  perumpamaan orang-orang yang beriman, yakni (1) sebagai istri Fir’aun, dan (2) sebagai Maryam binti ‘Imran, yang kemudian melahirkan Isa Ibnu Maryam a.s. -- walau pun tanpa didahului    peristiwa  hubungan badan  dengan seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil melalui pernikahan. Berikut  firman Allah Swt. selengkapkan mengenai hal tersebut:
ضَرَبَ اللّٰہُ  مَثَلًا  لِّلَّذِیۡنَ  کَفَرُوا امۡرَاَتَ  نُوۡحٍ وَّ امۡرَاَتَ  لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا  النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿ ﴾  وَ ضَرَبَ اللّٰہُ  مَثَلًا  لِّلَّذِیۡنَ  اٰمَنُوا امۡرَاَتَ  فِرۡعَوۡنَ ۘ اِذۡ  قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ  لِیۡ عِنۡدَکَ  بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ  وَ نَجِّنِیۡ  مِنۡ فِرۡعَوۡنَ  وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ  مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ ﴾   وَ مَرۡیَمَ  ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ  الَّتِیۡۤ  اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا  فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ  مِنۡ  رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ  الۡقٰنِتِیۡنَ ﴿٪ ﴾
Allah mengemukakan istri Nuh  dan istri Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah dua hamba dari hamba-hamba Kami yang shalih, tetapi keduanya berbuat khianat  kepada kedua suami mereka, maka mereka berdua sedikit pun tidak dapat membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada mereka: Masuklah kamu berdua ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.”  Dan Allah mengemukakan istri Fir’aun sebagai  misal bagi orang-orang beriman,  ketika ia berkata: “Hai Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim;  dan juga Maryam putri ‘Imran,  yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami meniupkan ke dalamnya Ruh Kami, dan ia menggenapi firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya, dan ia termasuk orang-orang yang patuh. (At-Tahrim [66]:11-13).
       Dari penjelasan mengenai ketiga misal (perumpamaan) tersebut -- kecuali misal istri durhaka  Nabi Nuh a.s. dan istri durhaka Nabi Luth a.s.  sebagai  misal orang-orang kafir – dua misal berikutnya, yakni misal istri Fir’aun dan misal Maryam binti Imran,   merupakan peningkatan ruhani  orang-orang beriman, yang mencapai puncaknya pada tingkatan ruhani Isa Ibnu Maryam a.s., setelah melalui tingkat ruhani Maryam binti Imran.

Nafs Lawwamah (Jiwa yang mencela Diri Sendiri)

       Sebelum orang-orang beriman mencapai tingkatan ruhani Maryam binti Imran dan tingkatan ruhani Isa Ibnu Maryam a.s.  maka  keadaan  ruhani orang-orang beriman masih dalam keadaan belum mencapai keselamatan sepenuhnya karena tingkatan ruhani istri Fir’aun merupakan tingkatan nafs Lawwamah (jiwa yang menyesali diri - QS.76:2-3), yang kadang-kadang berhasil melampaui ujian keimanan dan kadang-kadang gagal yakni  tersandung lalu jatuh, dan atas kelemahannya tersebut ia menyesali atau mencela dirinya sendiri.
      Namun karena orang-orang beriman pada tingkatan nafs Lawwamah telah  melakukan  upaya keras  melawan  berbagai dorongan hawa-nafsunya, karena itu walau pun kadang-kadang mereka tersandung jatuh lalu mencela diri sendiri atas kelemahannya tersebut,.
      Sebagai penghargaan terhadap mereka,  Allah Swt. telah memuji mereka dalam bentuk persumpahan mengenai kebenaran adanya Hari Kiamat,  karena ketika orang-orang beriman telah mencapai tingkatan nafsu Lawwamah,  dalam jiwanya telah timbul keyakinan akan adanya Hari Kebangkitan atau Hari Kiamat yang harus mereka hadapi. Tetapi  karena keadaan ruhani mereka masih lemah maka keyakinannya tersebut belum sepenuhnya dapat menghindarkan jiwa mereka dari ketergelinciran akibat dorongan-dorongan nafs Ammarah yang masih tersisa dalam jiwa mereka,  mengenai hal tersebut  Nabi Yusuf a.s. berkata, firman-Nya:
ذٰلِکَ لِیَعۡلَمَ اَنِّیۡ لَمۡ اَخُنۡہُ بِالۡغَیۡبِ وَ اَنَّ  اللّٰہَ  لَا یَہۡدِیۡ  کَیۡدَ  الۡخَآئِنِیۡنَ ﴿ ﴾   وَ مَاۤ  اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ  النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ  اِلَّا مَا رَحِمَ  رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿ ﴾
“Dan aku sama sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan, kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku, sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha Pe-nyayang.” (Yusuf [12]:54).

Nafs Al-Muthmainnah (Jiwa yang Tentram)

  Anak kalimat illa mā  rahima rabbi (kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dapat mempunyai tiga tafsiran yang berlainan: (a) Kecuali nafs (jiwa) yang kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang, huruf  di sini menggantikan kata nafs. (b) Kecuali dia, yang kepadanya Tuhan-ku berkasih-sayang,  di sini berarti man (siapa). (c) Memang begitu, tetapi kasih-sayang Tuhan-lah yang menyelamatkan siapa yang dipilih-Nya. Ketiga arti tersebut menunjuk kepada ketiga taraf perkembangan ruhani manusia.
       Arti pertama illa mā  rahima rabbi (kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) menunjuk kepada taraf ketika jiwa (nafs) manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan ruhani — tingkat nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram — QS.89:28), firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾   ارۡجِعِیۡۤ  اِلٰی  رَبِّکِ رَاضِیَۃً  مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾   فَادۡخُلِیۡ  فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾  وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tentram! Kembalilah kepada Tuhan engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia ridha kepada engkau, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku “ (Al-Fajr [98]:28-31).
        Tingkatan nafs muthmainnah merupakan tingkatan perkembangan ruhani tertinggi, ketika manusia ridha kepada Allah Swt. dan Allah Swt. pun ridha kepadanya (QS.58:23).  Pada tingkatan  keadaan jiwa ini – yang disebut juga tingkatan surgawi – ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, ia diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus.  Ia “menunggal”  dengan Allah Swt. dan  tidak dapat hidup tanda Dia. Di dunia inilah, dan bukan sesudah mati, perubahan ruhani besar terjadi di dalam dirinya; dan di dunia inilah, dan bukan hanya di akhirat, jalan dibukakan baginya untuk masuk surga.

Nafs Al-Lawwāmah (Jiwa yang Mencela Diri Sendiri)

        Arti kedua illa mā  rahima rabbi (kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dikenakan kepada orang yang masih pada tingkat nafs Lawwāmah (jiwa yang menyesali diri sendiri — QS.75:3),    dan setelah sampai kepada tingkat “jiwa yang menyesali diri sendiri” (nafsu Lawwāmah – QS. 75:2-3) kadang-kadang gagal dan kadang-kadang tergelincir, karena itu tingkat keadaan nafs (jiwa) ini disebut  tingkat nafs lawwamah (jiwa yang menyesali diri sendiri),  ketika ia berjuang melawan dosa dan kecenderungan-kecenderungan buruknya, kadang-kadang ia mengalahkannya dan kadang-kadang ia dikalahkan olehnya, firman-Nya:
لَاۤ   اُقۡسِمُ   بِیَوۡمِ  الۡقِیٰمَۃِ ۙ﴿ ﴾   وَ  لَاۤ   اُقۡسِمُ  بِالنَّفۡسِ اللَّوَّامَۃِ ؕ﴿ ﴾
Aku bersumpah dengan Hari Kiamat, dan Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali (Al-Qiyamah [76]:2-3).
  Kata   pada ayat 2  dapat berarti  Hal itu tidak seperti apa yang disangka mereka.” Kadang-kadang kata itu dipakai sebagai jawaban terhadap suatu keberatan atau penolakan terhadap apa yang telah dikatakan sebelumnya (Lexicon Lane).
  Al-Quran telah menyebut tiga tingkat perkembangan jiwa manusia. Tingkat pertama disebut nafs ammarah (jiwa yang tak terkendalikan – QS.12:54), ketika nafsu kebinatangan atau sifat kehewanan di dalam diri manusia bersimaharajalela. Tingkat kedua ialah nafs lawwāmah (jiwa yang menyesali diri – QS.76:2-3), ketika kata-hati manusia yang telah bangkit menyesalinya dari berbuat jahat lalu menahan nafsu dan hasratnya. Pada tingkat ini sifat kemanusiaan di dalam diri manusia memperoleh keunggulan. Itulah permulaan kebangkitan akhlak, dan karena itu dikatakan di sini sebagai bukti adanya Hari Kiamat (Hari Kebangkitan) terakhir.
   Seandainya  manusia tidak mempunyai pertanggung-jawaban, dan seandainya ia tidak akan diminta pertanggung-jawaban atas amal-amalnya dalam kehidupan di alam kemudian, mengapakah ada gangguan yang menusuk-nusuk kata-hati ketika melakukan suatu perbuatan jahat?
    Tingkat ketiga dan tertinggi pada perkembangaan ruh (jiwa) manusia adalah yang disebut nafs Al-Muthmainnah (jiwa yang tenteram – QS.98:27-31). Pada tingkat ini ruh manusia praktis menjadi kebal terhadap kegagalan atau tersandung dan ada dalam suasana ketenteraman bersama Khaliq-nya, Allah Swt.
       Arti ketiga illa mā  rahima rabbi (kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku)  dikenakan kepada orang  ketika nafsu kebinatangannya bersimaharajalela dalam dirinya. Tingkatan ini disebut nafs Ammarah (jiwa yang cenderung kepada keburukan), firman-Nya:
ذٰلِکَ لِیَعۡلَمَ اَنِّیۡ لَمۡ اَخُنۡہُ بِالۡغَیۡبِ وَ اَنَّ  اللّٰہَ  لَا یَہۡدِیۡ  کَیۡدَ  الۡخَآئِنِیۡنَ ﴿ ﴾   وَ مَاۤ  اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ  النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ  اِلَّا مَا رَحِمَ  رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿ ﴾
“Dan aku sama sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan, kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku, sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha Pe-nyayang.” (Yusuf [12]:54).

Misal “Maryam binti ‘Imran”

    Jadi, mengisyaratkan  kepada   tingkat ketiga dan tertinggi pada perkembangaan ruh (jiwa) manusia adalah yang disebut nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram – QS.98:27-31)  itulah  firman Allah Swt. selanjutnya:
 وَ مَرۡیَمَ  ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ  الَّتِیۡۤ  اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا  فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ  مِنۡ  رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ  الۡقٰنِتِیۡنَ ﴿٪﴾
Dan juga Maryam putri ‘Imran,  yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami meniupkan ke dalamnya Ruh Kami,  dan ia menggenapi firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya, dan ia termasuk orang-orang yang patuh. (Al-Tahrīm [66]:13).
    Siti Maryam (Maryam binti ‘Imran),  ibunda Nabi Isa a.s. melambangkan hamba-hamba Allah yang bertakwa, yang karena telah menutup segala jalan dosa dan karena telah berdamai dengan Allah Swt. mereka dikaruniai ilham Ilahi; kata pengganti hi dalam fīhi  menunjuk kepada orang-orang beriman yang bernasib baik serupa itu. Atau, kata pengganti itu dapat pula menggantikan kata farj, yang secara harfiah berarti celah atau sela, artinya lubang yang dengan melaluinya dosa dapat masuk.

(Bersambung). 

Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar”, 1 September 2012
Ki Langlang Buana Kusuma