Senin, 13 Agustus 2012

Misal (Perumpamaan) Maryam binti Imran & Isa Ibnu Maryam



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


  SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN

Bab 43


 Misal (Perumpamaan) Maryam binti  Imran &
Isa Ibnu Maryam a.s.   
 
                                                                    Oleh
                                                                                
Ki Langlang Buana Kusuma


Dalam  Bab 42   telah dikemukakan   masalah  istri Fir’aun sebagai misal  orang-orang yang beriman, firman-Nya:
وَ ضَرَبَ اللّٰہُ  مَثَلًا  لِّلَّذِیۡنَ  اٰمَنُوا امۡرَاَتَ  فِرۡعَوۡنَ ۘ اِذۡ  قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ  لِیۡ عِنۡدَکَ  بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ  وَ نَجِّنِیۡ  مِنۡ فِرۡعَوۡنَ  وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ  مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾
Dan Allah mengemukakan istri Fir’aun sebagai  misal bagi orang-orang beriman, ketika ia berkata: “Hai Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim, (Al-Tahrīm [66]:12).
        Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab sebelumnya, perumpamaan tersebut  mengandung berbagai makna yang dalam, (1) sebagaimana istri Fir’aun telah beriman kepada Nabi Musa a.s. --  bertentangan dengan keadaan  suaminya (Fir’aun) yang sangat menentang Nabi Musa  a.s. – sehingga akibatnya istri Fir’aun yang sebelumnya hidup dalam berbagai kemewahan kehidupan duniawi di istana kerajaan Mesir milik Fir’aun, ia kemudian mengalami berbagai bentuk kezaliman dari suaminya (Fir’aun) dan kaumnya.
        Namun karena keimanannya kepada Nabi Musa a.s.  merupakan pilihan hatinya, karena itu  istri Fir’aun tetap bersabar menghadapi berbagai ujian keimanan yang dideritanya dari Fir’aun dan kaumnya yang zalim. Ia berdoa:
     رَبِّ ابۡنِ  لِیۡ عِنۡدَکَ  بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ  وَ نَجِّنِیۡ  مِنۡ فِرۡعَوۡنَ  وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ  مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾
Hai Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim, (Al-Tahrīm [66]:12).
        Demikian pula keadaan yang terjadi pada orang-orang yang beriman kepada rasul Allah, mereka pun akan menderita berbagai ujian di jalan Allah akibat kezaliman para pemuka kaumnya yang kafir – yang dari segi duniawi kedudukan para pemuka (pemimpin) kaum  pun merupakan “suami” bagi kaumnya, namun  mereka merupakan “suami yang buruk” bagaikan Fir’aun.
      Orang-orang yang beriman beriman kepada rasul Allah pun bersikap terpuji seperti istri Fir’aun, yakni mereka  memilih hidup menderita di jalan Allah, sehingga mereka memilih hijrah meninggalkan apa pun dan siapa pun yang mereka cintai sebelumnya. Contoh yang paling baik adalah hijrah yang dilakukan oleh para sahabat Nabi Besar Muhammad saw.  dari Makkah ke Madinah, firman-Nya:
 لَا تَجِدُ قَوۡمًا یُّؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ وَ الۡیَوۡمِ الۡاٰخِرِ  یُوَآدُّوۡنَ مَنۡ حَآدَّ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ  وَ لَوۡ کَانُوۡۤا  اٰبَآءَہُمۡ  اَوۡ اَبۡنَآءَہُمۡ  اَوۡ  اِخۡوَانَہُمۡ  اَوۡ عَشِیۡرَتَہُمۡ ؕ اُولٰٓئِکَ  کَتَبَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمُ الۡاِیۡمَانَ وَ اَیَّدَہُمۡ  بِرُوۡحٍ مِّنۡہُ ؕ وَ یُدۡخِلُہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ خٰلِدِیۡنَ  فِیۡہَا ؕ رَضِیَ اللّٰہُ  عَنۡہُمۡ وَ رَضُوۡا عَنۡہُ ؕ اُولٰٓئِکَ حِزۡبُ اللّٰہِ ؕ اَلَاۤ اِنَّ  حِزۡبَ اللّٰہِ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿٪﴾
Engkau tidak akan mendapatkan suatu kaum yang menyatakan beriman kepada Allah dan Hari Akhir  tetapi mereka mencintai orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya,  walau pun mereka  itu bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang di dalam hati mereka Dia telah menanamkan iman dan Dia telah meneguhkan mereka dengan ilham dari Dia sendiri, dan Dia akan memasukkan mereka ke dalam kebun-kebun yang  di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada-Nya. Itulah golongan Allah (Hizbullah). Ketahuilah, sesungguhnya golongan Allah (Hizbullāh)  itulah orang-orang yang berhasil. (Al-Mujādilah [58]:23). Lihat pula QS.5:55-57.

Hizbullāh (Golongan Allah) yang Hakiki

        Sudah nyata bahwa tidak mungkin terdapat persahabatan atau perhubungan cinta sejati atau sungguh-sungguh di antara orang-orang beriman  dengan  orang-orang kafir, sebab cita-cita, pendirian-pendirian, dan kepercayaan agama dari kedua golongan itu bertentangan satu sama lain, dan karena kesamaan dan perhubungan kepentingan itu merupakan syarat mutlak bagi perhubungan yang sungguh-sungguh erat menjadi tidak ada, maka orang-orang beriman  diminta jangan mempunyai persahabatan yang erat lagi mesra dengan orang-orang kafir (QS.3:29 & 119; QS.4:145-146; QS.5:52-54; QS.60-10).
     Ikatan agama (keimanan) mengatasi segala perhubungan lainnya, malahan mengatasi pertalian darah yang amat dekat sekalipun. Ayat ini nampaknya merupakan seruan umum. Tetapi secara khusus seruan itu tertuju kepada orang-orang kafir yang ada dalam berperang dengan kaum Muslim.
       Demikianlah penjelasan mengenai makna yang  pertama dari “misal istri Fir’aun” bagi orang-orang yang beriman kepada rasul Allah, firman-Nya:
     رَبِّ ابۡنِ  لِیۡ عِنۡدَکَ  بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ  وَ نَجِّنِیۡ  مِنۡ فِرۡعَوۡنَ  وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ  مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾
Hai Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim, (Al-Tahrīm [66]:12).

Nafs Ammarah dan  Nafs Lawwamah  

       (2)   Makna kedua dari “misal Istri Fir’aun” bagi   orang-orang yang beriman, adalah bahwa  istri Fir’aun menggambarkan keadaan orang-orang beriman, yang meskipun berkeinginan dan berdoa terus-menerus agar bebas dari dosa, tetapi tidak sepenuhnya dapat melepaskan diri dari pengaruh buruk yang dilukiskan dalam wujud Fir’aun, yakni nafs Ammarah (jiwa yang memerintah kepada keburukan --  QS.12:54), berikut adalah firman-Nya mengenai Nabi Yusuf a.s.:
ذٰلِکَ لِیَعۡلَمَ اَنِّیۡ لَمۡ اَخُنۡہُ بِالۡغَیۡبِ وَ اَنَّ  اللّٰہَ  لَا یَہۡدِیۡ  کَیۡدَ  الۡخَآئِنِیۡنَ ﴿ ﴾   وَ  نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ  النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ  اِلَّا مَا رَحِمَ  رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿ ﴾
“Dan aku sama sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan, kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku, sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha Pe-nyayang.” (Yusuf [12]:54).
  Anak kalimat illa mā  rahima rabbi (kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dapat mempunyai tiga tafsiran yang berlainan: (a) Kecuali nafs (jiwa) yang kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang, huruf  di sini menggantikan kata nafs. (b) Kecuali dia, yang kepadanya Tuhan-ku berkasih-sayang,  di sini berarti man (siapa). (c) Memang begitu, tetapi kasih-sayang Tuhan-lah yang menyelamatkan siapa yang dipilih-Nya. Ketiga arti tersebut menunjuk kepada ketiga taraf perkembangan ruhani manusia.
       Arti pertama illa mā  rahima rabbi (kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) menunjuk kepada taraf ketika jiwa (nafs) manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan ruhani — tingkat nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram — QS.89:28), firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾   ارۡجِعِیۡۤ  اِلٰی  رَبِّکِ رَاضِیَۃً  مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾   فَادۡخُلِیۡ  فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾  وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tentram! Kembalilah kepada Tuhan engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia ridha kepada engkau, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku “ (Al-Fajr [98]:28-31).
        Tingkatan nafs muthmainnah merupakan tingkatan perkembangan ruhani tertinggi, ketika manusia ridha kepada Allah Swt. dan Allah Swt. pun ridha kepadanya (QS.58:23).  Pada tingkatan  keadaan jiwa ini – yang disebut juga tingkatan surgawi – ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, ia diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus.  Ia “menunggal”  dengan Allah Swt. dan  tidak dapat hidup tanda Dia. Di dunia inilah, dan bukan sesudah mati, perubahan ruhani besar terjadi di dalam dirinya; dan di dunia inilah, dan bukan hanya di akhirat, jalan dibukakan baginya untuk masuk surga.
        Arti kedua illa mā  rahima rabbi (kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dikenakan kepada orang yang masih pada tingkat nafs lawwamah (jiwa yang menyesali diri sendiri — QS.75:3),    dan setelah sampai kepada tingkat “jiwa yang meyesali diri sendiri” (nafsu lawwamah – QS. 75:2-3) kadang-kadang gagal dan kadang-kadang tergelincir, karena itu tingkat keadaan nafs (jiwa) ini disebut  tingkat nafs lawwamah (jiwa yang menyesali diri sendiri),  ketika ia berjuang melawan dosa dan kecenderungan-kecenderungan buruknya, kadang-kadang ia mengalahkannya dan kadang-kadang ia dikalahkan olehnya, firman-Nya:
لَاۤ   اُقۡسِمُ   بِیَوۡمِ  الۡقِیٰمَۃِ ۙ﴿ ﴾   وَ  لَاۤ   اُقۡسِمُ  بِالنَّفۡسِ اللَّوَّامَۃِ ؕ﴿ ﴾
Aku bersumpah dengan Hari Kiamat, dan Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali (Al-Qiyamah [76]:2-3).
  Kata   pada ayat 2  dapat berarti  Hal itu tidak seperti apa yang disangka mereka.” Kadang-kadang kata itu dipakai sebagai jawaban terhadap suatu keberatan atau peno-lakan terhadap apa yang telah dikatakan sebelumnya (Lexicon Lane).
  Al-Quran telah menyebut tiga tingkat perkembangan jiwa manusia. Tingkat pertama disebut nafs ammarah (jiwa yang tak terkendalikan – QS.12:54), ketika nafsu kebinatangan atau sifat kehewanan di dalam diri manusia bersimaharajalela. Tingkat kedua ialah nafs lawwamah (jiwa yang menyesali diri – QS.76:2-3), ketika kata-hati manusia yang telah bangkit menyesalinya dari berbuat jahat lalu menahan nafsu dan hasratnya. Pada tingkat ini sifat kemanusiaan di dalam diri manusia memperoleh keunggulan. Itulah permulaan kebangkitan akhlak, dan karena itu dikatakan di sini sebagai bukti adanya Hari Kiamat (Hari Kebangkitan) terakhir
   Seandainya  manusia tidak mempunyai pertanggung-jawaban, dan seandainya ia tidak akan diminta pertanggung-jawaban atas amal-amalnya dalam kehidupan di alam kemudian, mengapakah ada gangguan yang menusuk-nusuk kata-hati ketika melakukan suatu perbuatan jahat?
    Tingkat ketiga dan tertinggi pada perkembangaan ruh (jiwa) manusia adalah yang disebut nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram – QS.98:27-31). Pada tingkat ini ruh manusia praktis menjadi kebal terhadap kegagalan atau tersandung dan ada dalam suasana ketenteraman bersama Khaliq-nya, Allah Swt.
        Arti ketiga illa mā  rahima rabbi (kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku)  dikenakan kepada orang, ketika nafsu kebinatangannya bersimaharajalela dalam dirinya. Tingkatan ini disebut nafs ammarah (jiwa yang cenderung kepada keburukan).

Misal Maryam binti Imran &
Isa Ibnu Maryam a.s.

       Mengisyaratkan  kepada   tingkat ketiga dan tertinggi pada perkembangaan ruh (jiwa) manusia adalah yang disebut nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram – QS.98:27-31)  itulah  firman Allah Swt. selanjutnya:  
وَ مَرۡیَمَ  ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ  الَّتِیۡۤ  اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا  فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ  مِنۡ  رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ  الۡقٰنِتِیۡنَ 
Dan juga Maryam putri ‘Imran,  yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami meniupkan ke dalamnya Ruh Kami,  dan ia menggenapi firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya, dan ia termasuk orang-orang yang patuh. (Al-Tahrīm [66]:13).
    Siti Maryam (Martyam binti ‘Imran),  ibunda Nabi Isa a.s. melambangkan hamba-hamba Allah yang bertakwa, yang karena telah menutup segala jalan dosa dan karena telah berdamai dengan Allah Swt. mereka dikaruniai ilham Ilahi; kata pengganti hi dalam fīhi  menunjuk kepada orang-orang beriman yang bernasib baik serupa itu. Atau, kata pengganti itu dapat pula menggantikan kata farj, yang secara harfiah berarti celah atau sela, artinya lubang yang dengan melaluinya dosa dapat masuk.

(Bersambung). 


Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar”, 25 Ramadhan 2012
Ki Langlang Buana Kusuma



Tidak ada komentar:

Posting Komentar