بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN
JANTUNG AL-QURAN
Bab 43
Misal (Perumpamaan) Maryam binti Imran &
Isa Ibnu Maryam a.s.
Oleh
Ki Langlang
Buana Kusuma
Dalam Bab 42
telah dikemukakan masalah istri Fir’aun
sebagai misal orang-orang yang beriman, firman-Nya:
وَ ضَرَبَ اللّٰہُ
مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ اٰمَنُوا امۡرَاَتَ فِرۡعَوۡنَ ۘ اِذۡ قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ لِیۡ عِنۡدَکَ
بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ وَ
نَجِّنِیۡ مِنۡ فِرۡعَوۡنَ وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾
Dan Allah mengemukakan istri Fir’aun sebagai misal bagi orang-orang beriman, ketika
ia berkata: “Hai Tuhan, buatkanlah
bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah
aku dari kaum yang zalim, (Al-Tahrīm [66]:12).
Sebagaimana
telah dijelaskan dalam Bab sebelumnya, perumpamaan
tersebut mengandung berbagai makna yang dalam, (1) sebagaimana istri Fir’aun telah beriman kepada Nabi Musa a.s. --
bertentangan dengan keadaan suaminya (Fir’aun) yang sangat menentang
Nabi Musa a.s. – sehingga akibatnya istri Fir’aun yang sebelumnya hidup
dalam berbagai kemewahan kehidupan duniawi di istana kerajaan
Mesir milik Fir’aun, ia kemudian
mengalami berbagai bentuk kezaliman
dari suaminya (Fir’aun) dan kaumnya.
Namun
karena keimanannya kepada Nabi Musa
a.s. merupakan pilihan hatinya, karena itu istri Fir’aun tetap bersabar menghadapi berbagai ujian
keimanan yang dideritanya dari Fir’aun dan kaumnya yang zalim. Ia berdoa:
رَبِّ ابۡنِ لِیۡ عِنۡدَکَ
بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ وَ
نَجِّنِیۡ مِنۡ فِرۡعَوۡنَ وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾
“Hai Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga,
dan selamatkanlah aku dari Fir’aun
dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim,
(Al-Tahrīm
[66]:12).
Demikian pula keadaan yang terjadi pada
orang-orang yang beriman kepada rasul Allah, mereka pun akan menderita berbagai ujian di jalan Allah akibat kezaliman
para pemuka kaumnya yang kafir – yang
dari segi duniawi kedudukan para
pemuka (pemimpin) kaum pun merupakan
“suami” bagi kaumnya, namun mereka
merupakan “suami yang buruk” bagaikan
Fir’aun.
Orang-orang yang beriman beriman kepada rasul Allah pun bersikap terpuji seperti istri Fir’aun, yakni mereka memilih hidup menderita di jalan Allah,
sehingga mereka memilih hijrah
meninggalkan apa pun dan siapa pun yang mereka cintai sebelumnya. Contoh yang paling
baik adalah hijrah yang dilakukan
oleh para sahabat Nabi Besar Muhammad
saw. dari Makkah ke Madinah, firman-Nya:
لَا تَجِدُ قَوۡمًا یُّؤۡمِنُوۡنَ
بِاللّٰہِ وَ الۡیَوۡمِ الۡاٰخِرِ یُوَآدُّوۡنَ
مَنۡ حَآدَّ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ وَ
لَوۡ کَانُوۡۤا اٰبَآءَہُمۡ اَوۡ اَبۡنَآءَہُمۡ اَوۡ
اِخۡوَانَہُمۡ اَوۡ عَشِیۡرَتَہُمۡ
ؕ اُولٰٓئِکَ کَتَبَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمُ
الۡاِیۡمَانَ وَ اَیَّدَہُمۡ بِرُوۡحٍ
مِّنۡہُ ؕ وَ یُدۡخِلُہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ
خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا ؕ رَضِیَ اللّٰہُ عَنۡہُمۡ وَ رَضُوۡا عَنۡہُ ؕ اُولٰٓئِکَ
حِزۡبُ اللّٰہِ ؕ اَلَاۤ اِنَّ حِزۡبَ
اللّٰہِ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿٪﴾
Engkau tidak
akan mendapatkan suatu kaum yang menyatakan
beriman kepada Allah dan Hari Akhir tetapi mereka
mencintai orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, walau pun mereka itu bapak-bapak
mereka atau anak-anak mereka
atau saudara-saudara mereka ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang di dalam hati mereka Dia
telah menanamkan iman dan Dia
telah meneguhkan mereka dengan ilham dari Dia sendiri, dan Dia akan memasukkan mereka ke dalam
kebun-kebun yang di bawahnya mengalir
sungai-sungai. Mereka kekal di
dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada-Nya. Itulah golongan Allah (Hizbullah). Ketahuilah,
sesungguhnya golongan Allah (Hizbullāh)
itulah orang-orang yang berhasil. (Al-Mujādilah [58]:23). Lihat pula
QS.5:55-57.
Hizbullāh (Golongan Allah) yang Hakiki
Sudah nyata bahwa tidak mungkin terdapat persahabatan atau perhubungan cinta sejati atau sungguh-sungguh
di antara orang-orang beriman dengan
orang-orang kafir, sebab cita-cita,
pendirian-pendirian, dan kepercayaan agama dari kedua golongan itu bertentangan satu sama lain, dan karena kesamaan dan perhubungan kepentingan itu merupakan syarat mutlak bagi perhubungan
yang sungguh-sungguh erat menjadi
tidak ada, maka orang-orang beriman diminta jangan mempunyai persahabatan yang erat lagi mesra
dengan orang-orang kafir (QS.3:29
& 119; QS.4:145-146; QS.5:52-54; QS.60-10).
Ikatan agama (keimanan) mengatasi segala perhubungan lainnya, malahan mengatasi pertalian darah yang amat dekat sekalipun. Ayat ini nampaknya
merupakan seruan umum. Tetapi secara
khusus seruan itu tertuju kepada orang-orang
kafir yang ada dalam berperang
dengan kaum Muslim.
Demikianlah penjelasan mengenai makna yang pertama dari “misal istri Fir’aun” bagi orang-orang
yang beriman kepada rasul Allah,
firman-Nya:
رَبِّ ابۡنِ لِیۡ عِنۡدَکَ
بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ وَ
نَجِّنِیۡ مِنۡ فِرۡعَوۡنَ وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾
“Hai Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga,
dan selamatkanlah aku dari Fir’aun
dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim,
(Al-Tahrīm
[66]:12).
Nafs Ammarah dan Nafs
Lawwamah
(2) Makna
kedua dari “misal Istri Fir’aun”
bagi orang-orang yang beriman, adalah bahwa istri
Fir’aun menggambarkan keadaan orang-orang
beriman, yang meskipun berkeinginan
dan berdoa terus-menerus agar bebas dari dosa, tetapi tidak sepenuhnya
dapat melepaskan diri dari pengaruh buruk
yang dilukiskan dalam wujud Fir’aun,
yakni nafs Ammarah (jiwa yang
memerintah kepada keburukan -- QS.12:54),
berikut adalah firman-Nya mengenai Nabi Yusuf a.s.:
ذٰلِکَ لِیَعۡلَمَ اَنِّیۡ لَمۡ اَخُنۡہُ بِالۡغَیۡبِ وَ
اَنَّ اللّٰہَ لَا یَہۡدِیۡ کَیۡدَ الۡخَآئِنِیۡنَ ﴿ ﴾ وَ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ النَّفۡسَ
لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ اِلَّا مَا
رَحِمَ رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿ ﴾
“Dan aku
sama sekali tidak menganggap diriku
bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan,
kecuali orang yang dikasihani oleh
Tuhan-ku, sesungguhnya Tuhan-ku
Maha Pengampun, Maha Pe-nyayang.”
(Yusuf
[12]:54).
Anak kalimat illa
mā rahima rabbi (kecuali orang yang
dikasihani oleh Tuhan-ku) dapat mempunyai tiga
tafsiran yang berlainan: (a) Kecuali nafs (jiwa) yang
kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang, huruf mā di sini menggantikan kata nafs. (b)
Kecuali dia, yang kepadanya Tuhan-ku berkasih-sayang, mā di sini berarti man (siapa). (c)
Memang begitu, tetapi kasih-sayang Tuhan-lah yang menyelamatkan siapa yang
dipilih-Nya. Ketiga arti tersebut menunjuk kepada ketiga taraf perkembangan ruhani manusia.
Arti pertama illa mā rahima rabbi (kecuali orang yang
dikasihani oleh Tuhan-ku) menunjuk kepada taraf ketika jiwa (nafs) manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan ruhani — tingkat nafs muthmainnah (jiwa yang
tenteram — QS.89:28), firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾ ارۡجِعِیۡۤ اِلٰی
رَبِّکِ رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً
﴿ۚ﴾ فَادۡخُلِیۡ
فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ
جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tentram! Kembalilah
kepada Tuhan engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia ridha kepada engkau, maka
masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah
ke dalam surga-Ku “ (Al-Fajr [98]:28-31).
Tingkatan
nafs muthmainnah merupakan tingkatan perkembangan ruhani tertinggi, ketika
manusia ridha kepada Allah Swt. dan Allah Swt. pun ridha kepadanya
(QS.58:23). Pada tingkatan keadaan jiwa
ini – yang disebut juga tingkatan surgawi
– ia menjadi kebal terhadap segala
macam kelemahan akhlak, ia diperkuat
dengan kekuatan ruhani yang
khusus. Ia “menunggal” dengan Allah Swt. dan tidak dapat hidup tanda Dia. Di dunia inilah,
dan bukan sesudah mati, perubahan ruhani
besar terjadi di dalam dirinya; dan di dunia inilah, dan bukan hanya di
akhirat, jalan dibukakan baginya untuk masuk surga.
Arti
kedua illa mā rahima rabbi
(kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dikenakan kepada orang yang masih
pada tingkat nafs lawwamah (jiwa yang menyesali diri sendiri — QS.75:3), dan
setelah sampai kepada tingkat “jiwa yang
meyesali diri sendiri” (nafsu lawwamah – QS. 75:2-3) kadang-kadang gagal
dan kadang-kadang tergelincir, karena
itu tingkat keadaan nafs (jiwa) ini
disebut tingkat nafs lawwamah
(jiwa yang menyesali diri sendiri), ketika ia berjuang melawan dosa dan kecenderungan-kecenderungan buruknya, kadang-kadang ia mengalahkannya dan kadang-kadang ia dikalahkan olehnya, firman-Nya:
لَاۤ اُقۡسِمُ بِیَوۡمِ الۡقِیٰمَۃِ ۙ﴿ ﴾ وَ لَاۤ اُقۡسِمُ بِالنَّفۡسِ اللَّوَّامَۃِ ؕ﴿ ﴾
Aku bersumpah dengan Hari Kiamat,
dan Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali (Al-Qiyamah
[76]:2-3).
Kata lā
pada ayat 2 dapat berarti
“Hal itu tidak seperti apa yang
disangka mereka.” Kadang-kadang kata itu dipakai sebagai jawaban terhadap
suatu keberatan atau peno-lakan terhadap apa yang telah dikatakan sebelumnya (Lexicon Lane).
Al-Quran telah menyebut tiga tingkat perkembangan jiwa manusia. Tingkat
pertama disebut nafs ammarah (jiwa yang tak terkendalikan – QS.12:54),
ketika nafsu kebinatangan atau sifat kehewanan di dalam diri manusia
bersimaharajalela. Tingkat kedua ialah nafs lawwamah (jiwa yang
menyesali diri – QS.76:2-3), ketika kata-hati
manusia yang telah bangkit menyesalinya
dari berbuat jahat lalu menahan nafsu dan hasratnya. Pada tingkat ini sifat
kemanusiaan di dalam diri manusia memperoleh keunggulan. Itulah permulaan kebangkitan akhlak, dan karena itu
dikatakan di sini sebagai bukti adanya Hari
Kiamat (Hari Kebangkitan) terakhir
Seandainya
manusia tidak mempunyai pertanggung-jawaban, dan seandainya ia
tidak akan diminta pertanggung-jawaban
atas amal-amalnya dalam kehidupan di alam
kemudian, mengapakah ada gangguan
yang menusuk-nusuk kata-hati ketika
melakukan suatu perbuatan jahat?
Tingkat ketiga dan tertinggi pada
perkembangaan ruh (jiwa) manusia
adalah yang disebut nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram – QS.98:27-31).
Pada tingkat ini ruh manusia praktis
menjadi kebal terhadap kegagalan atau tersandung dan ada dalam suasana ketenteraman bersama Khaliq-nya,
Allah Swt.
Arti ketiga illa mā rahima rabbi (kecuali orang yang
dikasihani oleh Tuhan-ku) dikenakan
kepada orang, ketika nafsu
kebinatangannya bersimaharajalela dalam dirinya. Tingkatan ini disebut nafs
ammarah (jiwa yang cenderung kepada keburukan).
Misal Maryam binti Imran &
Isa Ibnu Maryam a.s.
Mengisyaratkan kepada tingkat
ketiga dan tertinggi pada
perkembangaan ruh (jiwa) manusia
adalah yang disebut nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram –
QS.98:27-31) itulah firman Allah Swt. selanjutnya:
وَ مَرۡیَمَ ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِیۡۤ
اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا فَنَفَخۡنَا
فِیۡہِ مِنۡ رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا
وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ الۡقٰنِتِیۡنَ
Dan juga Maryam putri ‘Imran, yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami meniupkan ke dalamnya Ruh Kami, dan ia menggenapi
firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya,
dan ia termasuk orang-orang yang patuh.
(Al-Tahrīm
[66]:13).
Siti Maryam (Martyam
binti ‘Imran), ibunda Nabi Isa a.s.
melambangkan hamba-hamba Allah yang bertakwa, yang karena telah menutup segala jalan dosa dan karena telah berdamai
dengan Allah Swt. mereka dikaruniai ilham
Ilahi; kata pengganti hi dalam fīhi menunjuk kepada orang-orang beriman yang bernasib
baik serupa itu. Atau, kata pengganti itu dapat pula menggantikan kata farj,
yang secara harfiah berarti celah
atau sela, artinya lubang yang dengan melaluinya dosa dapat masuk.
(Bersambung).
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
“Pajajaran
Anyar”, 25 Ramadhan 2012
Ki Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar