بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN
JANTUNG AL-QURAN
Bab 56
Hakikat Ruhani “Rasa Sakit Melahirkan”
yang Dialami Maryam binti ‘Imran
Oleh
Ki Langlang
Buana Kusuma
Dalam
akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan
mengenai rasa sakit yang diderita Maryam binti ‘Imran ketika melahirkan Isa
Ibnu Maryam a.s., firman-Nya:
فَاَجَآءَہَا
الۡمَخَاضُ اِلٰی جِذۡعِ النَّخۡلَۃِ ۚ قَالَتۡ یٰلَیۡتَنِیۡ مِتُّ
قَبۡلَ ہٰذَا وَ کُنۡتُ نَسۡیًا
مَّنۡسِیًّا ﴿﴾
Maka
rasa sakit melahirkan memaksanya pergi ke sebatang pohon kurma. Ia berkata: "Alangkah baiknya jika aku mati sebelum ini dan aku menjadi sesuatu yang dilupakan sama sekali!" (Maryam
[19]:24).
Dalam
Bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa sebagimana nampak dari Injil, tidak ada terdapat kamar di rumah
penginapan tempat Nabi Isa a.s.
dilahirkan di kota Bethlehem itu. Yusuf
dan Maryam binti ‘Imran rupanya terpaksa tinggal di padang terbuka dan Maryam binti
‘Imran berlindung di bawah sebatang pohon
kurma, untuk beristirahat di bawah naungannya, dan boleh jadi juga untuk
mendapat tempat bersandar di saat
mengalami penderitaan waktu melahirkan bayi. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
فَنَادٰىہَا مِنۡ تَحۡتِہَاۤ اَلَّا تَحۡزَنِیۡ قَدۡ جَعَلَ رَبُّکِ
تَحۡتَکِ سَرِیًّا ﴿﴾ وَ ہُزِّیۡۤ
اِلَیۡکِ بِجِذۡعِ النَّخۡلَۃِ
تُسٰقِطۡ عَلَیۡکِ رُطَبًا
جَنِیًّا ﴿۫﴾
Maka
ia, malaikat, menyerunya dari arah bawah dia: "Janganlah engkau bersedih hati, sungguh Tuhan
engkau telah membuat anak sungai di bawah engkau, dan goyangkan ke arah engkau pelepah batang kurma itu, ia akan
menjatuhkan berturut-turut atas engkau buah
kurma yang matang lagi segar.” (Maryam [19]:25-26).
Dua Perumpamaan “Orang-orang yang Beriman”
Sebelum membahas hakikat ruhani “rasa
sakit melahirkan” yang dialami oleh Maryam
binti ‘Imran, perlu kiranya mengingatkan kembali para pembaca terhadap perumpamaan
orang-orang yang beriman dalam Surah Al-Tahrim
[66]:11-13). Dalam beberapa Bab sebelumnya
telah dikemukakan mengenai perumpamaan orang-orang yang beriman, yakni (1) sebagai istri Fir’aun, dan (2) sebagai Maryam
binti ‘Imran, yang kemudian melahirkan Isa
Ibnu Maryam a.s. -- walau pun tanpa didahului peristiwa
hubungan badan dengan seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil melalui pernikahan. Berikut firman
Allah Swt. selengkapkan mengenai hal tersebut:
ضَرَبَ اللّٰہُ
مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ کَفَرُوا امۡرَاَتَ نُوۡحٍ وَّ امۡرَاَتَ لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ
عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ
شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا النَّارَ
مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿ ﴾ وَ ضَرَبَ اللّٰہُ
مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ اٰمَنُوا امۡرَاَتَ فِرۡعَوۡنَ ۘ اِذۡ قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ لِیۡ عِنۡدَکَ
بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ وَ
نَجِّنِیۡ مِنۡ فِرۡعَوۡنَ وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ ﴾ وَ مَرۡیَمَ
ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِیۡۤ اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ مِنۡ
رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ
مِنَ الۡقٰنِتِیۡنَ ﴿٪ ﴾
Allah mengemukakan istri
Nuh dan istri Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di
bawah dua hamba dari hamba-hamba Kami
yang shalih, tetapi keduanya berbuat
khianat kepada kedua suami mereka,
maka mereka berdua sedikit pun tidak
dapat membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada mereka: “Masuklah kamu berdua ke dalam Api beserta
orang-orang yang masuk.” Dan Allah
mengemukakan istri Fir’aun sebagai
misal bagi orang-orang beriman, ketika ia berkata: “Hai Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga,
dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya,
dan selamatkanlah aku dari kaum yang
zalim; dan juga Maryam putri ‘Imran, yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami
meniupkan ke dalamnya Ruh Kami, dan ia menggenapi firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya, dan ia termasuk orang-orang yang patuh. (At-Tahrim [66]:11-13).
Dari
penjelasan mengenai ketiga misal
(perumpamaan) tersebut -- kecuali misal istri durhaka Nabi Nuh
a.s. dan istri durhaka Nabi Luth a.s.
sebagai misal orang-orang kafir – dua misal berikutnya, yakni misal istri Fir’aun dan misal Maryam binti Imran, merupakan peningkatan ruhani
orang-orang beriman, yang mencapai puncaknya pada tingkatan ruhani Isa Ibnu Maryam a.s., setelah melalui tingkat ruhani Maryam binti Imran.
Nafs Lawwamah (Jiwa yang mencela Diri Sendiri)
Sebelum orang-orang beriman mencapai tingkatan ruhani Maryam binti Imran dan tingkatan ruhani Isa Ibnu Maryam a.s. maka keadaan
ruhani orang-orang beriman masih dalam keadaan belum mencapai keselamatan sepenuhnya karena tingkatan ruhani istri Fir’aun merupakan
tingkatan nafs Lawwamah (jiwa yang
menyesali diri - QS.76:2-3), yang kadang-kadang berhasil melampaui ujian
keimanan dan kadang-kadang gagal
yakni tersandung lalu jatuh, dan atas kelemahannya tersebut ia menyesali atau mencela dirinya sendiri.
Namun karena
orang-orang beriman pada tingkatan nafs
Lawwamah telah melakukan upaya
keras melawan berbagai dorongan hawa-nafsunya, karena itu walau pun kadang-kadang mereka tersandung jatuh lalu mencela diri sendiri atas kelemahannya tersebut,.
Sebagai penghargaan terhadap mereka, Allah Swt. telah memuji mereka dalam bentuk persumpahan
mengenai kebenaran adanya Hari Kiamat, karena ketika orang-orang beriman telah mencapai tingkatan nafsu Lawwamah, dalam
jiwanya telah timbul keyakinan akan
adanya Hari Kebangkitan atau Hari Kiamat yang harus mereka hadapi. Tetapi karena keadaan
ruhani mereka masih lemah maka keyakinannya tersebut belum sepenuhnya
dapat menghindarkan jiwa mereka dari ketergelinciran akibat dorongan-dorongan nafs Ammarah yang masih tersisa dalam jiwa mereka, mengenai hal
tersebut Nabi Yusuf a.s. berkata, firman-Nya:
ذٰلِکَ لِیَعۡلَمَ
اَنِّیۡ لَمۡ اَخُنۡہُ بِالۡغَیۡبِ وَ اَنَّ اللّٰہَ
لَا یَہۡدِیۡ کَیۡدَ الۡخَآئِنِیۡنَ ﴿ ﴾ وَ مَاۤ اُبَرِّیُٔ
نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ
بِالسُّوۡٓءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿ ﴾
“Dan aku sama sekali tidak
menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa
menyuruh kepada keburukan, kecuali orang
yang dikasihani oleh Tuhan-ku, sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha
Pe-nyayang.” (Yusuf [12]:54).
Nafs Al-Muthmainnah (Jiwa yang Tentram)
Anak kalimat illa mā rahima rabbi
(kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dapat mempunyai tiga tafsiran yang berlainan: (a)
Kecuali nafs (jiwa) yang kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang, huruf mā
di sini menggantikan kata nafs.
(b) Kecuali dia, yang kepadanya Tuhan-ku berkasih-sayang, mā di sini berarti man (siapa). (c)
Memang begitu, tetapi kasih-sayang Tuhan-lah yang menyelamatkan siapa yang
dipilih-Nya. Ketiga arti tersebut menunjuk kepada ketiga taraf perkembangan ruhani manusia.
Arti pertama illa mā rahima rabbi (kecuali orang yang
dikasihani oleh Tuhan-ku) menunjuk kepada taraf ketika jiwa (nafs) manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan ruhani — tingkat nafs muthmainnah (jiwa yang
tenteram — QS.89:28), firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ
الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾ ارۡجِعِیۡۤ
اِلٰی رَبِّکِ رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾ فَادۡخُلِیۡ فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai
jiwa yang tentram! Kembalilah kepada Tuhan engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia ridha
kepada engkau, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku,
dan masuklah ke dalam surga-Ku “ (Al-Fajr
[98]:28-31).
Tingkatan nafs muthmainnah merupakan tingkatan perkembangan ruhani tertinggi, ketika manusia ridha kepada Allah Swt. dan Allah
Swt. pun ridha kepadanya (QS.58:23).
Pada tingkatan keadaan jiwa ini – yang disebut juga tingkatan surgawi – ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, ia diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus. Ia “menunggal” dengan Allah Swt. dan tidak dapat hidup tanda Dia. Di dunia inilah,
dan bukan sesudah mati, perubahan ruhani
besar terjadi di dalam dirinya; dan di dunia inilah, dan bukan hanya di
akhirat, jalan dibukakan baginya untuk masuk surga.
Nafs Al-Lawwāmah (Jiwa yang Mencela Diri Sendiri)
Arti
kedua illa mā rahima rabbi
(kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dikenakan kepada orang yang masih
pada tingkat nafs Lawwāmah (jiwa yang menyesali diri sendiri — QS.75:3), dan
setelah sampai kepada tingkat “jiwa yang
menyesali diri sendiri” (nafsu Lawwāmah – QS. 75:2-3) kadang-kadang gagal
dan kadang-kadang tergelincir, karena
itu tingkat keadaan nafs (jiwa) ini
disebut tingkat nafs lawwamah
(jiwa yang menyesali diri sendiri), ketika ia berjuang melawan dosa dan kecenderungan-kecenderungan buruknya, kadang-kadang ia mengalahkannya dan kadang-kadang ia dikalahkan olehnya, firman-Nya:
لَاۤ اُقۡسِمُ
بِیَوۡمِ الۡقِیٰمَۃِ ۙ﴿ ﴾ وَ لَاۤ اُقۡسِمُ
بِالنَّفۡسِ اللَّوَّامَۃِ ؕ﴿ ﴾
Aku
bersumpah dengan Hari Kiamat, dan Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali (Al-Qiyamah [76]:2-3).
Kata lā pada
ayat 2 dapat berarti “Hal
itu tidak seperti apa yang disangka mereka.” Kadang-kadang kata itu dipakai
sebagai jawaban terhadap suatu keberatan atau penolakan terhadap apa yang telah
dikatakan sebelumnya (Lexicon Lane).
Al-Quran telah menyebut tiga tingkat perkembangan jiwa manusia. Tingkat
pertama disebut nafs ammarah (jiwa yang tak terkendalikan – QS.12:54),
ketika nafsu kebinatangan atau sifat kehewanan di dalam diri manusia
bersimaharajalela. Tingkat kedua ialah nafs lawwāmah (jiwa yang
menyesali diri – QS.76:2-3), ketika kata-hati
manusia yang telah bangkit menyesalinya
dari berbuat jahat lalu menahan nafsu dan hasratnya. Pada tingkat ini sifat
kemanusiaan di dalam diri manusia memperoleh keunggulan. Itulah permulaan kebangkitan akhlak, dan karena itu
dikatakan di sini sebagai bukti adanya Hari Kiamat (Hari Kebangkitan) terakhir.
Seandainya manusia tidak
mempunyai pertanggung-jawaban, dan
seandainya ia tidak akan diminta pertanggung-jawaban
atas amal-amalnya dalam kehidupan di alam
kemudian, mengapakah ada gangguan
yang menusuk-nusuk kata-hati ketika
melakukan suatu perbuatan jahat?
Tingkat ketiga dan tertinggi pada
perkembangaan ruh (jiwa) manusia
adalah yang disebut nafs Al-Muthmainnah (jiwa yang tenteram – QS.98:27-31).
Pada tingkat ini ruh manusia praktis
menjadi kebal terhadap kegagalan atau tersandung dan ada dalam suasana ketenteraman bersama Khaliq-nya,
Allah Swt.
Arti
ketiga illa mā rahima rabbi
(kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku)
dikenakan kepada orang ketika nafsu kebinatangannya bersimaharajalela
dalam dirinya. Tingkatan ini disebut nafs Ammarah (jiwa yang cenderung
kepada keburukan), firman-Nya:
ذٰلِکَ لِیَعۡلَمَ
اَنِّیۡ لَمۡ اَخُنۡہُ بِالۡغَیۡبِ وَ اَنَّ اللّٰہَ
لَا یَہۡدِیۡ کَیۡدَ الۡخَآئِنِیۡنَ ﴿ ﴾ وَ مَاۤ اُبَرِّیُٔ
نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ
بِالسُّوۡٓءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿ ﴾
“Dan aku sama sekali tidak
menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa
menyuruh kepada keburukan, kecuali orang
yang dikasihani oleh Tuhan-ku, sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha
Pe-nyayang.” (Yusuf [12]:54).
Misal “Maryam binti ‘Imran”
Jadi, mengisyaratkan kepada
tingkat ketiga dan tertinggi pada perkembangaan ruh (jiwa) manusia adalah yang disebut nafs
muthmainnah (jiwa yang tenteram – QS.98:27-31) itulah
firman Allah Swt. selanjutnya:
وَ مَرۡیَمَ ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِیۡۤ
اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا فَنَفَخۡنَا
فِیۡہِ مِنۡ رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا
وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ الۡقٰنِتِیۡنَ
﴿٪﴾
Dan
juga Maryam putri ‘Imran, yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami meniupkan ke dalamnya Ruh Kami, dan ia menggenapi
firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya,
dan ia termasuk orang-orang yang patuh.
(Al-Tahrīm
[66]:13).
Siti Maryam (Maryam binti ‘Imran), ibunda Nabi Isa a.s. melambangkan hamba-hamba Allah yang bertakwa, yang karena telah menutup segala jalan dosa dan karena telah berdamai
dengan Allah Swt. mereka dikaruniai ilham
Ilahi; kata pengganti hi dalam fīhi menunjuk kepada orang-orang beriman yang bernasib
baik serupa itu. Atau, kata pengganti itu dapat pula menggantikan kata farj,
yang secara harfiah berarti celah
atau sela, artinya lubang yang dengan melaluinya dosa dapat masuk.
(Bersambung).
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
“Pajajaran
Anyar”, 1 September 2012
Ki Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar