Jumat, 31 Agustus 2012

Hakikat "Rasa Sakit melahirkan" yang Dialami Maryam binti 'Imran



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


  SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN

Bab 56

 Hakikat Ruhani “Rasa Sakit Melahirkan”
yang Dialami Maryam binti ‘Imran  

 Oleh
                                                                                
Ki Langlang Buana Kusuma


Dalam akhir Bab sebelumnya telah dikemukakan  mengenai  rasa sakit yang diderita Maryam binti ‘Imran ketika melahirkan Isa Ibnu Maryam a.s., firman-Nya:
فَاَجَآءَہَا الۡمَخَاضُ  اِلٰی جِذۡعِ  النَّخۡلَۃِ ۚ قَالَتۡ یٰلَیۡتَنِیۡ مِتُّ قَبۡلَ ہٰذَا  وَ کُنۡتُ نَسۡیًا مَّنۡسِیًّا ﴿﴾
Maka rasa sakit melahirkan  memaksanya pergi ke sebatang pohon kurma. Ia berkata: "Alangkah baiknya jika aku mati sebelum ini dan aku menjadi sesuatu yang dilupakan sama sekali!" (Maryam [19]:24).
       Dalam Bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa sebagimana nampak dari Injil, tidak ada terdapat kamar di rumah penginapan  tempat Nabi Isa a.s. dilahirkan di kota  Bethlehem itu. Yusuf dan  Maryam binti ‘Imran  rupanya terpaksa tinggal di padang terbuka dan   Maryam binti ‘Imran berlindung di bawah sebatang pohon kurma, untuk beristirahat di bawah naungannya, dan boleh jadi juga untuk mendapat tempat bersandar di saat mengalami penderitaan waktu melahirkan bayi.  Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
فَنَادٰىہَا مِنۡ تَحۡتِہَاۤ  اَلَّا تَحۡزَنِیۡ قَدۡ جَعَلَ  رَبُّکِ  تَحۡتَکِ  سَرِیًّا ﴿﴾   وَ ہُزِّیۡۤ  اِلَیۡکِ بِجِذۡعِ النَّخۡلَۃِ  تُسٰقِطۡ عَلَیۡکِ  رُطَبًا جَنِیًّا ﴿۫﴾
Maka ia, malaikat, menyerunya dari arah bawah dia: "Janganlah engkau bersedih hati,  sungguh Tuhan engkau telah membuat anak sungai  di   bawah engkau, dan goyangkan ke arah engkau pelepah batang kurma itu, ia akan menjatuhkan berturut-turut atas engkau buah kurma yang matang lagi segar.”  (Maryam [19]:25-26).

Dua Perumpamaan “Orang-orang yang Beriman

       Sebelum membahas hakikat  ruhani “rasa sakit melahirkan” yang dialami oleh Maryam binti ‘Imran, perlu  kiranya  mengingatkan kembali  para pembaca terhadap  perumpamaan orang-orang yang beriman dalam Surah Al-Tahrim [66]:11-13). Dalam beberapa Bab sebelumnya  telah dikemukakan mengenai  perumpamaan orang-orang yang beriman, yakni (1) sebagai istri Fir’aun, dan (2) sebagai Maryam binti ‘Imran, yang kemudian melahirkan Isa Ibnu Maryam a.s. -- walau pun tanpa didahului    peristiwa  hubungan badan  dengan seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil melalui pernikahan. Berikut  firman Allah Swt. selengkapkan mengenai hal tersebut:
ضَرَبَ اللّٰہُ  مَثَلًا  لِّلَّذِیۡنَ  کَفَرُوا امۡرَاَتَ  نُوۡحٍ وَّ امۡرَاَتَ  لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا  النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿ ﴾  وَ ضَرَبَ اللّٰہُ  مَثَلًا  لِّلَّذِیۡنَ  اٰمَنُوا امۡرَاَتَ  فِرۡعَوۡنَ ۘ اِذۡ  قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ  لِیۡ عِنۡدَکَ  بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ  وَ نَجِّنِیۡ  مِنۡ فِرۡعَوۡنَ  وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ  مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ ﴾   وَ مَرۡیَمَ  ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ  الَّتِیۡۤ  اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا  فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ  مِنۡ  رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ  الۡقٰنِتِیۡنَ ﴿٪ ﴾
Allah mengemukakan istri Nuh  dan istri Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah dua hamba dari hamba-hamba Kami yang shalih, tetapi keduanya berbuat khianat  kepada kedua suami mereka, maka mereka berdua sedikit pun tidak dapat membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada mereka: Masuklah kamu berdua ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.”  Dan Allah mengemukakan istri Fir’aun sebagai  misal bagi orang-orang beriman,  ketika ia berkata: “Hai Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim;  dan juga Maryam putri ‘Imran,  yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami meniupkan ke dalamnya Ruh Kami, dan ia menggenapi firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya, dan ia termasuk orang-orang yang patuh. (At-Tahrim [66]:11-13).
       Dari penjelasan mengenai ketiga misal (perumpamaan) tersebut -- kecuali misal istri durhaka  Nabi Nuh a.s. dan istri durhaka Nabi Luth a.s.  sebagai  misal orang-orang kafir – dua misal berikutnya, yakni misal istri Fir’aun dan misal Maryam binti Imran,   merupakan peningkatan ruhani  orang-orang beriman, yang mencapai puncaknya pada tingkatan ruhani Isa Ibnu Maryam a.s., setelah melalui tingkat ruhani Maryam binti Imran.

Nafs Lawwamah (Jiwa yang mencela Diri Sendiri)

       Sebelum orang-orang beriman mencapai tingkatan ruhani Maryam binti Imran dan tingkatan ruhani Isa Ibnu Maryam a.s.  maka  keadaan  ruhani orang-orang beriman masih dalam keadaan belum mencapai keselamatan sepenuhnya karena tingkatan ruhani istri Fir’aun merupakan tingkatan nafs Lawwamah (jiwa yang menyesali diri - QS.76:2-3), yang kadang-kadang berhasil melampaui ujian keimanan dan kadang-kadang gagal yakni  tersandung lalu jatuh, dan atas kelemahannya tersebut ia menyesali atau mencela dirinya sendiri.
      Namun karena orang-orang beriman pada tingkatan nafs Lawwamah telah  melakukan  upaya keras  melawan  berbagai dorongan hawa-nafsunya, karena itu walau pun kadang-kadang mereka tersandung jatuh lalu mencela diri sendiri atas kelemahannya tersebut,.
      Sebagai penghargaan terhadap mereka,  Allah Swt. telah memuji mereka dalam bentuk persumpahan mengenai kebenaran adanya Hari Kiamat,  karena ketika orang-orang beriman telah mencapai tingkatan nafsu Lawwamah,  dalam jiwanya telah timbul keyakinan akan adanya Hari Kebangkitan atau Hari Kiamat yang harus mereka hadapi. Tetapi  karena keadaan ruhani mereka masih lemah maka keyakinannya tersebut belum sepenuhnya dapat menghindarkan jiwa mereka dari ketergelinciran akibat dorongan-dorongan nafs Ammarah yang masih tersisa dalam jiwa mereka,  mengenai hal tersebut  Nabi Yusuf a.s. berkata, firman-Nya:
ذٰلِکَ لِیَعۡلَمَ اَنِّیۡ لَمۡ اَخُنۡہُ بِالۡغَیۡبِ وَ اَنَّ  اللّٰہَ  لَا یَہۡدِیۡ  کَیۡدَ  الۡخَآئِنِیۡنَ ﴿ ﴾   وَ مَاۤ  اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ  النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ  اِلَّا مَا رَحِمَ  رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿ ﴾
“Dan aku sama sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan, kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku, sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha Pe-nyayang.” (Yusuf [12]:54).

Nafs Al-Muthmainnah (Jiwa yang Tentram)

  Anak kalimat illa mā  rahima rabbi (kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dapat mempunyai tiga tafsiran yang berlainan: (a) Kecuali nafs (jiwa) yang kepadanya Tuhan-ku berkasih sayang, huruf  di sini menggantikan kata nafs. (b) Kecuali dia, yang kepadanya Tuhan-ku berkasih-sayang,  di sini berarti man (siapa). (c) Memang begitu, tetapi kasih-sayang Tuhan-lah yang menyelamatkan siapa yang dipilih-Nya. Ketiga arti tersebut menunjuk kepada ketiga taraf perkembangan ruhani manusia.
       Arti pertama illa mā  rahima rabbi (kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) menunjuk kepada taraf ketika jiwa (nafs) manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan ruhani — tingkat nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram — QS.89:28), firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾   ارۡجِعِیۡۤ  اِلٰی  رَبِّکِ رَاضِیَۃً  مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾   فَادۡخُلِیۡ  فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾  وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tentram! Kembalilah kepada Tuhan engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia ridha kepada engkau, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku “ (Al-Fajr [98]:28-31).
        Tingkatan nafs muthmainnah merupakan tingkatan perkembangan ruhani tertinggi, ketika manusia ridha kepada Allah Swt. dan Allah Swt. pun ridha kepadanya (QS.58:23).  Pada tingkatan  keadaan jiwa ini – yang disebut juga tingkatan surgawi – ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, ia diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus.  Ia “menunggal”  dengan Allah Swt. dan  tidak dapat hidup tanda Dia. Di dunia inilah, dan bukan sesudah mati, perubahan ruhani besar terjadi di dalam dirinya; dan di dunia inilah, dan bukan hanya di akhirat, jalan dibukakan baginya untuk masuk surga.

Nafs Al-Lawwāmah (Jiwa yang Mencela Diri Sendiri)

        Arti kedua illa mā  rahima rabbi (kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku) dikenakan kepada orang yang masih pada tingkat nafs Lawwāmah (jiwa yang menyesali diri sendiri — QS.75:3),    dan setelah sampai kepada tingkat “jiwa yang menyesali diri sendiri” (nafsu Lawwāmah – QS. 75:2-3) kadang-kadang gagal dan kadang-kadang tergelincir, karena itu tingkat keadaan nafs (jiwa) ini disebut  tingkat nafs lawwamah (jiwa yang menyesali diri sendiri),  ketika ia berjuang melawan dosa dan kecenderungan-kecenderungan buruknya, kadang-kadang ia mengalahkannya dan kadang-kadang ia dikalahkan olehnya, firman-Nya:
لَاۤ   اُقۡسِمُ   بِیَوۡمِ  الۡقِیٰمَۃِ ۙ﴿ ﴾   وَ  لَاۤ   اُقۡسِمُ  بِالنَّفۡسِ اللَّوَّامَۃِ ؕ﴿ ﴾
Aku bersumpah dengan Hari Kiamat, dan Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali (Al-Qiyamah [76]:2-3).
  Kata   pada ayat 2  dapat berarti  Hal itu tidak seperti apa yang disangka mereka.” Kadang-kadang kata itu dipakai sebagai jawaban terhadap suatu keberatan atau penolakan terhadap apa yang telah dikatakan sebelumnya (Lexicon Lane).
  Al-Quran telah menyebut tiga tingkat perkembangan jiwa manusia. Tingkat pertama disebut nafs ammarah (jiwa yang tak terkendalikan – QS.12:54), ketika nafsu kebinatangan atau sifat kehewanan di dalam diri manusia bersimaharajalela. Tingkat kedua ialah nafs lawwāmah (jiwa yang menyesali diri – QS.76:2-3), ketika kata-hati manusia yang telah bangkit menyesalinya dari berbuat jahat lalu menahan nafsu dan hasratnya. Pada tingkat ini sifat kemanusiaan di dalam diri manusia memperoleh keunggulan. Itulah permulaan kebangkitan akhlak, dan karena itu dikatakan di sini sebagai bukti adanya Hari Kiamat (Hari Kebangkitan) terakhir.
   Seandainya  manusia tidak mempunyai pertanggung-jawaban, dan seandainya ia tidak akan diminta pertanggung-jawaban atas amal-amalnya dalam kehidupan di alam kemudian, mengapakah ada gangguan yang menusuk-nusuk kata-hati ketika melakukan suatu perbuatan jahat?
    Tingkat ketiga dan tertinggi pada perkembangaan ruh (jiwa) manusia adalah yang disebut nafs Al-Muthmainnah (jiwa yang tenteram – QS.98:27-31). Pada tingkat ini ruh manusia praktis menjadi kebal terhadap kegagalan atau tersandung dan ada dalam suasana ketenteraman bersama Khaliq-nya, Allah Swt.
       Arti ketiga illa mā  rahima rabbi (kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku)  dikenakan kepada orang  ketika nafsu kebinatangannya bersimaharajalela dalam dirinya. Tingkatan ini disebut nafs Ammarah (jiwa yang cenderung kepada keburukan), firman-Nya:
ذٰلِکَ لِیَعۡلَمَ اَنِّیۡ لَمۡ اَخُنۡہُ بِالۡغَیۡبِ وَ اَنَّ  اللّٰہَ  لَا یَہۡدِیۡ  کَیۡدَ  الۡخَآئِنِیۡنَ ﴿ ﴾   وَ مَاۤ  اُبَرِّیُٔ نَفۡسِیۡ ۚ اِنَّ  النَّفۡسَ لَاَمَّارَۃٌۢ بِالسُّوۡٓءِ  اِلَّا مَا رَحِمَ  رَبِّیۡ ؕ اِنَّ رَبِّیۡ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿ ﴾
“Dan aku sama sekali tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu ammarah itu senantiasa menyuruh kepada keburukan, kecuali orang yang dikasihani oleh Tuhan-ku, sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha Pe-nyayang.” (Yusuf [12]:54).

Misal “Maryam binti ‘Imran”

    Jadi, mengisyaratkan  kepada   tingkat ketiga dan tertinggi pada perkembangaan ruh (jiwa) manusia adalah yang disebut nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram – QS.98:27-31)  itulah  firman Allah Swt. selanjutnya:
 وَ مَرۡیَمَ  ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ  الَّتِیۡۤ  اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا  فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ  مِنۡ  رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ  الۡقٰنِتِیۡنَ ﴿٪﴾
Dan juga Maryam putri ‘Imran,  yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami meniupkan ke dalamnya Ruh Kami,  dan ia menggenapi firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya, dan ia termasuk orang-orang yang patuh. (Al-Tahrīm [66]:13).
    Siti Maryam (Maryam binti ‘Imran),  ibunda Nabi Isa a.s. melambangkan hamba-hamba Allah yang bertakwa, yang karena telah menutup segala jalan dosa dan karena telah berdamai dengan Allah Swt. mereka dikaruniai ilham Ilahi; kata pengganti hi dalam fīhi  menunjuk kepada orang-orang beriman yang bernasib baik serupa itu. Atau, kata pengganti itu dapat pula menggantikan kata farj, yang secara harfiah berarti celah atau sela, artinya lubang yang dengan melaluinya dosa dapat masuk.

(Bersambung). 

Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar”, 1 September 2012
Ki Langlang Buana Kusuma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar