Jumat, 10 Agustus 2012

Para Rasul Allah Tidak Pernah Mengajarkan Kemusyrikan



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


  SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN

Bab 37

Para Rasul Allah Tidak Pernah 
Mengajarkan Kemusyrikan 
                                                                                
Oleh
                                                                                
Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam  akhir Bab 36 sebelumnya telah dikemukakan  sehubungan  khazanah ilmu pengetahuan yang terkandung   Al-Quran yang tak terhingga, seperti halnya alam semesta kebendaan, Al-Quran merupakan alam semesta keruhanian, di mana tersembunyi khazanah-khazanah ilmu keruhanian yang dibukakan kepada manusia sesuai dengan keperluan zaman. Firman-Nya lagi:
قُلۡ لَّوۡ کَانَ الۡبَحۡرُ مِدَادًا لِّکَلِمٰتِ رَبِّیۡ لَنَفِدَ الۡبَحۡرُ  قَبۡلَ اَنۡ تَنۡفَدَ کَلِمٰتُ رَبِّیۡ وَ لَوۡ  جِئۡنَا بِمِثۡلِہٖ  مَدَدًا ﴿﴾
Katakanlah: "Seandainya lautan menjadi tinta untuk me­nuliskan kalimat-kalimat Tuhan-ku, niscaya  lautan itu akan habis se­belum kalimat-kalimat Tuhan-ku habis dituliskan, sekalipun Kami mendatangkan sebanyak itu lagi sebagai tambahannya (Al-Kahf [18]:110). 
Firman-Nya lagi:
وَ لَوۡ اَنَّ مَا فِی الۡاَرۡضِ مِنۡ شَجَرَۃٍ  اَقۡلَامٌ  وَّ  الۡبَحۡرُ  یَمُدُّہٗ  مِنۡۢ بَعۡدِہٖ سَبۡعَۃُ  اَبۡحُرٍ  مَّا نَفِدَتۡ  کَلِمٰتُ اللّٰہِ ؕ اِنَّ  اللّٰہَ  عَزِیۡزٌ  حَکِیۡمٌ ﴿
Dan  seandainya pohon-pohon  di bumi ini menjadi pena dan laut    ditambahkan kepadanya  sesudahnya tujuh  laut menjadi tinta,  kalimat Allāh sekali-kali tidak akan habis. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (Luqman [31]:28).
       Bilangan “7” dan “70” digunakan dalam bahasa Arab adalah menyatakan jumlah besar, dan bukan benar-benar “tujuh” dan “tujuh puluh” sebagai angka-angka bilangan lazim.
      Mengakhiri 10 ayat terakhir Surah Al-Kahf selanjutnya Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
قُلۡ اِنَّمَاۤ  اَنَا بَشَرٌ  مِّثۡلُکُمۡ  یُوۡحٰۤی  اِلَیَّ اَنَّمَاۤ  اِلٰـہُکُمۡ  اِلٰہٌ  وَّاحِدٌ ۚ فَمَنۡ کَانَ یَرۡجُوۡا لِقَآءَ رَبِّہٖ فَلۡیَعۡمَلۡ عَمَلًا صَالِحًا وَّ لَا یُشۡرِکۡ بِعِبَادَۃِ  رَبِّہٖۤ  اَحَدًا ﴿ ﴾٪   
Katakanlah: ”Sesungguh­nya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, tetapi telah diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan-mu adalah Tuhan Yang Maha Esa,   maka barangsiapa mengharap akan bertemu  dengan Tuhan-nya hendaklah ia beramal shalih dan ia jangan  meper­sekutukan siapa pun dalam ber­ibadah kepada Tuhan-nya."  (Al-Kahf [18]:111). 
    Nabi Besar Muhammad saw.  diriwayatkan telah bersabda bahwa pembacaan 10 ayat pertama dan 10 ayat terakhir Surah ini menjamin keselamatan seseorang terhadap serangan-serangan ruhani dari Dajjal. Hal itu menunjukkan bahwa Dajjal dan Ya’juj (Gog) serta Ma’juj  (Magog) adalah bangsa itu-itu juga, yaitu bangsa-bangsa Kristen dari barat.
 Kata Dajjal menggambarkan propaganda keagamanan mereka yang membawa kemudaratan kepada Islam, sedang Ya’juj (Gog) dan Ma’juj (Magog) menggambarkan kekuatan dan kekuasaan mereka di bidang kebendaan dan politik, yang di Akhir Zaman ini dijadikan sarana oleh Allah Swt. untuk menghukum umat Islam (Bani Isma’il), sebagaimana yang terjadi sebelumnya pada Bani Israil (QS.17:5-8).

Perbedaan Ajaran Tauhid dengan Kemusyrikan

    Pernyataan Allah Swt. dalam ayat terakhir Surah Al-Kahf tersebut sesuai dengan firman-Nya berikut ini, tentang  ketidak-mungkinan seorang rasul Allah – termasuk Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. – mengajarkan para pengikutnya supaya menyembah beliau sebagai “Tuhan  sembahan” selain Allah Swt. (QS.5:117-119), firman-Nya:
 مَا کَانَ لِبَشَرٍ اَنۡ یُّؤۡتِیَہُ اللّٰہُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحُکۡمَ وَ النُّبُوَّۃَ ثُمَّ یَقُوۡلَ لِلنَّاسِ کُوۡنُوۡا عِبَادًا لِّیۡ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ لٰکِنۡ کُوۡنُوۡا رَبّٰنِیّٖنَ بِمَا کُنۡتُمۡ تُعَلِّمُوۡنَ الۡکِتٰبَ وَ بِمَا کُنۡتُمۡ  تَدۡرُسُوۡنَ ﴿ۙ﴾  وَ لَا یَاۡمُرَکُمۡ اَنۡ تَتَّخِذُوا الۡمَلٰٓئِکَۃَ وَ النَّبِیّٖنَ اَرۡبَابًا ؕ اَیَاۡمُرُکُمۡ بِالۡکُفۡرِ بَعۡدَ اِذۡ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ ﴿٪﴾
Sekali-kali tidak mungkin  bagi seorang manusia yang kepadanya Allah memberi Kitab, Kekuasaan, dan  kenabian,  kemudian ia  berkata kepada manusia: “Jadilah kamu hamba-hamba-Ku, bukannya hamba-hamba Allah”,  tetapi ia akan berkata:  Jadilah kamu orang yang berbakti hanya kepada Allah, karena kamu senantiasa mengajarkan Kitab, kamu senantiasa mempelajarinya, dan kamu senantiasa membacanya.”  Dan tidak  pula ia akan menyuruh kamu supaya kamu menjadikan malaikat-malaikat dan nabi-nabi sebagai tuhan-tuhan. Apakah  ia akan menyuruhmu  kafir  setelah kamu menjadi  orang-orang yang berserah diri kepada Allah?   (Ali ‘Imran [80-81).
      Kalimat  mā kāna lahu dipakai dalam tiga pengertian: (a) tidak layak baginya berbuat demikian; (b) tidak mungkin baginya berbuat demikian; atau tidak masuk akal ia sampai berbuat demikian; (c) tidak ada kemungkinan ia dapat berbuat demikian, yakni secara fisik mustahil ia berbuat demikian.
       Rabbaniyyīn itu jamak dari Rabbaniy yang berarti: (1) orang yang mewakafkan diri untuk mengkhidmati agama atau menyediakan dirinya untuk menjalankan ibadah; (2) orang yang memiliki ilmu Ilahiyyat (Ketuhanan); (3) orang yang ahli dalam pengetahuan agama, atau seorang yang baik dan bertakwa; (4) guru yang mulai mem-berikan kepada orang-orang pengetahuan atau ilmu yang ringan-ringan sebelum beranjak ke ilmu-ilmu yang berat-berat; (5) induk semang atau majikan atau pemimpin; (6) seorang muslih (pembaharu). (Lexicon Lane;  Sibawaih, dan Mubarrad).
   Kata-kata: Karena kamu senantiasa mengajarkan Al-Kitab dan senantiasa mempelajarinya, menunjukkan bahwa telah menjadi kewajiban bagi semua yang telah meraih ilmu keruhanian, agar mereka meneruskannya kepada orang-orang lain dan jangan membiarkan orang-orang meraba-raba dalam kegelapan, kejahilan atau kebodohan. Bandingkan dengan firman-Nya berikut ini:
 وَ قَالَتِ الۡیَہُوۡدُ عُزَیۡرُۨ  ابۡنُ اللّٰہِ وَ قَالَتِ النَّصٰرَی الۡمَسِیۡحُ  ابۡنُ  اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ قَوۡلُہُمۡ بِاَفۡوَاہِہِمۡ ۚ یُضَاہِـُٔوۡنَ  قَوۡلَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ قٰتَلَہُمُ اللّٰہُ ۚ۫ اَنّٰی  یُؤۡفَکُوۡنَ ﴿﴾   اِتَّخَذُوۡۤا اَحۡبَارَہُمۡ وَ رُہۡبَانَہُمۡ اَرۡبَابًا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ مَرۡیَمَ ۚ وَ مَاۤ  اُمِرُوۡۤا  اِلَّا  لِیَعۡبُدُوۡۤا  اِلٰـہًا  وَّاحِدًا ۚ لَاۤ اِلٰہَ  اِلَّا ہُوَ ؕ سُبۡحٰنَہٗ عَمَّا یُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾   یُرِیۡدُوۡنَ  اَنۡ یُّطۡفِـُٔوۡا نُوۡرَ اللّٰہِ بِاَفۡوَاہِہِمۡ وَ یَاۡبَی اللّٰہُ  اِلَّاۤ  اَنۡ  یُّتِمَّ  نُوۡرَہٗ وَ لَوۡ  کَرِہَ  الۡکٰفِرُوۡنَ ﴿﴾   ہُوَ الَّذِیۡۤ  اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ  بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ کَرِہَ  الۡمُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾
Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair adalah  anak Allah”, dan orang-orang Nasrani berkata: “Al-Masih adalah  anak  Allah.” Demikian itulah perkataan mereka dengan mulutnya, mereka  meniru-niru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah membinasakan mereka, bagaimana mereka sampai dipalingkan dari Tauhid?  Mereka telah menjadikan ulama-ulama mereka dan rahib-rahib mereka  sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan begitu juga Al-Masih ibnu Maryam, padahal  mereka tidak diperintahkan melainkan supaya mereka menyembah Tuhan Yang Mahaesa. Tidak ada Tuhan kecuali Dia. Maha-Suci Dia dari apa yang mereka sekutukan.    Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah  dengan mulut mereka, tetapi Allah menolak bahkan menyempurnakan cahaya-Nya, walau pun orang-orang kafir tidak menyukai.  (Al-Taubah [9]:30-32).

 (Bersambung). 


Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid
 
 ***

Pajajaran Anyar”, 21 Ramadhan 2012
Ki Langlang Buana Kusuma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar