Rabu, 31 Oktober 2012

Kaum-kaum Purbakala yang Diazab Allah Swt.




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


  SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN



Bab 115
    
Kaum-kaum Purbakala 
yang Diazab Allah Swt. 

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma


Dalam bagian   Bab sebelumnya  Allah Swt. dalam Al-Quran   telah mengemukakan  tiga tingkat keyakinan (yakin) dalam Surah Al-Takatstsur atas dasar pengalaman kehidupan duniawi yang dijalani manusia dengan melampaui batas, firman-Nya:  
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  اَلۡہٰکُمُ  التَّکَاثُرُ ۙ﴿﴾   حَتّٰی زُرۡتُمُ  الۡمَقَابِرَ ؕ﴿﴾ کَلَّا  سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ۙ﴿﴾   ثُمَّ  کَلَّا سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ؕ﴿﴾  کَلَّا لَوۡ تَعۡلَمُوۡنَ عِلۡمَ  الۡیَقِیۡنِ ؕ﴿﴾   لَتَرَوُنَّ  الۡجَحِیۡمَ ۙ﴿﴾ ثُمَّ لَتَرَوُنَّہَا عَیۡنَ الۡیَقِیۡنِ ۙ﴿ ﴾   ثُمَّ لَتُسۡـَٔلُنَّ یَوۡمَئِذٍ عَنِ النَّعِیۡمِ ٪﴿ ﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.  Dalam  upaya memperbanyak kekayaan telah melalaikan kamu, hingga kamu sampai di kuburan.  Sekali-kali tidak, segera kamu akan mengetahui,  kemudian, sekali-kali tidak demikian, segera kamu akan mengetahui.  Sekali-kali tidak! Jika kamu mengetahui hakikat itu dengan ilmu yakin, niscaya kamu akan melihat Jahannam, Kemudian kamu niscaya  akan melihatnya  dengan mata yakin.  Kemudian pada hari itu kamu pasti akan ditanya (diminta pertanggungjawaban)  mengenai kenikmatan.  (Al-Takatstsur [102]:1-9).
        Kembali kepada pokok pembahasan dalam Surah Ya Sin 72-74, bahwa sebagaimana Allah Swt. menganugerahkan rezeki jasmani, demikian juga halnya dengan rezeki ruhani untuk kepentingan perkembangan akhlak dan ruhani manusia, firman-Nya:
اَوَ لَمۡ یَرَوۡا اَنَّا خَلَقۡنَا لَہُمۡ مِّمَّا عَمِلَتۡ اَیۡدِیۡنَاۤ  اَنۡعَامًا فَہُمۡ  لَہَا مٰلِکُوۡنَ ﴿﴾  وَ ذَلَّلۡنٰہَا لَہُمۡ  فَمِنۡہَا رَکُوۡبُہُمۡ  وَ  مِنۡہَا یَاۡکُلُوۡنَ ﴿﴾   وَ لَہُمۡ  فِیۡہَا مَنَافِعُ  وَ  مَشَارِبُ ؕ اَفَلَا یَشۡکُرُوۡنَ ﴿﴾ وَ اتَّخَذُوۡا مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ اٰلِہَۃً  لَّعَلَّہُمۡ یُنۡصَرُوۡنَ ﴿ؕ﴾   لَا یَسۡتَطِیۡعُوۡنَ نَصۡرَہُمۡ ۙ وَ ہُمۡ   لَہُمۡ  جُنۡدٌ  مُّحۡضَرُوۡنَ ﴿﴾   فَلَا یَحۡزُنۡکَ قَوۡلُہُمۡ ۘ اِنَّا نَعۡلَمُ مَا یُسِرُّوۡنَ  وَ مَا  یُعۡلِنُوۡنَ ﴿﴾  
Apakah mereka tidak melihat  bahwasanya dari antara barang-barang yang telah dibuat oleh tangan Kami,  Kami telah menciptakan binatang ternak bagi mereka lalu  mereka menjadi pemiliknya. Dan Kami telah menundukkannya bagi mereka maka sebagian  darinya menjadi tunggangan mereka dan sebagian  darinya mereka makan. Dan bagi mereka di dalam binatang-binatang itu terdapat banyak manfaat dan minuman. Apakah mereka tidak bersyukur? Dan bagi mereka di dalam binatang-binatang itu terdapat banyak manfaat dan minuman. Apakah mereka tidak bersyukur?  (Yā Sīn [36]:72-74).   
       Jika Allah Swt. telah memberi jaminan bagi segala keperluan  yang diperlukan orang guna memenuhi segala kepentingan dan keperluan jasmaninya, maka tidak masuk akal bahwa Dia akan melalaikan memberikan jaminan bagi segala keperluan akhlak dan ruhaninya.

Tidak Bersyukur Kepada Allah Swt. &
Al-Furqān yang Penuh Berkat

      Namun daripada bersyukur kepada Allah Swt. yang  dengan sifat Rahmāniyat-Nya telah menyediakan berbagai hal yang diperlukan oleh umat manusia (QS.14:35; QS.16:19), kebanyakan manusia malah mempersekutukan Allah Swt. dengan berbagai bentuk sembahan yang batil – termasuk menyembah kehidupan duniawi  atau mempertuhankan kemampuan dan ilmu yang dimilikinya,  contohnya Qarun (QS.28:77-79) --  firman-Nya:
وَ اتَّخَذُوۡا مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ اٰلِہَۃً  لَّعَلَّہُمۡ یُنۡصَرُوۡنَ ﴿ؕ ﴾   لَا یَسۡتَطِیۡعُوۡنَ نَصۡرَہُمۡ ۙ وَ ہُمۡ   لَہُمۡ  جُنۡدٌ  مُّحۡضَرُوۡنَ ﴿ ﴾
Dan mereka telah menjadikan sembahan-sembahan selain Allah supaya mereka ditolong.  Sembahan-sembahan itu tidak mampu menolong mereka,  sedangkan mereka adalah lasykar yang akan dihadirkan untuk menentang mereka. Maka janganlah menyedihkan engkau ucapan mereka, sesungguhnya  Kami mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka tampakkan.  (Yā Sīn [36]:75-76).

Kaum Nabi  Nuh a.s.

       Penyembahan terhadap kehidupan duniawi tersebut telah berlangsung  sejak zaman Nabi Nuh a.s., dimana kaum Nabi Nuh a.s. telah menjadikan kesuksesan kehidupan duniawi sebagai alasan penolakan mereka untuk beriman kepada Nabi Nuh a.s. yang memperingatkan mereka  dari berbagai bentuk kemusyrikan yang mereka lakukan,  firman-Nya:
فَقَالَ الۡمَلَاُ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ قَوۡمِہٖ مَا نَرٰىکَ اِلَّا بَشَرًا مِّثۡلَنَا وَ مَا نَرٰىکَ اتَّبَعَکَ اِلَّا الَّذِیۡنَ ہُمۡ اَرَاذِلُنَا بَادِیَ الرَّاۡیِ ۚ وَ مَا نَرٰی لَکُمۡ  عَلَیۡنَا مِنۡ فَضۡلٍۭ  بَلۡ  نَظُنُّکُمۡ  کٰذِبِیۡنَ ﴿﴾
Maka   pemuka-pemuka yang kafir dari kalangan kaumnya berkata: “Kami sama sekali tidak memandang engkau melainkan seorang manusia seperti kami, dan kami sama sekali tidak melihat mereka yang mengikuti engkau melainkan orang-orang yang keadaan lahirnya  paling hina di antara kami. Dan  kami  tidak melihat pada kamu suatu pun kelebihan atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah pendusta.” (Hūd [11]:28).
     Atas penghinaan  dan alasan penolakan para pemuka kaumnya yang sangat bangga akan kedudukan sosialnya tersebut Nabi Nuh a.s. antara lain menjawab, firman-Nya:
وَ لَاۤ   اَقُوۡلُ  لَکُمۡ  عِنۡدِیۡ خَزَآئِنُ اللّٰہِ وَ لَاۤ  اَعۡلَمُ  الۡغَیۡبَ وَ لَاۤ  اَقُوۡلُ  اِنِّیۡ مَلَکٌ وَّ لَاۤ  اَقُوۡلُ لِلَّذِیۡنَ تَزۡدَرِیۡۤ اَعۡیُنُکُمۡ  لَنۡ  یُّؤۡتِیَہُمُ  اللّٰہُ خَیۡرًا ؕ اَللّٰہُ  اَعۡلَمُ  بِمَا فِیۡۤ  اَنۡفُسِہِمۡ ۚۖ اِنِّیۡۤ  اِذًا لَّمِنَ  الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ ﴾
“Dan  tidak pula aku berkata kepada kamu: “Padaku ada khazanah dari Allah. Tidak pula aku mengetahui yang gaib dan tidak pula aku mengatakan: “Sesungguhnya aku malaikat.” Dan tidak pula aku mengatakan mengenai orang-orang yang dipandang hina oleh mata kamu: “Allah tidak akan pernah memberikan kebaikan apa pun kepada mereka.” Allah lebih mengetahui yang ada dalam diri mereka, sesungguhnya jika demikian niscaya aku termasuk orang-orang yang zalim.”  (Hūd [11]:32).

Kaum Nabi Hud a.s.

  Demikian pula halnya dengan kaum ‘Ad, mereka bangga dengan berbagai keberhasilan duniawi mereka, terutama kekuatan militernya, yang mereka gunakan untuk melakukan penyerbuan-penyerbuan  dengan bengis kepada kaum-kaum lain, sehingga mereka mendustakan  Nabi Hud a.s., yang memperingatkan mereka,  firman-Nya:
کَذَّبَتۡ  عَادُۨ    الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾ۚۖ   اِذۡ  قَالَ لَہُمۡ  اَخُوۡہُمۡ ہُوۡدٌ  اَلَا تَتَّقُوۡنَ ﴿﴾ۚ   اِنِّیۡ  لَکُمۡ  رَسُوۡلٌ  اَمِیۡنٌ ﴿﴾ۙ   فَاتَّقُوا  اللّٰہَ  وَ  اَطِیۡعُوۡنِ ﴿﴾ۚ   وَ مَاۤ  اَسۡـَٔلُکُمۡ عَلَیۡہِ  مِنۡ اَجۡرٍ ۚ اِنۡ اَجۡرِیَ   اِلَّا  عَلٰی  رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ؕ   اَتَبۡنُوۡنَ بِکُلِّ رِیۡعٍ  اٰیَۃً  تَعۡبَثُوۡنَ ﴿﴾  وَ تَتَّخِذُوۡنَ مَصَانِعَ لَعَلَّکُمۡ تَخۡلُدُوۡنَ ﴿﴾ۚ   وَ  اِذَا  بَطَشۡتُمۡ  بَطَشۡتُمۡ  جَبَّارِیۡنَ ﴿﴾ۚ  فَاتَّقُوا اللّٰہَ  وَ  اَطِیۡعُوۡنِ ﴿﴾ۚ  وَ اتَّقُوا الَّذِیۡۤ  اَمَدَّکُمۡ بِمَا تَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾ۚ  اَمَدَّکُمۡ   بِاَنۡعَامٍ  وَّ  بَنِیۡنَ ﴿﴾ۚۙ  وَ  جَنّٰتٍ  وَّ  عُیُوۡنٍ ﴿﴾ۚ   اِنِّیۡۤ  اَخَافُ عَلَیۡکُمۡ عَذَابَ یَوۡمٍ عَظِیۡمٍ ﴿﴾ؕ   قَالُوۡا سَوَآءٌ  عَلَیۡنَاۤ  اَوَ عَظۡتَ اَمۡ  لَمۡ تَکُنۡ   مِّنَ  الۡوٰعِظِیۡنَ ﴿﴾ۙ  اِنۡ  ہٰذَاۤ   اِلَّا  خُلُقُ  الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿﴾ۙ  وَ مَا نَحۡنُ  بِمُعَذَّبِیۡنَ ﴿﴾ۚ  فَکَذَّبُوۡہُ  فَاَہۡلَکۡنٰہُمۡ ؕ اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ لَاٰیَۃً ؕ وَ مَا کَانَ اَکۡثَرُہُمۡ مُّؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾  وَ  اِنَّ  رَبَّکَ  لَہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الرَّحِیۡمُ ﴿﴾٪
Kaum ‘Ad telah mendustakan rasul-rasul.   Ketika Hud, saudara mereka,  berkata kepada mereka: “Tidakkah kamu mau bertakwa?   Sesungguhnya aku bagi kamu seorang rasul yang terpercaya, maka bertakwalah kepada Allah  dan taatlah kepadaku, dan untuk itu aku sekali-kali tidak meminta upah dari kamu, sesungguhnya ganjaranku hanyalah pada Tuhan seluruh alam.   Apakah kamu membangun monumen pada tiap-tiap tanah yang tinggi   untuk hal yang sia-sia?  Dan kamu mendirikan istana-istana supaya kamu akan hidup selamanyaDan apabila kamu menangkap seseorang, kamu menangkap seperti orang-orang yang kejam.   Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan bertakwalah kepada Dzat Yang telah membantu  kamu dengan apa yang kamu ketahui,   Dia telah membantu  kamu dengan binatang ternak dan anak-anak lelaki,  dan kebun-kebun serta  mata air-mata air.   Sesungguhnya aku khawatir atas kamu  azab Hari yang besar.  Mereka berkata: “Sama saja bagi kami apakah engkau memperingatkan  atau pun engkau tidak termasuk orang-orang yang memperingatkan, ini tidak lain melainkan adat-kebiasaan  orang-orang dahulu,   dan kami tidak akan di-azab.”    Maka orang-orang itu mendustakannya, dan Kami membinasakan mereka. Sesungguhnya dalam hal yang demikian itu ada Tanda, tetapi kebanyakan mereka tidak beriman.   Dan sesungguhnya Tuhan-mu, Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Penyayang. (Al-Syu’ara [26]:124-141).
      Ayat ini, ayat-ayat yang sebelumnya, dan yang berikutnya menunjukkan, bahwa kaum ‘Ad adalah bangsa yang gagah-perkasa dan beradab. Mereka telah mencapai kemajuan besar dalam ilmu pengetahuan di zaman mereka. Mereka membangun kubu-kubu pertahanan, istana-istana, dan waduk-waduk raksasa. Mereka mempunyai tempat-tempat istirahat, pabrik-pabrik, dan bengkel-bengkel mekanis. Mereka istimewa sekali maju dalam seni bangunan. Mereka menemukan senjata-senjata dan perkakas-perkakas perang yang baru, dan mendirikan tugu-tugu raksasa  sebagai tanda kemegahan mereka.
        Pendek kata, seperti keadaan bangsa Barat dewasa ini, mereka memiliki sarana-sarana kehidupan serba pelik yang patut dimiliki suatu bangsa yang sangat tinggi peradabannya. Mereka mencapai kemajuan-kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan; akan tetapi mereka menjadi lengah terhadap ajaran luhur dari sejarah, yakni, bahwa bangsa-bangsa mendapat kekuatan yang hakiki, bukanlah dari hal-hal yang bersifat kebendaan, melainkan dari cita-cita yang tinggi dan budi pekerti yang baik.
     Karena akhlak mereka menjadi rusak dan keruhanian mereka mundur, dan mereka menutup telinga terhadap peringatan-peringatan dari nabi-nabi mereka untuk mengubah tingkah lakunya, mereka menjadi mangsa bagi laknat mengerikan, mengalami nasib yang tidak bisa dielakkan oleh mereka yang menganggap sepi peringatan Allah Swt. yang disampaikan para rasul-Nya.  

Kaum Nabi Shaleh a.s.

       Mengenai keadaan duniawi kaum Tsamud yang mendustakan dan menentang Nabi Saleh a.s., Allah Swt. berfirman:
کَذَّبَتۡ ثَمُوۡدُ  الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾ۚۖ   اِذۡ قَالَ لَہُمۡ اَخُوۡہُمۡ صٰلِحٌ  اَلَا تَتَّقُوۡنَ ﴿﴾ۚ  اِنِّیۡ   لَکُمۡ  رَسُوۡلٌ اَمِیۡنٌ ﴿﴾ۙ   فَاتَّقُوا اللّٰہَ  وَ اَطِیۡعُوۡنِ ﴿﴾ۚ   وَ مَاۤ  اَسۡـَٔلُکُمۡ عَلَیۡہِ مِنۡ اَجۡرٍ ۚ اِنۡ اَجۡرِیَ   اِلَّا عَلٰی  رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ؕ   اَتُتۡرَکُوۡنَ  فِیۡ  مَا ہٰہُنَاۤ  اٰمِنِیۡنَ ﴿﴾ۙ   فِیۡ  جَنّٰتٍ  وَّ عُیُوۡنٍ ﴿﴾ۙ  وَّ  زُرُوۡعٍ  وَّ  نَخۡلٍ طَلۡعُہَا ہَضِیۡمٌ ﴿﴾ۚ   وَ تَنۡحِتُوۡنَ مِنَ الۡجِبَالِ بُیُوۡتًا فٰرِہِیۡنَ ﴿﴾ۚ  فَاتَّقُوا اللّٰہَ  وَ اَطِیۡعُوۡنِ ﴿﴾ۚ  وَ لَا تُطِیۡعُوۡۤا  اَمۡرَ  الۡمُسۡرِفِیۡنَ ﴿﴾ۙ  الَّذِیۡنَ یُفۡسِدُوۡنَ فِی الۡاَرۡضِ وَ لَا یُصۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Kaum Tsamud  telah mendustakan rasul-rasul,   ketika, Shalih, saudara mereka, berkata kepada mereka: “Tidakkah kamu mau bertakwa?  Sesungguhnya aku bagi kamu seorang rasul yang terpercaya,   maka bertakwalah kepada Allah, dan taatlah kepadaku.   Dan aku sekali-kali tidak meminta upah dari kamu untuk itu, se-sungguhnya ganjaranku hanyalah pada Tuhan seluruh alam.   Apakah kamu akan dibiarkan tinggal di sini dengan aman,    di tengah kebun-kebun dan mata air-mata air.   Dan ladang-ladang serta  pohon-pohon kurma dengan mayangnya yang hampir patah karena lebat?    Dan kamu memahat sebagian gunung-gunung sebagai rumah-rumah untuk kemegahan?  Maka bertakwalah kepada Allah  dan taatlah kepadaku, Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melampaui batas,    yaitu orang-orang yang melakukan kerusakan di bumi dan mereka tidak mengadakan perbaikan.  (Al-Syu’ara [26]:142-153).
     Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya membicarakan suku bangsa Tsamud. Menurut Futuh asy-Syam, mereka suatu bangsa gagah perkasa. Kekuasaan dan kedaulatan mereka telah meluas dari Basrah sebuah kota di Siria sampai Aden. Mereka sudah sangat maju  dalam bidang pertanian dan seni bangunan, dan merupakan suatu kaum yang sangat tinggi peradaban dan kebudayaannya.  Farihīn selain “kemegahan”, berarti juga dengan keahlian dan kemahiran yang tinggi (Lexicon Lane): “Dan kamu memahat sebagian gunung-gunung sebagai rumah-rumah untuk kemegahan?“  (QS.26:150).
    Suku bangsa ini telah disebut-sebut oleh ahli-ahli sejarah Yunani. Mereka diletakkan dalam masa yang tidak lama sebelum zaman Masehi. Hijr atau Agra, sebagaimana mereka sebutkan, dikatakan sebagai tanah air mereka. Al-Hijr yang juga telah dikenal sebagai Madaini Shalih (Kota-kota Shalih) dan yang agaknya telah menjadi ibukota negeri bangsa ini, terletak di antara Madinah dan Tabuk, dan lembah di  mana kota itu terletak, disebut Wadi Qura.
    Al-Quran menggambarkan mereka sebagai keturunan langsung kaum ‘Ad (QS.7:75). Patut diperhatikan, bahwa kisah Nabi-nabi Nuh a.s., Hud a.s., dan Shalih a.s. telah diberikan pada berbagai tempat dalam Al-Quran; dan di mana-mana urutannya sama, yakni, kisah Nabi Nuh a.s. mendahului kisah Nabi Hud a.s., dan kisah Nabi Hud a.s. mendahului kisah Nabi Shalih a.s., yang merupakan urutan kronologis (urutan waktu) yang sebenarnya.
         Hal ini menunjukkan bahwa Al-Quran, dengan tepat dan sesuai urutan sejarah, menerangkan kenyataan-kenyataan sejarah dari masa jauh silam lagi terlupakan dan sama sekali tertutup oleh kabut kesamaran, dengan demikian Al-Quran pun merupakan kitab catatan sejarah bangsa-bangsa yang abadi dan tidak mungkin keliru.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar”, 31 Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma

Selasa, 30 Oktober 2012

Hakikat "Belenggu" dan "Rantai Pengikat" di Akhirat & Luasnya "Surga"




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


  SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN



Bab 114
    
Hakikat “Belenggu” dan “Rantai Pengikat”
di Akhirat & Luasnya “Surga”  


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma


Dalam bagian akhir Bab sebelumnya  Allah Swt. dalam Al-Quran telah mengemukakan   tiga tingkat keyakinan (yakin) dalam Surah Al-Takatstsur atas dasar pengalaman kehidupan duniawi yang dijalani manusia dengan melampaui batas, firman-Nya:  
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  اَلۡہٰکُمُ  التَّکَاثُرُ ۙ﴿﴾   حَتّٰی زُرۡتُمُ  الۡمَقَابِرَ ؕ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.  Dalam  upaya memperbanyak kekayaan telah melalaikan kamu, hingga kamu sampai di kuburan.  (Al-Takatstsur [102]:1-3).
    Ketamakan dan hasrat berlebihan pada manusia untuk mengungguli orang lain dalam jumlah kekayan, kedudukan dan gengsi merupakan penyebab utama segala kesulitan manusia dan merupakan penyebab kelalaian manusia terhadap nilai-nilai hidup yang lebih tinggi, yakni untuk melaksanakan tujuan utama diciptakannya manusia, yakni beribadah kepada Allah Swt. (QS.51:57).
    Merupakan kemalangan manusia yang sangat besar bahwa nafsunya untuk memperoleh barang-barang duniawi tidak mengenal batas dan tidak menyisihkan waktu sedikit pun untuk memikirkan Tuhan dan alam akhirat. Ia tetap asyik dengan hal-hal tersebut, hingga maut (kematian) merenggutnya, dan baru pada saat itulah ia menyadari, bahwa ia telah menyia-nyiakan hidupnya yang sangat berharga dalam mengejar-ngejar sesuatu yang tiada gunanya itu. 

Kesibukan Duniawi Menyebabkan
Ketidaktentraman Hati
   
   Selanjutnya Allah Swt. berfirman  bahwa kesibukan duniawi yang tidak menyisakan sedikit  pun waktu untuk  melakukan dzikir Ilahi  serta untuk memperoleh   makrifat Ilahi pada hakikatnya manusia telah menjerumuskan dirinya ke dalam neraka jahannam, yakni kehidupan yang tidak tentram, sebab ketentraman jiwa (hati) hanya diperoleh apabila memiliki makrifat Ilahi yang memadai (QS.13:29), firman-Nya:
کَلَّا  سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ۙ﴿﴾   ثُمَّ  کَلَّا سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ؕ﴿﴾  کَلَّا لَوۡ تَعۡلَمُوۡنَ عِلۡمَ  الۡیَقِیۡنِ ؕ﴿﴾   لَتَرَوُنَّ  الۡجَحِیۡمَ ۙ﴿﴾
Sekali-kali tidak, segera kamu akan mengetahui,  kemudian, sekali-kali tidak demikian, segera kamu akan mengetahui.  Sekali-kali tidak! Jika kamu mengetahui hakikat itu dengan ilmu yakin, niscaya kamu akan melihat Jahannam,  (Al-Takatstsur [102]:4-7).
     Pengulangan ayat ini bertujuan menambahkan tekanan pada dan membuat lebih ampuh peringatan yang terkandung dalam Surah ini. Atau, Surah ini dapat ditujukan kepada pembalasan yang akan datang di belakang kesibukan manusia, yang secara membabi-buta berusaha memperoleh barang-barang duniawi di dalam kehidupan ini.
    Itulah tingkat keyakinan (yakin) yang pertama yang disebut ‘ilmul-yaqīn (keyakinan atas dasar ilmu) atau mengambil kesimpulan dari sesuatu peristiwa, misalnya meyakini bahwa di suatu tempat sedang terjadi  kobaran api  -- walau pun tidak melihatnya langsung -- melainkan karena  melihat kepulan asap yang tebal, sebab antara kobaran api dengan kepulan asap memiliki hubungan yang sangat erat.
      Tingkatan  ‘ilmul yaqīn tersebut  adalah tingkatan keyakinan terbawah dari ketiga tingkatan keyakinan, karena masih bisa terjadi kemungkinan kesalahan persepsi atau  kesalahan dalam mengambil kesimpulan, sebab tidak setiap kepulan asap  pasti hubungannya dengan kobaran api.
     Tingkat keyakinan berikutnya yang lebih tinggi adalah ‘aynal-yaqīn (keyakinan berdasarkan penglihatan), yakni melihat langsung adanya kobaran api,  tetapi ia tidak mengetahui (keyakinan) sepenuhnya berkenaan dengan api serta berbagai sifat-sifatnya yang dimilikinya, seperti halnya apabila seseorang memasukan tangannya ke dalam  kobaran ap  maka   ia akan  meraih tingkatan haqqul yaqīn  (keyakinan yang pasti) mengenai api dan berbagai sifat-sifatnya.
  Mengenai kedua tingkat keyakinan   tersebut    -- ‘ilmul-yaqīn (keyakinan atas dasar ilmu)  dan  haqqul yaqīn  (keyakinan yang pasti)  --  Allah Swt. berfirman:
ثُمَّ لَتَرَوُنَّہَا عَیۡنَ الۡیَقِیۡنِ ۙ﴿ ﴾   ثُمَّ لَتُسۡـَٔلُنَّ یَوۡمَئِذٍ عَنِ النَّعِیۡمِ ٪﴿ ﴾
Kemudian kamu niscaya  akan melihatnya  dengan mata yakin.  Kemudian pada hari itu kamu pasti akan ditanya (diminta pertanggungjawaban)  mengenai kenikmatan. (Al-Takatstsur [102]:8-9).
    Jadi, seandainya manusia mempergunakan akal sehatnya dan mempergunakan ilmu yang dimilikinya, niscaya  ia akan melihat neraka Jahannam sungguh-sungguh menganga di hadapan matanya sendiri di dunia ini juga, yaitu ia akan mengetahui bahwa kesibukannya dalam mengejar kebesaran, kemegahan, dan keuntungan kebendaan dalam kehidupan sementara ini menyebabkan kehancuran total akhlaknya, sebagaimana firman-Nya:
وَ اَمَّا مَنۡ  اُوۡتِیَ کِتٰبَہٗ بِشِمَالِہٖ ۬ۙ فَیَقُوۡلُ یٰلَیۡتَنِیۡ  لَمۡ  اُوۡتَ کِتٰبِیَہۡ  ﴿ۚ ﴾  وَ  لَمۡ  اَدۡرِ  مَا حِسَابِیَہۡ ﴿ۚ ﴾  یٰلَیۡتَہَا کَانَتِ الۡقَاضِیَۃَ ﴿ۚ ﴾  مَاۤ  اَغۡنٰی عَنِّیۡ  مَالِیَہۡ ﴿ۚ﴾   ہَلَکَ عَنِّیۡ  سُلۡطٰنِیَہۡ ﴿ۚ﴾   خُذُوۡہُ  فَغُلُّوۡہُ ﴿ۙ﴾  ثُمَّ  الۡجَحِیۡمَ  صَلُّوۡہُ ﴿ۙ﴾  ثُمَّ  فِیۡ سِلۡسِلَۃٍ  ذَرۡعُہَا سَبۡعُوۡنَ  ذِرَاعًا  فَاسۡلُکُوۡہُ ﴿ؕ﴾  اِنَّہٗ  کَانَ  لَا  یُؤۡمِنُ بِاللّٰہِ الۡعَظِیۡمِ ﴿ۙ﴾  وَ لَا یَحُضُّ عَلٰی طَعَامِ الۡمِسۡکِیۡنِ ﴿ؕ﴾  فَلَیۡسَ لَہُ  الۡیَوۡمَ ہٰہُنَا حَمِیۡمٌ ﴿ۙ﴾  وَّ لَا طَعَامٌ   اِلَّا مِنۡ غِسۡلِیۡنٍ ﴿ۙ﴾  لَّا  یَاۡکُلُہٗۤ  اِلَّا الۡخَاطِـُٔوۡنَ ﴿٪﴾
Tetapi barangsiapa diberikan kitabnya di tangan kirinya, maka ia berkata: “Aduhai  kiranya aku tidak diberi kitabku,”  “Dan aku tidak mengetahui apa perhitunganku itu.  Aduhai sekiranya kematianku mengakhiri hidupku! Sekali-kali tidak bermanfaat bagiku hartaku,   hilang lenyap dariku kekuasaanku.” Dia berfirman:Tangkaplah dia dan belenggulah dia, kemudian  masukkanlah dia ke dalam Jahannam, lalu ikatlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Sesungguhnya ia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar,  dan  ia tidak menganjurkan untuk memberi makan kepada orang miskin. Maka pada hari ini tidak ada baginya  di sana seorang sahabat karib. Dan tidak ada makanan kecuali bekas  cucian luka,  tidak   ada yang memakannya kecuali orang-orang berdosa.” (Al-Haqqah [69]:26-38).

Hakikat Belenggu & Rantai Pengikat

    Seseorang diberikan rekaman amalnyanya di dalam tangan kirinya adalah istilah yang dipakai Al-Quran yang menyatakan kegagalan dalam ujian. Ayat-ayat berikutnya menggambarkan penyesalan mereka yang sangat  dalam. Orang-orang kafir akan mengharapkan bahwa kematian akan menyudahi segala sesuatu sehingga tidak bakal ada kehidupan lain lagi, dan tidak ada lagi kewajiban mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka di hadapan Allah.
   Kalimat:  Tangkaplah dia dan belenggulah dia kemudian masukkanlah dia ke dalam Jahannam, lalu ikatlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.Berulang-ulang telah diterangkan di dalam Al-Quran,  bahwa kehidupan sesudah mati bukan kehidupan baru, melainkan hanya merupakan citra (gambaran) dan penampilan fakta-fakta kehidupan dunia sekarang. Dalam ayat-ayat ini penderitaan ruhani di dalam kehidupan dunia sekarang telah ditampilkan sebagai siksaan jasmani di akhirat.
  Rantai yang akan dikalungkan sekeliling leher menampilkan hasrat-hasrat duniawi, dan hasrat-hasrat itulah yang akan mengambil bentuk belenggu di akhirat. Demikian pula keterikatan pada dunia ini akan nampak sebagai belenggu kaki. Begitu juga terbakarnya hati di dunia pun nampak seperti lidah api yang menjilat-jilat.
   Batas umur manusia pada umumnya  dapat ditetapkan 70 tahun, tanpa mencakup masa kanak-kanak dan masa tua-renta. Usia 70 tahun itu dibuang percuma oleh orang-orang kafir durjana dalam jerat godaan dunia dan dalam pemuasan ajakan hawa nafsunya. Ia tidak berusaha membebaskan diri dari ikatan rantai nafsu, dan karena itu di akhirat, rantai nafsu yang selama 70 tahun ia bergelimang di dalamnya, akan diwujudkan rantai sepanjang 70 hasta, setiap hasta menampilkan satu tahun, yang dengan itu si jahat itu akan dibelenggu.
    Benarlah pernyataan Allah Swt. bahwa kehidupan duniawi hanya tempat berlomba-lomba saling membanggakan harta dan anak keturunan, yang pada akhirnya adalah penyesalan dan penderitaan belaka, karena semuanya itu akan menjadi bahan bakar api neraka bagi para pelakunya, firman-Nya:
اِعۡلَمُوۡۤا اَنَّمَا الۡحَیٰوۃُ  الدُّنۡیَا لَعِبٌ وَّ لَہۡوٌ وَّ زِیۡنَۃٌ  وَّ تَفَاخُرٌۢ  بَیۡنَکُمۡ وَ تَکَاثُرٌ فِی الۡاَمۡوَالِ وَ الۡاَوۡلَادِ ؕ کَمَثَلِ غَیۡثٍ اَعۡجَبَ الۡکُفَّارَ نَبَاتُہٗ  ثُمَّ یَہِیۡجُ فَتَرٰىہُ مُصۡفَرًّا ثُمَّ  یَکُوۡنُ حُطَامًا ؕ وَ فِی الۡاٰخِرَۃِ  عَذَابٌ شَدِیۡدٌ ۙ وَّ مَغۡفِرَۃٌ مِّنَ اللّٰہِ وَ رِضۡوَانٌ ؕ وَ مَا الۡحَیٰوۃُ  الدُّنۡیَاۤ   اِلَّا مَتَاعُ  الۡغُرُوۡرِ ﴿﴾  سَابِقُوۡۤا  اِلٰی مَغۡفِرَۃٍ  مِّنۡ رَّبِّکُمۡ  وَ جَنَّۃٍ عَرۡضُہَا کَعَرۡضِ السَّمَآءِ  وَ الۡاَرۡضِ ۙ اُعِدَّتۡ لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ ؕ ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ  ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya  kehidupan dunia ini hanyalah  permainan, pengisi waktu, perhiasan, saling berbangga di antara kamu serta  bersaing dalam banyaknya harta dan anak. Perumpamaan kehidupan ini seperti hujan, tanaman tanamannya mengagumkan para penanamnya kemudian  tanaman itu menjadi kering dan engkau melihatnya menjadi kuning lalu  menjadi hancur. Dan di akhirat ada azab sangat keras dan ada ampunan serta  keridhaan dari Allah. Dan sekali-kali tidaklah  kehidupan dunia ini melainkan kesenangan sementara yang menipu. Berlomba-lombalah kamu dalam mencari ampunan Tuhan-mu dan surga yang nilainya setara dengan nilai langit dan bumi yang disediakan bagi  orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Demikianlah karunia Allah, Dia menganugerahkannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah itu Pemilik karunia yang besar. (Muhammad [57]:21-22).

Luasnya Surga

  Karena “ardh” berarti nilai atau keluasan, maka ayat 22   berarti bahwa: (a) ganjaran bagi orang-orang yang bertakwa di akhirat akan tidak terkira banyaknya; (b) karena surga itu seluas bentangan langit dan bumi – seluruh jagat raya – maka surga itu meliputi neraka juga. Hal itu menunjukkan bahwa surga dan neraka itu bukan dua tempat yang berbeda dan terpisah, melainkan dua keadaan atau kondisi alam pikiran.
  Sebuah hadits Nabi Besar Muhammad saw. yang terkenal memberikan pengertian yang mendalam mengenai paham Al-Quran mengenai surga dan neraka. Pada sekali peristiwa beberapa orang sahabat bertanya: “Jika surga itu meliputi bentangan langit dan bumi dalam keluasannya, maka di manakah terletak neraka itu?” Menurut riwayat Nabi Besar Muhammad saw. telah memberikan jawaban atas pertanyaan itu: “Dimanakah malam bila siang tiba?” (Tafsir Ibnu Katsir).
        Kembali kepada Surah Al-Takatstsur, ayat-ayat 5-8 tidak meninggalkan syak sekelumit pun mengenai awal kehidupan neraka-awal di dalam dunia ini juga. Neraka di akhirat itu sebenamya disediakan di dunia ini, yang tersembunyi dari mata manusia tetapi dapat dikenal, dengan per-antaraan ‘ilmulyaqin, oleh mereka yang merenungkannya.
     Ayat-ayat ini menggambarkan tiga tingkat keyakinan manusia bertalian dengan neraka, yaitu ’ilmulyaqin atau keyakinan yang diperoleh berdasarkan ilmu dengan mengambil kesimpulan; ‘ainulyaqin yaitu keyakinan dengan perantaraan atau berda-sarkan penglihatan; dan haqqulyaqin, yaitu keyakinan berdasarkan pengalaman sendiri.
    ‘Ilmulyaqin dapat diperoleh di dunia ini juga, dengan mengambil kesimpulan oleh mereka yang merenungkan dan menekuni hakikat kejahatan, namun sesudah mati ia akan melihat neraka dengan mata kepala sendiri, sedang pada Hari Kebangkitan ia akan menghayati sepenuhnya haqqulyaqin dengan benar-benar mengalami setelah masuk ke dalam neraka. Dengan  demikian benarlah pernyataan Allah Swt. sebelum ini, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  اَلۡہٰکُمُ  التَّکَاثُرُ ۙ﴿﴾   حَتّٰی زُرۡتُمُ  الۡمَقَابِرَ ؕ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.  Dalam  upaya memperbanyak kekayaan telah melalaikan kamu, hingga kamu sampai di kuburan.  (Al-Takatstsur [102]:1-3).

Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar”, 31 Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma