بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN
Bab 95
Pentingnya Memahami dan Memperagakan "Al-Asma-ul Husna" Allah Swt.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Ki Langlang Buana Kusuma
Pada bagian akhir Bab sebelumnya
telah menjelaskan mengenai penyebab
terjadinya “kebutaan ruhani” yang dialami orang-orang kafir di alam akhirat,
sehubungan dengan makna kalimat “Dan barangsiapa berpaling dari mengingat Aku
maka sesungguhnya baginya ada kehidupan
yang sempit, dan Kami akan
membangkitkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta,“ (QS.20:125), hal itu mengisyaratkan kepada para penentang rasul Allah, karena mereka mengikuti ketakaburan iblis terhadap Adam.
Kebutaan Mata Ruhani di
Dunia dan Di Akhirat
Makna kalimat “Dan barangsiapa berpaling dari mengingat Aku
maka sesung-guhnya baginya ada kehidupan
yang sempit, dan Kami akan
membangkitkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta“,
mengandung makna lainnya, yaitu seseorang yang sama sekali tidak
ingat kepada Allah Swt. di dunia serta menjalani cara
hidup yang menghalangi dan menghambat perkembangan ruhaninya -- dan dengan demikian membuat dirinya tidak layak menerima nur dari Allah Swt. -- mereka itu akan dibangkitkan
dalam keadaan buta di waktu kebangkitannya
kembali pada kehidupan di akhirat.
Itu terjadi karena ruhnya di dunia ini - yang akan berperan sebagai badan (tubuh) bagi ruh yang lebih maju ruhaninya
di alam akhirat - telah menjadi buta,
sebab ia telah menjalani kehidupan yang
bergelimang dosa di dunia ini. Mengalami
kenyataan yang sangat menyedihkan sebagai
orang yang dibangkitkan dalam
keadaan buta, selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai
mereka:
قَالَ رَبِّ لِمَ
حَشَرۡتَنِیۡۤ اَعۡمٰی وَ قَدۡ کُنۡتُ بَصِیۡرًا ﴿ ﴾ قَالَ کَذٰلِکَ اَتَتۡکَ اٰیٰتُنَا فَنَسِیۡتَہَا
ۚ وَکَذٰلِکَ الۡیَوۡمَ تُنۡسٰی ﴿ ﴾ وَ کَذٰلِکَ نَجۡزِیۡ مَنۡ اَسۡرَفَ وَ لَمۡ یُؤۡمِنۡۢ بِاٰیٰتِ رَبِّہٖ ؕ وَ لَعَذَابُ
الۡاٰخِرَۃِ اَشَدُّ وَ اَبۡقٰی ﴿ ﴾
Ia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau membangkitkan aku dalam keadaan buta,
padahal sesungguhnya dahulu aku dapat
melihat?” Dia berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu Tanda-tanda Kami,
tetapi engkau melupakannya dan demikian pula engkau dilupakan pada hari ini." Dan demikianlah Kami memberi balasan orang yang melanggar dan ia tidak beriman kepada Tanda-tanda Tuhan-nya, dan niscaya azab
akhirat itu lebih keras dan lebih kekal.
(Thā
Hā [20]:126-128).
Sebagai jawaban terhadap keluhan orang kafir mengapa ia dibangkit‑
kan buta padahal dalam kehidupan sebelumnya di dunia ia memiliki penglihatan, Allah Swt. mengatakan bahwa penyebab kebutaan matanya di alam akhirat karena ketika menjalani kehidupannya di dunia telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa, dan karena itu ruhnya — yang akan berperan sebagai tubuh untuk ruh lain yang ruhaninya jauh lebih berkembang di akhirat, maka di hari kemudian ia dilahirkan buta.
kan buta padahal dalam kehidupan sebelumnya di dunia ia memiliki penglihatan, Allah Swt. mengatakan bahwa penyebab kebutaan matanya di alam akhirat karena ketika menjalani kehidupannya di dunia telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa, dan karena itu ruhnya — yang akan berperan sebagai tubuh untuk ruh lain yang ruhaninya jauh lebih berkembang di akhirat, maka di hari kemudian ia dilahirkan buta.
Pentingnya Memahami dan
Memperagakan
Sifat-sifat Ilahi di Dunia
Ayat
ini dapat pula berarti bahwa karena orang
kafir tidak mengembangkan dalam dirinya Sifat-sifat
Ilahi -- yang untuk tujuan itulah
Allah Swt. mengutus para rasul Allah, terutama Nabi Besar Muhammad saw. -- dan tetap asing dari Sifat-sifat Ilahi itu, maka pada hari kebangkitan — ketika Sifat-sifat Ilahi itu akan
dinampakkan dengan segala keagungan dan kemuliaan — maka ia menjadi seseorang yang terasing dari Sifat-sifat
Ilahi itu serta tidak akan mampu mengenalnya, dan dengan demikian akan berdiri seperti orang buta yang tidak mempunyai ingatan atau kenangan sedikit pun kepada Sifat-sifat
Ilahi tersebut.
Dalam Kisah Minumental “Adam – Malaikat – Iblis” Allah Swt. telah berfirman bahwa yang diberi pengetahuan sempurna mengenai “Sifat-sifat Allah Swt.” atau “Asmā-Nya” adalah Adam , karena ia telah diangkat oleh Allah Swt. sebagai “Khalifah
Allah” atau Rasul Allah (QS.2:31-35)
– yang hanya kepada Adam
atau kepada Rasul
Allah itulah Allah Swt. mengajarkan “Asmā-Nya (nama-nama-Nya) atau membukakan rahasia-rahasia gaib-Nya (QS.3:180; QS.72:27-29), firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَ رَبُّکَ لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اِنِّیۡ جَاعِلٌ فِی الۡاَرۡضِ خَلِیۡفَۃً ؕ قَالُوۡۤا اَتَجۡعَلُ فِیۡہَا مَنۡ یُّفۡسِدُ فِیۡہَا وَ یَسۡفِکُ الدِّمَآءَ ۚ وَ نَحۡنُ نُسَبِّحُ
بِحَمۡدِکَ وَ نُقَدِّسُ لَکَ ؕ قَالَ اِنِّیۡۤ
اَعۡلَمُ
مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ ﴿ ﴾ وَ عَلَّمَ
اٰدَمَ الۡاَسۡمَآءَ کُلَّہَا ثُمَّ عَرَضَہُمۡ عَلَی الۡمَلٰٓئِکَۃِ ۙ فَقَالَ
اَنۡۢبِـُٔوۡنِیۡ بِاَسۡمَآءِ ہٰۤؤُلَآءِ اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿ ﴾ قَالُوۡا سُبۡحٰنَکَ لَا عِلۡمَ لَنَاۤ
اِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَا ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَلِیۡمُ الۡحَکِیۡمُ ﴿ ﴾ قَالَ یٰۤاٰدَمُ اَنۡۢبِئۡہُمۡ بِاَسۡمَآئِہِمۡ
ۚ فَلَمَّاۤ اَنۡۢبَاَہُمۡ بِاَسۡمَآئِہِمۡ ۙ قَالَ اَلَمۡ اَقُلۡ لَّکُمۡ
اِنِّیۡۤ اَعۡلَمُ غَیۡبَ
السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۙ وَ اَعۡلَمُ مَا تُبۡدُوۡنَ وَ مَا کُنۡتُمۡ
تَکۡتُمُوۡنَ ﴿ ﴾
Dan ingatlah
ketika Tuhan engkau berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah
di bumi”, mereka berkata: “Apakah Eng-kau akan menjadikan di dalamnya yakni
di bumi orang yang akan membuat
kerusakan di dalamnya dan akan menumpahkan darah, padahal
kami senantiasa bertasbih dengan pujian Engkau dan
kami senantiasa mensucikan Engkau?”
Dia berfirman: “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama itu
semuanya kemudian Dia
mengemukakan mereka itu kepada para malaikat lalu Dia berfirman:
“Beritahukanlah kepada-Ku nama-nama
mereka ini jika kamu memang benar.”
Mereka berkata: “Mahasuci Engkau,
kami tidak memiliki
pengetahuan kecuali apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” Dia berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka itu”, maka
tatkala diberitahukannya kepada mereka
nama-nama mereka itu, Dia berfirman: “Bukankah telah Aku katakan kepada kamu
bahwa sesungguhnya Aku
mengetahui rahasia seluruh langit dan
bumi dan mengetahui apa pun yang kamu nyatakan dan apa pun yang kamu sembunyikan?”
(Al-Baqarah [2]:31-34).
Asmā itu jamak dari ism
yang berarti: nama atau sifat; ciri atau tanda sesuatu (Lexicon Lane dan Al-Mufradat). Para ahli tafsir
berbeda paham mengenai apa yang dimaksudkan dengan kata asmā (nama-nama)
di sini. Sebagian menyangka bahwa Allah Swt. mengajar Nabi Adam a.s. nama
berbagai barang dan benda, yaitu Dia mengajar beliau dasar-dasar bahasa.
Mereka yang Indera-indera
Ruhaninya Lumpuh
Tidak
diragukan bahwa orang memerlukan bahasa
untuk menjadi beradab, dan Allah Swt. tentu telah
mengajari Nabi Adam a.s. dasar-dasarnya,
tetapi Al-Quran menunjukkan bahwa ada asmā (nama atau sifat) yang harus dipelajari manusia untuk penyempurnaan akhlaknya. Nama-nama atau Sifat-sifat Ilahi – yakni Al-Asmā-ul
Husna -- tersebut disinggung
dalam firman-Nya berikut ini:
وَ لَقَدۡ ذَرَاۡنَا لِجَہَنَّمَ کَثِیۡرًا مِّنَ الۡجِنِّ
وَ الۡاِنۡسِ ۫ۖ لَہُمۡ قُلُوۡبٌ لَّا
یَفۡقَہُوۡنَ بِہَا ۫ وَ لَہُمۡ اَعۡیُنٌ لَّا یُبۡصِرُوۡنَ بِہَا ۫ وَ لَہُمۡ
اٰذَانٌ لَّا یَسۡمَعُوۡنَ بِہَا ؕ اُولٰٓئِکَ کَالۡاَنۡعَامِ بَلۡ ہُمۡ اَضَلُّ ؕ
اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡغٰفِلُوۡنَ ﴿ ﴾ وَ لِلّٰہِ الۡاَسۡمَآءُ الۡحُسۡنٰی فَادۡعُوۡہُ بِہَا ۪ وَ ذَرُوا الَّذِیۡنَ یُلۡحِدُوۡنَ فِیۡۤ اَسۡمَآئِہٖ ؕ سَیُجۡزَوۡنَ مَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿ ﴾
Dan sungguh Kami benar-benar telah menjadikan
untuk penghuni Jahannam
banyak di antara jin dan manusia,
mereka memiliki hati tetapi mereka tidak mengerti dengannya, mereka memiliki mata tetapi mereka
tidak melihat dengannya, mereka memiliki
telinga tetapi mereka tidak mendengar dengannya, mereka itu seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat. Mereka itulah orang-orang
yang lalai. Dan milik Allah-lah nama-nama yang terbaik, maka serulah
Dia dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dalam memahami
nama-nama-Nya, mereka segera akan mendapat balasan terhadap apa yang senantiasa mereka kerjakan. (Al-A’rāf
[7]:180-181).
Ayat
180 mengemukakan orang-orang yang indera-indera
ruhaninya tidak berfungsi, seperti halnya binatang ternak yang hanya sekedar mendengar seruan dan teriakan
penggembalanya,
tanpa mengerti sedikit pun mengerti makna
dari seruan dan dan teriakan si
penggembala tersebut, firman-Nya:
وَ مَثَلُ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا کَمَثَلِ الَّذِیۡ یَنۡعِقُ بِمَا لَا یَسۡمَعُ اِلَّا دُعَآءً وَّ نِدَآءً ؕ صُمٌّۢ بُکۡمٌ عُمۡیٌ فَہُمۡ لَا یَعۡقِلُوۡنَ ﴿ ﴾
Dan perumpamaan keadaan orang-orang
kafir itu seperti seseorang yang berteriak kepada sesuatu
yang tidak dapat mendengar kecuali hanya panggilan dan seruan belaka.
Mereka tuli, bisu, dan buta,
karena itu mereka tidak mengerti. (Al-Baqarah [2]:172).
Nabi Besar Muhammad saw. menyampaikan Amanat Allah Swt. (Al-Quran) kepada orang-orang kafir. Beliau saw. itu penyeru dan mereka mendengar suara beliau saw., tetapi tidak berusaha
menangkap maknanya. Kata-kata
(seruan) beliau saw. seolah-olah sampai kepada telinga orang tuli dengan berakibat bahwa kemampuan ruhani mereka menjadi sama sekali rusak dan martabat mereka jatuh sampai ke taraf keadaan hewan dan binatang buas (QS.7:180; QS.25:45) yang hanya mendengar teriakan si
pengembala, tetapi tak mengerti apa
yang dikatakannya.
Penyembahan “Berhala-berhala” yang Tak Berwujud
Berikut firman Allah Swt.
kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenai keadaan orang-orang yang
seperti itu :
اَمۡ تَحۡسَبُ
اَنَّ اَکۡثَرَہُمۡ یَسۡمَعُوۡنَ اَوۡ یَعۡقِلُوۡنَ ؕ اِنۡ ہُمۡ اِلَّا کَالۡاَنۡعَامِ
بَلۡ ہُمۡ اَضَلُّ سَبِیۡلًا ﴿٪ ﴾
Ataukah engkau menyangka bahwa sesungguhnya kebanyakan dari mereka mendengar atau mengerti? Mereka
tidak lain melainkan seperti binatang
ternak bahkan mereka lebih sesat dari jalan-Nya. (Al-Furqān
[25]:45).
Keinginan-keinginan,
lamunan-lamunan, dan khayalan-khayalannya sendiri itulah yang pada umumnya
orang puja lebih dari apa pun, dan
inilah yang menjadi batu penghalang
baginya untuk menerima kebenaran.
Dalam intelek atau akal, manusia boleh jadi telah jauh
maju, sehingga ia tidak lagi membungkukkan
diri di hadapan batu-batu dan bintang-bintang, akan tetapi ia belum
mengatasi pemujaannya terhadap cita-cita, prasangka-prasangka, dan khayalan-khayalannya
yang palsu.
Pemujaan berhala-berhala yang
bersemayam dalam hatinya itulah yang
dicela di sini. Daripada ia memanfaatkan kemampuan-kemampuannya
yang dianugerahkan Allah Swt. untuk berpikir dan mendengar, dan yang seharusnya membantu manusia mengenali dan menyadari kebenaran, malah ia meraba-raba dalam kegelapan.
Pada saat itu jatuhlah ia ke taraf hidup
bagaikan binatang ternak, bahkan lebih rendah daripada itu, sebab binatang ternak tidak diberi kemampuan memilih dan membedakan, sedang manusia diberi daya
(kemampuan) itu.
Kembali kepada QS.7:180 sebelumnya mengenai “kebanyakan penghuni neraka”, huruf lam
(lā) dalam ayat tersebut adalah lam
‘aqibat yang menyatakan kesudahan
atau akibat. Dengan demikian ayat ini
tidak ada hubungannya dengan tujuan
kejadian manusia melainkan hanya menyebutkan kesudahan yang patut disesalkan
mengenai kehidupan kebanyakan ins (manusia) dan jin -- kata jin
itu juga mempunyai arti golongan manusia yang istimewa, yakni penguasa-penguasa atau pemuka-pemuka atau orang-orang besar,
sedang ins adalah golongan masyarakat
biasa. Dari cara mereka menjalani hidup
mereka dalam berbuat dosa dan kedurhakaan nampak seolah-olah mereka telah diciptakan
untuk masuk neraka.
Dalam ayat selanjutnya (QS.7:181) Allah
menerangkan bahwa nama Tuhan ialah Allah,
semua sebutan lainnya sebenarnya
adalah hanya Sifat-sifat-Nya. Pada
waktu berdoa kita harus memanggil Sifat-sifat
Allah Swt. yang langsung berkaitan
dengan maksud doa itu.
Menyimpang dari jalan yang benar berkenaan dengan Sifat-sifat Allah Swt., dapat diartikan bahwa oleh karena Allah
Swt. adalah Pemilik
segala Sifat terbaik (Al-Asmā-ul-husna) yang tersebut dalam
Al-Quran dan Hadits, maka tidak perlu memberikan kepada-Nya Sifat-sifat lain yang tidak sesuai
dengan Keagungan-Nya, Kehormatan-Nya, dan Kasih Sayang-Nya yang meliputi segala sesuatu. (QS.7:181;
QS.17:111-112; QS.20:9; QS.59:25).
(Bersambung).
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam
Farid
***
“Pajajaran Anyar”, 4 Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar