بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN
Bab 114
Hakikat
“Belenggu” dan “Rantai Pengikat”
di
Akhirat & Luasnya “Surga”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam bagian
akhir Bab sebelumnya Allah Swt. dalam
Al-Quran telah mengemukakan tiga
tingkat keyakinan (yakin) dalam Surah
Al-Takatstsur atas dasar pengalaman kehidupan duniawi yang dijalani manusia
dengan melampaui batas, firman-Nya:
بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾
اَلۡہٰکُمُ التَّکَاثُرُ ۙ﴿﴾ حَتّٰی
زُرۡتُمُ الۡمَقَابِرَ ؕ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah,
Maha Penyayang. Dalam upaya memperbanyak kekayaan telah melalaikan kamu, hingga kamu sampai di kuburan. (Al-Takatstsur [102]:1-3).
Ketamakan
dan hasrat berlebihan pada manusia
untuk mengungguli orang lain dalam
jumlah kekayan, kedudukan dan gengsi
merupakan penyebab utama segala kesulitan manusia dan merupakan penyebab kelalaian manusia terhadap nilai-nilai hidup yang lebih tinggi,
yakni untuk melaksanakan tujuan utama diciptakannya
manusia, yakni beribadah kepada Allah
Swt. (QS.51:57).
Merupakan kemalangan manusia yang sangat
besar bahwa nafsunya untuk memperoleh
barang-barang duniawi tidak mengenal
batas dan tidak menyisihkan waktu sedikit pun untuk memikirkan Tuhan dan alam
akhirat. Ia tetap asyik dengan
hal-hal tersebut, hingga maut (kematian)
merenggutnya, dan baru pada saat itulah ia menyadari,
bahwa ia telah menyia-nyiakan hidupnya
yang sangat berharga dalam mengejar-ngejar sesuatu yang tiada gunanya itu.
Kesibukan Duniawi Menyebabkan
Ketidaktentraman Hati
Selanjutnya Allah Swt. berfirman bahwa kesibukan
duniawi yang tidak menyisakan sedikit
pun waktu untuk melakukan dzikir
Ilahi serta untuk memperoleh makrifat
Ilahi pada hakikatnya manusia telah menjerumuskan dirinya ke dalam neraka jahannam, yakni kehidupan yang tidak tentram, sebab ketentraman jiwa (hati) hanya diperoleh
apabila memiliki makrifat Ilahi yang
memadai (QS.13:29), firman-Nya:
کَلَّا سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ۙ﴿﴾
ثُمَّ کَلَّا
سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ؕ﴿﴾ کَلَّا لَوۡ تَعۡلَمُوۡنَ عِلۡمَ الۡیَقِیۡنِ
ؕ﴿﴾ لَتَرَوُنَّ الۡجَحِیۡمَ ۙ﴿﴾
Sekali-kali tidak, segera kamu akan mengetahui, kemudian, sekali-kali tidak demikian, segera kamu akan mengetahui. Sekali-kali tidak! Jika kamu mengetahui hakikat itu dengan ilmu yakin, niscaya kamu
akan melihat Jahannam, (Al-Takatstsur
[102]:4-7).
Pengulangan ayat ini bertujuan menambahkan
tekanan pada dan membuat lebih ampuh peringatan
yang terkandung dalam Surah ini. Atau, Surah ini dapat ditujukan kepada pembalasan yang akan datang di belakang kesibukan manusia, yang secara
membabi-buta berusaha memperoleh barang-barang
duniawi di dalam kehidupan ini.
Itulah
tingkat keyakinan (yakin) yang
pertama yang disebut ‘ilmul-yaqīn
(keyakinan atas dasar ilmu) atau mengambil kesimpulan dari sesuatu peristiwa,
misalnya meyakini bahwa di suatu
tempat sedang terjadi kobaran api -- walau pun tidak melihatnya langsung -- melainkan karena melihat kepulan
asap yang tebal, sebab antara kobaran
api dengan kepulan asap memiliki
hubungan yang sangat erat.
Tingkatan
‘ilmul yaqīn tersebut adalah tingkatan keyakinan terbawah dari ketiga tingkatan keyakinan, karena masih bisa terjadi kemungkinan kesalahan persepsi atau kesalahan dalam mengambil kesimpulan, sebab tidak setiap kepulan asap pasti hubungannya dengan kobaran api.
Tingkat
keyakinan berikutnya yang lebih
tinggi adalah ‘aynal-yaqīn (keyakinan
berdasarkan penglihatan), yakni melihat langsung adanya kobaran api, tetapi ia tidak
mengetahui (keyakinan) sepenuhnya berkenaan dengan api serta berbagai sifat-sifatnya
yang dimilikinya, seperti halnya apabila seseorang memasukan tangannya ke
dalam kobaran ap maka ia akan
meraih tingkatan haqqul yaqīn (keyakinan yang pasti) mengenai api dan berbagai sifat-sifatnya.
Mengenai kedua tingkat keyakinan tersebut -- ‘ilmul-yaqīn (keyakinan atas dasar
ilmu) dan haqqul
yaqīn (keyakinan yang pasti) -- Allah
Swt. berfirman:
ثُمَّ لَتَرَوُنَّہَا عَیۡنَ
الۡیَقِیۡنِ ۙ﴿ ﴾ ثُمَّ لَتُسۡـَٔلُنَّ یَوۡمَئِذٍ عَنِ النَّعِیۡمِ ٪﴿ ﴾
Kemudian kamu niscaya akan melihatnya dengan mata
yakin. Kemudian pada hari itu kamu pasti
akan ditanya (diminta pertanggungjawaban) mengenai kenikmatan. (Al-Takatstsur
[102]:8-9).
Jadi, seandainya manusia mempergunakan akal sehatnya dan mempergunakan ilmu yang dimilikinya, niscaya ia akan melihat neraka Jahannam sungguh-sungguh menganga di hadapan matanya sendiri
di dunia ini juga, yaitu ia akan
mengetahui bahwa kesibukannya dalam
mengejar kebesaran, kemegahan, dan keuntungan kebendaan dalam kehidupan
sementara ini menyebabkan kehancuran
total akhlaknya, sebagaimana firman-Nya:
وَ اَمَّا مَنۡ اُوۡتِیَ کِتٰبَہٗ بِشِمَالِہٖ ۬ۙ فَیَقُوۡلُ
یٰلَیۡتَنِیۡ لَمۡ اُوۡتَ کِتٰبِیَہۡ ﴿ۚ ﴾ وَ لَمۡ
اَدۡرِ مَا حِسَابِیَہۡ ﴿ۚ ﴾ یٰلَیۡتَہَا کَانَتِ
الۡقَاضِیَۃَ ﴿ۚ ﴾ مَاۤ اَغۡنٰی عَنِّیۡ مَالِیَہۡ ﴿ۚ﴾
ہَلَکَ عَنِّیۡ
سُلۡطٰنِیَہۡ ﴿ۚ﴾ خُذُوۡہُ فَغُلُّوۡہُ ﴿ۙ﴾
ثُمَّ
الۡجَحِیۡمَ صَلُّوۡہُ ﴿ۙ﴾ ثُمَّ فِیۡ سِلۡسِلَۃٍ ذَرۡعُہَا سَبۡعُوۡنَ ذِرَاعًا فَاسۡلُکُوۡہُ ﴿ؕ﴾
اِنَّہٗ کَانَ لَا یُؤۡمِنُ بِاللّٰہِ الۡعَظِیۡمِ ﴿ۙ﴾ وَ لَا یَحُضُّ عَلٰی
طَعَامِ الۡمِسۡکِیۡنِ ﴿ؕ﴾ فَلَیۡسَ لَہُ الۡیَوۡمَ ہٰہُنَا
حَمِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ وَّ لَا طَعَامٌ اِلَّا
مِنۡ غِسۡلِیۡنٍ ﴿ۙ﴾ لَّا یَاۡکُلُہٗۤ اِلَّا الۡخَاطِـُٔوۡنَ ﴿٪﴾
Tetapi barangsiapa diberikan kitabnya
di tangan kirinya, maka ia berkata: “Aduhai kiranya aku tidak diberi kitabku,” “Dan
aku tidak mengetahui apa perhitunganku
itu. Aduhai sekiranya kematianku mengakhiri hidupku!
Sekali-kali tidak bermanfaat bagiku
hartaku, hilang lenyap dariku kekuasaanku.” Dia berfirman:
“Tangkaplah dia dan belenggulah dia, kemudian masukkanlah
dia ke dalam Jahannam, lalu ikatlah
dia dengan rantai yang panjangnya
tujuh puluh hasta. Sesungguhnya ia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar, dan ia tidak menganjurkan untuk memberi makan
kepada orang miskin. Maka pada hari ini tidak ada baginya di sana seorang sahabat karib. Dan tidak ada makanan kecuali bekas cucian
luka, tidak ada
yang memakannya kecuali orang-orang
berdosa.” (Al-Haqqah [69]:26-38).
Hakikat Belenggu & Rantai
Pengikat
Seseorang diberikan rekaman amalnyanya di dalam tangan kirinya adalah istilah yang
dipakai Al-Quran yang menyatakan kegagalan
dalam ujian. Ayat-ayat berikutnya
menggambarkan penyesalan mereka yang
sangat dalam. Orang-orang kafir akan
mengharapkan bahwa kematian akan
menyudahi segala sesuatu sehingga tidak bakal ada kehidupan lain lagi, dan tidak ada lagi kewajiban mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka di hadapan Allah.
Kalimat: “Tangkaplah
dia dan belenggulah dia kemudian masukkanlah dia ke dalam Jahannam, lalu
ikatlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.” Berulang-ulang
telah diterangkan di dalam Al-Quran, bahwa kehidupan
sesudah mati bukan kehidupan baru,
melainkan hanya merupakan citra
(gambaran) dan penampilan fakta-fakta
kehidupan dunia sekarang. Dalam ayat-ayat ini penderitaan ruhani di dalam kehidupan
dunia sekarang telah ditampilkan sebagai siksaan jasmani di akhirat.
Rantai yang akan dikalungkan sekeliling leher
menampilkan hasrat-hasrat duniawi,
dan hasrat-hasrat itulah yang akan
mengambil bentuk belenggu di akhirat.
Demikian pula keterikatan pada dunia
ini akan nampak sebagai belenggu kaki.
Begitu juga terbakarnya hati di dunia
pun nampak seperti lidah api yang
menjilat-jilat.
Batas umur manusia pada
umumnya dapat ditetapkan 70 tahun, tanpa mencakup masa
kanak-kanak dan masa tua-renta. Usia 70
tahun itu dibuang percuma oleh orang-orang kafir durjana dalam jerat godaan dunia dan dalam pemuasan ajakan hawa nafsunya. Ia tidak
berusaha membebaskan diri dari ikatan rantai nafsu, dan karena itu di
akhirat, rantai nafsu yang selama 70 tahun ia bergelimang di dalamnya,
akan diwujudkan rantai sepanjang 70 hasta,
setiap hasta menampilkan satu tahun, yang dengan itu si jahat itu akan
dibelenggu.
Benarlah pernyataan Allah Swt. bahwa kehidupan duniawi hanya tempat berlomba-lomba saling membanggakan harta dan anak keturunan, yang pada akhirnya
adalah penyesalan dan penderitaan belaka, karena semuanya itu
akan menjadi bahan bakar api neraka
bagi para pelakunya, firman-Nya:
اِعۡلَمُوۡۤا اَنَّمَا الۡحَیٰوۃُ
الدُّنۡیَا لَعِبٌ وَّ لَہۡوٌ وَّ زِیۡنَۃٌ وَّ تَفَاخُرٌۢ بَیۡنَکُمۡ وَ تَکَاثُرٌ فِی الۡاَمۡوَالِ وَ
الۡاَوۡلَادِ ؕ کَمَثَلِ غَیۡثٍ اَعۡجَبَ الۡکُفَّارَ نَبَاتُہٗ ثُمَّ یَہِیۡجُ فَتَرٰىہُ مُصۡفَرًّا
ثُمَّ یَکُوۡنُ حُطَامًا ؕ وَ فِی
الۡاٰخِرَۃِ عَذَابٌ شَدِیۡدٌ ۙ وَّ
مَغۡفِرَۃٌ مِّنَ اللّٰہِ وَ رِضۡوَانٌ ؕ وَ مَا الۡحَیٰوۃُ الدُّنۡیَاۤ
اِلَّا مَتَاعُ الۡغُرُوۡرِ ﴿﴾ سَابِقُوۡۤا اِلٰی مَغۡفِرَۃٍ مِّنۡ رَّبِّکُمۡ وَ جَنَّۃٍ عَرۡضُہَا کَعَرۡضِ
السَّمَآءِ وَ الۡاَرۡضِ ۙ اُعِدَّتۡ
لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ ؕ ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ
مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ ذُو
الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini
hanyalah permainan, pengisi waktu, perhiasan, saling berbangga di antara
kamu serta bersaing dalam banyaknya harta dan anak. Perumpamaan kehidupan
ini seperti hujan, tanaman tanamannya mengagumkan para
penanamnya kemudian tanaman itu
menjadi kering dan engkau melihatnya
menjadi kuning lalu menjadi hancur. Dan di akhirat ada
azab sangat keras dan ada ampunan
serta keridhaan dari Allah. Dan sekali-kali tidaklah kehidupan
dunia ini melainkan kesenangan
sementara yang menipu. Berlomba-lombalah kamu dalam mencari
ampunan Tuhan-mu dan surga yang nilainya setara
dengan nilai langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang
yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya.
Demikianlah karunia Allah, Dia
menganugerahkannya kepada siapa yang Dia
kehendaki, dan Allah itu Pemilik karunia
yang besar. (Muhammad [57]:21-22).
Luasnya Surga
Karena “ardh” berarti nilai atau keluasan, maka ayat 22 berarti bahwa: (a) ganjaran bagi orang-orang
yang bertakwa di akhirat akan tidak terkira banyaknya; (b) karena surga itu seluas bentangan langit dan
bumi – seluruh jagat raya – maka surga
itu meliputi neraka juga. Hal itu
menunjukkan bahwa surga dan neraka itu bukan dua tempat yang berbeda dan terpisah,
melainkan dua keadaan atau kondisi alam pikiran.
Sebuah hadits Nabi Besar Muhammad saw. yang terkenal
memberikan pengertian yang mendalam mengenai paham Al-Quran mengenai surga dan neraka. Pada sekali peristiwa beberapa orang sahabat bertanya: “Jika surga
itu meliputi bentangan langit dan bumi dalam keluasannya, maka di manakah
terletak neraka itu?” Menurut
riwayat Nabi Besar Muhammad saw. telah memberikan jawaban atas pertanyaan itu:
“Dimanakah malam bila siang tiba?” (Tafsir Ibnu Katsir).
Kembali kepada Surah Al-Takatstsur, ayat-ayat
5-8 tidak meninggalkan syak sekelumit pun mengenai awal kehidupan neraka-awal
di dalam dunia ini juga. Neraka di
akhirat itu sebenamya disediakan di dunia ini, yang tersembunyi dari mata
manusia tetapi dapat dikenal, dengan per-antaraan ‘ilmulyaqin, oleh
mereka yang merenungkannya.
Ayat-ayat ini menggambarkan tiga tingkat keyakinan manusia bertalian
dengan neraka, yaitu ’ilmulyaqin atau
keyakinan yang diperoleh berdasarkan ilmu dengan mengambil kesimpulan; ‘ainulyaqin
yaitu keyakinan dengan perantaraan
atau berda-sarkan penglihatan; dan haqqulyaqin,
yaitu keyakinan berdasarkan
pengalaman sendiri.
‘Ilmulyaqin
dapat diperoleh di dunia ini juga, dengan mengambil kesimpulan oleh mereka
yang merenungkan dan menekuni hakikat kejahatan, namun sesudah mati ia akan
melihat neraka dengan mata kepala
sendiri, sedang pada Hari Kebangkitan
ia akan menghayati sepenuhnya haqqulyaqin dengan benar-benar mengalami
setelah masuk ke dalam neraka. Dengan
demikian benarlah pernyataan Allah Swt. sebelum ini, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡمِ﴿﴾ اَلۡہٰکُمُ التَّکَاثُرُ ۙ﴿﴾ حَتّٰی زُرۡتُمُ الۡمَقَابِرَ ؕ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah,
Maha Penyayang. Dalam upaya memperbanyak kekayaan telah melalaikan kamu, hingga kamu sampai di kuburan. (Al-Takatstsur [102]:1-3).
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam
Farid
***
“Pajajaran Anyar”, 31 Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar