Senin, 15 Oktober 2012

Makkah, Tha'if & Qadian








بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


 
SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN



Bab 103
    

Makkah, Tha'if & Qadian


 Oleh


Ki Langlang Buana Kusuma



Dalam   bagian akhir Bab sebelumnya telah dijelaskan  mengenai  alasan para pemuka kaum kafir Quraisy Makkah pimpinan Abu Jahal mendustakan dan menentang Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:

وَ قَالُوۡا لَوۡ لَا نُزِّلَ ہٰذَا الۡقُرۡاٰنُ عَلٰی رَجُلٍ مِّنَ الۡقَرۡیَتَیۡنِ  عَظِیۡمٍ ﴿﴾  اَہُمۡ یَقۡسِمُوۡنَ رَحۡمَتَ رَبِّکَ ؕ نَحۡنُ قَسَمۡنَا بَیۡنَہُمۡ  مَّعِیۡشَتَہُمۡ فِی الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا وَ رَفَعۡنَا بَعۡضَہُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٍ دَرَجٰتٍ لِّیَتَّخِذَ بَعۡضُہُمۡ بَعۡضًا سُخۡرِیًّا ؕ وَ رَحۡمَتُ رَبِّکَ خَیۡرٌ  مِّمَّا یَجۡمَعُوۡنَ ﴿﴾
 
Tetapi tatkala datang kepada mereka kebenaran, mereka berkata:  "Ini adalah sihir, dan sesungguhnya kami mengingkarinya."   Dan mereka berkata: "Mengapakah Al-Quran ini tidak diturunkan kepada seseorang besar dari kedua kota besar itu?" Apakah mereka yang  membagi-bagikan rahmat Tuhan engkau? Kami-lah Yang membagi-bagikan di antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami mengangkat sebagian mereka di atas sebagian lain dalam derajat, supaya sebagian dari mereka dapat melayani yang lainnya. Dan rahmat Tuhan engkau adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (Al-Zukhruf [43]:31-33).

Makkah dan Tha’if di Timur Tengah &
Qadian di Hindustan

   Kedua kota besar itu pada umumnya difahami kota-kota Makkah dan Tha'if. Pada zaman Nabi Besar Muhammad saw.  kedua kota itu merupakan dua buah pusat kehidupan sosial dan politik bangsa Arab.   Allah Swt. dalam ayat 32  menyatakan teguran keras terhadap orang-orang kafir, dengan mengatakan kepada mereka bahwa sejak kapankah mereka telah menyombongkan diri mengambil peranan menjadi pembagi rahmat dan kasih-sayang Allah Swt., atau mempunyai hak istimewa memutuskan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak menerima rahmat dan kasih-sayang Allah Swt.?
   Oleh karena itu ketika Allah Swt. mengutus Rasul Akhir Zaman – yang walau pun beliau berasal dari kalangan umat Islam – tetapi karena beliau diutus di Qadian yang terletak wilayah Hindustan, maka mereka pun telah  mendustakan dan menentang keras terhadap  Al-Masih Mau’ud a.s. atau misal Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58-59), firman-Nya:
وَ لَوۡ  نَزَّلۡنٰہُ عَلٰی بَعۡضِ الۡاَعۡجَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ   فَقَرَاَہٗ  عَلَیۡہِمۡ مَّا کَانُوۡا بِہٖ مُؤۡمِنِیۡنَ ﴿ ﴾ؕ
Dan seandainya Kami menurunkannya kepada salah seorang di antara orang yang bukan-Arab, lalu ia membacakannya kepada mereka, mereka sekali-kali tidak akan beriman kepadanya.    (Al-Syu’arā [26]:199).
Firman-Nya lagi:
وَ لَمَّا ضُرِبَ ابۡنُ مَرۡیَمَ  مَثَلًا  اِذَا قَوۡمُکَ مِنۡہُ  یَصِدُّوۡنَ ﴿ ﴾   وَ قَالُوۡۤاءَ اٰلِہَتُنَا خَیۡرٌ اَمۡ ہُوَ ؕ مَا ضَرَبُوۡہُ  لَکَ  اِلَّا جَدَلًا ؕ بَلۡ ہُمۡ قَوۡمٌ خَصِمُوۡنَ ﴿ ﴾
 
Dan apabila   Ibnu Maryam dikemukakan  sebagai misal tiba-tiba kaum engkau meneriakkan  penentangan  terhadapnya,   dan mereka berkata: "Apakah tuhan-tuhan kami lebih baik ataukah dia?" Mereka tidak menyebutkan hal itu kepada engkau melainkan perbantahan semata, bahkan mereka adalah kaum yang biasa berbantah. (Al-Zukhruf [43]:58-59).
Kemudian Allah Swt. berfirman lagi:
وَ لَوۡ  نَزَّلۡنٰہُ عَلٰی بَعۡضِ الۡاَعۡجَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ   فَقَرَاَہٗ  عَلَیۡہِمۡ مَّا کَانُوۡا بِہٖ مُؤۡمِنِیۡنَ ﴿ ﴾ؕ  کَذٰلِکَ سَلَکۡنٰہُ  فِیۡ قُلُوۡبِ الۡمُجۡرِمِیۡنَ ﴿ ﴾ؕ   لَا یُؤۡمِنُوۡنَ بِہٖ حَتّٰی یَرَوُا الۡعَذَابَ الۡاَلِیۡمَ ﴿ ﴾ۙ  فَیَاۡتِیَہُمۡ  بَغۡتَۃً   وَّ  ہُمۡ  لَا  یَشۡعُرُوۡنَ ﴿ ﴾ۙ 
  
Dan seandainya Kami menurunkannya kepada salah seorang di antara orang yang bukan-Arab, lalu ia membacakannya kepada mereka, mereka sekali-kali tidak akan beriman kepadanya.  Demikianlah Kami telah memasukkan hal itu dalam hati orang-orang yang berdosa.  Mereka tidak akan beriman kepadanya hingga mereka melihat azab yang  pedih,   maka azab itu akan datang kepada mereka dengan tiba-tiba, sedang mereka tidak menyadari, (Al-Syu’arā [26]:199-203).

“Nabi Besar Muhammad Saw.  dan Al-Quran
bukan Penyair dan Syair

         Kembali kepada pokok pembahasan ayat Surah Yā Sīn mengenai tuduhan bahwa Nabi Besar Muhammad sawa. adalah seorang penyair, seluruh  ayat Al-Quran  adalah firman Allah Swt. yang diwahyukan Allah Swt. ke dalam qalbu (hati) Nabi Besar Muhammad saw., Allah Swt. berfirman dalam Surah Ya Sin selanjutnya: 
وَ مَا عَلَّمۡنٰہُ الشِّعۡرَ وَ مَا یَنۡۢبَغِیۡ لَہٗ ؕ اِنۡ ہُوَ   اِلَّا  ذِکۡرٌ   وَّ  قُرۡاٰنٌ  مُّبِیۡنٌ ﴿ۙ ﴾   لِّیُنۡذِرَ مَنۡ کَانَ حَیًّا وَّ یَحِقَّ الۡقَوۡلُ عَلَی الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿ ﴾
 
Dan Kami sekali-kali tidak mengajarinya syair dan sekali-kali tidak pula layak baginya. Itu tidak lain melainkan suatu nasihat dan Quran yang memberi penerangan, supaya memberi peringatan kepada yang hidup, dan supaya menjadi pasti keputusan Allah atas orang-orang kafir. (Yā Sīn [36]:70-71).
        Adalah tidak sesuai dengan kemuliaan seorang rasul Allah, bahwa  Nabi Besar Muhammad saw. menjadi seorang penyair, sebab penyair-penyair pada umumnya suka berkhayal kosong dan menggantang asap. Nabi-nabi Allah menghadapi cita-cita dan rencana-rencana luhur lagi mulia sekali. Tetapi ayat ini tidaklah berarti, bahwa semua syair itu buruk, dan bahwa semua penyair itu pengkhayal belaka  melainkan maksudnya ialah bahwa seorang rasul Allah itu terlalu mulia dan martabat keruhaniannya terlalu tinggi untuk hanya disebut sekedar menjadi seorang penyair.
       Kata-kata “yang hidup”  dalam kalimat “supaya memberi peringatan kepada yang hidup“ berarti orang-orang yang keruhaniannya tidak mati, yaitu orang-orang yang mampu memperoleh dan menerima Amanat Ilahi dan mempunyai kemampuan menyambut dan menjawab panggilan kepada kebenaran.

Rūhul Amīn” dan “Al-Amīn

       Dalam Surah Al-Quran lainnya  Allah Swt. berfirman mengenai wahyu Al-Quran yang diturun-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ  اِنَّ  رَبَّکَ  لَہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الرَّحِیۡمُ ﴿ ﴾٪  وَ  اِنَّہٗ   لَتَنۡزِیۡلُ  رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿ ﴾ؕ   نَزَلَ  بِہِ  الرُّوۡحُ  الۡاَمِیۡنُ ﴿ ﴾ۙ  عَلٰی قَلۡبِکَ لِتَکُوۡنَ مِنَ الۡمُنۡذِرِیۡنَ ﴿ ﴾  بِلِسَانٍ عَرَبِیٍّ مُّبِیۡنٍ ﴿ ؕ  وَ  اِنَّہٗ  لَفِیۡ  زُبُرِ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿    اَوَ لَمۡ  یَکُنۡ لَّہُمۡ اٰیَۃً  اَنۡ یَّعۡلَمَہٗ عُلَمٰٓؤُا بَنِیۡۤ   اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿ ﴾ؕ
 
Dan sesungguhnya Al-Quran ini diturunkan oleh Rabb (Tuhan) seluruh alam.  Telah turun dengannya  Ruh yang terpercaya,  atas kalbu engkau,  supaya engkau termasuk di antara para pemberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.   Dan sesungguhnya Al-Quran benar-benar tercantum di dalam kitab-kitab terdahuluDan tidakkah ini merupakan satu Tanda bagi mereka bahwa ulama-ulama Bani Israil pun mengetahuinya? (Al-Syu’arā [26]:193-198).
       Ayat-ayat ini bermaksud mengatakan bahwa wahyu Al-Quran bukanlah suatu gejala baru. Seperti amanat-amanat para nabi  yang dikemukakan dalam ayat-ayat sebelumnya, amanat Al-Quran juga telah diwahyukan oleh Allah Swt., tetapi dengan perbedaan bahwa nabi-nabi terdahulu diutus kepada kaumnya masing-masing, sedang Al-Quran diturunkan untuk seluruh bangsa di dunia, sebab Al-Quran “diturunkan oleh Tuhan seluruh alam”, sebagaimana halnya Nabi Besar Muhammad saw. adalah rasul Allah untuk seluruh umat manusia (QS.7:159; QS.21:108; QS.25:2; QS.34:29).
       Dalam ayat 194 malaikat Jibril a.s. yang membawa wahyu Al-Quran disebut Rūhul-amīn, yaitu Ruh yang terpercaya. Di tempat lain disebut Ruhul-qudus (QS.16:103), yakni ruh suci. Nama kehormatan terakhir dipergunakan dalam Al-Quran untuk menunjuk kepada kebebasan yang kekal-abadi dan mutlak dari setiap kekeliruan atau noda; dan penggunaan nama kehormatan yang pertama (Rūhul-Amīn) mengandung arti, bahwa Al-Quran akan terus-menerus mendapat perlindungan Ilahi terhadap segala usaha yang merusak keutuhan teksnya.
       Nama kehormatan  Rūhul-amīn” ini secara khusus telah dipergunakan berkenaan dengan wahyu Al-Quran, sebab janji pemeliharaan Ilahi yang kekal-abadi tidak diberikan kepada kitab-kitab suci lainnya (QS.15:10), dan kata-kata dalam kitab-kitab suci itu, oleh karena berlalunya masa telah menderita campur tangan manusia dan perubahan.
       Sungguh menakjubkan  bahwa di Mekkah  Nabi Besar Muhammad saw. sendiri dikenal sebagai Al-Amīn (si benar; terpercaya). Betapa besar penghormatan Ilahi dan betapa besar kesaksian mengenai keterpercayaan Al-Quran, karena wahyu Al-Quran dibawa oleh Rūhul-amīn (Ruh yang terpercaya) yakni Malaikat Jibrail kepada seorang amin!

Al-Quran adalah Wahyu Ilahi,

     Kata-kata “atas kalbu engkau” telah dibubuhkan untuk mengatakan  bahwa wahyu-wahyu Al-Quran bukan hanya gagasan yang dicetuskan Nabi Besar Muhammad saw. dengan perkataan beliau saw. sendiri, melainkan benar-benar Kalam (Firman)  Allāh Swt. Sendiri, yang turun kepada hati beliau saw. dengan perantaraan Malaikat Jibril.
      Pernyataan Allah Swt.  Dan sesungguhnya Al-Quran benar-benar tercantum di dalam kitab-kitab terdahulu.   Dan tidakkah ini merupakan satu Tanda bagi mereka bahwa ulama-ulama Bani Israil pun mengetahuinya?” menerangkan bahwa hal diutusnya  Nabi Besar Muhammad saw. dan hal turunnya Al-Quran, kedua-duanya telah dinubuatkan dalam kitab-kitab suci terdahulu.
      Kabar-kabar gaib (nubuatan-nubuatan) tentang itu kita dapati dalam Kitab-kitab hampir setiap agama, akan tetapi Bible — yang merupakan kitab suci yang paling dikenal dan paling luas dibaca di antara seluruh kitab wahyu sebelum Al-Quran, dan juga karena merupakan pendahulunya dan dalam kemurniannya  konon merupakan rekan sejawat, kitab syariat— mengandung paling banyak jumlah nubuatan demikian. Lihat Ulangan 18:18 dan 33:2; Yesaya 21:13-17; Amtsal Solaiman 1:5-6; Habakuk 3:7; Matius 21:42-45 dan Yahya 16:12-14.
      Dalam firman-Nya berikut ini Allah Swt. menjelaskan  mengenai kedekatan sempurna  Nabi Besar Muhammad saw. kepada Allah Swt., sehingga Allah Swt. berkenan menurunkan syariat terakhir dan tersempurna (wahyu Al-Quran) kepada beliau saw. (QS.5:4), firman-Nya:
وَ النَّجۡمِ   اِذَا ہَوٰی ۙ﴿ ﴾       مَا ضَلَّ صَاحِبُکُمۡ  وَ مَا غَوٰی ۚ﴿ ﴾   وَ مَا یَنۡطِقُ عَنِ  الۡہَوٰی ؕ﴿ ﴾      اِنۡ  ہُوَ   اِلَّا  وَحۡیٌ   یُّوۡحٰیۙ﴿ ﴾
Demi bintang  apabila  jatuh.     Tidaklah sahabat kamu sesat  dan tidak pula keliru. Dan ia sekali-kali tidak berkata-kata menuruti keinginannya.  Perkataannya itu tidak lain melainkan wahyu yang diwahyukan.  (Al-Najm [53]:2-5).
                       
Berbagai Makna An-Najm

   An-najm berarti bintang atau tumbuhan yang tidak berbatang. Tetapi bila dikenakan sebagai kata pengganti nama kata itu berarti “Bintang Tujuh “ (Bintang Kartika atau Pleiades). Kata itu dianggap juga oleh beberapa ulama sebagai mengandung arti penurunan (pewahyuan)  Al-Quran secara berangsur-angsur, dan oleh beberapa sumber lainnya dianggap mengisyaratkan kepada Nabi Besar Muhammad swaw.   sendiri. Kata jamaknya an-nujum, berarti juga para kepala kaum atau kepala negara-negara kecil atau jajahan atau kerajaan-kerajaan kecil (Kasysyaf; Taj ‘ul-Urus & Ghara’ib-al-Quran).
    Mengingat akan arti yang berbeda-beda maka kata an-najm dalam ayat ini dapat diterangkan:
 (1) Menurut sebuah hadits yang masyhur, Nabi Besar Muhammad saw. pernah mengatakan: “Manakala kegelapan ruhani meliputi seluruh permukaan bumi dan tidak ada yang tinggal dari Islam kecuali namanya, dan tidak ada dari Al-Quran kecuali hurufnya dan iman terbang ke Bintang Tsuraya, maka seorang laki-laki dari keturunan Parsi akan membawanya kembali ke bumi” (Bukhari).
 (2) Kata An-najm itu dapat berarti bahwa Al-Quran memberi kesaksian atas kebenarannya sendiri.
 (3) Pohon Islam yang masih lemah – arti lain an-najm adalah  tumbuhan yang tidak berbatang  --  kini seperti akan tumbang oleh angin perlawanan kuat lagi tidak bersahabat yang bertiup kencang dan sengit ke arahnya, tidak lama lagi akan bangkit dan berkembang menjadi pohon megah dan di bawah naungannya yang sejuk, bangsa-bangsa besar akan berteduh. (QS.48:30; QS.14:25-26).
 (4) Karena orang-orang Arab sudah biasa menetapkan arah dan tujuan serta dibimbing dalam perjalanan mereka di padang pasir Arabia oleh peredaran bintang-bintang (QS.16: 17), demikianlah mereka sekarang akan dibimbing ke tujuan ruhani mereka oleh bintang yang paling cemerlang, ialah Rasulullāh saw. (5) Ayat ini dapat juga mengandung sebuah nubuatan tentang jatuhnya negeri Arab yang sudah bobrok, suatu nubuatan yang lebih jelas lagi diterangkan dalam  QS.54:2.
 Makna ayat “Tidaklah sahabat kamu sesat  dan tidak pula keliru.  Dan ia sekali-kali tidak berkata-kata menuruti keinginannya.  Perkataannya itu tidak lain melainkan wahyu yang diwahyukan,“ yaitu bahwa  Cita-cita dan asas-asas yang dikemukakan oleh Nabi Besar Muhammad saw.   tidak salah  lagi pula beliau saw. sekali-kali tidak menyimpang dari asas-asas itu (yakni beliau saw. juga tidak tersesat). Dengan demikian mengingat cita-cita luhur dan mulia beliau saw. dan mengingat pula cara beliau saw. menjalani hidup sesuai dengan cita-cita itu, beliau saw. adalah penunjuk-jalan yang terjamin dan aman. Keterangan itu lebih diperkuat lagi dalam beberapa ayat berikutnya.

(Bersambung). 

Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar”, 16 Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma




Tidak ada komentar:

Posting Komentar