بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN
Bab 103
Makkah, Tha'if & Qadian
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam bagian akhir Bab sebelumnya telah
dijelaskan mengenai alasan para pemuka kaum kafir Quraisy Makkah
pimpinan Abu Jahal mendustakan dan menentang Nabi Besar Muhammad saw.,
firman-Nya:
وَ قَالُوۡا لَوۡ لَا نُزِّلَ ہٰذَا الۡقُرۡاٰنُ عَلٰی رَجُلٍ مِّنَ
الۡقَرۡیَتَیۡنِ عَظِیۡمٍ ﴿﴾ اَہُمۡ یَقۡسِمُوۡنَ
رَحۡمَتَ رَبِّکَ ؕ نَحۡنُ قَسَمۡنَا بَیۡنَہُمۡ
مَّعِیۡشَتَہُمۡ فِی الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا وَ رَفَعۡنَا بَعۡضَہُمۡ فَوۡقَ
بَعۡضٍ دَرَجٰتٍ لِّیَتَّخِذَ بَعۡضُہُمۡ بَعۡضًا سُخۡرِیًّا ؕ وَ رَحۡمَتُ
رَبِّکَ خَیۡرٌ مِّمَّا یَجۡمَعُوۡنَ ﴿﴾
Tetapi tatkala datang kepada mereka kebenaran, mereka berkata: "Ini adalah sihir, dan sesungguhnya
kami mengingkarinya." Dan mereka berkata: "Mengapakah Al-Quran ini tidak diturunkan kepada seseorang besar dari kedua kota besar itu?" Apakah mereka yang
membagi-bagikan rahmat Tuhan engkau? Kami-lah Yang membagi-bagikan di antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia
dan Kami mengangkat sebagian mereka
di atas sebagian lain dalam derajat,
supaya sebagian dari mereka dapat
melayani yang lainnya. Dan rahmat
Tuhan engkau adalah lebih baik
dari apa yang mereka kumpulkan. (Al-Zukhruf
[43]:31-33).
Makkah dan Tha’if di Timur Tengah &
Qadian di Hindustan
Kedua kota besar itu pada umumnya
difahami kota-kota Makkah dan Tha'if. Pada zaman Nabi Besar Muhammad
saw. kedua kota itu merupakan
dua buah pusat kehidupan sosial dan politik bangsa Arab. Allah Swt.
dalam ayat 32 menyatakan teguran keras terhadap orang-orang kafir, dengan mengatakan
kepada mereka bahwa sejak kapankah mereka telah menyombongkan diri mengambil peranan menjadi pembagi rahmat dan kasih-sayang
Allah Swt., atau mempunyai hak
istimewa memutuskan siapa yang berhak
dan siapa yang tidak berhak menerima rahmat dan kasih-sayang Allah Swt.?
Oleh karena
itu ketika Allah Swt. mengutus Rasul
Akhir Zaman – yang walau pun beliau berasal dari kalangan umat Islam – tetapi karena beliau diutus
di Qadian
yang terletak wilayah Hindustan, maka
mereka pun telah mendustakan dan menentang
keras terhadap Al-Masih Mau’ud a.s. atau misal
Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58-59), firman-Nya:
وَ لَوۡ نَزَّلۡنٰہُ
عَلٰی بَعۡضِ الۡاَعۡجَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ فَقَرَاَہٗ
عَلَیۡہِمۡ مَّا کَانُوۡا بِہٖ مُؤۡمِنِیۡنَ ﴿ ﴾ؕ
Dan seandainya
Kami menurunkannya kepada salah
seorang di antara orang yang bukan-Arab, lalu ia membacakannya kepada mereka, mereka sekali-kali tidak akan beriman kepadanya. (Al-Syu’arā [26]:199).
Firman-Nya lagi:
وَ لَمَّا ضُرِبَ ابۡنُ
مَرۡیَمَ مَثَلًا اِذَا قَوۡمُکَ مِنۡہُ یَصِدُّوۡنَ ﴿ ﴾
وَ قَالُوۡۤاءَ اٰلِہَتُنَا خَیۡرٌ اَمۡ ہُوَ ؕ مَا
ضَرَبُوۡہُ لَکَ اِلَّا جَدَلًا ؕ بَلۡ ہُمۡ قَوۡمٌ خَصِمُوۡنَ
﴿ ﴾
Dan apabila Ibnu
Maryam dikemukakan sebagai misal
tiba-tiba kaum engkau meneriakkan penentangan terhadapnya, dan
mereka berkata: "Apakah tuhan-tuhan
kami lebih baik ataukah dia?"
Mereka tidak menyebutkan hal itu kepada engkau melainkan perbantahan semata, bahkan mereka adalah kaum yang biasa berbantah. (Al-Zukhruf [43]:58-59).
Kemudian Allah Swt. berfirman lagi:
Kemudian Allah Swt. berfirman lagi:
وَ لَوۡ نَزَّلۡنٰہُ عَلٰی بَعۡضِ الۡاَعۡجَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ فَقَرَاَہٗ عَلَیۡہِمۡ مَّا کَانُوۡا بِہٖ مُؤۡمِنِیۡنَ ﴿ ﴾ؕ کَذٰلِکَ سَلَکۡنٰہُ فِیۡ قُلُوۡبِ الۡمُجۡرِمِیۡنَ ﴿ ﴾ؕ لَا یُؤۡمِنُوۡنَ بِہٖ
حَتّٰی یَرَوُا الۡعَذَابَ الۡاَلِیۡمَ ﴿ ﴾ۙ فَیَاۡتِیَہُمۡ بَغۡتَۃً
وَّ ہُمۡ لَا یَشۡعُرُوۡنَ ﴿ ﴾ۙ
Dan seandainya
Kami menurunkannya kepada salah
seorang di antara orang yang bukan-Arab, lalu ia membacakannya kepada mereka, mereka sekali-kali tidak akan beriman kepadanya. Demikianlah Kami telah memasukkan hal itu dalam hati orang-orang yang
berdosa. Mereka tidak akan beriman kepadanya hingga mereka melihat azab yang pedih,
maka
azab itu akan datang
kepada mereka dengan tiba-tiba, sedang mereka
tidak menyadari, (Al-Syu’arā [26]:199-203).
“Nabi Besar
Muhammad Saw. dan Al-Quran
bukan Penyair dan Syair
Kembali kepada pokok pembahasan ayat
Surah Yā Sīn mengenai tuduhan bahwa Nabi Besar Muhammad sawa.
adalah seorang penyair, seluruh ayat Al-Quran
adalah firman Allah Swt. yang diwahyukan Allah Swt. ke dalam qalbu (hati) Nabi Besar Muhammad saw.,
Allah Swt. berfirman dalam Surah Ya Sin selanjutnya:
وَ مَا عَلَّمۡنٰہُ الشِّعۡرَ وَ مَا یَنۡۢبَغِیۡ لَہٗ ؕ
اِنۡ ہُوَ اِلَّا ذِکۡرٌ وَّ قُرۡاٰنٌ مُّبِیۡنٌ ﴿ۙ ﴾ لِّیُنۡذِرَ مَنۡ کَانَ حَیًّا وَّ یَحِقَّ
الۡقَوۡلُ عَلَی الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿ ﴾
Dan Kami sekali-kali tidak mengajarinya syair dan sekali-kali tidak pula layak baginya. Itu tidak lain melainkan
suatu nasihat dan Quran yang memberi penerangan, supaya memberi
peringatan kepada yang hidup, dan supaya menjadi pasti keputusan Allah atas orang-orang kafir. (Yā Sīn [36]:70-71).
Adalah tidak sesuai dengan kemuliaan seorang rasul Allah, bahwa Nabi Besar Muhammad saw. menjadi seorang penyair, sebab penyair-penyair pada umumnya suka berkhayal kosong dan menggantang
asap. Nabi-nabi Allah menghadapi cita-cita
dan rencana-rencana luhur lagi mulia sekali. Tetapi ayat ini tidaklah
berarti, bahwa semua syair itu buruk,
dan bahwa semua penyair itu pengkhayal belaka melainkan maksudnya ialah bahwa seorang rasul Allah itu terlalu mulia dan martabat keruhaniannya terlalu tinggi untuk hanya disebut sekedar
menjadi seorang penyair.
Kata-kata “yang hidup” dalam kalimat “supaya memberi peringatan kepada
yang hidup“ berarti orang-orang yang keruhaniannya tidak mati, yaitu orang-orang yang mampu memperoleh dan menerima Amanat Ilahi dan mempunyai kemampuan
menyambut dan menjawab panggilan
kepada kebenaran.
“Rūhul Amīn” dan “Al-Amīn”
Dalam Surah Al-Quran lainnya Allah Swt. berfirman mengenai wahyu Al-Quran yang diturun-Nya kepada
Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ اِنَّ رَبَّکَ لَہُوَ الۡعَزِیۡزُ
الرَّحِیۡمُ ﴿ ﴾٪ وَ اِنَّہٗ
لَتَنۡزِیۡلُ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿ ﴾ؕ نَزَلَ بِہِ الرُّوۡحُ
الۡاَمِیۡنُ ﴿ ﴾ۙ عَلٰی قَلۡبِکَ لِتَکُوۡنَ مِنَ الۡمُنۡذِرِیۡنَ ﴿ ﴾ بِلِسَانٍ عَرَبِیٍّ
مُّبِیۡنٍ ﴿ ؕ
وَ
اِنَّہٗ
لَفِیۡ زُبُرِ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ ﴾ اَوَ لَمۡ یَکُنۡ لَّہُمۡ اٰیَۃً اَنۡ یَّعۡلَمَہٗ عُلَمٰٓؤُا بَنِیۡۤ اِسۡرَآءِیۡلَ
﴿ ﴾ؕ
Dan sesungguhnya Al-Quran
ini diturunkan oleh Rabb (Tuhan) seluruh
alam. Telah turun dengannya Ruh yang terpercaya, atas kalbu
engkau, supaya engkau termasuk di antara para pemberi
peringatan, dengan bahasa Arab yang
jelas. Dan sesungguhnya Al-Quran benar-benar tercantum di dalam kitab-kitab terdahulu.
Dan tidakkah
ini merupakan satu Tanda bagi mereka bahwa ulama-ulama Bani Israil pun mengetahuinya? (Al-Syu’arā
[26]:193-198).
Ayat-ayat ini bermaksud mengatakan
bahwa wahyu Al-Quran bukanlah suatu
gejala baru. Seperti amanat-amanat
para nabi yang dikemukakan dalam
ayat-ayat sebelumnya, amanat Al-Quran
juga telah diwahyukan oleh Allah Swt., tetapi dengan perbedaan bahwa nabi-nabi terdahulu diutus kepada kaumnya masing-masing, sedang Al-Quran diturunkan untuk seluruh bangsa di dunia, sebab Al-Quran
“diturunkan oleh Tuhan seluruh alam”,
sebagaimana halnya Nabi Besar Muhammad saw. adalah rasul Allah untuk seluruh
umat manusia (QS.7:159; QS.21:108; QS.25:2; QS.34:29).
Dalam
ayat 194 malaikat Jibril a.s. yang
membawa wahyu Al-Quran disebut Rūhul-amīn,
yaitu Ruh yang terpercaya. Di tempat
lain disebut Ruhul-qudus (QS.16:103), yakni ruh suci. Nama kehormatan terakhir dipergunakan dalam Al-Quran untuk menunjuk kepada kebebasan
yang kekal-abadi dan mutlak dari setiap kekeliruan atau noda; dan penggunaan
nama kehormatan yang pertama (Rūhul-Amīn) mengandung arti, bahwa Al-Quran akan terus-menerus mendapat perlindungan Ilahi terhadap segala usaha
yang merusak keutuhan teksnya.
Nama kehormatan “Rūhul-amīn” ini secara khusus telah
dipergunakan berkenaan dengan wahyu
Al-Quran, sebab janji pemeliharaan
Ilahi yang kekal-abadi tidak diberikan kepada kitab-kitab suci lainnya
(QS.15:10), dan kata-kata dalam kitab-kitab suci itu, oleh karena berlalunya
masa telah menderita campur tangan manusia dan perubahan.
Sungguh menakjubkan bahwa di Mekkah Nabi Besar Muhammad saw. sendiri dikenal
sebagai Al-Amīn (si benar; terpercaya). Betapa besar penghormatan Ilahi dan betapa besar kesaksian
mengenai keterpercayaan Al-Quran,
karena wahyu Al-Quran dibawa oleh Rūhul-amīn
(Ruh yang terpercaya) yakni Malaikat Jibrail kepada seorang amin!
Al-Quran
adalah Wahyu Ilahi,
Kata-kata “atas kalbu engkau” telah
dibubuhkan untuk mengatakan bahwa wahyu-wahyu Al-Quran bukan hanya gagasan yang dicetuskan Nabi Besar Muhammad saw. dengan perkataan beliau saw. sendiri,
melainkan benar-benar Kalam (Firman) Allāh Swt. Sendiri, yang turun kepada hati beliau saw. dengan perantaraan Malaikat Jibril.
Pernyataan Allah Swt. “Dan
sesungguhnya Al-Quran benar-benar
tercantum di dalam kitab-kitab terdahulu. Dan tidakkah
ini merupakan satu Tanda bagi mereka bahwa ulama-ulama Bani Israil pun
mengetahuinya?” menerangkan bahwa hal diutusnya Nabi Besar Muhammad saw. dan hal turunnya Al-Quran, kedua-duanya telah dinubuatkan dalam kitab-kitab suci
terdahulu.
Kabar-kabar gaib (nubuatan-nubuatan) tentang
itu kita dapati dalam Kitab-kitab
hampir setiap agama, akan tetapi Bible
— yang merupakan kitab suci yang
paling dikenal dan paling luas dibaca di antara seluruh kitab wahyu sebelum Al-Quran, dan juga karena merupakan
pendahulunya dan dalam kemurniannya
konon merupakan rekan sejawat, kitab syariat— mengandung paling banyak
jumlah nubuatan demikian. Lihat Ulangan 18:18 dan 33:2; Yesaya 21:13-17; Amtsal Solaiman 1:5-6; Habakuk 3:7; Matius 21:42-45 dan Yahya 16:12-14.
Dalam firman-Nya berikut ini
Allah Swt. menjelaskan mengenai kedekatan sempurna Nabi Besar Muhammad saw. kepada Allah Swt.,
sehingga Allah Swt. berkenan menurunkan syariat
terakhir dan tersempurna (wahyu
Al-Quran) kepada beliau saw. (QS.5:4), firman-Nya:
وَ النَّجۡمِ
اِذَا ہَوٰی ۙ﴿ ﴾ مَا ضَلَّ صَاحِبُکُمۡ وَ مَا غَوٰی ۚ﴿ ﴾
وَ مَا یَنۡطِقُ عَنِ الۡہَوٰی ؕ﴿ ﴾ اِنۡ
ہُوَ اِلَّا وَحۡیٌ یُّوۡحٰیۙ﴿ ﴾
Demi bintang
apabila jatuh.
Tidaklah
sahabat kamu sesat dan tidak pula keliru. Dan ia
sekali-kali tidak berkata-kata menuruti keinginannya. Perkataannya itu tidak lain melainkan wahyu yang diwahyukan. (Al-Najm
[53]:2-5).
Berbagai
Makna An-Najm
An-najm berarti bintang atau tumbuhan yang tidak berbatang. Tetapi bila dikenakan sebagai kata pengganti nama kata itu berarti “Bintang
Tujuh “ (Bintang Kartika atau Pleiades). Kata itu dianggap juga oleh beberapa
ulama sebagai mengandung arti penurunan
(pewahyuan) Al-Quran secara berangsur-angsur, dan oleh
beberapa sumber lainnya dianggap mengisyaratkan kepada Nabi Besar Muhammad
swaw. sendiri. Kata jamaknya
an-nujum, berarti juga para kepala
kaum atau kepala negara-negara kecil
atau jajahan atau kerajaan-kerajaan kecil (Kasysyaf; Taj ‘ul-Urus &
Ghara’ib-al-Quran).
Mengingat akan arti yang berbeda-beda maka
kata an-najm dalam ayat ini dapat diterangkan:
(1) Menurut sebuah hadits yang masyhur, Nabi
Besar Muhammad saw. pernah mengatakan: “Manakala kegelapan ruhani meliputi seluruh permukaan bumi dan tidak ada yang
tinggal dari Islam kecuali namanya, dan tidak ada dari Al-Quran kecuali hurufnya dan iman terbang ke
Bintang Tsuraya, maka seorang
laki-laki dari keturunan Parsi
akan membawanya kembali ke bumi” (Bukhari).
(2) Kata An-najm
itu dapat berarti bahwa Al-Quran memberi kesaksian atas kebenarannya sendiri.
(3) Pohon Islam
yang masih lemah – arti lain an-najm
adalah tumbuhan yang tidak berbatang
-- kini seperti akan tumbang oleh
angin perlawanan kuat lagi tidak bersahabat yang bertiup kencang dan
sengit ke arahnya, tidak lama lagi akan bangkit
dan berkembang menjadi pohon megah dan di bawah naungannya yang sejuk, bangsa-bangsa
besar akan berteduh. (QS.48:30; QS.14:25-26).
(4) Karena orang-orang Arab sudah biasa
menetapkan arah dan tujuan serta dibimbing dalam perjalanan mereka di padang pasir Arabia oleh
peredaran bintang-bintang (QS.16:
17), demikianlah mereka sekarang akan dibimbing ke tujuan ruhani mereka oleh
bintang yang paling cemerlang, ialah Rasulullāh saw. (5) Ayat ini
dapat juga mengandung sebuah nubuatan tentang jatuhnya negeri Arab yang sudah
bobrok, suatu nubuatan yang lebih jelas lagi diterangkan dalam QS.54:2.
Makna ayat “Tidaklah sahabat kamu sesat
dan tidak pula keliru. Dan ia
sekali-kali tidak berkata-kata menuruti keinginannya. Perkataannya
itu tidak lain melainkan wahyu
yang diwahyukan,“ yaitu bahwa Cita-cita dan asas-asas yang dikemukakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. tidak salah lagi pula beliau saw. sekali-kali tidak
menyimpang dari asas-asas itu (yakni beliau saw. juga tidak tersesat). Dengan
demikian mengingat cita-cita luhur
dan mulia beliau saw. dan mengingat
pula cara beliau saw. menjalani hidup
sesuai dengan cita-cita itu, beliau saw.
adalah penunjuk-jalan yang terjamin dan aman. Keterangan itu lebih diperkuat lagi dalam beberapa ayat
berikutnya.
(Bersambung).
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
“Pajajaran Anyar”, 16
Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar