Senin, 29 Oktober 2012

Makna "Sijjiin" & Tiga Tingkatan Keyakinan





بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


  SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN



Bab 113
    
Makna "Sijjiin"  &
Tiga Tingkatan Keyakinan 


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma


Dalam   bagian   akhir Bab sebelumnya   Allah Swt. dalam Al-Quran telah mengemukakan  para pemuka agama Yahudi  yang mendustakan Nabi Besar Muhammad saw. – yakni “nabi yang seperti Musa” (Ulangan 18:18-19; QS.46:11) – dengan perumpamaan “keledai pemikul buku-buku yang tebal” di punggungnya,  padahal nubuatan mengenai beliau saw. di dalam Taurat dan Injil sangat banyak dan jelas (QS.26:193-198; QS.61:6-7), sehingga Al-Quran mengatakan bahwa “mereka mengenalnya  bagaikan mengenal  anak-anak mereka sendiri” (QS.2:147), firman-Nya:  
مَثَلُ  الَّذِیۡنَ حُمِّلُوا  التَّوۡرٰىۃَ  ثُمَّ  لَمۡ یَحۡمِلُوۡہَا کَمَثَلِ  الۡحِمَارِ یَحۡمِلُ اَسۡفَارًا ؕ بِئۡسَ مَثَلُ  الۡقَوۡمِ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِ اللّٰہِ ؕ وَ اللّٰہُ  لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ  الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾
Misal orang-orang yang dipikulkan kepada mereka Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya, adalah semisal keledai yang memikul kitab-kitab. Sangat  buruk misal kaum yang mendustakan Tanda-tanda Allah. Dan Allah tidak akan memberi petun-juk kaum yang zalim. (Al Jumu’ah [62]:6).
     Karena mereka menolak nikmat Allah Swt. berupa rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan kepada mereka (QS.1:6) maka dalam Surah Al-Fatihah mereka itulah yang dimaksud  doa selanjutnya  yang orang-orang beriman agar terhindar dari menjadi  golongan: “bukan mereka  yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka  yang sesat,“   sedangkan mengenai “orang-orang yang  mendapat nikmat-nikmat Allah Swt.” dalam  doa sebelumnya (QS.1:7) Dia berfirman:      
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ ﴾   ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿ ﴾
Dan  barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara  orang-orang  yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka  itulah sahabat yang sejati.   Itulah karunia dari Allah,  dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui. (Al-Nisā [4]:70-71).
        Dengan demikian, jika “orang-orang yang mendapat nikmat dari Allah Swt.” – khususnya mereka yang memperoleh kedekatan khusus dengan Allah Swt. (al-muqarrabun) – adalah penghuni surga ‘iliyyun (QS.83:19-29),  sedangkan golongan “maghdhūb dan dhāllīn” adalah penghuni sijjīn, firman-Nya:
کَلَّاۤ  اِنَّ  کِتٰبَ الۡفُجَّارِ لَفِیۡ  سِجِّیۡنٍ ؕ﴿ ﴾   وَ مَاۤ  اَدۡرٰىکَ مَا سِجِّیۡنٌ ؕ﴿ ﴾   کِتٰبٌ مَّرۡقُوۡمٌ ؕ﴿ ﴾
Sekali-kali tidak, sesungguhnya  kitab para pendurhaka adalah di dalam sijjīn.     Dan apakah yang engkau ketahui,  apa  sijjīn itu?    Yaitu sebuah kitab tertulis. (Al-Muthaffifin [83]:8-10).

Dosa Menyebabkan Kelumpuhan
Indera-indera Ruhani

     Sijjīn dianggap oleh sementara ahli tafsir Al-Quran dengan keliru sebagai suatu kata bukan bahasa Arab, namun menurut beberapa sumber terkemuka seperti Farra’, Zajjaj, Abu Ubaidah, dan Mubarrad, kata itu memang bahasa Arab yang diambil dari kata sajana. Lisan menganggapnya sama dengan sijn (penjara). Sijjīn adalah buku registrasi di dalamnya tercatat segala perbuatan jahat yang dilakukan oleh para penjahat yang konon tersimpan di alam akhirat. Kata itu berarti pula sesuatu yang keras, hebat, dan dahsyat; berkesinambungan, lestari atau kekal abadi (Lexicon Lane).
      Kata sijjīn menunjukkan  bahwa hukuman bagi orang-orang kafir durjana itu akan amat keras dan kekal. Atau ayat ini dapat berarti bahwa orang-orang durjana yang ditempatkan di dalam suatu tempat hina lagi nista, dan keputusan itu tidak dapat dibatalkan lagi.
    Atau, sijjīn dan ‘illiyyīn itu mungkin dua bagian yang dituturkan Al-Quran; yang pertama membicarakan orang-orang yang menolak Amanat Allah serta hukuman yang akan dijatuhkan kepada mereka, sedang yang terakhir membicarakan hamba-hamba Allah yang bertakwa serta ganjaran-ganjaran yang akan dianugerahkan kepada mereka. Jadi maksud ayat ini ialah bahwa keputusan yang tercantum di dalam kedua bagian itu tidak dapat diubah atau diganti. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
 وَیۡلٌ یَّوۡمَئِذٍ لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ ﴿ۙ﴾   الَّذِیۡنَ یُکَذِّبُوۡنَ بِیَوۡمِ الدِّیۡنِ ﴿ؕ﴾   وَ مَا یُکَذِّبُ بِہٖۤ  اِلَّا کُلُّ مُعۡتَدٍ اَثِیۡمٍ ﴿ۙ﴾  اِذَا  تُتۡلٰی عَلَیۡہِ  اٰیٰتُنَا  قَالَ اَسَاطِیۡرُ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ؕ﴾  کَلَّا بَلۡ ٜ رَانَ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ مَّا کَانُوۡا یَکۡسِبُوۡنَ ﴿﴾  کَلَّاۤ  اِنَّہُمۡ عَنۡ رَّبِّہِمۡ یَوۡمَئِذٍ لَّمَحۡجُوۡبُوۡنَ ﴿ؕ﴾  ثُمَّ  اِنَّہُمۡ  لَصَالُوا الۡجَحِیۡمِ ﴿ؕ﴾  ثُمَّ یُقَالُ ہٰذَا الَّذِیۡ کُنۡتُمۡ بِہٖ تُکَذِّبُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Celakalah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan,   yaitu orang-orang yang mendustakan Hari Pembalasan.  Dan sekali-kali tidak ada yang mendusta-kannya kecuali setiap pelanggar batas lagi sangat berdosa,    Apabila Tanda-tanda Kami dibacakan kepadanya  ia berkata: “Inilah dongeng orang-orang dahulu!”  Sekali-kali tidak demikian, bahkan  apa yang mereka usahakan telah menjadi karat pada hati mereka.   Sekali-kali tidak demikian, bahkan sesungguhnya pada hari itu mereka benar-benar terhalang dari melihat Tuhan mereka. Kemudian sesungguhnya  mereka pasti masuk ke dalam Jahannam.   Kemudian  dikatakan: “Inilah apa yang senantiasa kamu  dustakan.” (Al-Muthaffifīn [83]:8-18).
          Kalimat “apa yang mereka usahakan telah menjadi karat pada hati mereka“ menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan dosa yang dilakukan  manusia akan menyebabkan kelumpuhan  indera-indera ruhani mereka termasuk kelumpuhan  penglihatan ruhani mereka, sehingga mereka menganggap Al-Quran sebagai himpunan dongeng orang-orang purbakala belaka, padahal Al-Quran  berisi dengan berbagai Tanda-tanda Allah yang sangat luar biasa.

Terhalang Melihat Penampakan Allah Swt. &
Tiga Tingkatan Yakin (Keyakinan)

  Kalimat “Sekali-kali tidak demikian, bahkan sesungguhnya pada hari itu mereka benar-benar terhalang dari melihat  Tuhan mereka“, bahwa  nikmat melihat Wajah Allah Swt. dianugerahkan kepada orang beriman  melalui dua tingkat. Tingkat pertama ialah tingkat keimanan, ketika memperoleh keyakinan teguh kepada Sifat-sifat Allah Swt.  Tingkat kedua atau tingkat lebih tinggi berupa anugerah kenyataan mengenai Dzat Ilahi.
    Orang-orang berdosa disebabkan dosa-dosa mereka akan tetap luput dari makrifat Dzat Ilahi pada Hari Pembalasan mereka tidak akan melihat Wajah Allah, yakni mereka akan dibangkitkan dalam keadaan buta (QS.17:73; QS.20:125-129).
   Istilah “melihat”  Allah Swt. adalah sebutan lain dari yakin (keyakinan), yang menurut Allah Swt.  dalam Al-Quran ada 3 tingkatan keyakinan, yakni (1) ‘ilmul-yaqin (keyakinan atas dasar ilmu/pendengaran), (2) ‘aynul-yaqin (keyakinan atas dasar penglihatan) dan (3) haqqul-yaqin  (keyakinan atas dasar pengalaman sendiri),  mengenai hal tersebut Allah Swt, berfirman dalam Surah Al-Takatstsur:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  اَلۡہٰکُمُ  التَّکَاثُرُ ۙ﴿﴾   حَتّٰی زُرۡتُمُ  الۡمَقَابِرَ ؕ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.  Dalam  upaya memperbanyak kekayaan telah melalaikan kamu, hingga kamu sampai di kuburan.  (Al-Takatstsur [102]:1-3).
 Ketamakan dan hasrat berlebihan pada manusia untuk mengungguli orang lain dalam jumlah kekayan, kedudukan dan gengsi merupakan penyebab utama segala kesulitan manusia dan merupakan penyebab kelalaian manusia terhadap nilai-nilai hidup yang lebih tinggi, yakni untuk melaksanakan tujuan utama diciptakannya manusia, yakni beribadah kepada Allah Swt. (QS.51:57).

    Merupakan kemalangan manusia yang sangat besar bahwa nafsunya untuk memperoleh barang-barang duniawi tidak mengenal batas dan tidak menyisihkan waktu sedikit pun untuk memikirkan Tuhan dan alam akhirat. Ia tetap asyik dengan hal-hal tersebut, hingga maut (kematian) merenggutnya, dan baru pada saat itulah ia menyadari, bahwa ia telah menyia-nyiakan hidupnya yang sangat berharga dalam mengejar-ngejar sesuatu yang tiada gunanya itu.  

Kesibukan Duniawi Menyebabkan
Ketidaktentraman Hati
   
   Selanjutnya Allah Swt. berfirman  bahwa kesibukan duniawi yang tidak menyisakan sedikit  pun waktu untuk  melakukan dzikir Ilahi  serta untuk memperoleh   makrifat Ilahi pada hakikatnya manusia telah menjerumuskan dirinya ke dalam neraka jahannam, yakni kehidupan yang tidak tentram, sebab ketentraman jiwa (hati) hanya diperoleh apabila memiliki makrifat Ilahi yang memadai (QS.13;29), firman-Nya:
کَلَّا  سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ۙ﴿﴾   ثُمَّ  کَلَّا سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ؕ﴿﴾  کَلَّا لَوۡ تَعۡلَمُوۡنَ عِلۡمَ  الۡیَقِیۡنِ ؕ﴿﴾   لَتَرَوُنَّ  الۡجَحِیۡمَ ۙ﴿﴾
Sekali-kali tidak, segera kamu akan mengetahui,  kemudian, sekali-kali tidak demikian, segera kamu akan mengetahui.  Sekali-kali tidak! Jika kamu mengetahui hakikat itu dengan ilmu yakin, niscaya kamu akan melihat Jahannam,  (Al-Takatstsur [102]:4-7).
     Pengulangan ayat ini bertujuan menambahkan tekanan pada dan membuat lebih ampuh peringatan yang terkandung dalam Surah ini. Atau, Surah ini dapat ditujukan kepada pembalasan yang akan datang di belakang kesibukan manusia, yang secara membabi-buta berusaha memperoleh barang-barang duniawi di dalam kehidupan ini. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
ثُمَّ لَتَرَوُنَّہَا عَیۡنَ الۡیَقِیۡنِ ۙ﴿ ﴾   ثُمَّ لَتُسۡـَٔلُنَّ یَوۡمَئِذٍ عَنِ النَّعِیۡمِ ٪﴿ ﴾
Kemudian kamu niscaya  akan melihatnya  dengan mata yakin.  Kemudian pada hari itu kamu pasti akan ditanya  mengenai kenikmatan. (Al-Takatstsur [102]:8-9).

Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar”, 30 Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar