بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN
Bab 113
Makna "Sijjiin" &
Tiga Tingkatan Keyakinan
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam bagian
akhir Bab sebelumnya Allah Swt.
dalam Al-Quran telah mengemukakan para
pemuka agama Yahudi yang mendustakan Nabi Besar Muhammad saw. –
yakni “nabi yang seperti Musa” (Ulangan
18:18-19; QS.46:11) – dengan perumpamaan “keledai
pemikul buku-buku yang tebal” di punggungnya, padahal nubuatan
mengenai beliau saw. di dalam Taurat
dan Injil sangat banyak dan jelas (QS.26:193-198;
QS.61:6-7), sehingga Al-Quran mengatakan bahwa “mereka mengenalnya bagaikan
mengenal anak-anak mereka sendiri”
(QS.2:147), firman-Nya:
مَثَلُ الَّذِیۡنَ حُمِّلُوا التَّوۡرٰىۃَ
ثُمَّ لَمۡ یَحۡمِلُوۡہَا کَمَثَلِ الۡحِمَارِ یَحۡمِلُ اَسۡفَارًا ؕ بِئۡسَ
مَثَلُ الۡقَوۡمِ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا
بِاٰیٰتِ اللّٰہِ ؕ وَ اللّٰہُ لَا
یَہۡدِی الۡقَوۡمَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾
Misal orang-orang yang dipikulkan kepada mereka
Taurat, kemudian mereka tidak
memikulnya, adalah semisal keledai
yang memikul kitab-kitab. Sangat
buruk misal kaum yang mendustakan
Tanda-tanda Allah. Dan Allah tidak
akan memberi petun-juk kaum yang zalim. (Al Jumu’ah [62]:6).
Karena mereka menolak nikmat Allah Swt. berupa rasul
Allah yang kedatangannya dijanjikan
kepada mereka (QS.1:6) maka dalam Surah Al-Fatihah
mereka itulah yang dimaksud doa
selanjutnya yang orang-orang beriman
agar terhindar dari menjadi golongan: “bukan mereka yang
dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat,“ sedangkan
mengenai “orang-orang yang mendapat nikmat-nikmat Allah Swt.”
dalam doa sebelumnya (QS.1:7) Dia berfirman:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ
فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ
وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ ﴾ ذٰلِکَ
الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿ ﴾
Dan barangsiapa
taat kepada Allah dan Rasul ini
maka mereka akan termasuk di antara
orang-orang yang Allah memberi nikmat kepada
mereka yakni: nabi-nabi,
shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang
shalih, dan mereka itulah
sahabat yang sejati. Itulah karunia dari Allah, dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui. (Al-Nisā
[4]:70-71).
Dengan demikian, jika “orang-orang yang mendapat nikmat dari Allah Swt.” – khususnya
mereka yang memperoleh kedekatan khusus
dengan Allah Swt. (al-muqarrabun) – adalah penghuni surga ‘iliyyun (QS.83:19-29),
sedangkan golongan “maghdhūb
dan dhāllīn” adalah penghuni sijjīn, firman-Nya:
کَلَّاۤ اِنَّ کِتٰبَ
الۡفُجَّارِ لَفِیۡ سِجِّیۡنٍ ؕ﴿ ﴾ وَ مَاۤ اَدۡرٰىکَ مَا سِجِّیۡنٌ ؕ﴿ ﴾ کِتٰبٌ
مَّرۡقُوۡمٌ ؕ﴿ ﴾
Sekali-kali tidak, sesungguhnya kitab
para pendurhaka adalah di dalam sijjīn.
Dan apakah yang engkau ketahui, apa sijjīn itu? Yaitu sebuah kitab tertulis. (Al-Muthaffifin
[83]:8-10).
Dosa Menyebabkan Kelumpuhan
Indera-indera Ruhani
Sijjīn dianggap oleh sementara ahli tafsir
Al-Quran dengan keliru sebagai suatu kata bukan bahasa Arab, namun menurut
beberapa sumber terkemuka seperti Farra’, Zajjaj, Abu Ubaidah, dan Mubarrad,
kata itu memang bahasa Arab yang diambil dari kata sajana. Lisan
menganggapnya sama dengan sijn (penjara). Sijjīn adalah buku
registrasi di dalamnya tercatat segala perbuatan
jahat yang dilakukan oleh para penjahat
yang konon tersimpan di alam akhirat. Kata itu berarti pula sesuatu yang keras,
hebat, dan dahsyat; berkesinambungan, lestari atau kekal abadi (Lexicon Lane).
Kata sijjīn menunjukkan bahwa hukuman
bagi orang-orang kafir durjana itu
akan amat keras dan kekal. Atau ayat ini dapat berarti bahwa
orang-orang durjana yang ditempatkan
di dalam suatu tempat hina lagi nista, dan keputusan itu tidak dapat
dibatalkan lagi.
Atau, sijjīn dan ‘illiyyīn
itu mungkin dua bagian yang dituturkan Al-Quran; yang pertama membicarakan orang-orang yang menolak Amanat Allah
serta hukuman yang akan dijatuhkan
kepada mereka, sedang yang terakhir membicarakan hamba-hamba Allah yang bertakwa serta ganjaran-ganjaran yang akan dianugerahkan kepada mereka. Jadi
maksud ayat ini ialah bahwa keputusan
yang tercantum di dalam kedua bagian itu tidak dapat diubah atau diganti.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَیۡلٌ یَّوۡمَئِذٍ لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ ﴿ۙ﴾ الَّذِیۡنَ
یُکَذِّبُوۡنَ بِیَوۡمِ الدِّیۡنِ ﴿ؕ﴾
وَ مَا یُکَذِّبُ بِہٖۤ اِلَّا کُلُّ مُعۡتَدٍ اَثِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ اِذَا تُتۡلٰی عَلَیۡہِ اٰیٰتُنَا
قَالَ اَسَاطِیۡرُ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ؕ﴾
کَلَّا بَلۡ ٜ رَانَ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ مَّا کَانُوۡا
یَکۡسِبُوۡنَ ﴿﴾ کَلَّاۤ اِنَّہُمۡ عَنۡ رَّبِّہِمۡ یَوۡمَئِذٍ
لَّمَحۡجُوۡبُوۡنَ ﴿ؕ﴾ ثُمَّ اِنَّہُمۡ لَصَالُوا الۡجَحِیۡمِ ﴿ؕ﴾ ثُمَّ یُقَالُ ہٰذَا
الَّذِیۡ کُنۡتُمۡ بِہٖ تُکَذِّبُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Celakalah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan, yaitu
orang-orang yang mendustakan Hari
Pembalasan. Dan sekali-kali tidak ada yang mendusta-kannya kecuali setiap pelanggar batas lagi sangat berdosa, Apabila Tanda-tanda Kami dibacakan kepadanya ia berkata: “Inilah dongeng orang-orang dahulu!” Sekali-kali
tidak demikian, bahkan apa yang mereka usahakan telah menjadi
karat pada hati mereka. Sekali-kali tidak demikian, bahkan sesungguhnya pada hari itu mereka
benar-benar terhalang dari melihat Tuhan mereka. Kemudian sesungguhnya
mereka pasti masuk ke dalam
Jahannam. Kemudian
dikatakan: “Inilah apa yang
senantiasa kamu dustakan.”
(Al-Muthaffifīn
[83]:8-18).
Kalimat “apa yang mereka usahakan telah menjadi karat
pada hati mereka“ menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan
dosa yang dilakukan manusia akan
menyebabkan kelumpuhan indera-indera ruhani mereka termasuk
kelumpuhan penglihatan ruhani mereka, sehingga mereka menganggap Al-Quran
sebagai himpunan dongeng orang-orang purbakala belaka, padahal
Al-Quran berisi dengan berbagai Tanda-tanda Allah yang sangat luar
biasa.
Terhalang Melihat Penampakan Allah Swt. &
Tiga Tingkatan Yakin (Keyakinan)
Kalimat “Sekali-kali tidak demikian, bahkan sesungguhnya
pada hari itu mereka benar-benar terhalang dari melihat Tuhan mereka“, bahwa nikmat
melihat Wajah Allah Swt. dianugerahkan
kepada orang beriman melalui dua tingkat. Tingkat pertama ialah
tingkat keimanan, ketika memperoleh keyakinan teguh kepada Sifat-sifat Allah Swt. Tingkat kedua atau tingkat lebih tinggi berupa
anugerah kenyataan mengenai Dzat Ilahi.
Orang-orang berdosa disebabkan dosa-dosa mereka akan
tetap luput dari makrifat Dzat Ilahi pada Hari
Pembalasan mereka tidak akan melihat Wajah
Allah, yakni mereka akan dibangkitkan dalam keadaan buta (QS.17:73; QS.20:125-129).
Istilah “melihat” Allah Swt. adalah sebutan lain dari yakin (keyakinan), yang menurut Allah
Swt. dalam Al-Quran ada 3 tingkatan keyakinan, yakni (1) ‘ilmul-yaqin (keyakinan atas dasar
ilmu/pendengaran), (2) ‘aynul-yaqin
(keyakinan atas dasar penglihatan) dan (3) haqqul-yaqin (keyakinan atas dasar pengalaman sendiri), mengenai hal tersebut Allah Swt, berfirman
dalam Surah Al-Takatstsur:
بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾
اَلۡہٰکُمُ التَّکَاثُرُ ۙ﴿﴾ حَتّٰی
زُرۡتُمُ الۡمَقَابِرَ ؕ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah,
Maha Penyayang. Dalam upaya memperbanyak kekayaan telah melalaikan kamu, hingga kamu sampai di kuburan. (Al-Takatstsur [102]:1-3).
Ketamakan dan hasrat berlebihan pada manusia untuk mengungguli orang lain dalam jumlah kekayan, kedudukan dan gengsi merupakan penyebab utama segala kesulitan
manusia dan merupakan penyebab kelalaian
manusia terhadap nilai-nilai hidup
yang lebih tinggi, yakni untuk melaksanakan tujuan
utama diciptakannya manusia, yakni beribadah
kepada Allah Swt. (QS.51:57).
Merupakan kemalangan manusia yang sangat
besar bahwa nafsunya untuk memperoleh barang-barang
duniawi tidak mengenal batas dan tidak menyisihkan waktu sedikit pun untuk memikirkan Tuhan dan alam akhirat. Ia tetap asyik dengan
hal-hal tersebut, hingga maut (kematian)
merenggutnya, dan baru pada saat itulah ia menyadari,
bahwa ia telah menyia-nyiakan hidupnya
yang sangat berharga dalam mengejar-ngejar sesuatu yang tiada gunanya itu.
Kesibukan Duniawi Menyebabkan
Ketidaktentraman Hati
Selanjutnya Allah Swt. berfirman bahwa kesibukan
duniawi yang tidak menyisakan sedikit
pun waktu untuk melakukan dzikir
Ilahi serta untuk memperoleh makrifat
Ilahi pada hakikatnya manusia telah menjerumuskan dirinya ke dalam neraka jahannam, yakni kehidupan yang tidak tentram, sebab ketentraman jiwa (hati) hanya diperoleh
apabila memiliki makrifat Ilahi yang
memadai (QS.13;29), firman-Nya:
کَلَّا سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ۙ﴿﴾ ثُمَّ کَلَّا سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ
ؕ﴿﴾ کَلَّا لَوۡ تَعۡلَمُوۡنَ عِلۡمَ الۡیَقِیۡنِ
ؕ﴿﴾ لَتَرَوُنَّ الۡجَحِیۡمَ ۙ﴿﴾
Sekali-kali tidak, segera kamu akan mengetahui, kemudian, sekali-kali tidak demikian, segera kamu akan mengetahui. Sekali-kali tidak! Jika kamu mengetahui hakikat itu dengan ilmu yakin, niscaya kamu
akan melihat Jahannam, (Al-Takatstsur
[102]:4-7).
Pengulangan ayat ini bertujuan menambahkan
tekanan pada dan membuat lebih ampuh peringatan
yang terkandung dalam Surah ini. Atau, Surah ini dapat ditujukan kepada pembalasan yang akan datang di belakang kesibukan manusia, yang secara
membabi-buta berusaha memperoleh barang-barang
duniawi di dalam kehidupan ini. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
ثُمَّ لَتَرَوُنَّہَا عَیۡنَ
الۡیَقِیۡنِ ۙ﴿ ﴾ ثُمَّ لَتُسۡـَٔلُنَّ
یَوۡمَئِذٍ عَنِ النَّعِیۡمِ ٪﴿ ﴾
Kemudian kamu niscaya akan melihatnya dengan mata
yakin. Kemudian pada hari itu kamu pasti
akan ditanya mengenai kenikmatan. (Al-Takatstsur
[102]:8-9).
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam
Farid
***
“Pajajaran Anyar”, 30 Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar