Rabu, 17 Oktober 2012

Makna "Dua Kalimah Syahadat"






بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


  SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN



Bab 105
    
Makna  "Dua  Kalimah Syahadat


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma


Dalam   bagian   Bab sebelumnya telah dijelaskan  mengenai kesekatan sempurna Nabi Besar Muhammad saw. sebagaimana digambarkan dalam firman-Nya:
    عَلَّمَہٗ  شَدِیۡدُ الۡقُوٰی  ۙ﴿ ﴾  ذُوۡ مِرَّۃٍ ؕ  فَاسۡتَوٰی  ۙ﴿ ﴾ وَ ہُوَ  بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی ؕ﴿ ﴾   ثُمَّ  دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿ ﴾  فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ  اَوۡ اَدۡنٰی  ۚ﴿ ﴾ فَاَوۡحٰۤی  اِلٰی عَبۡدِہٖ  مَاۤ  اَوۡحٰی  ﴿ؕ    مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ  مَا  رَاٰی  ﴿ ﴾
Tuhan Yang Mahakuat Perkasa mengajarinya, Pemilik Kekuatan, lalu  Dia bersemayam  di atas ‘Arasy,  dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia, Rasulullah, berada di  ufuk tertinggi.  Kemudian ia, Rasulullāh, mendekati Allāh, lalu Dia semakin dekat kepadanya,  maka jadilah ia  seakan-akan  seutas tali dari dua buah busur, atau lebih dekat lagi.   Lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan.  (Al-Najm [53]:6-11).
    Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai kedekatan Nabi Besar Muhammad saw. kepada Allah Swt.:    Kemudian ia, Rasulullāh, mendekati Allāh, lalu Dia semakin dekat kepadanya,  maka jadilah ia  seakan-akan  seutas tali dari dua buah busur, atau lebih dekat lagi“. Kalimat  dalla al-dalwa berarti: ia menurunkan ember ke dalam perigi; ia menarik ember ke atas atau keluar dari perigi. Tadalla berarti: ia atau sesuatu itu merendah atau menurun; ia menghampiri atau mendekati atau kian dekat (Lexicon Lane dan Lisan-al-’Arab).
     Ayat ini berarti bahwa Nabi Besar Muhammad saw.  naik  mendekati Allah Swt. dan Allah Swt. pun condong (turun) kepada beliau saw.. Ayat itu dapat juga berarti bahwa Nabi Besar Muhammad saw.   mencapai kedekatan yang sedekat-dekatnya kepada Allah Swt. lalu setelah minum dengan sepuas-puasnya di sumber mata air ilmu-keruhanian Ilahi, beliau saw.  turun kembali dan memberikan ilmu kepada segenap umat manusia.

Makna  Penyatuan “Dua Buah Busur”

    Qāb berarti: (1) bagian busur antara bagian yang dipegang oleh tangan dan ujungnya yang dilengkungkan; (2) dari satu ujung busur ke ujung busur yang lain; (3) ukuran atau ruang. Orang Arab berkata  bainahumā  qāba qausaini, yakni di antara mereka berdua adalah seukuran busur, yang berarti bahwa perhubungan di antara mereka sangat akrab. Peribahasa Arab yang mengatakan  ramaunā  ‘an qausin wāhidin, yakni  mereka memanah kami dari satu busur”, yaitu  bahwa “mereka seia-sekata melawan kami”. Oleh karena itu kata tersebut menyatakan kesepakatan sepenuhnya (Lexicon Lane; Lisan-al-‘Arab, dan Zamakhsyari).
   Apa pun kandungan arti kata qāb itu, ungkapan qāba qausaini menyatakan perhubungan yang sangat dekat antara dua orang. Ayat ini bermaksud bahwa  Nabi Besar Muhammad saw.  terus menaiki jenjang-jenjang ketinggian mikraj (kenaikan ruhani) dan menghampiri Allah Swt. sehingga jarak antara keduanya hilang sirna dan Nabi Besar Muhammad saw.  seolah-olah menjadi “seutas tali dari dua busur”.
    Sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab sebelumnya bahwa peribahasa ini mengingatkan kita kepada suatu kebiasaan orang-orang Arab kuno. Menurut kebiasaan itu, bila dua orang mengikat janji persahabatan yang kokoh kuat mereka biasa menyatu-padukan busur-busur mereka dengan cara demikian, sehingga busur-busur itu nampak seperti satu dan kemudian mereka melepaskan anak panah dari busur yang telah dipadukan itu, dengan demikian mereka menyatakan bahwa mereka itu seakan-akan telah menjadi satu wujud, dan bahwa suatu serangan terhadap yang seorang akan berarti serangan terhadap yang lainnya juga.
       Bila kata tadalla dianggap mengenai Allah Swt. maka ayat ini akan berarti bahwa Nabi Besar Muhammad saw.  naik menuju Allah Swt. dan Allah Swt. turun kepada beliau saw.  sehingga kedua-duanya seolah-olah telah menyatu menjadi satu wujud.  Ungkapan tersebut mengandung pula arti lain yang sangat indah dan halus, yaitu bahwa sementara di satu pihak Nabi Besar Muhammad saw. menjadi sama sekali  fana (sirna) dalam Tuhan serta Pencipta-nya, sehingga beliau saw. seakan-akan menjadi bayangan Allah Swt. Sendiri, maka di pihak lain beliau saw.  turun kembali kepada umat manusia dan menjadi begitu penuh cinta dan dengan rasa kasih serta merasa prihatin akan mereka, sehingga sifat Ketuhanan dan sifat kemanusiaan menjadi terpadu dalam diri beliau, dan beliau saw.  menjadi titik-pusat tali kedua busur Ketuhanan dan kemanusiaan (QS.9:128). 
   Kata-kata “atau lebih dekat lagi,” mengandung arti bahwa perhubungan antara Nabi Besar Muhammad saw.  dengan Allah Swt. menjadi semakin  dekat dan semakin mesra lebih daripada yang dapat dibayangkan pikiran.
    Sejak Nabi Besar Muhammad saw. diutus sebagai Rasul Allah pembawa syariat terakhir dan tersempurna yaitu agama Islam (Al-Quran – QS.5:4) maka satu-satunya cara (jalan) yang dapat “mempertemukan” manusia dengan Allah Swt. adalah   mengikuti suri teladan sempurna Nabi Besar Muhammad saw. (Qs.33:22), firman-Nya:
قُلۡ  اِنۡ کُنۡتُمۡ تُحِبُّوۡنَ اللّٰہَ فَاتَّبِعُوۡنِیۡ یُحۡبِبۡکُمُ اللّٰہُ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿ ﴾  قُلۡ اَطِیۡعُوا اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ ۚ فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَاِنَّ اللّٰہَ  لَا یُحِبُّ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿ ﴾
Katakanlah:  ”Jika kamu benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku,  Allah pun akan mencintaimu dan akan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”  Katakanlah:   Taatilah Allah dan Rasul ini”, kemudian jika mereka berpaling maka ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir. (Ali ‘Imran [3]:32-33)
       
Makna "Dua  Kalimah Syahadat” &
Kedudukan Ruhani para Rasul Allah

          Martabat kedekatan sempurna antara Allah Swt. dengan Nabi Besar Muhammad saw.  itulah  yang kemudian diabadikan berupa dua Kalimah Syahadat, yang merupakan rukun pertama dari 6 Rukun Iman, yakni:
Kami bersaksi bahwasanya tiada Tuhan kecuali Allah, dan  kami bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul Allah.”
       Firman Allah Swt. dalam QS.3:32  dan dua Kalimah Syahadat tersebut   dengan tegas menyatakan bahwa tujuan memperoleh kecintaan Ilahi sekarang tidak mungkin terlaksana kecuali dengan mengikuti Nabi Besar Muhammad saw..   Selanjutnya ayat ini melenyapkan kesalahpahaman yang mungkin dapat timbul dari QS.2:63 bahwa iman kepada adanya Tuhan dan alam akhirat saja sudah cukup untuk memperoleh najat (keselamatan). Allah Swt dengan tegas berfirman:
وَ مَنۡ یَّبۡتَغِ غَیۡرَ الۡاِسۡلَامِ دِیۡنًا فَلَنۡ یُّقۡبَلَ مِنۡہُ ۚ وَ ہُوَ فِی الۡاٰخِرَۃِ مِنَ الۡخٰسِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan   barangsiapa mencari agama yang bukan agama Islam, maka  agama itu tidak akan pernah diterima darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi.   (Ali ‘Imran [3]:86).
        Salah satu makna dua Kalimah Syahadat  tersebut adalah bahwa karena  dari semua rasul Allah yang pernah diutus oleh Allah Swt. kepada umat manusia,  hanya Nabi Besar Muhammad saw. sajalah yang telah mencapai mikraj (kenaikan ruhani) tertinggi hingga mencapai Sidratul Muntaha -- bahkan kedekatan beliau saw. seakan-akan telah “bersatu” dengan Allah Swt. (QS.53:6-7) maka  kedudukan luhur beliau saw. diabadikan dalam dua "Kalimah Syahadat" tersebut.
       Dalam peristiwa mikraj diketahui bahwa dari antara para rasul Allah  yang diutus sebelum Nabi Besar Muhammad saw., yang paling tinggi martabat ruhaninya adalah Nabi Ibrahim a.s., yakni  berada pada “tingkat langit ruhani” ke tujuh. Ada pun urutannya adalah  pada “langit pertama” Nabi Besar Muhammad saw. berjumpa dengan adalah Nabi Adam a.s., pada “langit” kedua beliau saw. berjumpa dengan Nabi Isa ibnu Maryam a.s. dan Nabi Yahya a.s.; pada “langit” ketiga  beliau saw. berjumpa dengan  Nabi Yusuf a.s.; pada “langit” keempat beliau saw. bertemu dengan Nabi Idris a.s.; pada “langit” kelima beliau saw. bertemu  dengan Nabi Harun a.s.; pada “langit” keenam beliau saw. bertemu dengan  Nabi Musa a.s., sedangkan pada tingkatan “langit” ketujuh Nabi Besar Muhammad saw. bertemu dengan Nabi Ibrahim a.s..
       Ada pun mengenai Nabi Besar Muhammad saw. dalam peristiwa mikraj tersebut terus naik ke suatu  ketinggian  -- yakni ufuk tertinggi (QS.53:8-11) -- yang malaikat Jibril a.s. pun tidak sanggup lagi untuk mendampingi beliau saw. sampai ke sana. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:  
مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ  مَا  رَاٰی  ﴿ ﴾
Hati Rasulullah sekali-kali tidak berdusta apa yang dia lihat. (Al-Najm [53]:12).
       Hakikatnya  ialah apa yang telah dilihat oleh  Nabi Besar Muhammad saw.     adalah pengalaman hakiki, pengalaman itu kebenaran sejati dan bukan tipuan khayal beliau saw., dan yang pasti bukanlah pengalaman secara jasmani sebagaimana umumnya dipercayai oleh umat Islam,  melainkan sebuah pengalaman ruhani tingkat tinggi, itulah sebabnya dalam ayat tersebut digunakan kata “hati” (fūad). Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ  عَلٰی مَا یَرٰی  ﴿ ﴾  وَ لَقَدۡ رَاٰہُ  نَزۡلَۃً   اُخۡرٰی  ﴿ۙ ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ  الۡمُنۡتَہٰی ﴿ ﴾  عِنۡدَہَا جَنَّۃُ  الۡمَاۡوٰی  ﴿ؕ ﴾
Maka apakah kamu membantahnya mengenai apa yang telah dia lihat?   Dan sungguhnya  dia benar-benar melihat-Nya kedua kali,  dekat pohon Sidrah tertinggi, yang di dekatnya ada surga, tempat tinggal. (Al-Najm [53]:13-16).

Makna “Sidratul Muthaha” &
Syariat Islam (Al-Quran)

     Kasyaf   yang dialami Nabi Besar Muhammad saw. dalam mikraj  itu suatu pengalaman ruhani berganda.    Pada waktu mikraj, Nabi Besar Muhammad saw.  telah mencapai martabat qurb Ilahi (kedekatan kepada Allah Swt.) demikian tinggi, sehingga sungguh berada di luar jangkauan otak manusia untuk memahaminya; atau ayat ini dapat berarti bahwa pada martabat itu terbentang di hadapan beliau saw. samudera luas tanpa tepi – yakni samudera makrifat Ilahi,  hakikat-hakikat serta kebenaran-kebenaran abadi.
        Sadir yang diambil dari akar kata yang sama berarti,  bahwa makrifat Ilahi yang dilimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad saw.  akan seperti halnya pohon Sidrah memberikan kesenangan dan naungan kepada para musafir ruhani yang merasa kakinya letih dan payah. Lebih-lebih karena daun pohon Sidrah memiliki khasiat mengawetkan mayat dari proses pembusukan.
       Jadi,  ayat ini dapat berarti  bahwa ajaran yang diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad saw.  (Agama Islam/Al-Quran) tidak hanya kebal terhadap bahaya kerusakan (QS.15:10), melainkan juga baik sekali guna menolong dan memelihara umat manusia terhadap kerusakan akhlak dan ruhani.
       Atau, ayat ini mengandung kabar gaib yang mengisyaratkan kepada sebatang pohon, yang di bawah pohon itu para sahabat Nabi Besar Muhammad saw.  mengikat janji setia (baiat) kepada beliau saw. pada peristiwa Perjanjian Hudaibiyah (QS.48:19).   
       Dari makna-makna mengenai  sidrah  dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya yang dimaksud dengan Sidratul Muntaha  adalah ajaran Islam atau Al-Quran, yang merupakan syariat terakhir dan tersempurna (QS.5:4) yang  terhadapnya Allah Swt. telah   menjelmakan -- yakni “menyelubunyinya” -- dengan  Sifat-sifat-Nya yang paling lengkap dan paling sempurna. Mengenai hal tersebut selanjutnya Nabi Swt. berfirman:
اِذۡ  یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ  مَا یَغۡشٰی  ﴿ۙ ﴾  مَا زَاغَ الۡبَصَرُ  وَ مَا طَغٰی ﴿ ﴾  لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ  الۡکُبۡرٰی ﴿ ﴾
Ketika pohon Sidrah diselubungi oleh sesuatu yang menyelubungi.Penglihatannya sekali-kali tidak menyimpang dan tidak pula melantur. Sungguh  ia benar-benar melihat Tanda paling besar dari Tanda-tanda Tuhan-Nya. (Al-Najm [53]:18-19).

(Bersambung). 

Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar”, 17 Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar