بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN
Bab 105
Makna "Dua Kalimah Syahadat”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam bagian
Bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai kesekatan sempurna Nabi Besar
Muhammad saw. sebagaimana digambarkan dalam firman-Nya:
عَلَّمَہٗ
شَدِیۡدُ الۡقُوٰی ۙ﴿ ﴾ ذُوۡ مِرَّۃٍ ؕ فَاسۡتَوٰی ۙ﴿ ﴾ وَ ہُوَ بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی ؕ﴿ ﴾ ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿ ﴾ فَکَانَ قَابَ
قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی ۚ﴿ ﴾ فَاَوۡحٰۤی اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ
اَوۡحٰی ﴿ؕ ﴾ مَا
کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا رَاٰی ﴿ ﴾
Tuhan Yang Mahakuat Perkasa mengajarinya, Pemilik Kekuatan, lalu
Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia,
Rasulullah, berada di ufuk tertinggi. Kemudian ia,
Rasulullāh, mendekati Allāh,
lalu Dia semakin dekat kepadanya, maka jadilah
ia seakan-akan seutas tali dari dua buah busur, atau lebih dekat lagi. Lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan. (Al-Najm
[53]:6-11).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai kedekatan Nabi Besar Muhammad saw. kepada Allah Swt.: “Kemudian
ia, Rasulullāh, mendekati
Allāh, lalu Dia semakin dekat kepadanya, maka jadilah
ia seakan-akan seutas tali dari dua buah busur, atau lebih dekat lagi“. Kalimat dalla al-dalwa berarti: ia menurunkan
ember ke dalam perigi; ia menarik ember ke atas atau keluar dari perigi. Tadalla
berarti: ia atau sesuatu itu merendah atau menurun; ia menghampiri atau
mendekati atau kian dekat (Lexicon Lane dan Lisan-al-’Arab).
Ayat ini berarti bahwa Nabi
Besar Muhammad saw. naik mendekati
Allah Swt. dan Allah Swt. pun condong
(turun) kepada beliau saw.. Ayat itu dapat juga berarti bahwa Nabi Besar
Muhammad saw. mencapai kedekatan yang sedekat-dekatnya kepada Allah
Swt. lalu setelah minum dengan
sepuas-puasnya di sumber mata air
ilmu-keruhanian Ilahi, beliau saw. turun kembali dan memberikan ilmu kepada segenap umat manusia.
Makna Penyatuan “Dua Buah Busur”
Qāb berarti: (1) bagian busur antara
bagian yang dipegang oleh tangan dan ujungnya yang dilengkungkan; (2) dari satu
ujung busur ke ujung busur yang lain; (3) ukuran atau ruang. Orang Arab
berkata bainahumā qāba qausaini, yakni di antara mereka
berdua adalah seukuran busur, yang berarti bahwa perhubungan di antara mereka
sangat akrab. Peribahasa Arab yang mengatakan
ramaunā ‘an qausin wāhidin, yakni “mereka
memanah kami dari satu busur”, yaitu
bahwa “mereka seia-sekata melawan
kami”. Oleh karena itu kata tersebut menyatakan kesepakatan sepenuhnya (Lexicon
Lane; Lisan-al-‘Arab,
dan Zamakhsyari).
Apa pun kandungan arti
kata qāb itu, ungkapan qāba qausaini menyatakan perhubungan yang sangat dekat antara dua orang. Ayat ini bermaksud bahwa Nabi Besar Muhammad saw. terus menaiki jenjang-jenjang ketinggian mikraj (kenaikan ruhani)
dan menghampiri Allah Swt. sehingga jarak antara keduanya hilang sirna dan Nabi Besar Muhammad
saw. seolah-olah menjadi “seutas tali dari dua busur”.
Sebagaimana telah
dikemukakan dalam Bab sebelumnya bahwa peribahasa ini mengingatkan kita kepada
suatu kebiasaan orang-orang Arab kuno. Menurut kebiasaan itu, bila dua orang mengikat janji persahabatan yang kokoh
kuat mereka biasa menyatu-padukan
busur-busur mereka dengan cara demikian, sehingga busur-busur itu nampak seperti satu
dan kemudian mereka melepaskan anak panah
dari busur yang telah dipadukan itu,
dengan demikian mereka menyatakan bahwa mereka itu seakan-akan telah menjadi satu wujud, dan bahwa suatu serangan
terhadap yang seorang akan berarti serangan terhadap yang lainnya juga.
Bila kata tadalla dianggap
mengenai Allah Swt. maka ayat ini akan berarti bahwa Nabi Besar Muhammad saw. naik menuju Allah Swt. dan Allah Swt.
turun kepada beliau saw. sehingga
kedua-duanya seolah-olah telah menyatu menjadi satu wujud. Ungkapan
tersebut mengandung pula arti lain yang sangat indah dan halus, yaitu bahwa
sementara di satu pihak Nabi Besar Muhammad saw. menjadi sama sekali fana (sirna) dalam Tuhan serta Pencipta-nya, sehingga beliau saw. seakan-akan menjadi bayangan Allah Swt. Sendiri, maka di
pihak lain beliau saw. turun
kembali kepada umat manusia dan
menjadi begitu penuh cinta dan dengan
rasa kasih serta merasa prihatin akan mereka, sehingga sifat Ketuhanan
dan sifat kemanusiaan menjadi terpadu
dalam diri beliau, dan beliau saw. menjadi titik-pusat
tali kedua busur Ketuhanan dan kemanusiaan (QS.9:128).
Kata-kata “atau
lebih dekat lagi,” mengandung arti bahwa perhubungan antara Nabi Besar Muhammad saw. dengan Allah Swt. menjadi semakin dekat
dan semakin mesra lebih daripada yang
dapat dibayangkan pikiran.
Sejak Nabi Besar
Muhammad saw. diutus sebagai Rasul Allah
pembawa syariat terakhir dan tersempurna yaitu agama Islam (Al-Quran – QS.5:4) maka satu-satunya cara (jalan) yang
dapat “mempertemukan” manusia dengan Allah Swt. adalah mengikuti
suri teladan sempurna Nabi Besar Muhammad saw. (Qs.33:22), firman-Nya:
قُلۡ اِنۡ کُنۡتُمۡ تُحِبُّوۡنَ اللّٰہَ
فَاتَّبِعُوۡنِیۡ یُحۡبِبۡکُمُ اللّٰہُ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ
غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿ ﴾ قُلۡ اَطِیۡعُوا اللّٰہَ
وَ الرَّسُوۡلَ ۚ فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَاِنَّ اللّٰہَ لَا یُحِبُّ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿ ﴾
Katakanlah: ”Jika kamu benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, Allah
pun akan mencintaimu dan akan
mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” Katakanlah: ”Taatilah Allah dan Rasul ini”, kemudian jika
mereka berpaling maka ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir. (Ali ‘Imran [3]:32-33)
Makna "Dua Kalimah Syahadat” &
Kedudukan Ruhani para Rasul Allah
Martabat kedekatan sempurna antara Allah Swt.
dengan Nabi Besar Muhammad saw. itulah yang kemudian diabadikan berupa dua Kalimah Syahadat, yang merupakan rukun pertama dari 6 Rukun Iman, yakni:
“Kami bersaksi bahwasanya
tiada Tuhan kecuali Allah, dan kami
bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul Allah.”
Firman Allah Swt.
dalam QS.3:32 dan dua Kalimah
Syahadat tersebut dengan tegas menyatakan bahwa tujuan
memperoleh kecintaan Ilahi sekarang
tidak mungkin terlaksana kecuali dengan mengikuti
Nabi Besar Muhammad saw.. Selanjutnya
ayat ini melenyapkan kesalahpahaman yang mungkin dapat timbul dari QS.2:63
bahwa iman kepada adanya Tuhan dan alam akhirat saja sudah cukup untuk memperoleh najat (keselamatan). Allah Swt dengan tegas berfirman:
وَ مَنۡ یَّبۡتَغِ غَیۡرَ
الۡاِسۡلَامِ دِیۡنًا فَلَنۡ یُّقۡبَلَ مِنۡہُ ۚ وَ ہُوَ فِی الۡاٰخِرَۃِ مِنَ
الۡخٰسِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan barangsiapa
mencari agama yang bukan agama Islam, maka agama
itu tidak akan pernah diterima
darinya, dan di akhirat ia termasuk
orang-orang yang rugi. (Ali ‘Imran [3]:86).
Salah satu makna dua
Kalimah Syahadat tersebut adalah
bahwa karena dari semua rasul Allah yang pernah diutus oleh
Allah Swt. kepada umat manusia, hanya
Nabi Besar Muhammad saw. sajalah yang telah mencapai mikraj (kenaikan ruhani) tertinggi hingga
mencapai Sidratul Muntaha -- bahkan kedekatan beliau saw. seakan-akan telah “bersatu” dengan Allah
Swt. (QS.53:6-7) maka kedudukan luhur beliau saw. diabadikan dalam dua "Kalimah Syahadat" tersebut.
Dalam
peristiwa mikraj diketahui bahwa dari
antara para rasul Allah yang diutus sebelum Nabi Besar Muhammad saw.,
yang paling tinggi martabat ruhaninya
adalah Nabi Ibrahim a.s., yakni berada
pada “tingkat langit ruhani” ke tujuh. Ada pun urutannya adalah pada “langit pertama” Nabi Besar Muhammad
saw. berjumpa dengan adalah Nabi Adam
a.s., pada “langit” kedua beliau saw. berjumpa dengan Nabi Isa ibnu Maryam a.s. dan Nabi
Yahya a.s.; pada “langit” ketiga beliau saw. berjumpa dengan Nabi
Yusuf a.s.; pada “langit” keempat beliau saw. bertemu dengan Nabi Idris a.s.; pada “langit” kelima
beliau saw. bertemu dengan Nabi Harun a.s.; pada “langit” keenam
beliau saw. bertemu dengan Nabi Musa a.s., sedangkan pada tingkatan
“langit” ketujuh Nabi Besar Muhammad saw. bertemu dengan Nabi Ibrahim a.s..
Ada pun mengenai Nabi Besar Muhammad
saw. dalam peristiwa mikraj tersebut
terus naik ke suatu ketinggian -- yakni ufuk
tertinggi (QS.53:8-11) -- yang malaikat
Jibril a.s. pun tidak sanggup lagi untuk mendampingi beliau saw. sampai ke sana. Selanjutnya Allah Swt.
berfirman:
مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا رَاٰی ﴿ ﴾
Hati Rasulullah
sekali-kali tidak berdusta apa yang dia lihat. (Al-Najm
[53]:12).
Hakikatnya ialah apa yang telah dilihat oleh Nabi Besar
Muhammad saw. adalah
pengalaman hakiki, pengalaman itu kebenaran sejati dan bukan tipuan khayal
beliau saw., dan yang pasti bukanlah pengalaman
secara jasmani sebagaimana umumnya dipercayai oleh umat Islam, melainkan sebuah pengalaman ruhani tingkat tinggi, itulah sebabnya dalam ayat
tersebut digunakan kata “hati” (fūad). Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ عَلٰی مَا یَرٰی ﴿ ﴾ وَ لَقَدۡ رَاٰہُ نَزۡلَۃً اُخۡرٰی ﴿ۙ ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی ﴿ ﴾
عِنۡدَہَا جَنَّۃُ
الۡمَاۡوٰی ﴿ؕ ﴾
Maka apakah kamu membantahnya mengenai apa yang telah dia lihat? Dan sungguhnya dia benar-benar melihat-Nya kedua kali, dekat pohon
Sidrah tertinggi, yang di
dekatnya ada surga, tempat tinggal. (Al-Najm [53]:13-16).
Makna “Sidratul Muthaha” &
Syariat Islam (Al-Quran)
Kasyaf yang dialami Nabi Besar Muhammad saw. dalam mikraj itu suatu pengalaman
ruhani berganda. Pada
waktu mikraj, Nabi Besar Muhammad saw. telah mencapai martabat qurb Ilahi (kedekatan
kepada Allah Swt.) demikian tinggi, sehingga sungguh berada di luar jangkauan
otak manusia untuk memahaminya; atau
ayat ini dapat berarti bahwa pada martabat
itu terbentang di hadapan beliau saw. samudera
luas tanpa tepi – yakni samudera makrifat Ilahi, hakikat-hakikat serta kebenaran-kebenaran abadi.
Sadir yang diambil dari akar kata yang
sama berarti, bahwa makrifat Ilahi yang
dilimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad saw. akan seperti halnya pohon Sidrah memberikan kesenangan
dan naungan kepada para musafir ruhani yang merasa kakinya letih
dan payah. Lebih-lebih karena daun pohon
Sidrah memiliki khasiat mengawetkan
mayat dari proses pembusukan.
Jadi, ayat ini dapat berarti bahwa ajaran
yang diwahyukan kepada Nabi Besar
Muhammad saw. (Agama Islam/Al-Quran) tidak
hanya kebal terhadap bahaya kerusakan (QS.15:10), melainkan
juga baik sekali guna menolong dan memelihara umat manusia terhadap kerusakan akhlak dan ruhani.
Atau,
ayat ini mengandung kabar gaib yang
mengisyaratkan kepada sebatang pohon,
yang di bawah pohon itu para sahabat Nabi
Besar Muhammad saw. mengikat janji setia (baiat) kepada beliau saw. pada
peristiwa Perjanjian Hudaibiyah
(QS.48:19).
Dari makna-makna mengenai sidrah dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya yang
dimaksud dengan Sidratul Muntaha adalah ajaran
Islam atau Al-Quran, yang
merupakan syariat terakhir dan tersempurna (QS.5:4) yang terhadapnya Allah Swt. telah menjelmakan
-- yakni “menyelubunyinya” --
dengan Sifat-sifat-Nya yang paling lengkap dan paling sempurna. Mengenai
hal tersebut selanjutnya Nabi Swt. berfirman:
اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی ﴿ۙ ﴾ مَا زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی ﴿ ﴾
لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ الۡکُبۡرٰی ﴿ ﴾
Ketika pohon Sidrah diselubungi oleh sesuatu yang menyelubungi.Penglihatannya sekali-kali tidak menyimpang dan tidak pula melantur. Sungguh
ia benar-benar melihat Tanda
paling besar dari Tanda-tanda
Tuhan-Nya. (Al-Najm [53]:18-19).
(Bersambung).
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam
Farid
***
“Pajajaran Anyar”, 17 Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar