بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN
Bab 101
"Ruuhul Amiin" & "Al-Amiin"
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam bagian akhir Bab sebelumnya telah
dijelaskan mengenai keadaan para penyair, firman-Nya:
ہَلۡ
اُنَبِّئُکُمۡ عَلٰی مَنۡ تَنَزَّلُ الشَّیٰطِیۡنُ ﴿ ﴾ؕ تَنَزَّلُ
عَلٰی کُلِّ اَفَّاکٍ اَثِیۡمٍ ﴿ ﴾ۙ
یُّلۡقُوۡنَ السَّمۡعَ وَ اَکۡثَرُہُمۡ کٰذِبُوۡنَ ﴿ ﴾ؕ وَ الشُّعَرَآءُ یَتَّبِعُہُمُ
الۡغَاوٗنَ ﴿ ﴾ؕ اَلَمۡ تَرَ
اَنَّہُمۡ فِیۡ کُلِّ وَادٍ یَّہِیۡمُوۡنَ ﴿ ﴾ۙ وَ
اَنَّہُمۡ یَقُوۡلُوۡنَ مَا لَا
یَفۡعَلُوۡنَ ﴿ ﴾ۙ اِلَّا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَ ذَکَرُوا اللّٰہَ کَثِیۡرًا وَّ انۡتَصَرُوۡا مِنۡۢ بَعۡدِ مَا
ظُلِمُوۡا ؕ وَ سَیَعۡلَمُ الَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡۤا اَیَّ مُنۡقَلَبٍ
یَّنۡقَلِبُوۡنَ ﴿ ﴾٪
Maukah kamu
Aku beri tahu kepada siapa syaitan-syaitan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta yang
berdosa, mereka mengarahkan telinga ke langit dan kebanyakan mereka pendusta. Dan penyair-penyair
itu yang mengikuti mereka adalah orang
yang sesat. Tidakkah engkau melihat bahwasanya mereka itu berjalan kian-kemari
tanpa tujuan di dalam setiap lembah,
dan bahwasanya mereka itu mengatakan apa yang
tidak mereka lakukan, kecuali orang-orang
yang beriman, beramal shalih,
dan banyak-banyak mengingat Allah,
dan mereka membela diri setelah mereka dizalimi.
Dan orang-orang zalim itu segera
akan mengetahui ke
tempat mana mereka akan kembali. (Al-Syu’arā
[26]:222-228).
Dalam aya-ayat ini tuduhan
bahwa Nabi Besar Muhammad saw. adalah seorang
penyair (QS.21:6) disangkal. Tiga alasan yang diberikan sebagai sangkalan,
ialah:
(1) Orang-orang yang mengikut dan
berteman dengan penyair-penyair bukanlah orang-orang yang berbudi pekerti
tinggi, tetapi para pengikut Nabi Besar Muhammad saw. memiliki cita-cita yang
sangat mulia dan berbudi pekerti yang sangat luhur.
(2) Penyair-penyair tidak
mempunyai cita-cita atau rencana hidup yang terarah. Mereka itu seakan-akan
melantur tidak menentu arah-tujuannya di tiap-tiap lembah. Akan tetapi Nabi
Besar Muhammad saw. mempunyai suatu tugas hidup yang sangat agung dan luhur.
(3). Penyair-penyair tidak
mengamalkan apa yang mereka ucapkan, sedangkan Nabi Besar Muhammad saw. bukan
hanya Guru yang paling mulia,
melainkan juga seorang pribadi terbesar
dari antara orang-orang yang sibuk berkarya, dan seorang suri teladan yang sempurna (QS.33:22).
“Ruhul Amin” & “Al-Amin”
Dalam ayat sebelumnya Allah Swt.
berfirman mengenai wahyu Al-Quran
yang diturun-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ اِنَّ رَبَّکَ لَہُوَ الۡعَزِیۡزُ
الرَّحِیۡمُ ﴿ ﴾٪ وَ اِنَّہٗ
لَتَنۡزِیۡلُ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿ ﴾ؕ نَزَلَ بِہِ الرُّوۡحُ
الۡاَمِیۡنُ ﴿ ﴾ۙ عَلٰی قَلۡبِکَ
لِتَکُوۡنَ مِنَ الۡمُنۡذِرِیۡنَ ﴿ ﴾ بِلِسَانٍ عَرَبِیٍّ
مُّبِیۡنٍ ﴿ ؕ وَ اِنَّہٗ
لَفِیۡ زُبُرِ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ ﴾ اَوَ لَمۡ یَکُنۡ لَّہُمۡ اٰیَۃً اَنۡ یَّعۡلَمَہٗ عُلَمٰٓؤُا بَنِیۡۤ اِسۡرَآءِیۡلَ
﴿ ﴾ؕ
Dan
sesungguhnya Al-Quran ini
diturunkan oleh Rabb (Tuhan) seluruh
alam. Telah turun dengannya Ruh yang terpercaya, atas kalbu
engkau, supaya engkau termasuk di antara para pemberi
peringatan, dengan bahasa Arab yang
jelas. Dan sesungguhnya Al-Quran benar-benar tercantum di dalam kitab-kitab terdahulu.
Dan tidakkah
ini merupakan satu Tanda bagi mereka bahwa ulama-ulama Bani Israil pun mengetahuinya? (Al-Syu’arā
[26]:193-198).
Ayat-ayat ini bermaksud
mengatakan bahwa wahyu Al-Quran
bukanlah suatu gejala baru. Seperti amanat-amanat
para nabi yang dikemukakan dalam
ayat-ayat sebelumnya, amanat Al-Quran
juga telah diwahyukan oleh Allah Swt., tetapi dengan perbedaan bahwa nabi-nabi terdahulu diutus kepada kaumnya masing-masing, sedang Al-Quran diturunkan untuk seluruh bangsa di dunia, sebab Al-Quran
“diturunkan oleh Tuhan seluruh alam”,
sebagaimana halnya Nabi Besar Muhammad saw. adalah rasul Allah untuk seluruh
umat manusia (QS.7:159; QS.21:108; QS.25:2; QS.34:29).
Dalam
ayat 194 malaikat Jibril a.s. yang
membawa wahyu Al-Quran disebut Rūhul-amīn,
yaitu Ruh yang terpercaya. Di tempat
lain disebut Ruhul-qudus (QS.16:103), yakni ruh suci. Nama kehormatan terakhir dipergunakan dalam Al-Quran untuk menunjuk kepada kebebasan
yang kekal-abadi dan mutlak dari setiap kekeliruan atau noda; dan penggunaan
nama kehormatan yang pertama (Rūhul-Amīn) mengandung arti, bahwa Al-Quran akan terus-menerus mendapat perlindungan Ilahi terhadap segala usaha
yang merusak keutuhan teksnya.
Nama kehormatan “Rūhul-amīn” ini secara khusus telah
dipergunakan berkenaan dengan wahyu
Al-Quran, sebab janji pemeliharaan
Ilahi yang kekal-abadi tidak diberikan kepada kitab-kitab suci lainnya
(QS.15:10), dan kata-kata dalam kitab-kitab suci itu, oleh karena berlalunya
masa telah menderita campur tangan manusia dan perubahan.
Sungguh menakjubkan bahwa di Mekkah Nabi Besar Muhammad saw. sendiri dikenal
sebagai Al-Amīn (si benar; terpercaya). Betapa besar penghormatan Ilahi dan betapa besar
kesaksian mengenai keterpercayaan
Al-Quran, karena wahyu Al-Quran
dibawa oleh Rūhul-amīn (Ruh yang terpercaya) yakni Malaikat Jibrail
kepada seorang amin!
Al-Quran adalah Wahyu Ilahi,
bukan Syair Karya Pribadi
Kata-kata “atas kalbu engkau” telah
dibubuhkan untuk mengatakan bahwa wahyu-wahyu Al-Quran bukan hanya gagasan yang dicetuskan Nabi Besar Muhammad saw. dengan perkataan beliau saw. sendiri,
melainkan benar-benar Kalam (Firman) Allāh Swt. Sendiri, yang turun kepada hati beliau saw. dengan perantaraan Malaikat Jibril.
Pernyataan Allah Swt. “Dan
sesungguhnya Al-Quran benar-benar
tercantum di dalam kitab-kitab terdahulu. Dan tidakkah
ini merupakan satu Tanda bagi mereka bahwa ulama-ulama Bani Israil pun
mengetahuinya?” menerangkan bahwa hal diutusnya Nabi Besar Muhammad saw. dan hal turunnya Al-Quran, kedua-duanya telah dinubuatkan dalam kitab-kitab suci
terdahulu.
Kabar-kabar gaib (nubuatan-nubuatan) tentang
itu kita dapati dalam Kitab-kitab
hampir setiap agama, akan tetapi Bible
— yang merupakan kitab suci yang
paling dikenal dan paling luas dibaca di antara seluruh kitab wahyu sebelum Al-Quran, dan juga karena merupakan
pendahulunya dan dalam kemurniannya
konon merupakan rekan sejawat, kitab syariat— mengandung paling banyak
jumlah nubuatan demikian. Lihat Ulangan 18:18 dan 33:2; Yesaya 21:13-17; Amtsal Solaiman 1:5-6; Habakuk 3:7; Matius 21:42-45 dan Yahya 16:12-14.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman
mengenai kebiasaan mendustakan kebenaran yang sudah menjadi ciri khas orang-orang kafir:
وَ لَوۡ نَزَّلۡنٰہُ عَلٰی بَعۡضِ الۡاَعۡجَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ فَقَرَاَہٗ
عَلَیۡہِمۡ مَّا کَانُوۡا بِہٖ مُؤۡمِنِیۡنَ ﴿ ﴾ؕ کَذٰلِکَ سَلَکۡنٰہُ
فِیۡ قُلُوۡبِ الۡمُجۡرِمِیۡنَ ﴿ ﴾ؕ لَا یُؤۡمِنُوۡنَ بِہٖ حَتّٰی یَرَوُا الۡعَذَابَ
الۡاَلِیۡمَ ﴿ ﴾ۙ فَیَاۡتِیَہُمۡ بَغۡتَۃً
وَّ ہُمۡ لَا یَشۡعُرُوۡنَ ﴿ ﴾ۙ
Dan seandainya Kami menurunkannya kepada salah seorang di antara orang yang
bukan-Arab, lalu ia membacakannya
kepada mereka, mereka sekali-kali
tidak akan beriman kepadanya. Demikianlah Kami telah memasukkan hal itu dalam hati orang-orang yang
berdosa. Mereka tidak akan beriman kepadanya hingga mereka melihat azab yang pedih,
maka
azab itu akan datang
kepada mereka dengan tiba-tiba, sedang mereka
tidak menyadari, (Al-Syu’arā [26]:199-203).
Kebiasaan buruk orang-orang kafir ini berakar dalam hati mereka sendiri, dan
kebiasaan buruk itu lahir akibat mereka telah bergelimang dalam dosa dan keburukan,
dan bukanlah datang dari luar. Sesungguhnya ayat ini menyatakan hakikat umum
bahwa, bila seseorang bergelimang dalam
dosa kata hatinya menjadi tumpul, malahan dengan berlalunya waktu tumbuh rasa
suka dalam dirinya kepada dosa itu. Dengan cara demikianlah dosa
menimbulkan karat dan kerusakan dalam hati
orang-orang yang berdosa.
Ayat “maka azab itu akan datang kepada mereka dengan tiba-tiba, sedang mereka tidak menyadari,“ ini
menunjuk kepada suatu hukum Ilahi, bahwa hukuman
tidak menimpa suatu kaum, kecuali jika seorang rasul Allah lebih dahulu
diutus kepada mereka, dan karena menolak
dan melawan beliau maka mereka membuat
diri mereka layak menerima hukuman. Lihat juga QS.17:16; QS.20:135-136; QS.28:60; QS.35:38.
Firman Allah Swt. tersebut (QS.26:199-203) selain pengertian yang telah dikemukakan, juga memiliki makna lain, yakni firman-Nya:
وَ لَوۡ نَزَّلۡنٰہُ عَلٰی بَعۡضِ الۡاَعۡجَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ فَقَرَاَہٗ
عَلَیۡہِمۡ مَّا کَانُوۡا بِہٖ مُؤۡمِنِیۡنَ ﴿ ﴾ؕ
Dan seandainya Kami menurunkannya kepada salah seorang di antara orang yang
bukan-Arab, lalu ia membacakannya
kepada mereka, mereka sekali-kali
tidak akan beriman kepadanya. (Al-Syu’arā
[26]:199)).
Kata law
(seandainya) dalam ayat tersebut
mengandung makna yang sangat
dalam, yaitu merupakan sindiran
kepada bangsa Arab – terutama kaum kafir Quraisy Makkah – yang
mendustakan dan menentang keras Nabi Besar Muhammad
saw., yang juga seorang bangsa Arab seperti
mereka -- dimana mereka itu sangat bangga
akan syair-syair dalam bahasa Arab yang mereka buat, bahwa seandainya
ayat-ayat
Al-Quran tetap dalam bahasa Arab, tetapi diwahyukan kepada seorang rasul
Allah yang bukan-Arab
(QS.62:3-4), tentu mereka akan semakin tidak
mempercayai Al-Quran dan rasul Allah
yang bukan berbangsa Arab yang
dibangkitkan dari kaum “ākharīn”
tersebut.
Dengan demikian firman Allah Swt. tersebut merupakan nubuatan mengenai akan diwahyukan-Nya
Al-Quran ke dua kali di Akhir Zaman kepada Rasul Akhir Zaman – yakni Al-Masih
Mau’ud a.s. atau Imam Mahdi a.s. yaitu
Mirza Ghulam Ahmad a.s. – yang pada
hakikatnya merupakan kedatangan kedua
kali Nabi Besar Muhammad saw. secara
ruhani (QS.24:56; QS.61:10; QS.62:3-4), setelah Allah Swt. menarik
kembali “ruh” Al-Quran kepada-Nya (QS.17:87-90; QS.32:6).
(Bersambung).
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam
Farid
***
“Pajajaran Anyar”, 14 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar