بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN
Bab 111
Al-Quran
adalah “Minuman Surgawi”
yang
Tutupnya Disegel Khusus
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai
berbagai fitnah yang disebarkan “manusia-manusia
syaitan” di jalan para rasul Allah untuk menggagalkan missi sucinya
(QS.22:53-54) serta orang-orang
kafir yang menyalah-tafsirkan ayat-ayat
Al-Quran yang mutasyabihat,
firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡۤ اَنۡزَلَ
عَلَیۡکَ الۡکِتٰبَ مِنۡہُ اٰیٰتٌ مُّحۡکَمٰتٌ ہُنَّ اُمُّ الۡکِتٰبِ وَ اُخَرُ مُتَشٰبِہٰتٌ ؕ فَاَمَّا
الَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ مِنۡہُ
ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ وَ ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ ۚ وَ مَا یَعۡلَمُ تَاۡوِیۡلَہٗۤ اِلَّا اللّٰہُ
ۘؔ وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا ۚ وَ مَا یَذَّکَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ ﴿ ﴾
Dia-lah yang
menurunkan Al-Kitab yakni
Al-Quran kepada engkau, di antaranya ada aya-ayat yang muhkamat, itulah
pokok-pokok Al-Kitab, sedangkan yang lain ayat-ayat mutasyābihāt. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya
ada kebengkokan maka mereka
mengikuti darinya apa yang mutasyābihāt
karena ingin menimbulkan fitnah
dan ingin mencari-cari takwilnya
yang salah, padahal tidak ada yang
menge-tahui takwilnya kecuali Allah,dan orang-orang yang memiliki pengetahuan
mendalam berkata: “Kami beriman
kepadanya, semuanya berasal dari
sisi Tuhan kami.” Dan tidak ada yang
meraih nasihat kecuali orang-orang
yang mempergunakan akal. (Ali ‘Imran [3]:8).
Makna Muhkamat
dan Mutasyābihāt
Muhkam (muhkamat) berarti: (1) hal yang
telah terjamin aman dari perobahan atau pergantian; (2) hal yang tidak
mengandung arti ganda atau kemungkinan ada keraguan; (3) hal yang jelas artinya
dan pasti dalam keterangan, dan (4) ayat yang merupakan ajaran khusus dari
Al-Quran (Al-Mufradat dan
Lexicon Lane).
Umm
berarti: (1) ibu; (2) sumber atau asal atau dasar sesuatu; (3) sesuatu yang
merupakan sarana pembantu dan penunjang, atau sarana islah (reformasi dan
koreksi) untuk orang lain; (4) sesuatu yang di sekitarnya benda-benda lain
dihubungkan (Aqrab –ul-Mawarid dan Al-Mufradat).
Mutasyābih
(mutasyābihāt) dipakai mengenai: (1) ucapan, kalimat atau ayat yang
memungkinkan adanya penafsiran yang berbeda, meskipun selaras; (2) hal yang
bagian-bagiannya mempunyai persamaan atau yang selaras satu sama lain; (3) hal
yang makna sebenarnya mengandung persamaan dengan artian yang tidak
dimaksudkan; (4) hal yang arti sebenarnya diketahui hanya dengan menunjuk
kepada apa yang disebut muhkam; (5) hal yang tidak dapat dipahami dengan
segera tanpa pengamatan yang
berulang-ulang; (6) sesuatu ayat yang berisi ajaran sesuai dengan atau
menyerupai apa yang dikandung oleh Kitab-kitab wahyu terlebih dahulu (Al-Mufradat).
Ta’wil
berarti: (1) penafsiran atau penjelasan; (2) terkaan mengenai arti suatu pidato
atau tulisan; (3) penyimpangan suatu pidato atau tulisan dari penafsiran yang
benar; (4) penafsiran suatu impian; (5) akhir, hasil atau akibat sesuatu (Lane).
Dalam ayat ini kata itu dijumpai dua kali, pada tempat pertama kata itu mengandung arti yang kedua atau yang
ketiga, sedangkan pada tempat kedua kata itu mempunyai arti yang pertama atau
yang kelima.
Surah Ali ‘Imran ayat 8 ini meletakkan peraturan yang sangat luhur, bahwa untuk membuktikan sesuatu hal yang
mengenainya terdapat perbedaan paham,
bagian-bagian sebuah Kitab Suci yang
diterangkan dengan kata-kata yang tegas
dan jelas (muhkamat) harus
diperhatikan. Bila bagian yang tegas itu terbukti berlawanan dengan susunan
kalimat tertentu yang mengandung dua maksud, maka kalimat itu harus diartikan
sedemikian rupa sehingga menjadi selaras dengan bagian-bagian yang tegas dan
jelas kata-katanya.
Menurut ayat
ini Al-Quran mempunyai dua perangkat ayat. Beberapa di antaranya muhkam
(kokoh dan pasti dalam artinya) dan lain-lainnya mutasyābih (yang dapat
diberi penafsiran berbeda-beda). Cara yang tepat untuk mengartikan ayat mutasyābih
adalah arti yang dapat diterima hanyalah yang sesuai dengan ayat-ayat muhkam.
Makna
Lain Muhkamat dan Mutasyābihāt
Dalam QS.39:24 seluruh Al-Quran disebut mutasyābih
dan dalam QS.11:2 semua ayat Al-Quran dikatakan muhkam. Hal itu tak
boleh dianggap bertentangan dengan ayat yang sedang dibahas ini bahwa menurut
ayat ini beberapa ayat Al-Quran itu muhkam dan beberapa lainnya mutasyābih.
Sepanjang hal yang menyangkut maksud hakiki ayat-ayat Al-Quran,
seluruh Al-Quran itu muhkam dalam pengertian bahwa ayat-ayatnya
mengandung kebenaran-kebenaran pasti
dan kekal-abadi. Tetapi dalam
pengertian lain seluruh Al-Quran itu mutasyābih, sebab ayat-ayat
Al-Quran itu disusun dengan kata-kata demikian rupa, sehingga pada waktu itu
juga ayat itu mempunyai berbagai arti
yang sama-sama benar dan baik.
Al-Quran itu mutasyābih pula
(menyerupai satu sama lain) dalam pengertian bahwa tidak ada pertentangan atau ketidakselarasan di dalamnya,
berbagai ayat-ayatnya bantu-membantu.
Tetapi ada bagian-bagiannya yang tentu muhkam, dan yang lain mutasyābih
untuk berbagai pembaca menurut ilmu pengetahuan, keadaan mental, dan kemampuan
alami mereka seperti dikemukakan oleh ayat sekarang ini.
Adapun nubuatan-nubuatan yang
dikemukakan dengan bahasa yang jelas dan
langsung menyerap satu arti saja harus dianggap sebagai muhkam, sedangkan
nubuatan-nubuatan yang
digambarkan dengan bahasa majaz (kiasan) dan mampu menyerap tafsiran lebih dari satu harus dianggap mutasyābih.
Karena itu nubuatan-nubuatan yang
digambarkan dengan bahasa majaz (perumpamaan, kiasan) harus ditafsirkan sesuai dengan nubuatan-nubuatan yang jelas dan secara harfiah menjadi
sempurna dan pula sesuai dengan asas-asas
ajaran Islam yang pokok.
Untuk nubuatan-nubuatan muhkam
para pembaca diingatkan kepada QS.58:22, sedang QS.28:86 berisikan
nubuatan-nubuatan yang mutasyābih. Istilah muhkam dapat pula
dikenakan kepada ayat-ayat yang mengandung peraturan-peraturan
yang penuh dan lengkap, sedang ayat-ayat mutasyābih itu ayat-ayat yang
memberikan bagian dari perintah
tertentu dan perlu dibacakan bersama-sama dengan ayat-ayat lain untuk
menjadikan suatu perintah yang
lengkap.
Muhkamat (ayat-ayat yang jelas dan pasti)
umumnya membahas hukum dan itikad-itikad agama, sedang mutasyābihāt
umumnya membahas pokok pembahasan yang menduduki tingkat kedua menurut
pentingnya atau menggambarkan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan nabi-nabi
atau sejarah bangsa-bangsa, dan dalam berbuat demikian kadang-kadang memakai tata-bahasa (idiom) serta peribahasa-peribahasa yang dapat
dianggap mempunyai berbagai arti.
Sebagai Ujian bagi
Manusia
Ayat-ayat demikian hendaknya jangan diartikan demikian rupa sehingga
seolah-olah bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang diterangkan dengan
kata-kata yang jelas. Baiklah dicatat di sini bahwa penggunaan kiasan-kiasan yang menjadi dasar pokok
ayat-ayat mutasyābih dalam Kitab-kitab Suci, perlu sekali menjamin keluasan arti dengan kata-kata
sesingkat-singkatnya, untuk menambah keindahan
dan keagungan gaya bahasanya dan
untuk memberikan kepada manusia suatu percobaan
(ujian)
yang tanpa itu perkembangan
dan penyempurnaan ruhaninya tidak
akan mungkin tercapai.
Orang-orang yang Disucikan
Allah Swt,
Makna ayat “padahal tidak ada yang
mengetahui takwilnya kecuali Allah, dan
orang-orang yang memiliki pengetahuan
mendalam berkata: “Kami beriman
kepadanya, semuanya berasal dari sisi Tuhan kami” berarti bahwa
makrifat Al-Quran hanya dianugerahkan
kepada mereka yang berhati suci,
firman-Nya:
اِنَّہٗ لَقُرۡاٰنٌ کَرِیۡمٌ ﴿ۙ ﴾
فِیۡ کِتٰبٍ
مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ ﴾ لَّا یَمَسُّہٗۤ اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ ﴾
Sesungguhnya
itu benar-benar Al-Quran yang mulia, dalam suatu
kitab yang sangat terpelihara, yang tidak dapat menyentuhnya kecuali
orang-orang yang disucikan. Al-Wāqi’ah
[56]:78-80).
Bahwa Al-Quran itu
sebuah Kitab wahyu Ilahi yang terpelihara dan terjaga baik, merupakan tantangan
terbuka kepada seluruh dunia, tetapi selama 15 abad, tantang-an itu tetap
tidak terjawab atau tidak mendapat sambutan. Tidak ada upaya yang telah
disia-siakan para pengecam yang tidak bersahabat untuk mencela kemurnian teksnya.
Tetapi semua daya upaya
ke arah ini telah membawa kepada satu-satunya hasil yang tidak terelakkan –
walaupun tidak enak dirasakan oleh musuh-musuh – bahwa “kitab yang disodorkan
oleh Nabi Besar Muhammad saw. kepada
dunia 14 abad yang lalu, telah sampai kepada kita tanpa perubahan barang satu
huruf pun” demikian komentar William Muir, salah seorang pengeritik
Al-Quran tersohor dari kalangan Non-Muslim mengenai keotentikan Al-Quran.
Al-Quran adalah sebuah
Kitab yang sangat terpelihara dalam pengertian bahwa hanya orang-orang beriman
yang hatinya bersih dapat meraih khazanah keruhanian seperti diterangkan
dalam ayat berikutnya. Ayat ini pun dapat berarti bahwa cita-cita dan asas-asas
yang terkandung dalam Al-Quran itu tercantum di dalam kitab alam, yaitu cita-cita
dan asas-asas itu sepenuhnya serasi dengan hukum alam (QS.4:83; QS.67:2-5). Seperti hukum alam, cita-cita dan
asas-asas Al-Quran itu juga kekal dan tidak berubah serta hukum-hukumnya tidak
dapat dilanggar tanpa menerima hukuman.
Atau, ayat ini dapat
diartikan bahwa Al-Quran dipelihara
dalam fitrat yang telah dianugerahkan
Allah Swt. kepada manusia (QS.30:31). Fitrat
insani berlandaskan pada hakikat-hakikat
dasar dan telah dilimpahi kemampuan
untuk sampai kepada keputusan yang benar.
Orang yang secara jujur bertindak
sesuai dengan naluri atau fitratnya ia dengan mudah dapat mengenal kebenaran Al-Quran.
Jadi, menurut Allah Swt., hanya orang
yang bernasib baik sajalah yang
diberi pengertian yang benar mengenai dan dapat mendalami kandungan arti Al-Quran yang
hakiki, melalui cara menjalani kehidupan
bertakwa lalu meraih kebersihan hati
dan dimasukkan ke dalam alam rahasia
ruhani makrifat Ilahi, yang tertutup bagi
orang-orang yang hatinya tidak bersih.
Secara sambil lalu dikatakannya bahwa kita hendaknya jangan menyentuh atau membaca Al-Quran
sementara keadaan fisik kita tidak bersih.
Al-Quran adalah “Minuman Surgawi”
yang Tutupnya di Segel dengan
“Tasnim”
Dalam firman Allah Swt. berikut ini
Al-Quran pun merupakan “minuman surgawi”
yang tutupnya disegel khusus dengan “tasnim”, firman-Nya:
کَلَّاۤ اِنَّ کِتٰبَ الۡاَبۡرَارِ لَفِیۡ عِلِّیِّیۡنَ ﴿ؕ ﴾ وَ مَاۤ اَدۡرٰىکَ مَا عِلِّیُّوۡنَ ﴿ؕ ﴾ کِتٰبٌ مَّرۡقُوۡمٌ
﴿ۙ ﴾ یَّشۡہَدُہُ الۡمُقَرَّبُوۡنَ ﴿ؕ ﴾
Sekali-kali
tidak, sesungguhnya rekaman orang-orang
yang abrar (pelaku kebajikan) itu benar-benar
ada di dalam ‘illiyyīn. Dan tahukah
engkau apa ‘illiyyūn itu? Yaitu sebuah Kitab
tertulis. Orang-orang yang didekatkan
kepada Allah akan menyaksikannya.
(Al-Muthaffifīn
[83]:19-22).
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam
Farid
***
“Pajajaran Anyar”, 'Idul Qurban, 26 Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar