بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN
Bab 99
Masa "Pikun" Umat Beragama
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam beberapa Bab sebelumnya
telah dijelaskan makna-makna yang terkandung dalam Surah Yā Sīn yang jadi pokok pembahasan sebelum ini, yaitu mengenai “penyegelan” mulut di alam akhirat pada waktu Hari Penghisaban amal, firman-Nya:
اَلۡیَوۡمَ
نَخۡتِمُ عَلٰۤی اَفۡوَاہِہِمۡ وَ تُکَلِّمُنَاۤ اَیۡدِیۡہِمۡ وَ تَشۡہَدُ
اَرۡجُلُہُمۡ بِمَا کَانُوۡا یَکۡسِبُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَوۡ نَشَآءُ لَطَمَسۡنَا عَلٰۤی اَعۡیُنِہِمۡ فَاسۡتَبَقُوا الصِّرَاطَ
فَاَنّٰی یُبۡصِرُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَوۡ نَشَآءُ لَمَسَخۡنٰہُمۡ عَلٰی
مَکَانَتِہِمۡ فَمَا اسۡتَطَاعُوۡا مُضِیًّا وَّ لَا یَرۡجِعُوۡنَ ﴿٪﴾
Pada hari ini Kami akan
memeterai mulut mereka, sedangkan tangan mereka akan berbicara kepada Kami,
dan kaki mereka akan bersaksi mengenai apa yang dahulu mereka usahakan.
” (Yā Sīn [36]:66).
Bila kejahatan-kejahatan
orang-orang kafir telah dibuktikan
dan dinyatakan senyata-nyatanya,
mereka akan bungkam -- mulutnya seolah-olah dimeterai (disegel) -- dan mereka tidak
akan mampu menyatakan sesuatu guna membela
diri dan memperkecil dosa mereka,
dan tangan serta kaki mereka pun akan memberikan persaksian
terhadap mereka, karena tangan dan kaki merupakan alat utama guna melaksanakan perbuatan manusia yang baik
maupun yang buruk.
Karena manusia telah
dianugerahi kebebasan melakukan
sesuatu dan kebebasan mengikuti kemauan sendiri, ia harus bertanggungjawab atas perbuatannya. Orang-orang kafir dengan gigih menolak melihat kebenaran,
dengan akibat mereka sama sekali kehilangan kemampuan
melihat kebenaran itu. Itulah juga arti dan maksud kata-kata “Pada hari ini Kami akan mencap
pada mulut mereka” dalam ayat sebelum ini.
Dalil Adanya
Hari Kebangkitan &
Keadaan Pikun
Lebih lanjut Allah Swt. berfirman lagi
mengenai mereka yang indera-indera ruhaninya lumpuh tersebut:
وَ لَوۡ نَشَآءُ لَطَمَسۡنَا عَلٰۤی اَعۡیُنِہِمۡ فَاسۡتَبَقُوا الصِّرَاطَ
فَاَنّٰی یُبۡصِرُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَوۡ نَشَآءُ لَمَسَخۡنٰہُمۡ عَلٰی
مَکَانَتِہِمۡ فَمَا اسۡتَطَاعُوۡا مُضِیًّا وَّ لَا یَرۡجِعُوۡنَ ﴿٪﴾
Dan
seandainya Kami menghendaki niscaya Kami dapat melenyapkan penglihatan mata
mereka maka mereka akan berlomba-lomba
mencari jalan, tetapi bagaimanakah
mereka dapat melihat? Dan seandainya
Kami menghendaki niscaya Kami
dapat mengubah keadaan mereka pada tempat mereka, maka mereka tidak mampu maju ke depan dan tidak pula mereka kembali ke belakang.” (Yā Sīn [36]:67-68).
Menurut Ibn ‘Abbas ungkapan itu
berarti “Tentu Kami akan membinasakan mereka di rumah mereka” dan menurut
Hasan, ungkapan itu berarti bahwa segala kemampuan
jasmani dan ruhani mereka akan
menjadi lumpuh (Tafsir Ibnu Jarir).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ مَنۡ نُّعَمِّرۡہُ
نُنَکِّسۡہُ فِی الۡخَلۡقِ ؕ
اَفَلَا یَعۡقِلُوۡنَ ﴿ ﴾
Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya pasti Kami
mengembalikannya pada awal
penciptaan, maka tidakkah mereka mau berfikir?
(Yā Sīn [36]:69).
Segala sesuatu yang hidup pasti mengalami kerusakan dan kemunduran. Hukum ini berlaku bagi bangsa-bangsa seperti halnya bagi individu-individu. Seperti halnya individu-individu, bangsa-bangsa pun berkembang, tumbuh dan
menemukan bentuk yang sepenuh-penuhnya dan kemudian menjadi mangsa kerusakan,
kemunduran, serta kematian.
Dalam Surah Al-Quran lain Allah Swt. menyebut kalimat “pasti
Kami
mengembalikannya pada awal penciptaan“ dengan
istilah pikun, berikut firman-Nya
sehubungan adanya Hari Kebangkitan serta keadaan pikun
yang pasti dialami oleh manusia – baik
sebagai perorangan mau pun sebagai bangsa (kaum) – firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا النَّاسُ اِنۡ کُنۡتُمۡ فِیۡ رَیۡبٍ مِّنَ الۡبَعۡثِ
فَاِنَّا خَلَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ تُرَابٍ ثُمَّ مِنۡ نُّطۡفَۃٍ ثُمَّ مِنۡ عَلَقَۃٍ ثُمَّ مِنۡ مُّضۡغَۃٍ مُّخَلَّقَۃٍ وَّ غَیۡرِ مُخَلَّقَۃٍ لِّنُبَیِّنَ لَکُمۡ ؕ وَ نُقِرُّ
فِی الۡاَرۡحَامِ مَا نَشَآءُ اِلٰۤی اَجَلٍ مُّسَمًّی ثُمَّ
نُخۡرِجُکُمۡ طِفۡلًا ثُمَّ لِتَبۡلُغُوۡۤا اَشُدَّکُمۡ ۚ وَ مِنۡکُمۡ مَّنۡ یُّتَوَفّٰی وَ مِنۡکُمۡ مَّنۡ یُّرَدُّ اِلٰۤی اَرۡذَلِ الۡعُمُرِ
لِکَیۡلَا یَعۡلَمَ مِنۡۢ بَعۡدِ عِلۡمٍ شَیۡئًا ؕ وَ تَرَی
الۡاَرۡضَ ہَامِدَۃً فَاِذَاۤ اَنۡزَلۡنَا عَلَیۡہَا الۡمَآءَ اہۡتَزَّتۡ وَ رَبَتۡ وَ اَنۡۢبَتَتۡ مِنۡ کُلِّ زَوۡجٍۭ بَہِیۡجٍ ﴿ ﴾ ذٰلِکَ بِاَنَّ اللّٰہَ ہُوَ الۡحَقُّ وَ اَنَّہٗ یُحۡیِ الۡمَوۡتٰی وَ اَنَّہٗ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ۙ﴿ ﴾
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan mengenai kebangkitan
kembali, maka sesungguhnya Kami
telah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari
sepotong daging, sebagian telah berbentuk
dan sebagian lagi belum berbentuk,
supaya Kami menjelaskan kepada kamu, dan Kami
menempatkan di dalam rahim-rahim sebagaimana yang Kami kehendaki sampai masa yang telah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, lalu kamu mencapai kedewasaanmu. Dan di antara kamu ada
yang diwafatkan, dan sebagian dari kamu ada yang dipanjangkan umurnya hingga pikun, sehingga ia tidak mengetahui sedikit pun setelah ia mengetahui. Dan engkau
melihat bumi gersang lalu
apabila ke atasnya Kami
menurunkan air ia bergerak dan
berkembang dan menumbuhkan segala
macam tumbuhan yang indah. Yang
demikian itu karena sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Benar dan sesungguhnya
Dia-lah Yang menghidupkan yang mati, dan sesungguhnya Dia berkuasa atas segala sesuatu,
(Al-Hajj [22]:6-7).
Proses Evolusi Jasmani dan Ruhani Manusia
Kejadian manusia
dan perkembangan fisiknya merupakan
suatu dalil yang kuat untuk
membenarkan adanya kehidupan sesudah mati.
Kejadian manusia adalah suatu proses evolusi, suatu penguraian yang
berangsur-angsur, suatu perkembangan dari suatu tahap kepada tahap yang lain,
dari zat tanpa nyawa kepada suatu benih kemudian kepada indung telur yang telah dibuahi, kemudian kepada janin dan sesudah itu proses mencapai
puncaknya dalam kelahiran wujud manusia
yang sempurna bentuknya.
Tetapi
proses evolusi ini tidak berhenti dengan kelahiran manusia. Proses itu berjalan terus. Pertumbuhan jasmani
manusia yang ajaib dari zat tanpa nyawa
kepada wujud manusia yang sempurna
merupakan bukti yang tidak dapat
ditolak, bahwa Khaliq (Pencipta)
manusia dan Pencipta semua tingkatan pertumbuhannya, memiliki kekuasaan memberikan kepadanya suatu kehidupan baru sesudah ia mati. Rupanya terkandung kesimpulan bahwa sebagaimana kejadian dan pertumbuhan jasmani manusia melalui proses evolusi dan pertumbuhan yang berangsur-angsur,
begitu pula perkembangan ruhaninya.
Dalil lain yang diambil dari alam
ialah, bahwa bumi yang kering,
gersang, atau mati, bergetar dengan kehidupan baru ketika hujan
turun. Gejala ini membawa kepada kesimpulan
yang sama bahwa Allah Swt. mempunyai kekuasaan
membuat bumi yang mati dan kering-gersang itu bergetar dengan kehidupan baru tentu mempunyai kekuasaan
menghidupkan kembali manusia sesudah
ia mati.
Menurut Allah Swt. dalam firman-Nya tersebut,
bahwa manusia -- baik secara perorangan mau pun sebagai bangsa (kaum) – apabila mengalami usia
yang panjang pasti akan
mengalami keadaan pikun dimana ia bukan saja akan kehilangan
kemampuan-kemampuannya, baik secara jasmani mau pun secara ruhani, bahkan daya ingatnya
pun menjadi sangat lemah sehingga ia
akan kehilangan berbagai ilmu pengetahuan
yang dimiliki sebelumnya: “dan sebagian dari kamu ada yang dipanjangkan umurnya hingga pikun, sehingga ia tidak
mengetahui sedikit pun setelah ia mengetahui.“
Kepercayaan Sesat Nabi Elia
a.s. dan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
Diangkat Ke Langit Hidup-hidup
Hukum Allah Swt. mengenai keadaan
pikun tersebut berlaku pula bagi
semua rasul Allah, termasuk Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., yang
dipercaya oleh umum umat Islam bahwa
hingga saat ini beliau berada
di langit dan telah berusia lebih dari 2000 tahun, padahal Nabi
Besar Muhammad saw. telah bersabda bahwa usia
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. adalah 120 tahun, dengan demikian beliau telah wafat sebagaimana pernyataan Allah Swt. dalam
Al-Quran (QS.3:56; QS.5:117-119; QS.21:35-36).
Kepercayaan sesat bahwa Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. diangkat hidup-hidup
ke langit dengan jasad kasarnya -- akibat kesalahan menafsirkan kata rafa’ahu
(mengangkatnya) dalam QS.4:158-159 --
inilah yang membuat umumnya para pemuka umat Islam menolak pendakwaan Mirza
Ghulam Ahmad a.s. sebagai misal Isa
Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58) atau sebagai Al-Masih Mau’ud a.s., persis
seperti halnya kepercayaan sesat para pemuka
Yahudi mengenai kedatangan Nabi Elia a.s. kedua kali dari langit yang
sebelumnya dipercayai beliau telah naik (diangkat) hidup-hidup ke langit
mengendarai kereta berapi dan kuda berapi (II Raja-raja 2:10-12), sehingga mereka menolak
pendakwaan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (Yesus) dengan alasan bahwa Nabi Elia a.s. belum turun
dari langit sebagaimana nubuatan dalam Kitab Maleakhi 4:5-6 akan datang mendahului kedatangan Al-Masih (Mesias).
Nah, kepercayaan Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. diangkat ke langit hidup-hidup
merupakan salah satu bukti bahwa ruh
Al-Quran (agama Islam) telah diangkat lagi oleh Allah Swt. kepadanya
(QS.32:6) atau telah terbang ke bintang Tsurayya, dan untuk membawanya
kembali dari “bintang Tsurayya” tersebut Allah Swt. telah berkenaan
mengirimkan Al-Masih Mau’ud a.s. atau misal
Isa Ibnu Maryam, yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s., yang sekaligus merupakan
pengutusan kedua kali Nabi Besar Muhammad
saw. secara ruhani (QS.62:3-4).
Berikut pernyataan Allah
Swt. dalam Al-Quran bahwa Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. telah wafat, firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَ اللّٰہُ
یٰعِیۡسَی ابۡنَ مَرۡیَمَ ءَاَنۡتَ قُلۡتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُوۡنِیۡ وَ اُمِّیَ اِلٰہَیۡنِ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ ؕ قَالَ سُبۡحٰنَکَ
مَا یَکُوۡنُ لِیۡۤ اَنۡ اَقُوۡلَ مَا
لَیۡسَ لِیۡ ٭ بِحَقٍّ ؕ اِنۡ کُنۡتُ قُلۡتُہٗ فَقَدۡ عَلِمۡتَہٗ ؕ تَعۡلَمُ مَا فِیۡ نَفۡسِیۡ وَ لَاۤ اَعۡلَمُ مَا فِیۡ نَفۡسِکَ ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ
عَلَّامُ الۡغُیُوۡبِ ﴿ ﴾ مَا قُلۡتُ لَہُمۡ اِلَّا مَاۤ اَمَرۡتَنِیۡ بِہٖۤ
اَنِ اعۡبُدُوا اللّٰہَ رَبِّیۡ وَ رَبَّکُمۡ ۚ وَ کُنۡتُ عَلَیۡہِمۡ شَہِیۡدًا مَّا دُمۡتُ فِیۡہِمۡ ۚ
فَلَمَّا تَوَفَّیۡتَنِیۡ کُنۡتَ اَنۡتَ الرَّقِیۡبَ
عَلَیۡہِمۡ ؕ وَ اَنۡتَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ شَہِیۡدٌ ﴿ ﴾ اِنۡ تُعَذِّبۡہُمۡ فَاِنَّہُمۡ عِبَادُکَ ۚ وَ
اِنۡ تَغۡفِرۡ لَہُمۡ فَاِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿ ﴾
Dan ingatlah
ketika Allah berfirman: “Hai ‘Isa ibnu
Maryam, apakah engkau telah berkata kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah?" Ia berkata: “Maha Suci Engkau. Tidak patut bagiku mengatakan apa yang
sekali-kali bukan hakku.
Jika aku telah mengatakannya maka sungguh Engkau
mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku, sedangkan tidak mengetahui apa yang ada
dalam diri Engkau, sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Mengetahui segala yang gaib. Aku
sekali-kali tidak pernah mengatakan
kepada mereka kecuali apa yang telah
Engkau perintahkan kepadaku, yaitu: ”Beribadahlah kepada Allah, Tuhan-ku dan Tuhan kamu.” Dan aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada di antara mereka,
tetapi tatkala cEngkau
telah mewafatkanku maka Engkau-lah Yang benar-benar menjadi
Pengawas atas mereka, dan Engkau
adalah Saksi atas segala sesuatu. Kalau Engkau mengazab mereka, maka
sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan kalau Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya
Engkau benar-benar Maha Perkasa, Maha
Bijaksana.” (Al-Maidah [5]:117-119).
Masa “Pikun” Umat Beragama
Kalimat “Jadikanlah aku dan ibuku
sebagai dua tuhan selain Allah” menunjuk kepada kebiasaan Gereja Kristen yang
menisbahkan kekuatan-kekuatan Uluhiyyah (Ketuhanan) kepada Maryam
binti ‘Imran. Pertolongan Maryam
binti ‘Imran dimohon dalam Litania (suatu bentuk sembahyang),
sedangkan dalam Katakisma (Cathechism, yakni, dasar-dasar ajaran
agama berupa tanya-jawab) Gereja Romawi ditanamkan akidah bahwa beliau itu
bunda Tuhan.
Gerejawan-gerejawan di zaman lampau menganggap Maryam
binti ‘Imran, ibunda Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. mempunyai sifat-sifat Tuhan dan hanya beberapa
tahun yang silam, Paus Pius XII telah memasukkan paham kenaikan Maryam
binti ‘Imran ke langit dalam ajaran Gereja. Semua ini sama halnya dengan
menaikkan beliau ke jenjang Ketuhanan dan inilah apa yang dicela oleh umat
Protestan dan disebut sebagai Mariolatry (Pemujaan Dara Maria).
Ungkapan bahasa Arab dalam teks yang
diterjemahkan sebagai “tidak layak bagiku” dapat ditafsirkan sebagai:
Tidak patut bagiku atau tidak mungkin bagiku atau aku tidak berhak berbuat
demikian, dan sebagainya. Nabi Isa Ibnu Maryam mengajarkan menyembah
hanya satu Tuhan (Matius 4:10 dan Lukas 4:8).
Selama
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.. hidup, beliau mengamati dengan cermat
pengikut-pengikut beliau dan menjaga agar mereka jangan menyimpang dari jalan
yang benar, tetapi beliau tidak mengetahui betapa mereka telah berbuat dan
akidah-akidah palsu apa yang dianut
mereka sesudah beliau wafat. Kini,
oleh karena pengikut-pengikut beliau telah sesat
maka dapat diambil kesimpulan pasti bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. telah
wafat, sebab sebagaimana ditunjukkan
oleh ayat itu, sesudah wafatnyalah
beliau disembah sebagai Tuhan.
Begitu pula kenyataan bahwa menurut
ayat ini Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. akan menyatakan tidak tahu-menahu
bahwa pengikut-pengikut beliau menganggap beliau
dan bundanya sebagai dua tuhan sesudah beliau meninggalkan mereka, membuktikan bahwa
beliau tidak akan kembali lagi ke dunia. Sebab apabila beliau harus kembali dan
melihat dengan mata sendiri pengikut-pengikut beliau telah menjadi rusak dan
telah mempertuhankan beliau, beliau
tidak dapat berdalih tidak tahu-menahu tentang diri beliau, telah dipertuhankan
mereka. Jika sekiranya beliau berbuat demikian, jawaban beliau dengan berdalih
tidak tahu-menahu, akan sama halnya dengan benar-benar dusta.
Dengan demikian ayat itu membuktikan secara positif bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. telah wafat dan beliau sekali-kali tidak akan kembali ke dunia ini.
Lebih-lebih menurut hadits yang termasyhur, Nabi Besar Muhammad saw. akan menggunakan kata-kata seperti itu
pada Hari Kebangkitan, sebagaimana
kata-kata itu diletakkan di sini pada mulut Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., bila
kelak beliau melihat pengikut beliau (umat Islam) digiring ke neraka. Ini memberikan dukungan lebih
lanjut pada kenyataan, bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. telah wafat seperti halnya Nabi Besar Muhammad
saw. juga (QS.21:35-36).
Dengan demikian benarlah firman
Allah Swt. sebelum ini mengenai keadaan pikun yang akan
dialami manusia – baik perorangan mau
pun sebagai bangsa (kaum), dan demikian sebagai
umat beragama – termasuk umat Islam,
yang di Akhir Zaman lebih 14 abad jauhnya dari masa Nabi Besar Muhammad saw. dan para
sahabah beliau saw. yang penuh berkat, sebagaimana ketika Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s. diutus 14 abad kemudian setelah Nabi Musa a.s.,
ketika keadaan umat Yahudi dan para pemuka agamanya keadaan ruhaninya
dalam keadaan pikun, firman-Nya:
وَ مَنۡ نُّعَمِّرۡہُ نُنَکِّسۡہُ فِی الۡخَلۡقِ ؕ اَفَلَا یَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya pasti Kami
mengembalikannya pada awal
penciptaan, maka tidakkah mereka mau berfikir?
(Yā Sīn [36]:69).
(Bersambung).
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam
Farid
***
“Pajajaran Anyar”, 11 Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar