بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN
Bab 100
Perbedaan Nabi Besar Muhammad Saw.
dengan Para "Penyair"
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam beberapa Bab sebelumnya
telah dijelaskan mengenai keadaan pikun yang pasti dialami manusia yang usianya
dipanjangkan Allah Swt.. Dengan demikian benarlah firman Allah Swt. sebelum ini
mengenai keadaan pikun yang akan
dialami manusia – baik perorangan mau
pun sebagai bangsa (kaum), dan demikian
sebagai umat beragama – termasuk umat
Islam, yang di Akhir Zaman lebih 14 abad jauhnya dari masa Nabi Besar Muhammad saw. dan para
sahabah beliau saw. yang penuh berkat.
Keadaan pikun
yang dialami oleh umumnya umat
Islam tersebut terjadi sebagaimana ketika Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. diutus Allah Swt. 14 abad
kemudian setelah Nabi Musa a.s. sebagai Al-Masih
(QS.3:46-57; QS.61:7), ketika
keadaan ruhani umat Yahudi dan para pemuka
agamanya dalam keadaan pikun, sehingga mereka bukan
saja mendustakan Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s. bahkan berusaha membunuh beliau
a.s. melalui penyaliban
(QS.5:158-159), dan hal yang sama
terjadi pula terhadap misal Isa
Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58), firman-Nya:
وَ مَنۡ نُّعَمِّرۡہُ نُنَکِّسۡہُ فِی الۡخَلۡقِ ؕ اَفَلَا یَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya pasti Kami
mengembalikannya pada awal
penciptaan, maka tidakkah mereka mau berfikir?
(Yā Sīn [36]:69).
Kerusakan Parah di “Daratan dan di Lautan”
Nabi Musa a.s. telah menyampaikan nubuatan kepada kaumnya (Bani Israil)
mengenai kedatangan 3 orang rasul Allah
(Injil Yahya I:19-28), 2 orang rasul
Allah diutus dari kalangan Bani
Israil sendiri – yakni Nabi Yahya
a.s. – yang merupakan kedatangan kedua
kali Nabi Elia a.s. (Maleakhi
4:4-6 – dan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.; sedang
rasul Allah lainnya diutus
dari kalangan saudara Bani Israil,
yakni dari Bani Isma’il, yaitu Nabi Besar Muhammad saw., yang dalam Kitab Ulangan 18:15-19 disebut “nabi yang seperti Musa”, demikian pula dalam Al-Quran (QS.46:11).
Dengan demikian jarak waktu antara Nabi
Musa a.s. dengan Nabi Besar Muhammad saw. sekitar 2000 tahun, karena itu dapat
dibayangkan bagaimana kerusakan akhlak dan ruhani -- atauy keadaan pikun -- yang menimpa kaum
Bani Israil, terutama kalangan yang kemudian telah mempertuhankan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., padahal Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. membantah kepercayaan Trinitas dan Penebusan dosa yang direkayasa oleh Paulus dalam surat-surat
kirimannya (QS.5:117-119; Matius 7:21-23).
Jika keadaan umat beragama yang paling
dekat jarak waktunya dengan Nabi Besar Muhammad saw. – yakni Bani Israil – telah sedemikian rupa kerusakan yang telah menimpa ajaran agama
mereka (Taurat dan Injil) serta akhlak
dan ruhani mereka, terlebih lagi
keadaan umat-umat beragama yang jarak waktunya jauh lebih lama lagi dari
beliau saw.. Benarlah firman Allah Swt. berikut ini tentang hal tersebut:
ظَہَرَ الۡفَسَادُ فِی الۡبَرِّ وَ الۡبَحۡرِ بِمَا
کَسَبَتۡ اَیۡدِی النَّاسِ لِیُذِیۡقَہُمۡ بَعۡضَ الَّذِیۡ عَمِلُوۡا لَعَلَّہُمۡ یَرۡجِعُوۡنَ ﴿﴾
Kerusakan telah meluas di daratan dan di lautan disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya dirasakan
kepada mereka akibat sebagian
perbuatan yang mereka lakukan, supaya mereka kembali dari kedurhakaannya. (Al-Rūm [30]:42).
Masalah pokok dalam ayat-ayat sebelumnya
berkisar dalam menimbulkan dan meresapkan pada manusia, keimanan kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa dan Maha Perkasa, Yang menciptakan, mengatur, dan membimbing
segala kehidupan. Dalam ayat sekarang ini kita diberi tahu, bahwa bila kegelapan (kesesatan) menyelimuti muka bumi dan manusia melupakan Allah Swt. dan menaklukkan
diri sendiri kepada penyembahan
tuhan-tuhan yang dikhayalkan dan diciptakan oleh mereka sendiri, maka Allah
Swt. membangkitkan seorang nabi untuk mengembalikan gembalaan yang tersesat keharibaan Majikan-nya (Allah Swt.).
Keadaan politis, sosial maupun akhlaki
Umat Manusia yang Telah Rusak
“Permulaan abad ketujuh adalah masa kekacauan nasional dan sosial, dan
agama sebagai kekuatan akhlak, telah lenyap dan telah jatuh, menjadi hanya
semata-mata tatacara dan upacara adat belaka; dan agama-agama besar di dunia
sudah tidak lagi berpengaruh sehat pada kehidupan para penganutnya. Api suci
yang dinyalakan oleh Zoroaster, Musa, dan Isa a.s. di dalam aliran darah manusia telah
padam. Dalam abad kelima dan keenam, dunia beradab berada di tepi jurang
kekacauan. Agaknya peradaban besar yang telah memerlukan waktu empat ribu tahun
lamanya untuk menegakkannya telah berada di tepi jurang........ Peradaban
laksana pohon besar yang daun-daunnya telah menaungi dunia dan dahan-dahannya
telah menghasilkan buah-buahan emas dalam kesenian, keilmuan, kesusatraan,
sudah goyah, batangnya tidak hidup lagi dengan mengalirkan sari pengabdian dan pembaktian,
tetapi telah busuk hingga terasnya” (“Emotion
as the Basis of Civilization” dan “Spirit
of Islam”).
Demikianlah keadaan umat manusia pada waktu Nabi Besar Muhammad saw., Guru umat manusia terbesar, muncul pada
pentas dunia, dan tatkala syariat yang
paling sempurna dan terakhir
diturunkan dalam bentuk Al-Quran (QS.5:4), sebab syariat
yang sempurna hanya dapat diturunkan
bila semua atau kebanyakan keburukan, teristimewa yang dikenal sebagai akar keburukan, menampakkan diri telah
menjadi mapan.
Kata-kata “daratan dan lautan”
yang telah dilanda kerusakan dapat
diartikan: (a) bangsa-bangsa yang kebudayaan dan peradabannya hanya
semata-mata berdasar pada akal serta pengalaman manusia, dan bangsa-bangsa
yang kebudayaannya serta peradabannya didasari oleh wahyu Ilahi; (b) orang-orang yang
hidup di benua-benua dan orang-orang yang hidup di pulau-pulau. Jadi, ayat ini
berarti bahwa semua bangsa dan umat
beragama di dunia telah menjadi rusak
sampai kepada intinya, baik secara politis, sosial maupun akhlaki.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
قُلۡ سِیۡرُوۡا فِی الۡاَرۡضِ فَانۡظُرُوۡا کَیۡفَ کَانَ
عَاقِبَۃُ الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلُ ؕ کَانَ
اَکۡثَرُہُمۡ مُّشۡرِکِیۡنَ ﴿ ﴾ فَاَقِمۡ وَجۡہَکَ
لِلدِّیۡنِ الۡقَیِّمِ مِنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ یَوۡمٌ لَّا مَرَدَّ لَہٗ مِنَ اللّٰہِ یَوۡمَئِذٍ یَّصَّدَّعُوۡنَ ﴿ ﴾
Katakanlah: ”Berjalanlah di bumi dan lihatlah bagaimana buruknya akibat bagi orang-orang sebelum kamu ini. Kebanyakan mereka
itu orang-orang musyrik.” Maka hadapkanlah wajah engkau kepada agama yang lurus, sebelum datang dari Allah hari yang tidak dapat
dihindarkan, pada hari itu orang-orang
beriman dan kafir akan terpisah. (Al-Rūm [30]:43-44).
Nabi
Besar Muhammad Saw. bukan Seorang Penyair
Jadi, karena Nabi Besar Muhammad saw.
adalah rasul Allah yang mengemban syariat tersempurna dan terakhir
yaitu agama Islam (Al-Quran –
QS.3:86; QS.5:4) karena itu wahyu-wahyu Al-Quran itu bukanlah
syair-syair, sebagaimana syair-syair yang dibuat oleh para penyair yang menggubah sendiri bait-bait
syairnya.
Seluruh
ayat Al-Quran adalah firman Allah Swt. yang diwahyukan Allah Swt. ke dalam qalbu (hati) Nabi Besar Muhammad saw., Allah
Swt. berfirman dalam Surah Ya Sin selanjutnya:
وَ مَا عَلَّمۡنٰہُ الشِّعۡرَ وَ مَا یَنۡۢبَغِیۡ لَہٗ ؕ
اِنۡ ہُوَ اِلَّا ذِکۡرٌ
وَّ قُرۡاٰنٌ
مُّبِیۡنٌ ﴿ۙ ﴾ لِّیُنۡذِرَ مَنۡ کَانَ حَیًّا وَّ یَحِقَّ
الۡقَوۡلُ عَلَی الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿ ﴾
Dan Kami sekali-kali tidak mengajarinya syair dan sekali-kali tidak pula layak baginya. Itu
tidak lain melainkan suatu nasihat
dan Quran yang memberi penerangan, supaya memberi
peringatan kepada yang hidup, dan supaya menjadi pasti keputusan Allah atas orang-orang kafir. (Yā Sīn [36]:70-71).
Adalah tidak sesuai dengan kemuliaan seorang rasul Allah, bahwa Nabi Besar Muhammad saw. menjadi seorang penyair, sebab penyair-penyair pada umumnya suka berkhayal kosong dan menggantang
asap. Nabi-nabi Allah menghadapi cita-cita
dan rencana-rencana luhur lagi mulia sekali. Tetapi ayat ini tidaklah
berarti, bahwa semua syair itu buruk,
dan bahwa semua penyair itu pengkhayal belaka melainkan maksudnya ialah bahwa seorang rasul Allah itu terlalu mulia dan martabat keruhaniannya terlalu tinggi untuk hanya disebut sekedar
menjadi seorang penyair.
Kata-kata “yang hidup” dalam kalimat “supaya memberi peringatan kepada
yang hidup“ berarti orang-orang yang keruhaniannya tidak mati, yaitu orang-orang yang mampu memperoleh dan menerima Amanat Ilahi dan mempunyai kemampuan
menyambut dan menjawab panggilan
kepada kebenaran.
Syaitan dan “Penyair”
Dalam Surah lainnya
Allah Swt. berfirman mengenai Al-Quran dan Nabi Besar Muhammad saw.:
ہَلۡ
اُنَبِّئُکُمۡ عَلٰی مَنۡ تَنَزَّلُ الشَّیٰطِیۡنُ ﴿ ﴾ؕ تَنَزَّلُ عَلٰی
کُلِّ اَفَّاکٍ اَثِیۡمٍ ﴿ ﴾ۙ یُّلۡقُوۡنَ
السَّمۡعَ وَ اَکۡثَرُہُمۡ کٰذِبُوۡنَ ﴿ ﴾ؕ وَ الشُّعَرَآءُ یَتَّبِعُہُمُ الۡغَاوٗنَ ﴿ ﴾ؕ اَلَمۡ تَرَ اَنَّہُمۡ فِیۡ کُلِّ وَادٍ یَّہِیۡمُوۡنَ ﴿ ﴾ۙ وَ اَنَّہُمۡ یَقُوۡلُوۡنَ مَا لَا یَفۡعَلُوۡنَ ﴿ ﴾ۙ اِلَّا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا
الصّٰلِحٰتِ وَ ذَکَرُوا اللّٰہَ کَثِیۡرًا وَّ انۡتَصَرُوۡا مِنۡۢ بَعۡدِ مَا
ظُلِمُوۡا ؕ وَ سَیَعۡلَمُ الَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡۤا اَیَّ مُنۡقَلَبٍ یَّنۡقَلِبُوۡنَ ﴿ ﴾٪
Maukah kamu
Aku beri tahu kepada siapa syaitan-syaitan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta yang
berdosa, mereka mengarahkan telinga ke langit dan kebanyakan mereka pendusta. Dan penyair-penyair itu yang mengikuti
mereka adalah orang yang
sesat. Tidakkah engkau melihat bahwasanya mereka itu berjalan kian-kemari
tanpa tujuan di dalam setiap lembah, dan bahwasanya mereka itu mengatakan apa yang
tidak mereka lakukan, kecuali orang-orang
yang beriman, beramal shalih,
dan banyak-banyak mengingat Allah, dan mereka membela diri setelah
mereka dizalimi. Dan orang-orang
zalim itu segera akan
mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali. (Al-Syu’arā [26]:222-228).
Dalam aya-ayat ini tuduhan
bahwa Nabi Besar Muhammad saw. adalah seorang penyair (QS.21:6) disangkal.
Tiga alasan yang diberikan sebagai sangkalan, ialah:
(1) Orang-orang yang mengikut dan
berteman dengan penyair-penyair bukanlah orang-orang yang berbudi pekerti
tinggi, tetapi para pengikut Nabi Besar Muhammad saw. memiliki cita-cita yang
sangat mulia dan berbudi pekerti yang sangat luhur.
(2) Penyair-penyair tidak
mempunyai cita-cita atau rencana hidup yang terarah. Mereka itu seakan-akan
melantur tidak menentu arah-tujuannya di tiap-tiap lembah. Akan tetapi Nabi
Besar Muhammad saw. mempunyai suatu tugas hidup yang sangat agung dan luhur.
(3). Penyair-penyair tidak
mengamalkan apa yang mereka ucapkan, sedangkan Nabi Besar Muhammad saw. bukan
hanya Guru yang paling mulia,
melainkan juga seorang pribadi terbesar
dari antara orang-orang yang sibuk berkarya, dan seorang suri teladan yang sempurna (QS.33:22).
(Bersambung).
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam
Farid
***
“Pajajaran Anyar”, 13 Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar