Sabtu, 13 Oktober 2012

Perbedaan Nabi Besar Muhammad Saw. & Para "Penyair"



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


  SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN



Bab 100
    
Perbedaan Nabi Besar Muhammad Saw. 
dengan  Para "Penyair" 

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma


Dalam beberapa Bab sebelumnya telah dijelaskan  mengenai keadaan pikun yang pasti dialami manusia  yang usianya dipanjangkan Allah Swt.. Dengan demikian benarlah firman Allah Swt. sebelum ini mengenai keadaan pikun yang akan dialami manusia – baik perorangan mau pun sebagai bangsa (kaum), dan  demikian sebagai umat beragama – termasuk umat Islam, yang  di Akhir Zaman  lebih 14 abad jauhnya dari masa Nabi Besar Muhammad saw. dan para sahabah beliau saw. yang penuh berkat.
      Keadaan pikun  yang dialami oleh umumnya umat Islam tersebut terjadi sebagaimana ketika Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. diutus Allah Swt.  14 abad kemudian setelah Nabi Musa a.s. sebagai Al-Masih (QS.3:46-57; QS.61:7),  ketika keadaan  ruhani umat Yahudi dan para pemuka agamanya    dalam keadaan pikun,  sehingga mereka bukan saja mendustakan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. bahkan berusaha membunuh beliau a.s. melalui penyaliban (QS.5:158-159),  dan hal yang sama terjadi pula terhadap misal Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58),  firman-Nya:
وَ مَنۡ نُّعَمِّرۡہُ  نُنَکِّسۡہُ  فِی الۡخَلۡقِ ؕ اَفَلَا یَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Dan barangsiapa yang  Kami panjangkan umurnya pasti Kami  mengembalikannya  pada awal penciptaan,  maka tidakkah mereka mau  berfikir?  (Yā Sīn [36]:69).

Kerusakan Parah di “Daratan dan di Lautan

      Nabi Musa a.s. telah menyampaikan nubuatan kepada kaumnya (Bani Israil) mengenai kedatangan 3 orang rasul Allah (Injil Yahya I:19-28), 2 orang rasul Allah diutus dari kalangan Bani Israil sendiri – yakni Nabi  Yahya a.s.  – yang merupakan kedatangan kedua kali Nabi Elia a.s. (Maleakhi 4:4-6 – dan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.; sedang   rasul Allah lainnya diutus dari kalangan saudara Bani Israil, yakni dari Bani Isma’il, yaitu Nabi Besar Muhammad saw., yang dalam Kitab  Ulangan 18:15-19 disebut “nabi yang seperti Musa”,  demikian pula dalam Al-Quran (QS.46:11).
       Dengan demikian jarak waktu antara Nabi Musa a.s. dengan Nabi Besar Muhammad saw. sekitar 2000 tahun, karena itu dapat dibayangkan bagaimana kerusakan akhlak dan ruhani  -- atauy keadaan pikun -- yang menimpa kaum Bani Israil, terutama kalangan yang kemudian telah mempertuhankan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., padahal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. membantah  kepercayaan Trinitas dan Penebusan dosa yang direkayasa oleh Paulus dalam surat-surat kirimannya (QS.5:117-119; Matius 7:21-23).
       Jika keadaan umat beragama yang paling dekat jarak waktunya dengan  Nabi Besar Muhammad saw. – yakni Bani Israil – telah sedemikian rupa kerusakan yang telah menimpa  ajaran agama  mereka (Taurat dan Injil) serta akhlak dan ruhani mereka, terlebih lagi keadaan umat-umat beragama yang jarak waktunya jauh lebih lama lagi dari beliau saw.. Benarlah firman Allah Swt. berikut ini tentang hal tersebut:
ظَہَرَ الۡفَسَادُ فِی الۡبَرِّ وَ الۡبَحۡرِ بِمَا کَسَبَتۡ اَیۡدِی  النَّاسِ  لِیُذِیۡقَہُمۡ بَعۡضَ الَّذِیۡ عَمِلُوۡا  لَعَلَّہُمۡ یَرۡجِعُوۡنَ ﴿﴾
Kerusakan telah meluas di daratan dan di lautan  disebabkan perbuatan tangan manusia,  supaya dirasakan kepada mereka akibat sebagian perbuatan yang mereka lakukan, supaya mereka kembali dari kedurhakaannya. (Al-Rūm [30]:42).
 Masalah pokok dalam ayat-ayat sebelumnya berkisar dalam menimbulkan dan meresapkan pada manusia, keimanan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa, Yang menciptakan, mengatur, dan membimbing segala kehidupan. Dalam ayat sekarang ini kita diberi tahu, bahwa bila kegelapan (kesesatan) menyelimuti muka bumi dan manusia melupakan Allah Swt. dan menaklukkan diri sendiri kepada penyembahan tuhan-tuhan yang dikhayalkan dan diciptakan oleh mereka sendiri, maka Allah  Swt. membangkitkan seorang nabi untuk mengembalikan gembalaan yang tersesat keharibaan Majikan-nya (Allah Swt.).

Keadaan politis, sosial maupun akhlaki
Umat Manusia yang Telah Rusak

Permulaan abad ketujuh adalah masa kekacauan nasional dan sosial, dan agama sebagai kekuatan akhlak, telah lenyap dan telah jatuh, menjadi hanya semata-mata tatacara dan upacara adat belaka; dan agama-agama besar di dunia sudah tidak lagi berpengaruh sehat pada kehidupan para penganutnya. Api suci yang dinyalakan oleh Zoroaster, Musa, dan Isa a.s.   di dalam aliran darah manusia telah padam. Dalam abad kelima dan keenam, dunia beradab berada di tepi jurang kekacauan. Agaknya peradaban besar yang telah memerlukan waktu empat ribu tahun lamanya untuk menegakkannya telah berada di tepi jurang........ Peradaban laksana pohon besar yang daun-daunnya telah menaungi dunia dan dahan-dahannya telah menghasilkan buah-buahan emas dalam kesenian, keilmuan, kesusatraan, sudah goyah, batangnya tidak hidup lagi dengan mengalirkan sari pengabdian dan pembaktian, tetapi telah busuk hingga terasnya” (“Emotion as the Basis of Civilization” dan “Spirit of Islam”).
      Demikianlah keadaan umat manusia pada waktu Nabi Besar Muhammad saw., Guru umat manusia terbesar, muncul pada pentas dunia, dan tatkala syariat yang paling sempurna dan terakhir diturunkan dalam bentuk Al-Quran (QS.5:4), sebab  syariat yang sempurna hanya dapat diturunkan bila semua atau kebanyakan keburukan, teristimewa yang dikenal sebagai akar keburukan, menampakkan diri telah menjadi mapan.
        Kata-kata “daratan dan lautan” yang telah dilanda kerusakan dapat diartikan: (a) bangsa-bangsa yang kebudayaan dan peradabannya hanya semata-mata berdasar pada akal serta pengalaman manusia, dan bangsa-bangsa yang kebudayaannya serta peradabannya didasari oleh wahyu Ilahi; (b) orang-orang yang hidup di benua-benua dan orang-orang yang hidup di pulau-pulau. Jadi, ayat ini berarti  bahwa semua bangsa  dan umat beragama di dunia telah menjadi rusak sampai kepada intinya, baik secara politis, sosial maupun akhlaki. Selanjutnya Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
قُلۡ سِیۡرُوۡا فِی الۡاَرۡضِ فَانۡظُرُوۡا کَیۡفَ کَانَ عَاقِبَۃُ  الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلُ ؕ کَانَ اَکۡثَرُہُمۡ  مُّشۡرِکِیۡنَ ﴿ ﴾   فَاَقِمۡ وَجۡہَکَ لِلدِّیۡنِ الۡقَیِّمِ مِنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ یَوۡمٌ  لَّا  مَرَدَّ لَہٗ مِنَ اللّٰہِ یَوۡمَئِذٍ  یَّصَّدَّعُوۡنَ ﴿ ﴾
Katakanlah:  Berjalanlah di bumi dan lihatlah bagaimana buruknya akibat bagi orang-orang sebelum kamu ini. Kebanyakan mereka itu orang-orang musyrik.”    Maka hadapkanlah wajah engkau kepada agama yang lurus, sebelum datang dari Allah hari yang tidak dapat dihindarkan,  pada hari itu orang-orang beriman  dan kafir akan terpisah. (Al-Rūm [30]:43-44).

Nabi Besar Muhammad Saw. bukan Seorang Penyair

       Jadi, karena Nabi Besar Muhammad saw. adalah rasul Allah yang mengemban syariat tersempurna dan terakhir yaitu agama Islam (Al-Quran – QS.3:86; QS.5:4) karena itu   wahyu-wahyu Al-Quran itu   bukanlah    syair-syair, sebagaimana syair-syair yang dibuat oleh para penyair yang menggubah sendiri bait-bait syairnya.
      Seluruh  ayat Al-Quran  adalah firman Allah Swt. yang diwahyukan Allah Swt. ke dalam qalbu (hati) Nabi Besar Muhammad saw., Allah Swt. berfirman dalam Surah Ya Sin selanjutnya:
وَ مَا عَلَّمۡنٰہُ الشِّعۡرَ وَ مَا یَنۡۢبَغِیۡ لَہٗ ؕ اِنۡ ہُوَ   اِلَّا  ذِکۡرٌ   وَّ  قُرۡاٰنٌ  مُّبِیۡنٌ ﴿ۙ ﴾   لِّیُنۡذِرَ مَنۡ کَانَ حَیًّا وَّ یَحِقَّ الۡقَوۡلُ عَلَی الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿ ﴾
Dan Kami sekali-kali tidak mengajarinya syair dan sekali-kali tidak pula layak baginya.   Itu tidak lain melainkan suatu nasihat dan Quran yang memberi penerangan, supaya memberi peringatan kepada yang hidup, dan supaya menjadi pasti keputusan Allah atas orang-orang kafir. (Yā Sīn [36]:70-71).
       Adalah tidak sesuai dengan kemuliaan seorang rasul Allah, bahwa  Nabi Besar Muhammad saw. menjadi seorang penyair, sebab penyair-penyair pada umumnya suka berkhayal kosong dan menggantang asap. Nabi-nabi Allah menghadapi cita-cita dan rencana-rencana luhur lagi mulia sekali. Tetapi ayat ini tidaklah berarti, bahwa semua syair itu buruk, dan bahwa semua penyair itu pengkhayal belaka  melainkan maksudnya ialah bahwa seorang rasul Allah itu terlalu mulia dan martabat keruhaniannya terlalu tinggi untuk hanya disebut sekedar menjadi seorang penyair.
       Kata-kata “yang hidup”  dalam kalimat “supaya memberi peringatan kepada yang hidup“ berarti orang-orang yang keruhaniannya tidak mati, yaitu orang-orang yang mampu memperoleh dan menerima Amanat Ilahi dan mempunyai kemampuan menyambut dan menjawab panggilan kepada kebenaran.

Syaitan dan “Penyair”

      Dalam Surah   lainnya Allah Swt. berfirman mengenai Al-Quran dan Nabi Besar Muhammad saw.:
ہَلۡ اُنَبِّئُکُمۡ عَلٰی مَنۡ تَنَزَّلُ الشَّیٰطِیۡنُ ﴿ ﴾ؕ   تَنَزَّلُ عَلٰی کُلِّ  اَفَّاکٍ  اَثِیۡمٍ ﴿ ﴾ۙ   یُّلۡقُوۡنَ السَّمۡعَ وَ اَکۡثَرُہُمۡ کٰذِبُوۡنَ ﴿   ﴾ؕ  وَ الشُّعَرَآءُ  یَتَّبِعُہُمُ  الۡغَاوٗنَ ﴿ ﴾ؕ  اَلَمۡ  تَرَ  اَنَّہُمۡ  فِیۡ کُلِّ وَادٍ  یَّہِیۡمُوۡنَ ﴿  ﴾ۙ  وَ  اَنَّہُمۡ  یَقُوۡلُوۡنَ مَا  لَا  یَفۡعَلُوۡنَ ﴿ ﴾ۙ  اِلَّا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَ ذَکَرُوا اللّٰہَ  کَثِیۡرًا وَّ انۡتَصَرُوۡا مِنۡۢ بَعۡدِ مَا ظُلِمُوۡا ؕ وَ سَیَعۡلَمُ الَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡۤا اَیَّ  مُنۡقَلَبٍ  یَّنۡقَلِبُوۡنَ ﴿ ﴾٪
Maukah kamu Aku beri tahu   kepada siapa syaitan-syaitan itu turun?   Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta yang berdosa, mereka mengarahkan  telinga ke langit dan kebanyakan mereka pendusta.   Dan penyair-penyair itu yang  mengikuti mereka adalah orang yang sesat.   Tidakkah engkau melihat  bahwasanya mereka itu berjalan kian-kemari  tanpa tujuan di dalam setiap lembah,    dan bahwasanya mereka itu mengatakan apa yang  tidak mereka  lakukan,  kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, dan banyak-banyak mengingat Allah, dan mereka   membela diri setelah mereka dizalimi. Dan orang-orang zalim itu segera akan  mengetahui  ke tempat mana mereka akan kembali.  (Al-Syu’arā [26]:222-228).
        Dalam aya-ayat ini tuduhan bahwa  Nabi Besar Muhammad saw.  adalah seorang penyair (QS.21:6) disangkal. Tiga alasan yang diberikan sebagai sangkalan, ialah:
       (1) Orang-orang yang mengikut dan berteman dengan penyair-penyair bukanlah orang-orang yang berbudi pekerti tinggi, tetapi para pengikut Nabi Besar Muhammad saw. memiliki cita-cita yang sangat mulia dan berbudi pekerti yang sangat luhur.
       (2) Penyair-penyair tidak mempunyai cita-cita atau rencana hidup yang terarah. Mereka itu seakan-akan melantur tidak menentu arah-tujuannya di tiap-tiap lembah. Akan tetapi Nabi Besar Muhammad saw. mempunyai suatu tugas hidup yang  sangat agung dan luhur.
       (3). Penyair-penyair tidak mengamalkan apa yang mereka ucapkan, sedangkan Nabi Besar Muhammad saw. bukan hanya Guru yang paling mulia, melainkan juga seorang pribadi terbesar dari antara orang-orang yang sibuk berkarya, dan seorang suri teladan yang sempurna (QS.33:22).

 (Bersambung). 

Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar”, 13 Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar