Kamis, 04 Oktober 2012

Keunggulan Kemampuan Fitrat Manusia daripada Malaikat






بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


  SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN



Bab 96
    
Keunggulan Kemampuan Fitrat Manusia
daripada Malaikat

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma


Pada bagian akhir Bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai penyembahan  terhadap “berhala-berhala yang tak berwujud”, firman-Nya:
اَمۡ  تَحۡسَبُ اَنَّ  اَکۡثَرَہُمۡ  یَسۡمَعُوۡنَ  اَوۡ یَعۡقِلُوۡنَ ؕ اِنۡ  ہُمۡ   اِلَّا  کَالۡاَنۡعَامِ  بَلۡ ہُمۡ اَضَلُّ  سَبِیۡلًا ﴿٪ ﴾
Ataukah engkau menyangka  bahwa sesungguhnya kebanyakan dari mereka mendengar atau mengerti?  Mereka tidak lain melainkan seperti binatang ternak bahkan mereka lebih sesat dari jalan-Nya. (Al-Furqān [25]:45).
       Keinginan-keinginan, lamunan-lamunan, dan khayalan-khayalannya sendiri itulah yang pada umumnya orang puja lebih dari apa pun, dan inilah yang menjadi batu penghalang baginya untuk menerima kebenaran. Dalam intelek atau akal, manusia boleh jadi telah jauh maju, sehingga ia tidak lagi membungkukkan diri di hadapan batu-batu dan bintang-bintang, akan tetapi ia belum mengatasi pemujaannya terhadap cita-cita, prasangka-prasangka, dan khayalan-khayalannya yang palsu.  

“Indera-indera Ruhani” yang Lumpuh
  
         Pemujaan berhala-berhala yang bersemayam dalam hatinya itulah yang dicela di sini. Daripada ia memanfaatkan kemampuan-kemampuannya yang dianugerahkan Allah Swt.  untuk berpikir dan mendengar, dan yang seharusnya membantu manusia mengenali dan menyadari kebenaran, malah ia meraba-raba  dalam kegelapan. Pada saat itu jatuhlah ia ke taraf hidup bagaikan binatang ternak, bahkan lebih rendah daripada itu, sebab binatang ternak tidak diberi kemampuan memilih dan membedakan, sedang manusia diberi daya (kemampuan) itu.
       Kembali kepada QS.7:180 sebelumnya mengenai “kebanyakan penghuni neraka”, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ ذَرَاۡنَا لِجَہَنَّمَ کَثِیۡرًا مِّنَ الۡجِنِّ وَ الۡاِنۡسِ ۫ۖ  لَہُمۡ قُلُوۡبٌ لَّا یَفۡقَہُوۡنَ بِہَا ۫ وَ لَہُمۡ اَعۡیُنٌ لَّا یُبۡصِرُوۡنَ بِہَا ۫ وَ لَہُمۡ اٰذَانٌ لَّا یَسۡمَعُوۡنَ بِہَا ؕ اُولٰٓئِکَ کَالۡاَنۡعَامِ بَلۡ ہُمۡ اَضَلُّ ؕ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡغٰفِلُوۡنَ ﴿ ﴾   وَ لِلّٰہِ الۡاَسۡمَآءُ الۡحُسۡنٰی فَادۡعُوۡہُ بِہَا ۪ وَ ذَرُوا الَّذِیۡنَ یُلۡحِدُوۡنَ فِیۡۤ  اَسۡمَآئِہٖ ؕ سَیُجۡزَوۡنَ مَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿ ﴾
Dan  sungguh  Kami benar-benar telah  menjadikan  untuk penghuni  Jahannam banyak di antara jin dan manusia,   mereka memiliki hati tetapi mereka tidak mengerti dengannya, mereka  memiliki   mata tetapi  mereka tidak melihat dengannya, mereka memiliki telinga  tetapi mereka tidak mendengar dengannya,  mereka itu  seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat. Mereka itulah orang-orang yang lalai.   Dan milik Allah-lah nama-nama yang terbaik,  maka serulah Dia dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang  dalam  memahami nama-nama-Nya,  mereka segera akan mendapat balasan terhadap apa yang senantiasa mereka kerjakan. (Al-A’rāf [7]:180-181).
       Huruf lam (lā) dalam ayat tersebut adalah  lam ‘aqibat yang menyatakan kesudahan atau akibat. Dengan demikian ayat ini tidak ada hubungannya dengan tujuan kejadian manusia melainkan hanya menyebutkan kesudahan yang patut disesalkan mengenai kehidupan kebanyakan ins (manusia) dan jin  -- kata jin itu juga mempunyai arti golongan manusia yang istimewa, yakni penguasa-penguasa atau pemuka-pemuka atau orang-orang besar, sedang ins adalah golongan masyarakat biasa. Dari cara mereka menjalani hidup mereka dalam berbuat dosa dan kedurhakaan nampak seolah-olah mereka telah diciptakan untuk masuk neraka.

Al-Asmā-ul-Husna &
Keunggulan Kemampuan Manusia daripada Malaikat

  Dalam ayat selanjutnya (QS.7:181), Allah menerangkan bahwa  nama Tuhan ialah Allah, semua sebutan lainnya sebenarnya adalah hanya Sifat-sifat-Nya. Pada waktu berdoa kita harus memanggil Sifat-sifat Allah Swt.  yang langsung berkaitan dengan maksud doa itu, firman-Nya:
   وَ لِلّٰہِ الۡاَسۡمَآءُ الۡحُسۡنٰی فَادۡعُوۡہُ بِہَا ۪ وَ ذَرُوا الَّذِیۡنَ یُلۡحِدُوۡنَ فِیۡۤ  اَسۡمَآئِہٖ ؕ سَیُجۡزَوۡنَ مَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿ ﴾
Dan milik Allah-lah nama-nama yang terbaik,  maka serulah Dia dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang  dalam memahami nama-nama-Nya,  mereka segera akan mendapat balasan terhadap apa yang senantiasa mereka kerjakan. (Al-A’rāf [7]:180-181).
  Menyimpang dari jalan yang benar berkenaan dengan Sifat-sifat Allah Swt., dapat diartikan bahwa oleh karena Allah Swt.   adalah  Pemilik segala Sifat terbaik (Al-Asmā-ul-husna) yang tersebut dalam Al-Quran dan Hadits, maka tidak perlu memberikan kepada-Nya Sifat-sifat lain yang tidak sesuai dengan Keagungan-Nya, Kehormatan-Nya, dan Kasih Sayang-Nya yang meliputi segala sesuatu. (QS.7:181; QS.17:111-112; QS.20:9; QS.59:25).
       Kembali kepada QS.2:31-35 mengenai  Al-Asmā-ul-Husna yang diajarkan khusus Allah Swt. kepada Adam atau kepada vpara  rasul Allah (QS.3:180; QS.72:27-29), hal itu  menunjukkan bahwa orang tidak dapat meraih makrifat Ilahi tanpa tanggapan dan pengertian yang tepat mengenai Sifat-sifat Allah Swt.  dan bahwa Sifat-sifat-Nya itu hanya dapat diajarkan oleh Allah Swt. Sendiri, karena itu sangat perlu bahwa Allah Swt.  mula-mula memberi Adam   ilmu (pengetahuan) tentang Sifat-sifat-Nya supaya ia mengetahui dan mengenal-Nya  serta  mencapai kedekatan kepada-Nya  dan jangan melantur jauh dari Dia.
     Menurut Allah Swt. dalam Al-Quran, manusia berbeda dari malaikat dalam hal bahwa  manusia dapat menjadi bayangan atau pantulan dari al-Asmā ul-husnā yaitu semua Sifat Allah Swt.  yang sempurna,  karena itu manusia dapat mencapai martabat sebagai “Khalifah Allah” di muka bumi, khususnya Adam dan  para rasul Allah, sedang para malaikat hanya sedikit saja mencerminkan (memperagakan) Sifat-sifat  Ilahi itu.
        Para malaikat tidak memiliki kehendak sendiri,  mereka secara pasif menjalankan tugas yang telah diserahkan kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Kuasa (QS.66:7). Sebaliknya, manusia yang dianugerahi kemauan dan kebebasan memilih, berbeda dengan para malaikat dalam hal bahwa manusia mempunyai kemampuan yang menjadikan dia penjelmaan sempurna semua Sifat Ilahi.
      Pendek kata,   QS.2:32   menunjukkan bahwa  Allah Swt.  mula-mula menanamkan pada Adam a.s. kemauan yang bebas dan kemampuan yang diperlukan untuk memahami berbagai Sifat Ilahi, dan kemudian memberikan ilmu (pengetahuan) mengenai Sifat-sifat itu kepadanya. Asmā (nama-nama) dapat berarti pula sifat-sifat berbagai benda alam, karena manusia harus mempergunakan kekuatan-kekuatan alam  maka Allah  Swt. menganugerahkan kepadanya kemampuan dan kekuasaan untuk mengetahui sifat-sifat dan khasiat-khasiatnya berbagai benda di alam semesta ini.

Makna Kalimat “Beritahukanlah kepada-Ku….” &
Pengutusan para Rasul Allah

      Kata pengganti hum (mereka)  dalam kalimat “kemudian Dia mengemukakan nama-nama mereka kepada para malaikat” (QS.2:32 menunjukkan bahwa apa-apa yang disebut di sini bukan benda-benda tidak-bernyawa, sebab dalam bahasa Arab kata pengganti dalam bentuk ini (hum) hanya dipakai untuk wujud-wujud berakal saja.
      Jadi arti ungkapan itu akan berarti bahwa Allah Swt.  menganugerahkan kepada para malaikat kemampuan melihat siapa yang menonjol ketakwaannya dari antara keturunan Adam a.s. (Bani Adam)   kelak yang akan menjadi penjelmaan Sifat-sifat Ilahi, yakni para rasul Allah yang di bangkitkan dari kalangan Bani Adam, firman-Nya:
وَ لِکُلِّ اُمَّۃٍ  اَجَلٌ ۚ فَاِذَا  جَآءَ  اَجَلُہُمۡ  لَا یَسۡتَاۡخِرُوۡنَ سَاعَۃً  وَّ لَا یَسۡتَقۡدِمُوۡنَ ﴿ ﴾   یٰبَنِیۡۤ  اٰدَمَ  اِمَّا یَاۡتِیَنَّکُمۡ رُسُلٌ مِّنۡکُمۡ یَقُصُّوۡنَ عَلَیۡکُمۡ اٰیٰتِیۡ ۙ فَمَنِ اتَّقٰی وَ اَصۡلَحَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿ ﴾   وَ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ اسۡتَکۡبَرُوۡا عَنۡہَاۤ  اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ النَّارِ ۚ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿ ﴾   
Dan bagi  tiap-tiap umat ada  ajal (batas waktu), maka apabila telah datang ajal   (batas waktu)  mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula dapat memajukannya. . Wahai Bani Adam,  jika datang kepada kamu rasul-rasul dari antara kamu yang menceritakan  Ayat-ayat-Ku kepadamu, maka barangsiapa bertakwa dan memperbaiki diri, tidak akan ada ketakutan menimpa mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati. Dan  orang-orang yang men-dustakan Ayat-ayat Kami dan dengan takabur berpaling  darinya, mereka itu penghuni Api, mereka kekal di dalam-nya. (Al-A’rāf [7]:35-37).
        Kemudian para malaikat ditanya apakah mereka sendiri dapat menjelmakan (memperagakan) Sifat-sifat Ilahi seperti mereka itu. Atas pertanyaan itu mereka menyatakan ketidakmampuan, itulah yang dimaksud dengan  firman Allah Swt. kepada para malaikat Beritahukanlah kepada-Ku nama-nama ini, jika kamu berkata benar” yang tercantum pada ayat ini.
       Karena para malaikat menyadari batas-batas pembawaan alami mereka, mereka mengakui dengan terus-terang bahwa mereka tidak mampu mencerminkan semua Sifat Allah Swt.   seperti dicerminkan (diperagakan) oleh manusia, artinya mereka hanya dapat mencerminkan Sifat-sifat Ilahi yang untuk itu Allah SWt.  — sesuai dengan kebijaksanaan-Nya yang kekal-abadi — telah menganugerahkan kepada para malaikat  kekuatan mencerminkan (menjelmakan/melaksanakan).
        Ketika para malaikat mengakui ketidakmampuan untuk menjelmakan dalam diri mereka sendiri semua Sifat Ilahi yang dapat diperagakan Nabi Adam a.s., maka Nabi Adam a.s. dengan patuh kepada kehendak Ilahi menjelmakan (memperagakan) berbagai kemampuan tabi’i (alami) yang telah tertanam dalam dirinya dan menampakkan kepada para malaikat pekerti mereka yang luas.

Penyebab para Malaikat “Sujud” kepada Adam

    Jadi diciptakan-Nya Adam sebagai khalifah Allah, membuktikan perlunya penciptaan suatu wujud yang mendapat kemampuan khusus dari Allah Swt.   untuk berkehendak , sehingga ia dapat dengan kehendak sendiri memilih jalan kebaikan  dan karena itu dapat menampakkan kemuliaan serta keagungan Ilahi. Selanjutnya Allah Swt. berfirman”
وَ اِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوۡۤا  اِلَّاۤ  اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰی وَ اسۡتَکۡبَرَ ٭۫ وَ  کَانَ مِنَ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿ ﴾
Dan ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam” maka mereka sujud kecuali iblis. Ia menolak dan takabur, dan ia termasuk orang-orang kafir (Al-Baqarah [2]:35).
      Setelah Adam   menjadi cerminan (penjelmaan) Sifat-sifat Allah Swt.  dan sudah mencapai pangkat nabi, Allah Swt. memerintahkan para malaikat untuk mengkhidmatinya. Ungkapan dalam bahasa Arab usjudu tidak berarti “Sujudlah di hadapan Adam” sebab Al-Quran tegas melarang  sujud di hadapan sesuatu selain Allah Swt.   (QS.41:38), dan perintah semacam itu tidak mungkin diberikan kepada para malaikat. Perintah itu berarti “Sujudlah di hadapan-Ku sebagai tanda bersyukur karena Aku telah menjadikan Adam.”
        Illa (kecuali) dipakai untuk memberi arti “kekecualian.” Dalam bahasa Arab istitsna (kekecualian) ada dua macam: (1) Istitsna muttashil artinya kekecualian pada saat sesuatu yang dikecualikan itu termasuk golongan atau jenis yang sama dengan golongan atau jenis yang darinya hendak dibuat kekecualian itu; (2) Istitsna munqathi, yaitu  kekecualian pada saat sesuatu yang dikecualikan itu termasuk golongan atau jenis lain. Dalam ayat ini kata illa menunjuk kepada kekecualian terakhir karena iblis bukan salah seorang malaikat.

(Bersambung). 

Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar”, 4  Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma



Tidak ada komentar:

Posting Komentar