بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN
Bab 96
Keunggulan
Kemampuan Fitrat Manusia
daripada
Malaikat
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Ki Langlang Buana Kusuma
Pada bagian akhir Bab sebelumnya
telah dijelaskan mengenai penyembahan terhadap “berhala-berhala yang tak berwujud”,
firman-Nya:
اَمۡ تَحۡسَبُ
اَنَّ اَکۡثَرَہُمۡ یَسۡمَعُوۡنَ اَوۡ یَعۡقِلُوۡنَ ؕ اِنۡ ہُمۡ اِلَّا کَالۡاَنۡعَامِ
بَلۡ ہُمۡ اَضَلُّ سَبِیۡلًا ﴿٪ ﴾
Ataukah engkau menyangka bahwa sesungguhnya kebanyakan dari mereka mendengar atau mengerti? Mereka
tidak lain melainkan seperti binatang
ternak bahkan mereka lebih sesat dari jalan-Nya. (Al-Furqān
[25]:45).
Keinginan-keinginan,
lamunan-lamunan, dan khayalan-khayalannya sendiri itulah yang pada umumnya
orang puja lebih dari apa pun, dan
inilah yang menjadi batu penghalang
baginya untuk menerima kebenaran.
Dalam intelek atau akal, manusia boleh jadi telah jauh
maju, sehingga ia tidak lagi membungkukkan
diri di hadapan batu-batu dan bintang-bintang, akan tetapi ia belum
mengatasi pemujaannya terhadap cita-cita, prasangka-prasangka, dan khayalan-khayalannya
yang palsu.
“Indera-indera Ruhani” yang Lumpuh
Pemujaan berhala-berhala yang
bersemayam dalam hatinya itulah yang
dicela di sini. Daripada ia memanfaatkan kemampuan-kemampuannya
yang dianugerahkan Allah Swt. untuk berpikir dan mendengar, dan yang seharusnya membantu manusia mengenali dan menyadari kebenaran, malah ia meraba-raba dalam kegelapan.
Pada saat itu jatuhlah ia ke taraf hidup
bagaikan binatang ternak, bahkan lebih rendah daripada itu, sebab binatang ternak tidak diberi kemampuan memilih dan membedakan, sedang manusia diberi daya
(kemampuan) itu.
Kembali kepada QS.7:180 sebelumnya mengenai “kebanyakan penghuni neraka”, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ ذَرَاۡنَا لِجَہَنَّمَ کَثِیۡرًا مِّنَ الۡجِنِّ
وَ الۡاِنۡسِ ۫ۖ لَہُمۡ قُلُوۡبٌ لَّا
یَفۡقَہُوۡنَ بِہَا ۫ وَ لَہُمۡ اَعۡیُنٌ لَّا یُبۡصِرُوۡنَ بِہَا ۫ وَ لَہُمۡ
اٰذَانٌ لَّا یَسۡمَعُوۡنَ بِہَا ؕ اُولٰٓئِکَ کَالۡاَنۡعَامِ بَلۡ ہُمۡ اَضَلُّ ؕ
اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡغٰفِلُوۡنَ ﴿ ﴾ وَ لِلّٰہِ الۡاَسۡمَآءُ الۡحُسۡنٰی فَادۡعُوۡہُ بِہَا ۪ وَ ذَرُوا الَّذِیۡنَ یُلۡحِدُوۡنَ فِیۡۤ اَسۡمَآئِہٖ ؕ سَیُجۡزَوۡنَ مَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿ ﴾
Dan sungguh Kami benar-benar telah menjadikan
untuk penghuni Jahannam
banyak di antara jin dan manusia,
mereka memiliki hati tetapi mereka tidak mengerti dengannya,
mereka memiliki mata tetapi mereka
tidak melihat dengannya, mereka memiliki
telinga tetapi mereka tidak mendengar dengannya, mereka itu seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat. Mereka itulah orang-orang
yang lalai. Dan milik Allah-lah nama-nama yang terbaik, maka serulah
Dia dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dalam memahami
nama-nama-Nya, mereka segera akan mendapat balasan terhadap apa yang senantiasa mereka kerjakan. (Al-A’rāf
[7]:180-181).
Huruf lam (lā) dalam ayat tersebut
adalah lam ‘aqibat yang
menyatakan kesudahan atau akibat. Dengan demikian ayat ini tidak
ada hubungannya dengan tujuan kejadian
manusia melainkan hanya menyebutkan kesudahan
yang patut disesalkan mengenai
kehidupan kebanyakan ins (manusia) dan jin -- kata jin
itu juga mempunyai arti golongan manusia yang istimewa, yakni penguasa-penguasa atau pemuka-pemuka atau orang-orang besar,
sedang ins adalah golongan masyarakat
biasa. Dari cara mereka menjalani hidup
mereka dalam berbuat dosa dan kedurhakaan nampak seolah-olah mereka telah diciptakan
untuk masuk neraka.
Al-Asmā-ul-Husna &
Keunggulan Kemampuan
Manusia daripada Malaikat
Dalam ayat selanjutnya (QS.7:181), Allah
menerangkan bahwa nama Tuhan ialah Allah,
semua sebutan lainnya sebenarnya
adalah hanya Sifat-sifat-Nya. Pada
waktu berdoa kita harus memanggil Sifat-sifat
Allah Swt. yang langsung berkaitan
dengan maksud doa itu, firman-Nya:
﴾ وَ لِلّٰہِ
الۡاَسۡمَآءُ الۡحُسۡنٰی فَادۡعُوۡہُ بِہَا ۪ وَ ذَرُوا الَّذِیۡنَ یُلۡحِدُوۡنَ فِیۡۤ اَسۡمَآئِہٖ ؕ سَیُجۡزَوۡنَ مَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿ ﴾
Dan milik Allah-lah nama-nama yang terbaik, maka serulah
Dia dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dalam memahami
nama-nama-Nya, mereka segera akan mendapat balasan terhadap apa yang senantiasa mereka kerjakan. (Al-A’rāf
[7]:180-181).
Menyimpang
dari jalan yang benar berkenaan
dengan Sifat-sifat Allah Swt., dapat
diartikan bahwa oleh karena Allah Swt. adalah
Pemilik segala Sifat terbaik (Al-Asmā-ul-husna) yang tersebut dalam Al-Quran dan Hadits, maka
tidak perlu memberikan kepada-Nya Sifat-sifat
lain yang tidak sesuai dengan Keagungan-Nya,
Kehormatan-Nya, dan Kasih Sayang-Nya yang meliputi segala
sesuatu. (QS.7:181; QS.17:111-112; QS.20:9; QS.59:25).
Kembali kepada QS.2:31-35 mengenai Al-Asmā-ul-Husna
yang diajarkan khusus Allah Swt. kepada Adam
atau kepada vpara rasul Allah (QS.3:180; QS.72:27-29), hal itu menunjukkan bahwa orang tidak dapat meraih makrifat Ilahi tanpa tanggapan dan pengertian yang tepat mengenai Sifat-sifat Allah Swt. dan bahwa Sifat-sifat-Nya itu
hanya dapat diajarkan oleh Allah Swt. Sendiri, karena itu sangat
perlu bahwa Allah Swt. mula-mula
memberi Adam ilmu
(pengetahuan) tentang Sifat-sifat-Nya
supaya ia mengetahui dan mengenal-Nya serta
mencapai kedekatan kepada-Nya dan jangan melantur jauh dari Dia.
Menurut Allah Swt. dalam Al-Quran, manusia
berbeda dari malaikat dalam hal
bahwa manusia dapat menjadi bayangan atau pantulan dari al-Asmā
ul-husnā yaitu semua Sifat Allah Swt.
yang sempurna, karena itu manusia dapat mencapai martabat
sebagai “Khalifah Allah” di muka
bumi, khususnya Adam dan para rasul
Allah, sedang para malaikat hanya
sedikit saja mencerminkan
(memperagakan) Sifat-sifat Ilahi itu.
Para malaikat tidak memiliki kehendak
sendiri, mereka secara pasif menjalankan tugas yang telah diserahkan kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Kuasa
(QS.66:7). Sebaliknya, manusia yang dianugerahi kemauan dan kebebasan
memilih, berbeda dengan para malaikat
dalam hal bahwa manusia mempunyai kemampuan yang menjadikan dia penjelmaan sempurna semua Sifat Ilahi.
Pendek kata, QS.2:32
menunjukkan bahwa Allah Swt. mula-mula menanamkan pada Adam a.s. kemauan yang bebas dan kemampuan
yang diperlukan untuk memahami
berbagai Sifat Ilahi, dan kemudian
memberikan ilmu (pengetahuan)
mengenai Sifat-sifat itu kepadanya. Asmā (nama-nama) dapat berarti pula sifat-sifat berbagai benda alam, karena
manusia harus mempergunakan kekuatan-kekuatan
alam maka Allah Swt. menganugerahkan kepadanya kemampuan dan kekuasaan untuk mengetahui sifat-sifat
dan khasiat-khasiatnya berbagai benda di alam semesta ini.
Makna Kalimat “Beritahukanlah
kepada-Ku….” &
Pengutusan para Rasul Allah
Kata
pengganti hum (mereka) dalam
kalimat “kemudian Dia mengemukakan
nama-nama mereka kepada para
malaikat” (QS.2:32 menunjukkan bahwa apa-apa yang disebut di sini bukan benda-benda tidak-bernyawa, sebab dalam
bahasa Arab kata pengganti dalam bentuk ini (hum) hanya dipakai untuk wujud-wujud
berakal saja.
Jadi arti ungkapan itu akan berarti bahwa Allah
Swt. menganugerahkan kepada para malaikat
kemampuan melihat siapa yang
menonjol ketakwaannya dari antara keturunan Adam a.s. (Bani Adam) kelak yang akan menjadi penjelmaan Sifat-sifat Ilahi, yakni para rasul
Allah yang di bangkitkan dari kalangan Bani Adam, firman-Nya:
وَ لِکُلِّ اُمَّۃٍ
اَجَلٌ ۚ فَاِذَا جَآءَ اَجَلُہُمۡ لَا یَسۡتَاۡخِرُوۡنَ سَاعَۃً وَّ لَا یَسۡتَقۡدِمُوۡنَ ﴿ ﴾ یٰبَنِیۡۤ اٰدَمَ
اِمَّا یَاۡتِیَنَّکُمۡ رُسُلٌ مِّنۡکُمۡ یَقُصُّوۡنَ عَلَیۡکُمۡ اٰیٰتِیۡ
ۙ فَمَنِ اتَّقٰی وَ اَصۡلَحَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿
﴾ وَ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ اسۡتَکۡبَرُوۡا
عَنۡہَاۤ اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ النَّارِ ۚ
ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿ ﴾
Dan bagi tiap-tiap umat ada ajal (batas waktu), maka apabila telah datang ajal (batas waktu) mereka, mereka
tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula dapat memajukannya. . Wahai Bani Adam, jika datang kepada kamu rasul-rasul
dari antara kamu yang menceritakan Ayat-ayat-Ku kepadamu, maka barangsiapa bertakwa dan memperbaiki diri, tidak akan ada
ketakutan menimpa mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati. Dan orang-orang
yang men-dustakan Ayat-ayat Kami dan dengan
takabur berpaling darinya, mereka
itu penghuni Api, mereka kekal di dalam-nya. (Al-A’rāf
[7]:35-37).
Kemudian para malaikat ditanya apakah mereka sendiri dapat menjelmakan (memperagakan) Sifat-sifat Ilahi seperti mereka itu. Atas pertanyaan itu mereka menyatakan ketidakmampuan, itulah yang dimaksud dengan firman Allah Swt. kepada para malaikat “Beritahukanlah kepada-Ku nama-nama ini, jika kamu berkata benar”
yang tercantum pada ayat ini.
Karena
para malaikat menyadari batas-batas pembawaan alami mereka,
mereka mengakui dengan terus-terang
bahwa mereka tidak mampu mencerminkan
semua Sifat Allah Swt. seperti
dicerminkan (diperagakan) oleh manusia, artinya mereka hanya dapat
mencerminkan Sifat-sifat Ilahi yang
untuk itu Allah SWt. — sesuai
dengan kebijaksanaan-Nya yang
kekal-abadi — telah menganugerahkan kepada para malaikat kekuatan mencerminkan
(menjelmakan/melaksanakan).
Ketika
para malaikat mengakui ketidakmampuan untuk
menjelmakan dalam diri mereka sendiri
semua Sifat Ilahi yang dapat diperagakan Nabi Adam a.s., maka Nabi Adam
a.s. dengan patuh kepada kehendak Ilahi
menjelmakan (memperagakan) berbagai kemampuan tabi’i (alami) yang telah tertanam dalam dirinya dan menampakkan kepada para malaikat pekerti mereka yang luas.
Penyebab para Malaikat “Sujud”
kepada Adam
Jadi diciptakan-Nya Adam sebagai khalifah Allah,
membuktikan perlunya penciptaan suatu wujud
yang mendapat kemampuan khusus dari
Allah Swt. untuk berkehendak
, sehingga ia dapat dengan kehendak sendiri
memilih jalan kebaikan dan karena itu dapat menampakkan kemuliaan serta keagungan
Ilahi. Selanjutnya Allah Swt. berfirman”
وَ اِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ
اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوۡۤا اِلَّاۤ اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰی وَ اسۡتَکۡبَرَ ٭۫ وَ کَانَ مِنَ
الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿ ﴾
Dan ketika
Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah
kamu kepada Adam” maka mereka sujud
kecuali iblis. Ia menolak dan takabur, dan ia termasuk orang-orang
kafir (Al-Baqarah [2]:35).
Setelah
Adam menjadi
cerminan (penjelmaan) Sifat-sifat
Allah Swt. dan sudah mencapai
pangkat nabi, Allah Swt. memerintahkan para malaikat untuk mengkhidmatinya.
Ungkapan dalam bahasa Arab usjudu tidak berarti “Sujudlah di hadapan Adam” sebab Al-Quran tegas melarang sujud
di hadapan sesuatu selain Allah Swt. (QS.41:38), dan perintah semacam itu tidak
mungkin diberikan kepada para malaikat. Perintah itu berarti “Sujudlah di hadapan-Ku sebagai tanda bersyukur karena Aku telah menjadikan Adam.”
Illa
(kecuali) dipakai untuk memberi arti “kekecualian.” Dalam bahasa Arab istitsna
(kekecualian) ada dua macam: (1) Istitsna muttashil artinya kekecualian
pada saat sesuatu yang dikecualikan itu termasuk golongan atau jenis yang sama
dengan golongan atau jenis yang darinya hendak dibuat kekecualian itu; (2) Istitsna
munqathi, yaitu kekecualian pada
saat sesuatu yang dikecualikan itu termasuk golongan atau jenis lain. Dalam
ayat ini kata illa menunjuk kepada kekecualian terakhir karena iblis bukan salah seorang malaikat.
(Bersambung).
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam
Farid
***
“Pajajaran Anyar”, 4 Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar