بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN
Bab 104
Kedekatan
Sempurna Allah Swt dengan
Nabi
Besar Muhammad Saw
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam bagian akhir Bab sebelumnya telah dijelaskan
kedekatan sempurna Nabi Besar Muhammad saw. kepada Allah Swt.,
sehingga Allah Swt. berkenan menurunkan syariat
terakhir dan tersempurna (wahyu
Al-Quran) kepada beliau saw. (QS.5:4), firman-Nya:
وَ النَّجۡمِ اِذَا ہَوٰی ۙ﴿ ﴾ مَا ضَلَّ صَاحِبُکُمۡ وَ مَا غَوٰی ۚ﴿ ﴾
وَ مَا یَنۡطِقُ عَنِ الۡہَوٰی ؕ﴿ ﴾ اِنۡ
ہُوَ اِلَّا وَحۡیٌ یُّوۡحٰی ۙ﴿ ﴾
Demi bintang apabila
jatuh. Tidaklah
sahabat kamu sesat dan tidak pula keliru. Dan ia
sekali-kali tidak berkata-kata menuruti keinginannya. Perkataannya itu tidak lain melainkan wahyu yang diwahyukan. (Al-Najm
[53]:2-5).
Berbagai Makna An-Najm
An-najm berarti bintang atau tumbuhan
yang tidak berbatang. Tetapi bila dikenakan sebagai kata pengganti nama kata itu berarti “Bintang Tujuh “ (Bintang Kartika
atau Pleiades). Kata itu dianggap juga oleh beberapa ulama sebagai mengandung
arti penurunan (pewahyuan) Al-Quran secara berangsur-angsur, dan oleh
beberapa sumber lainnya dianggap mengisyaratkan kepada Nabi Besar Muhammad swaw.
sendiri. Kata jamaknya an-nujum,
berarti juga para kepala kaum
atau kepala negara-negara kecil atau jajahan atau kerajaan-kerajaan kecil (Kasysyaf;
Taj ‘ul-Urus & Ghara’ib-al-Quran).
Mengingat akan arti yang
berbeda-beda maka kata an-najm dalam ayat ini dapat diterangkan:
(1) Menurut sebuah hadits
yang masyhur, Nabi Besar Muhammad saw. pernah mengatakan: “Manakala kegelapan ruhani meliputi seluruh
permukaan bumi dan tidak ada yang tinggal dari Islam kecuali namanya,
dan tidak ada dari Al-Quran kecuali hurufnya dan iman terbang ke Bintang Tsuraya, maka seorang laki-laki dari keturunan Parsi akan membawanya kembali ke bumi” (Bukhari).
(2) Kata An-najm itu dapat berarti bahwa Al-Quran
memberi kesaksian atas kebenarannya
sendiri.
(3) Pohon Islam yang masih lemah – arti lain an-najm adalah tumbuhan
yang tidak berbatang -- kini seperti akan tumbang oleh angin perlawanan kuat lagi tidak bersahabat yang bertiup kencang dan
sengit ke arahnya, tidak lama lagi akan bangkit
dan berkembang menjadi pohon megah dan di bawah naungannya yang sejuk, bangsa-bangsa
besar akan berteduh. (QS.48:30; QS.14:25-26).
(4) Karena orang-orang Arab
sudah biasa menetapkan arah dan tujuan serta dibimbing dalam perjalanan mereka di padang pasir Arabia oleh
peredaran bintang-bintang (QS.16:
17), demikianlah mereka sekarang akan dibimbing ke tujuan ruhani mereka oleh
bintang yang paling cemerlang, ialah Rasulullāh saw. (5) Ayat ini
dapat juga mengandung sebuah nubuatan tentang jatuhnya negeri Arab yang sudah
bobrok, suatu nubuatan yang lebih jelas lagi diterangkan dalam QS.54:2.
Makna ayat “Tidaklah sahabat kamu sesat dan tidak pula keliru. Dan ia sekali-kali tidak berkata-kata menuruti
keinginannya. Perkataannya itu tidak lain melainkan
wahyu yang diwahyukan,“ yaitu
bahwa Cita-cita dan asas-asas
yang dikemukakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. tidak salah lagi pula beliau saw. sekali-kali tidak
menyimpang dari asas-asas itu (yakni beliau saw. juga tidak tersesat). Dengan
demikian mengingat cita-cita luhur
dan mulia beliau saw. dan mengingat
pula cara beliau saw. menjalani hidup
sesuai dengan cita-cita itu, beliau saw.
adalah penunjuk-jalan yang terjamin dan aman. Keterangan itu lebih diperkuat lagi dalam beberapa ayat
berikutnya.
Ufuq Keruhanian Tertinggi
Nabi Besar Muhammad Saw.
Kalau ayat 5 -- “Perkataannya itu tidak lain melainkan wahyu yang diwahyukan” -- membicarakan
sumber asal wahyu Nabi Besar Muhammad saw. yang adalah dari Allah Swt. , maka dua ayat sebelumnya – “Tidaklah sahabat kamu sesat dan tidak pula keliru, dan ia sekali-kali
tidak berkata-kata menuruti keinginannya” -- mengisyaratkan kepada khayalan kosong orang yang berotak
miring dan kepada alam pikiran
yang timbul dari nafsu pribadinya dan
dorongan-dorongan ruh jahat. Selanjutnya
Allah Swt. berfirman:
عَلَّمَہٗ
شَدِیۡدُ الۡقُوٰی ۙ﴿ ﴾ ذُوۡ مِرَّۃٍ ؕ فَاسۡتَوٰی ۙ﴿ ﴾ وَ ہُوَ بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی ؕ﴿ ﴾ ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿ ﴾ فَکَانَ قَابَ
قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی ۚ﴿ ﴾ فَاَوۡحٰۤی اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ
اَوۡحٰی ﴿ؕ ﴾ مَا
کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا رَاٰی ﴿ ﴾
Tuhan Yang Mahakuat Perkasa mengajarinya, Pemilik Kekuatan, lalu
Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia,
Rasulullah, berada di ufuk tertinggi. Kemudian ia,
Rasulullāh, mendekati Allāh,
lalu Dia semakin dekat kepadanya, maka jadilah
ia seakan-akan seutas tali dari dua buah busur, atau lebih dekat lagi. Lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan. (Al-Najm
[53]:6-11).
Al-Quran adalah wahyu
yang gagah perkasa, yang di hadapannya semua Kitab Suci terdahulu pudar
artinya. Mirrah berarti: kekuatan karya atau kecerdasan, pertimbangan
sehat, keteguhan (Aqrab-al-Mawarid).
Dzū mirrah dapat juga
berarti orang yang kekuatannya nampak kentara dengan lestari.
Ungkapan istawā ‘alā asy-syai-i (Dia bersemayam di atas ‘Arasy) berarti bahwa
ia memperoleh atau memiliki
hak penguasaan atau pengaruh
penuh atas barang itu. Jika diterapkan kepada Nabi Besar Muhammad saw.,
ungkapan itu akan berarti bahwa kekuatan-kekuatan
jasmani dan intelek beliau saw. telah
mencapai kekuatan dan kematangan sepenuh-penuhnya.
Kalimat “dan Dia
mewahyukan Kalam-Nya ketika ia, Rasulullah,
berada di ufuk tertinggi“ maknanya adalah bahwa Nabi Besar Muhammad saw.
telah mencapai batas tertinggi dalam mikraj (kenaikan ruhani) beliau saw.,
ketika Allah menampakkan Wujud-Nya
kepada beliau saw. dengan kebenaran
dan keagungan yang sempurna. Atau,
ayat ini dapat berarti bahwa cahaya Islam
ditempatkan pada suatu tempat yang amat
tinggi dan dari tempat itu dapat menyinari
seluruh dunia. Kata pengganti huwa dapat menunjuk kepada Allah Swt. dan
kepada Nabi Besar Muhammad saw. Lihat
juga ayat 10.
Ayat
selanjutnya “Kemudian ia, Rasulullāh, mendekati Allāh,
lalu Dia semakin dekat kepadanya, maka jadilah
ia seakan-akan seutas tali dari dua buah busur, atau lebih dekat lagi“. Kalimat dalla al-dalwa berarti: ia menurunkan
ember ke dalam perigi; ia menarik ember ke atas atau keluar dari perigi. Tadalla
berarti: ia atau sesuatu itu merendah atau menurun; ia menghampiri atau
mendekati atau kian dekat (Lexicon Lane dan Lisan-al-’Arab).
Ayat ini berarti bahwa Nabi
Besar Muhammad saw. naik mendekati
Allah Swt. dan Allah Swt. pun condong
(turun) kepada beliau saw.. Ayat itu dapat juga berarti bahwa Nabi Besar
Muhammad saw. mencapai kedekatan yang sedekat-dekatnya kepada
Allah Swt. lalu setelah minum dengan
sepuas-puasnya di sumber mata air
ilmu-keruhanian Ilahi, beliau saw. turun kembali dan memberikan ilmu kepada segenap umat manusia.
“Dua Buah Busur”
Qāb berarti: (1) bagian busur antara
bagian yang dipegang oleh tangan dan ujungnya yang dilengkungkan; (2) dari satu
ujung busur ke ujung busur yang lain; (3) ukuran atau ruang. Orang Arab
berkata bainahumā qāba qausaini, yakni di antara mereka berdua
adalah seukuran busur, yang berarti bahwa perhubungan di antara mereka sangat
akrab. Peribahasa Arab yang mengatakan ramaunā ‘an qausin wāhidin, yakni “mereka
memanah kami dari satu busur”, yaitu
bahwa “mereka seia-sekata melawan
kami”. Oleh karena itu kata tersebut menyatakan kesepakatan sepenuhnya (Lexicon
Lane; Lisan-al-‘Arab,
dan Zamakhsyari).
Apa pun kandungan arti
kata qāb itu, ungkapan qāba qausaini menyatakan perhubungan yang sangat dekat antara dua orang. Ayat ini bermaksud bahwa Nabi Besar Muhammad saw. terus menaiki jenjang-jenjang ketinggian mikraj (kenaikan ruhani)
dan menghampiri Allah Swt. sehingga jarak antara keduanya hilang sirna dan Nabi Besar Muhammad
saw. seolah-olah menjadi “seutas tali dari dua busur”.
Peribahasa ini
mengingatkan kita kepada suatu kebiasaan orang-orang Arab kuno. Menurut
kebiasaan itu, bila dua orang mengikat
janji persahabatan yang kokoh kuat mereka biasa menyatu-padukan busur-busur mereka dengan cara demikian, sehingga busur-busur itu nampak seperti satu dan kemudian mereka melepaskan anak panah dari busur yang telah
dipadukan itu, dengan demikian mereka menyatakan bahwa mereka itu seakan-akan
telah menjadi satu wujud, dan bahwa
suatu serangan terhadap yang seorang akan berarti serangan terhadap yang
lainnya juga.
Bila kata tadalla dianggap
mengenai Allah Swt. maka ayat ini akan berarti bahwa Nabi Besar Muhammad saw. naik menuju Allah Swt. dan Allah Swt.
turun kepada beliau saw. sehingga
kedua-duanya seolah-olah telah menyatu menjadi satu wujud. Ungkapan
tersebut mengandung pula arti lain yang sangat indah dan halus, yaitu bahwa
sementara di satu pihak Nabi Besar Muhammad saw. menjadi sama sekali fana (sirna) dalam Tuhan serta Pencipta-nya, sehingga beliau saw. seakan-akan menjadi bayangan Allah Swt. Sendiri, maka di
pihak lain beliau saw. turun
kembali kepada umat manusia dan
menjadi begitu penuh cinta dan dengan
rasa kasih serta merasa prihatin akan mereka, sehingga sifat Ketuhanan
dan sifat kemanusiaan menjadi terpadu
dalam diri beliau, dan beliau saw. menjadi titik-pusat
tali kedua busur Ketuhanan dan kemanusiaan (QS.9:128). Kata-kata “atau
lebih dekat lagi,” mengandung arti bahwa perhubungan antara Nabi Besar Muhammad saw. dengan Allah Swt. menjadi semakin dekat
dan semakin mesra lebih daripada yang
dapat dibayangkan pikiran.
Sejak Nabi Besar Muhammad saw. diutus sebagai Rasul Allah pembawa syariat
terakhir dan tersempurna yaitu agama Islam (Al-Quran – QS.5:4) maka
satu-satunya cara (jalan) yang dapat “mempertemukan” manusia dengan Allah Swt.
adalah mengikuti suri teladan sempurna Nabi Besar Muhammad saw.
(Qs.33:22), firman-Nya:
قُلۡ اِنۡ کُنۡتُمۡ تُحِبُّوۡنَ اللّٰہَ
فَاتَّبِعُوۡنِیۡ یُحۡبِبۡکُمُ اللّٰہُ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ
غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿ ﴾ قُلۡ اَطِیۡعُوا اللّٰہَ
وَ الرَّسُوۡلَ ۚ فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَاِنَّ اللّٰہَ لَا یُحِبُّ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿ ﴾
Katakanlah: ”Jika kamu benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, Allah
pun akan mencintaimu dan akan
mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” Katakanlah: ”Taatilah Allah dan Rasul ini”, kemudian jika
mereka berpaling maka ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir. (Ali ‘Imran [3]:32-33)
Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa tujuan
memperoleh kecintaan Ilahi sekarang tidak mungkin terlaksana kecuali dengan
mengikuti Rasulullāh. saw. Selanjutnya
ayat ini melenyapkan kesalahpahaman yang mungkin dapat timbul dari QS.2:63
bahwa iman kepada adanya Tuhan dan alam akhirat saja sudah cukup untuk memperoleh najat (keselamatan).
Firman-Nya lagi:
وَ مَنۡ یَّبۡتَغِ غَیۡرَ
الۡاِسۡلَامِ دِیۡنًا فَلَنۡ یُّقۡبَلَ مِنۡہُ ۚ وَ ہُوَ فِی الۡاٰخِرَۃِ مِنَ
الۡخٰسِرِیۡنَ ﴿۸۵﴾ کَیۡفَ یَہۡدِی
اللّٰہُ قَوۡمًا کَفَرُوۡا بَعۡدَ
اِیۡمَانِہِمۡ وَ شَہِدُوۡۤا اَنَّ الرَّسُوۡلَ حَقٌّ وَّ جَآءَہُمُ الۡبَیِّنٰتُ
ؕ وَ اللّٰہُ لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ
الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ ﴾ اُولٰٓئِکَ جَزَآؤُہُمۡ اَنَّ
عَلَیۡہِمۡ لَعۡنَۃَ اللّٰہِ وَ الۡمَلٰٓئِکَۃِ وَ النَّاسِ اَجۡمَعِیۡنَ ﴿ۙ ﴾ خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا ۚ
لَا یُخَفَّفُ عَنۡہُمُ الۡعَذَابُ وَ لَا ہُمۡ یُنۡظَرُوۡنَ ﴿ۙ ﴾
اِلَّا الَّذِیۡنَ تَابُوۡا مِنۡۢ بَعۡدِ ذٰلِکَ وَ اَصۡلَحُوۡا
۟ فَاِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿ ﴾
Dan barangsiapa
mencari agama yang bukan agama Islam, maka agama
itu tidak akan pernah diterima
darinya, dan di akhirat ia termasuk
orang-orang yang rugi. Bagaimana mungkin Allah akan memberi petunjuk kepada suatu kaum yang kafir setelah mereka beriman, dan mereka telah menjadi
saksi pula bahwa sesungguhnya rasul itu benar, dan juga telah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum
yang zalim. Mereka inilah orang-orang yang atas mereka balasannya adalah
laknat Allāh,
malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalamnya, azab
tidak akan diringankan dari mereka, dan tidak pula mereka akan diberi tangguh, kecuali orang-orang yang bertaubat setelah itu dan melakukan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang. (Ali ‘Imran [3]:86-90).
Tentu saja suatu kaum yang mula-mula beriman kepada kebenaran seorang nabi dan menyatakan keimanan mereka kepada nabi itu secara terang-terangan dan menjadi saksi atas Tanda-tanda Ilahi tetapi kemudian menolaknya karena takut kepada manusia, atau karena pertimbangan duniawi lainnya, mereka kehilangan segala hak untuk mendapat
lagi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Atau, ayat itu dapat pula mengisyaratkan kepada mereka yang beriman kepada para
nabi terdahulu tetapi menolak Nabi
Besar Muhammad saw..
Makna
kalimat “kecuali orang-orang yang bertaubat setelah itu dan melakukan perbaikan“ adalah bahwa hanya semata-mata bertaubat dan menyesal atas perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan
di masa yang sudah-sudah tidak cukup untuk mendapat pengampunan Ilahi, satu janji
yang sungguh-sungguh untuk menjauhi
perilaku buruk dan satu tekad bulat
untuk membenahi orang-orang lain pun
diperlukan untuk maksud itu.
(Bersambung).
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam
Farid
***
“Pajajaran Anyar”, 16 Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar