Senin, 15 Oktober 2012

Kedekatan Sempurna Allah Swt. dengan Nabi Besar Muhammad Saw.





بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


  SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN



Bab 104
    
Kedekatan Sempurna Allah Swt dengan
Nabi Besar Muhammad Saw


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma


Dalam   bagian akhir Bab sebelumnya telah dijelaskan   kedekatan sempurna  Nabi Besar Muhammad saw. kepada Allah Swt., sehingga Allah Swt. berkenan menurunkan syariat terakhir dan tersempurna (wahyu Al-Quran) kepada beliau saw. (QS.5:4), firman-Nya:
وَ النَّجۡمِ   اِذَا ہَوٰی  ۙ﴿ ﴾  مَا ضَلَّ صَاحِبُکُمۡ  وَ مَا غَوٰی ۚ﴿ ﴾   وَ مَا یَنۡطِقُ عَنِ  الۡہَوٰی  ؕ﴿ ﴾  اِنۡ  ہُوَ   اِلَّا  وَحۡیٌ   یُّوۡحٰی  ۙ﴿ ﴾
Demi bintang  apabila  jatuh.     Tidaklah sahabat kamu sesat  dan tidak pula keliru.  Dan ia sekali-kali tidak berkata-kata menuruti keinginannya.  Perkataannya itu tidak lain melainkan wahyu yang diwahyukan.  (Al-Najm [53]:2-5).
                       
Berbagai Makna An-Najm

   An-najm berarti bintang atau tumbuhan yang tidak berbatang. Tetapi bila dikenakan sebagai kata pengganti nama kata itu berarti “Bintang Tujuh “ (Bintang Kartika atau Pleiades). Kata itu dianggap juga oleh beberapa ulama sebagai mengandung arti penurunan (pewahyuan)  Al-Quran secara berangsur-angsur, dan oleh beberapa sumber lainnya dianggap mengisyaratkan kepada Nabi Besar Muhammad swaw.   sendiri. Kata jamaknya an-nujum, berarti juga para kepala kaum atau kepala negara-negara kecil atau jajahan atau kerajaan-kerajaan kecil (Kasysyaf; Taj ‘ul-Urus & Ghara’ib-al-Quran).
    Mengingat akan arti yang berbeda-beda maka kata an-najm dalam ayat ini dapat diterangkan:
 (1) Menurut sebuah hadits yang masyhur, Nabi Besar Muhammad saw. pernah mengatakan: “Manakala kegelapan ruhani meliputi seluruh permukaan bumi dan tidak ada yang tinggal dari Islam kecuali namanya, dan tidak ada dari Al-Quran kecuali hurufnya dan iman terbang ke Bintang Tsuraya, maka seorang laki-laki dari keturunan Parsi akan membawanya kembali ke bumi” (Bukhari).
 (2) Kata An-najm itu dapat berarti bahwa Al-Quran memberi kesaksian atas kebenarannya sendiri.
 (3) Pohon Islam yang masih lemah – arti lain an-najm adalah  tumbuhan yang tidak berbatang  --  kini seperti akan tumbang oleh angin perlawanan kuat lagi tidak bersahabat yang bertiup kencang dan sengit ke arahnya, tidak lama lagi akan bangkit dan berkembang menjadi pohon megah dan di bawah naungannya yang sejuk, bangsa-bangsa besar akan berteduh. (QS.48:30; QS.14:25-26).
 (4) Karena orang-orang Arab sudah biasa menetapkan arah dan tujuan serta dibimbing dalam perjalanan mereka di padang pasir Arabia oleh peredaran bintang-bintang (QS.16: 17), demikianlah mereka sekarang akan dibimbing ke tujuan ruhani mereka oleh bintang yang paling cemerlang, ialah Rasulullāh saw. (5) Ayat ini dapat juga mengandung sebuah nubuatan tentang jatuhnya negeri Arab yang sudah bobrok, suatu nubuatan yang lebih jelas lagi diterangkan dalam  QS.54:2.
 Makna ayat “Tidaklah sahabat kamu sesat  dan tidak pula keliru.  Dan ia sekali-kali tidak berkata-kata menuruti keinginannya.  Perkataannya itu tidak lain melainkan wahyu yang diwahyukan,“ yaitu bahwa  Cita-cita dan asas-asas yang dikemukakan oleh Nabi Besar Muhammad saw.   tidak salah  lagi pula beliau saw. sekali-kali tidak menyimpang dari asas-asas itu (yakni beliau saw. juga tidak tersesat). Dengan demikian mengingat cita-cita luhur dan mulia beliau saw. dan mengingat pula cara beliau saw. menjalani hidup sesuai dengan cita-cita itu, beliau saw. adalah penunjuk-jalan yang terjamin dan aman. Keterangan itu lebih diperkuat lagi dalam beberapa ayat berikutnya.

Ufuq Keruhanian Tertinggi
Nabi Besar Muhammad Saw.

   Kalau ayat 5 -- “Perkataannya itu tidak lain melainkan wahyu yang diwahyukan  --  membicarakan sumber asal wahyu Nabi Besar Muhammad saw.   yang adalah dari Allah Swt. , maka dua ayat sebelumnya – “Tidaklah sahabat kamu sesat  dan tidak pula keliru, dan ia sekali-kali tidak berkata-kata menuruti keinginannya” --  mengisyaratkan kepada khayalan kosong orang yang berotak miring dan kepada alam pikiran yang timbul dari nafsu pribadinya dan dorongan-dorongan ruh jahat. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
    عَلَّمَہٗ  شَدِیۡدُ الۡقُوٰی  ۙ﴿ ﴾  ذُوۡ مِرَّۃٍ ؕ  فَاسۡتَوٰی  ۙ﴿ ﴾ وَ ہُوَ  بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی ؕ﴿ ﴾   ثُمَّ  دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿ ﴾  فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ  اَوۡ اَدۡنٰی  ۚ﴿ ﴾ فَاَوۡحٰۤی  اِلٰی عَبۡدِہٖ  مَاۤ  اَوۡحٰی  ﴿ؕ    مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ  مَا  رَاٰی  ﴿ ﴾
 Tuhan Yang Mahakuat Perkasa mengajarinya, Pemilik Kekuatan, lalu  Dia bersemayam  di atas ‘Arasy,  dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia, Rasulullah, berada di  ufuk tertinggi.  Kemudian ia, Rasulullāh, mendekati Allāh, lalu Dia semakin dekat kepadanya,  maka jadilah ia  seakan-akan  seutas tali dari dua buah busur, atau lebih dekat lagi.   Lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan.  (Al-Najm [53]:6-11).
    Al-Quran adalah wahyu yang gagah perkasa, yang di hadapannya semua Kitab Suci terdahulu pudar artinya. Mirrah berarti: kekuatan karya atau kecerdasan, pertimbangan sehat, keteguhan (Aqrab-al-Mawarid). Dzū  mirrah dapat juga berarti  orang yang kekuatannya nampak kentara dengan lestari.
    Ungkapan istawā ‘alā asy-syai-i (Dia bersemayam  di atas ‘Arasy) berarti  bahwa  ia memperoleh atau memiliki  hak penguasaan atau pengaruh penuh atas barang itu. Jika diterapkan kepada Nabi Besar Muhammad saw., ungkapan itu akan berarti bahwa kekuatan-kekuatan jasmani dan intelek beliau saw. telah mencapai kekuatan dan kematangan sepenuh-penuhnya.
    Kalimat “dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia, Rasulullah, berada di   ufuk tertinggi maknanya adalah bahwa Nabi Besar Muhammad saw.  telah mencapai batas tertinggi dalam mikraj (kenaikan ruhani) beliau saw., ketika Allah menampakkan Wujud-Nya kepada beliau saw. dengan kebenaran dan keagungan yang sempurna. Atau, ayat ini dapat berarti bahwa cahaya Islam ditempatkan pada suatu tempat yang amat tinggi dan dari tempat itu dapat menyinari seluruh dunia. Kata pengganti huwa dapat menunjuk kepada Allah Swt. dan kepada Nabi Besar Muhammad saw.  Lihat juga ayat 10.
     Ayat selanjutnya  Kemudian ia, Rasulullāh, mendekati Allāh, lalu Dia semakin dekat kepadanya,  maka jadilah ia  seakan-akan  seutas tali dari dua buah busur, atau lebih dekat lagi“. Kalimat  dalla al-dalwa berarti: ia menurunkan ember ke dalam perigi; ia menarik ember ke atas atau keluar dari perigi. Tadalla berarti: ia atau sesuatu itu merendah atau menurun; ia menghampiri atau mendekati atau kian dekat (Lexicon Lane dan Lisan-al-’Arab).
   Ayat ini berarti bahwa Nabi Besar Muhammad saw.  naik  mendekati Allah Swt. dan Allah Swt. pun condong (turun) kepada beliau saw.. Ayat itu dapat juga berarti bahwa Nabi Besar Muhammad saw.   mencapai kedekatan yang sedekat-dekatnya kepada Allah Swt. lalu setelah minum dengan sepuas-puasnya di sumber mata air ilmu-keruhanian Ilahi, beliau saw.  turun kembali dan memberikan ilmu kepada segenap umat manusia.

“Dua Buah Busur”

    Qāb berarti: (1) bagian busur antara bagian yang dipegang oleh tangan dan ujungnya yang dilengkungkan; (2) dari satu ujung busur ke ujung busur yang lain; (3) ukuran atau ruang. Orang Arab berkata  bainahumā  qāba qausaini, yakni di antara mereka berdua adalah seukuran busur, yang berarti bahwa perhubungan di antara mereka sangat akrab. Peribahasa Arab yang mengatakan  ramaunā  ‘an qausin wāhidin, yakni  mereka memanah kami dari satu busur”, yaitu  bahwa “mereka seia-sekata melawan kami”. Oleh karena itu kata tersebut menyatakan kesepakatan sepenuhnya (Lexicon Lane; Lisan-al-‘Arab, dan Zamakhsyari).
   Apa pun kandungan arti kata qāb itu, ungkapan qāba qausaini menyatakan perhubungan yang sangat dekat antara dua orang. Ayat ini bermaksud bahwa  Nabi Besar Muhammad saw.  terus menaiki jenjang-jenjang ketinggian mikraj (kenaikan ruhani) dan menghampiri Allah Swt. sehingga jarak antara keduanya hilang sirna dan Nabi Besar Muhammad saw.  seolah-olah menjadi “seutas tali dari dua busur”.
    Peribahasa ini mengingatkan kita kepada suatu kebiasaan orang-orang Arab kuno. Menurut kebiasaan itu, bila dua orang mengikat janji persahabatan yang kokoh kuat mereka biasa menyatu-padukan busur-busur mereka dengan cara demikian, sehingga busur-busur itu nampak seperti satu dan kemudian mereka melepaskan anak panah dari busur yang telah dipadukan itu, dengan demikian mereka menyatakan bahwa mereka itu seakan-akan telah menjadi satu wujud, dan bahwa suatu serangan terhadap yang seorang akan berarti serangan terhadap yang lainnya juga.
   Bila kata tadalla dianggap mengenai Allah Swt. maka ayat ini akan berarti bahwa Nabi Besar Muhammad saw.  naik menuju Allah Swt. dan Allah Swt. turun kepada beliau saw.  sehingga kedua-duanya seolah-olah telah menyatu menjadi satu wujud.  Ungkapan tersebut mengandung pula arti lain yang sangat indah dan halus, yaitu bahwa sementara di satu pihak Nabi Besar Muhammad saw. menjadi sama sekali  fana (sirna) dalam Tuhan serta Pencipta-nya, sehingga beliau saw. seakan-akan menjadi bayangan Allah Swt. Sendiri, maka di pihak lain beliau saw.  turun kembali kepada umat manusia dan menjadi begitu penuh cinta dan dengan rasa kasih serta merasa prihatin akan mereka, sehingga sifat Ketuhanan dan sifat kemanusiaan menjadi terpadu dalam diri beliau, dan beliau saw.  menjadi titik-pusat tali kedua busur Ketuhanan dan kemanusiaan (QS.9:128). Kata-kata “atau lebih dekat lagi,” mengandung arti bahwa perhubungan antara Nabi Besar Muhammad saw.  dengan Allah Swt. menjadi semakin  dekat dan semakin mesra lebih daripada yang dapat dibayangkan pikiran.
Sejak Nabi Besar Muhammad saw. diutus sebagai Rasul Allah pembawa syariat terakhir dan tersempurna yaitu agama Islam (Al-Quran – QS.5:4) maka satu-satunya cara (jalan) yang dapat “mempertemukan” manusia dengan Allah Swt. adalah   mengikuti suri teladan sempurna Nabi Besar Muhammad saw. (Qs.33:22), firman-Nya:
قُلۡ  اِنۡ کُنۡتُمۡ تُحِبُّوۡنَ اللّٰہَ فَاتَّبِعُوۡنِیۡ یُحۡبِبۡکُمُ اللّٰہُ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿ ﴾  قُلۡ اَطِیۡعُوا اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ ۚ فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَاِنَّ اللّٰہَ  لَا یُحِبُّ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿ ﴾
Katakanlah:  ”Jika kamu benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku,  Allah pun akan mencintaimu dan akan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”  Katakanlah:   Taatilah Allah dan Rasul ini”, kemudian jika mereka berpaling maka ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir. (Ali ‘Imran [3]:32-33)
   Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa tujuan memperoleh kecintaan Ilahi sekarang tidak mungkin terlaksana kecuali dengan mengikuti Rasulullāh. saw.   Selanjutnya ayat ini melenyapkan kesalahpahaman yang mungkin dapat timbul dari QS.2:63 bahwa iman kepada adanya Tuhan dan alam akhirat saja sudah cukup untuk memperoleh najat (keselamatan). Firman-Nya  lagi:
وَ مَنۡ یَّبۡتَغِ غَیۡرَ الۡاِسۡلَامِ دِیۡنًا فَلَنۡ یُّقۡبَلَ مِنۡہُ ۚ وَ ہُوَ فِی الۡاٰخِرَۃِ مِنَ الۡخٰسِرِیۡنَ ﴿۸۵﴾   کَیۡفَ یَہۡدِی اللّٰہُ  قَوۡمًا کَفَرُوۡا بَعۡدَ اِیۡمَانِہِمۡ وَ شَہِدُوۡۤا اَنَّ الرَّسُوۡلَ حَقٌّ وَّ جَآءَہُمُ الۡبَیِّنٰتُ ؕ وَ اللّٰہُ  لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ ﴾  اُولٰٓئِکَ جَزَآؤُہُمۡ  اَنَّ عَلَیۡہِمۡ لَعۡنَۃَ اللّٰہِ وَ الۡمَلٰٓئِکَۃِ وَ النَّاسِ اَجۡمَعِیۡنَ ﴿ۙ ﴾  خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا ۚ لَا یُخَفَّفُ عَنۡہُمُ الۡعَذَابُ وَ لَا  ہُمۡ  یُنۡظَرُوۡنَ ﴿ۙ ﴾  اِلَّا الَّذِیۡنَ تَابُوۡا مِنۡۢ بَعۡدِ ذٰلِکَ وَ اَصۡلَحُوۡا ۟ فَاِنَّ اللّٰہَ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿ ﴾ 
Dan   barangsiapa mencari agama yang bukan agama Islam, maka  agama itu tidak akan pernah diterima darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi.   Bagaimana mungkin Allah akan memberi petunjuk kepada suatu kaum yang kafir setelah mereka beriman, dan mereka telah menjadi saksi pula bahwa sesungguhnya  rasul itu benar, dan juga telah datang kepada mereka bukti-bukti  yang nyata? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.   Mereka inilah orang-orang yang atas mereka balasannya   adalah   laknat Allāh, malaikat dan manusia seluruhnya.   Mereka kekal di dalamnya, azab tidak akan diringankan dari mereka, dan tidak pula mereka akan diberi tangguh, kecuali orang-orang yang bertaubat setelah itu dan melakukan perbaikan,  maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.  (Ali ‘Imran [3]:86-90).
       Tentu saja suatu kaum yang mula-mula beriman kepada kebenaran seorang nabi dan menyatakan keimanan mereka kepada nabi itu secara terang-terangan dan menjadi saksi atas Tanda-tanda Ilahi tetapi kemudian menolaknya karena takut kepada manusia, atau karena pertimbangan duniawi lainnya, mereka kehilangan segala hak untuk mendapat lagi petunjuk kepada jalan yang lurus. Atau, ayat itu dapat pula mengisyaratkan kepada mereka yang beriman kepada para nabi terdahulu tetapi menolak Nabi Besar Muhammad saw..  
       Makna kalimat “kecuali orang-orang yang bertaubat setelah itu dan melakukan perbaikan“ adalah bahwa hanya semata-mata bertaubat dan menyesal atas perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan di masa yang sudah-sudah tidak cukup untuk mendapat pengampunan Ilahi, satu janji yang sungguh-sungguh untuk menjauhi perilaku buruk dan satu tekad bulat untuk membenahi orang-orang lain pun diperlukan untuk maksud itu.

 (Bersambung). 

Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar”, 16 Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma



Tidak ada komentar:

Posting Komentar