بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN
Bab 106
Makna
“Sidratul Muntaha” &
“Tajalli
Ilahi” Paling Sempurna
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam bagian
Bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai makna Sidratul Muntaha, firman-Nya:
اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ عَلٰی مَا یَرٰی ﴿ ﴾ وَ لَقَدۡ رَاٰہُ نَزۡلَۃً اُخۡرٰی ﴿ۙ ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ الۡمُنۡتَہٰی ﴿ ﴾
عِنۡدَہَا جَنَّۃُ
الۡمَاۡوٰی ﴿ؕ ﴾
Maka apakah kamu membantahnya mengenai apa yang telah dia lihat? Dan sungguhnya dia benar-benar melihat-Nya kedua kali, dekat pohon
Sidrah terting-gi, yang di
dekatnya ada surga, tempat tinggal. (Al-Najm [53]:13-16).
Makna “Sidratul Muthaha” &
Syariat Islam (Al-Quran)
Kasyaf
yang dialami Nabi Besar Muhammad saw. dalam mikraj itu suatu pengalaman
ruhani berganda. Pada
waktu mikraj, Nabi Besar Muhammad saw. telah mencapai martabat qurb Ilahi (kedekatan
kepada Allah Swt.) demikian tinggi, sehingga sungguh berada di luar jangkauan
otak manusia untuk memahaminya; atau
ayat ini dapat berarti bahwa pada martabat
itu terbentang di hadapan beliau saw. samudera
luas tanpa tepi – yakni samudera makrifat Ilahi, hakikat-hakikat serta kebenaran-kebenaran abadi.
Sadir
yang diambil dari akar kata yang sama berarti, bahwa makrifat Ilahi yang dilimpahkan
kepada Nabi Besar Muhammad saw. akan
seperti halnya pohon Sidrah
memberikan kesenangan dan naungan kepada para musafir ruhani yang merasa kakinya letih dan payah. Lebih-lebih
karena daun pohon Sidrah memiliki
khasiat mengawetkan mayat dari proses
pembusukan.
Jadi, ayat ini dapat berarti bahwa ajaran
yang diwahyukan kepada Nabi Besar
Muhammad saw. (Agama Islam/Al-Quran) tidak
hanya kebal terhadap bahaya kerusakan (QS.15:10), melainkan
juga baik sekali guna menolong dan memelihara umat manusia terhadap kerusakan akhlak dan ruhani.
Atau, ayat ini mengandung kabar gaib yang mengisyaratkan kepada
sebatang pohon, yang di bawah pohon itu para sahabat Nabi Besar
Muhammad saw. mengikat janji setia (baiat) kepada beliau saw. pada
peristiwa Perjanjian Hudaibiyah
(QS.48:19).
Dari makna-makna mengenai sidrah dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya yang
dimaksud dengan Sidratul Muntaha adalah ajaran
Islam atau Al-Quran, yang
merupakan syariat terakhir dan tersempurna (QS.5:4) yang terhadapnya Allah Swt. telah menjelmakan
-- yakni “menyelubunyinya” --
dengan Sifat-sifat-Nya yang paling lengkap dan paling sempurna. Mengenai
hal tersebut selanjutnya Nabi Swt. berfirman:
اِذۡ یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ مَا یَغۡشٰی ﴿ۙ ﴾ مَا زَاغَ الۡبَصَرُ وَ مَا طَغٰی ﴿ ﴾
لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ الۡکُبۡرٰی ﴿ ﴾
Ketika pohon Sidrah diselubungi oleh sesuatu yang menyelubungi. Penglihatannya sekali-kali tidak menyimpang dan tidak pula melantur. Sungguh
ia benar-benar melihat Tanda
paling besar dari Tanda-tanda
Tuhan-Nya. (Al-Najm [53]:18-19).
Nabi Musa a.s. & “Tajalli
Ilahi”
Dengan
demikian jelaslah bahwa kalimat “Ketika pohon Sidrah diselubungi oleh sesuatu yang menyelubung “ maknanya ialah penjelmaan Ilahi (tajalli
Ilahi), yang Nabi Musa a.s. pun tidak
mampu untuk “melihat-Nya” ketika
beliau berkhalwat di gunung Thur untuk “bertemu” dengan Allah Swt.,
firman-Nya:
وَ لَمَّا جَآءَ مُوۡسٰی لِمِیۡقَاتِنَا وَ کَلَّمَہٗ
رَبُّہٗ ۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِیۡۤ اَنۡظُرۡ اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰىنِیۡ وَ لٰکِنِ
انۡظُرۡ اِلَی الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَکَانَہٗ
فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ
لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ دَکًّا وَّ
خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا ۚ فَلَمَّاۤ
اَفَاقَ قَالَ سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ
اِلَیۡکَ وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿ ﴾
Dan tatkala Musa datang pada waktu yang Kami tetapkan dan Tuhan-nya bercakap-cakap dengan-nya, ia berkata: “Ya Tuhan-ku, perlihatkanlah kepadaku supaya aku dapat
memandang Engkau.” Dia berfirman: “Engkau
tidak akan pernah dapat me-lihat-Ku
tetapi pandanglah gunung itu,
lalu jika ia tetap ada pada tempatnya maka engkau
pasti akan dapat melihat-Ku.”
Maka tatkala Tuhan-nya menjelmakan keagungan-Nya pada gunung itu Dia
menjadikannya hancur lebur, dan Musa
pun jatuh pingsan. Lalu tatkala ia
sadar kembali ia berkata: “Mahasuci Engkau, aku bertaubat
kepada Engkau dan aku adalah
orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.”
(Al-A’rāf
[7]:144).
Ayat ini memberikan
penjelasan mengenai salah satu masalah keagamaan yang sangat penting, yaitu
mungkinkah bagi seseorang menyaksikan
Allah Swt. dengan mata
jasmaninya? Ayat itu sedikit pun tidak mendukung pendapat bahwa Allah Swt. dapat
disaksikan oleh mata jasmani (QS.6:104). Jangankan melihat Allah Swt. dengan
mata jasmani, bahkan manusia tidak
dapat pula melihat malaikat-malaikat,
kita hanya dapat melihat penjelmaan
mereka belaka.
Begitu pula hanya tajalli
(penjelmaan keagungan) Allah Swt. sajalah
yang dapat manusia saksikan, tetapi Allah Swt. sendiri
tidak. Oleh karena itu tidak dapat dimengerti bahwa seorang nabi yang besar seperti Nabi Musa a.s.
dengan segala makrifat mengenai Sifat-sifat
Allah Swt. akan mempunyai keinginan mengenai hal-hal yang
mustahil.
Nabi Musa a.s. mengetahui bahwa beliau hanyalah dapat
menyaksikan Tajalli (penampakkan
kekuasaan) Allah Swt. , dan bukan Wujud-Nya
Sendiri. Akan tetapi beliau sebelumnya sudah melihat suatu Tajalli Allah Swt. dalam bentuk “api” dalam perjalanan
beliau dari Midian ke Mesir (QS. 28:30). Jadi
apa gerangan maksud Nabi Musa a.s. dengan perkataan: “Ya Tuhan-ku, tampak-kanlah kepadaku supaya aku dapat melihat Engkau?”
Nabi Musa a.s. Menyatakan Beriman
kepada Nabi Besar Muhammad Saw.
Permohonan itu nampaknya
mengisyaratkan kepada tajalli-sempurna
Allah Swt. yang
kelak akan menjelma pada diri Nabi Besar Muhammad
saw. beberapa masa kemudian. Karena kaumnya (Bani Israil) berulang kali
melakukan kedurhakaan kepada Allah
Swt. dan para nabi Allah yang
dibangkitkan di kalangan mereka (QS.2:88-89; QS.61:6-7), maka Nabi Musa a.s. diberi janji bahwa dari antara saudara-saudara
Bani Israil – yaitu Bani Ismail -- akan muncul seorang nabi Allah yang di mulutnya
Tuhan akan meletakan Kalam-Nya (Kitab
Ulangan 18:18-22).
Nubuatan ini berkenaan dengan suatu tajalli
yang lebih besar daripada yang pernah
dilimpahkan kepada Nabi Musa a.s. , karena itu beliau dengan sendirinya sangat
berhasrat melihat macam bagaimana Keagungan dan Kemuliaan Allah Swt. yang akan tampak dalam tajalli
yang dijanjikan itu. Beliau berharap bahwa Keagungan
dan Kemuliaan itu, ada yang dapat
diperlihatkan kepada beliau.
Nabi Musa a.s. diberi tahu bahwa Tajalli ini
berada di luar batas kemampuan beliau
untuk menanggungnya, tajalli itu
tidak akan dapat terjelma pada hati
beliau, tetapi Allah Swt. memilih
gunung untuk tajalli.
Gunung itu berguncang dengan hebat serta
nampak seakan-akan ambruk, dan Nabi Musa
a.s. karena dicekam oleh pengaruh guncangan itu rebah tidak
sadarkan diri (pingsan).
Dengan cara demikian Nabi Musa a.s. dibuat sadar (mengerti) bahwa beliau tidak mencapai tingkata yang demikian
tingginya dalam martabat keruhanian
yang dapat membuat beliau boleh menyaksikannya
sendiri tempat Allah Swt. bertajalli sebagaimana
dimohonkan beliau. Hak istimewa yang unik itu disediakan untuk seorang yang lebih besar daripada beliau,
tak lain ialah Mahkota segala makhluk Ilahi, yaitu Baginda Nabi
Muhammad saw., Khātaman Nabiyyīn
(QS.33:41).
Mungkin pula permohonan Nabi Musa
a.s. itu karena didesak para pemuka Bani Israil yang
menuntut untuk melihat Allah Swt. dengan mata lahir (QS.2:56). Pengalaman
Nabi Musa a.s. yang sangat luar biasa itu memberi kesadaran kepada beliau bahwa permohonan beliau itu tidak layak.
Dengan serta merta beliau berseru: “Aku bertaubat kepada Engkau, dan
aku orang pertama di antara orang-orang beriman,” yang berarti beliau telah
sadar bahwa beliau tidak dianugerahi kemampuan melihat tajalli-sempurna
Keagungan
Ilahi yang seharusnya akan menjelma pada hati Nabi Yang dijanjikan itu, dan bahwa beliau (Nabi Musa a.s.) adalah orang yang pertama-tama beriman di masa
itu kepada keluhuran kedudukan ruhani
yang telah ditakdirkan akan dicapai oleh Nabi
Besar itu. Keimanan Nabi Musa
a.s. kepada Nabi Besar
Muhammad saw. itu telah disinggung juga dalam QS.46:11.
Beratnya Memikul “Amanat” Terakhir dan Tersempurna
(Syariat Islam/Al-Quran)
Gunung
itu sebenarnya tidak hancur-lebur. Kata-kata itu telah dipergunakan secara
majasi (kiasan) untuk menyatakan kehebatan gempa bumi itu akibat tajjali
Ilahi tersebut. Lihat Keluaran 24:18. Dan mengisyaratkan kepada ketidak-mampuan hati Nabi Musa a.s. untuk
menerima tajalli Ilahi itu
pulalah yang diisyaratkan oleh firman-Nya berikut ini tentang penawaran untuk memikul amanat (syariat Islam/Al-Quran):
اِنَّا عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ
عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ
اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا
جَہُوۡلًا ﴿ۙ ﴾
Sesungguhnya
Kami telah menawarkan amanat syariat kepada seluruh
langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya dan mereka takut terhadapnya, akan
sedangkan insan (manusia) memikulnya, sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan abai terhadap dirinya. (Al-Ahzab
[33]:73).
Hamala al-amānata berarti: ia membebankan atas
dirinya atau menerima amanat; ia mengkhianati amanat itu. Zhalum adalah
bentuk kesangatan dari zhalim yang adalah fa’il atau pelaku dari zhalama,
yang berarti ia meletakkan benda itu di tempat yang salah; zhalamahu
berarti: ia membebani diri sendiri dengan suatu beban yang melewati batas
kekuatan atau kemampuan pikulnya. Jahul adalah bentuk kesangatan dari
kata jahil, yang berarti lalai,
dungu, dan alpa (Lexicon Lane).
(1) Manusia dianugerahi kemampuan-kemampuan dan kekuatan fitri besar sekali untuk meresapkan dan menjelmakan di dalam dirinya Sifat-sifat
Ilahi untuk menyerap dan menjelmakan citra
(bayangan) Khāliq-nya (QS.2:31). Sungguh inilah amanat agung yang hanya manusia saja dari seluruh isi jagat raya ini yang ternyata sanggup melaksanakannya; sedangkan makhluk-makhluk dan benda-benda
lainnya — para malaikat, seluruh langit (planit-planit), bumi, gunung-gunung -- sama sekali tidak dapat menandinginya.
Mereka seakan-akan menolak mengemban amanat itu.
Manusia menerima tanggungjawab ini sebab hanya dialah
yang dapat melaksanakannya. Ia mampu
menjadi zhalum (aniaya terhadap dirinya sendiri) dan jahul
(mengabaikan diri sendiri), dalam
pengertian bahwa ia dapat aniaya
terhadap dirinya sendiri dalam arti
bahwa ia dapat menanggung kesulitan
apa pun dan menjalani pengorbanan apa
pun demi Khāliq-nya, dan ia mampu mengabaikan diri atau alpa, dalam arti bahwa dalam mengkhidmati amanat-Nya yang agung lagi suci itu, ia dapat mengabaikan kepentingan pribadinya dan hasratnya untuk memperoleh kesenangan dan kenikmatan hidup (QS.6:162-164).
(2) Jika kata al-amānat
diambil dalam arti sebagai hukum Al-Quran
dan kata al-insan sebagai manusia sempurna, yakni, Nabi Besar Muhammad
saw., maka ayat ini akan berarti, bahwa
dari semua penghuni seluruh langit dan bumi – termamsuk para rasul Allah -- hanyalah Nabi Besar Muhammad saw. sendiri saja yang mampu diamanati wahyu yang mengandung syariat yang paling sempurna dan penutup, ialah syariat Al-Quran (QS.5:4), sebab tidak ada orang atau wujud lain yang
pernah dianugerahi sifat-sifat agung
yang mutlak diperlukan untuk melaksanakan tanggungjawab
besar ini sepenuhnya dan sebaik-baiknya.
(3) Kalau kata hamala
diambil dalam arti mengkhianati atau tidak jujur terhadap suatu amanat,
maka ayat ini akan berarti bahwa amanat
syariat Ilahi telah dibebankan atas manusia
dan makhluk-makhluk lainnya yang ada
di bumi maupun di langit. Mereka itu semua — kecuali manusia — menolak mengkhianati
amanat ini, yakni mereka itu sepenuhnya dan dengan setia menjalankan segala hukum yang kepada hukum-hukum
itu mereka harus tunduk.
Seluruh alam setia kepada hukum-hukumnya
dan para malaikat juga melaksanakan tugas mereka dengan setia dan patuh (QS.16:50-51), hanya manusia
saja yang disebabkan telah dikaruniai kebebasan
bertindak dan berkemauan mau juga
mengingkari dan melanggar perintah Allah Swt., sebab ia aniaya dan mengabaikan serta
tidak mempedulikan tugas dan kewajibannya. Arti demikian mengenai
ayat ini didukung oleh QS.41:12.
“Nabi yang Seperti Musa” &
“Roh Kebenaran”
Kesempurnaan ajaran Islam (Al-Quran) yang
diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad
saw. tersebut disebutkan pula dalam Bible ketika Nabi Musa a.s.
menceritakan pengutusan “Nabi yang
seperti dirinya” dari kalangan “Bani
Isma’il”, yang akan menceritakan “segala yang diperintahkan Allah
kepadanya” yakni:
Seorang nabi dari tengah-tengahmu,
dari antara saudara-saudaramu, sama
seperti aku, akan dibangkitkan bagimu oleh Tuhan Allahmu; dialah yang harus kamu dengarkan. Tepat
seperti yang kamu minta dahulu kepada Tuhan Allahmu di gunung Horeb, pada hari
perkumpulan, dengan berkata: “Tidak mau
aku mendengar lagi suara Tuhan Allahku, dan api yang besar ini tidak mau aku melihatnya lagi, supaya jangan aku
mati.” Lalu berkatalah Tuhan
kepadaku: “Apa yang dikatakan mereka itu baik; seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku
akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya,
dan ia akan mengatakan kepada mereka
segala yang Kuperintahkan kepadanya. Orang yang tidak mendengarkan segala firmanKu yang akan diucapkan nabi itu demi
namaKu, daripadanya akan Kutuntut
pertanggungjawaban. Tetapi seorang
nabi yang terlalu berani untuk mengucapkan demi namaKu perkataan yang tidak Kuperintahkan untuk dikatakan olehnya,
atau yang berkata demi nama allah lain,
nabi itu harus mati.” (Ulangan 18:15-20).
Demikian juga Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (Yesus Kristus) atau Mesiah, ketika menceritakan kedatangan “Roh Kebenaran” -- yakni Nabi Besar Muhammad saw. atau “Dia yang datang dalam nama Tuhan” (Matius
23:37-39) -- telah menyatakan bahwa
beliau saw. akan “memimpin ke dalam seluruh kebenaran”, sebab sampai zaman Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s. Allah Swt. belum menurunkan “seluruh
kebenaran” yakni agama Islam (Al-Quran) -- yang merupakan syariat tersempurna dan terakhir (QS.5:4) – karena umat manusia belum sanggup untuk menanggungnya, termasuk Bani Israil:
“Masih banyak
hal yang harus kukatakan kepadamu,
tetapi sekarang kamu belum dapat
menanggungnya. Tetapi apabila ia
datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan
memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab ia tidak akan berkata-kata dari dirinya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengarnya itulah yang
akan dikatakannya dan ia akan
menceritakan kepadamu hal-hal yang akan datang.” (Yohanes 16:12-13).
Dengan demikian benarlah firman Allah
Swt. di awal Bab ini mengenai kesempurnaan martabat
ruhani Nabi Besar Muhammad saw.:
عَلَّمَہٗ
شَدِیۡدُ الۡقُوٰی ۙ﴿ ﴾ ذُوۡ مِرَّۃٍ ؕ فَاسۡتَوٰی ۙ﴿ ﴾ وَ ہُوَ بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی ؕ﴿ ﴾ ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿ ﴾ فَکَانَ قَابَ
قَوۡسَیۡنِ اَوۡ اَدۡنٰی ۚ﴿ ﴾ فَاَوۡحٰۤی اِلٰی عَبۡدِہٖ مَاۤ
اَوۡحٰی ﴿ؕ ﴾ مَا
کَذَبَ الۡفُؤَادُ مَا رَاٰی ﴿ ﴾
Tuhan Yang Mahakuat Perkasa mengajarinya, Pemilik Kekuatan, lalu
Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia,
Rasulullah, berada di ufuk tertinggi. Kemudian ia,
Rasulullāh, mendekati Allāh,
lalu Dia semakin dekat kepadanya, maka jadilah
ia seakan-akan seutas tali dari dua buah busur, atau lebih dekat lagi. Lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan. (Al-Najm
[53]:6-11).
Jadi, karena dari seluruh rasul Allah hanya Nabi Besar Muhammad saw. sajalah yang
mampu “memikul” (mengemban) “amanat” syariat terakhir dan
tersempurna – Islam
(Al-Quran – QS.5:4) -- yang merupakan penjelmaan tajalli
Ilahi yang paling sempurna pula (QS.7:144; QS.33:73) maka Allah Swt. telah
mengabadikan hal tersebut dalam dua Kalimah Syahadat yaitu:
“Kami bersaksi bahwa tidak Ada Tuhan kecuali Allah dan kami bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul Allah.”
Dengan adanya dua Kalimah Syahadat tersebut akan menjaga umat Islam dari mempertuhankan Nabi Besar Muhammad saw.,
walaua pun martabat akhlak dan ruhani beliau saw. jauh lebih sempurna dari
para rasul Allah sebelumnya, yang
kemudian “dipertuhankan” oleh para pemeluknya, seperti contohnya Nabi
Uzair a.s. dan Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s. (QS.9:30-33).
(Bersambung).
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam
Farid
***
“Pajajaran Anyar”, 20 Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar