Jumat, 19 Oktober 2012

Makna "Sidratul Muntaha" & "Tajalli Ilahi" Paling Sempurna





بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


  SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN



Bab 106
    
Makna “Sidratul Muntaha” &
Tajalli Ilahi” Paling Sempurna


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma


Dalam   bagian   Bab sebelumnya telah dijelaskan  mengenai  makna Sidratul Muntaha, firman-Nya:
اَفَتُمٰرُوۡنَہٗ  عَلٰی مَا یَرٰی  ﴿ ﴾  وَ لَقَدۡ رَاٰہُ  نَزۡلَۃً   اُخۡرٰی  ﴿ۙ ﴾ عِنۡدَ سِدۡرَۃِ  الۡمُنۡتَہٰی ﴿ ﴾  عِنۡدَہَا جَنَّۃُ  الۡمَاۡوٰی  ﴿ؕ ﴾
Maka apakah kamu membantahnya mengenai apa yang telah dia lihatDan sungguhnya  dia benar-benar melihat-Nya kedua kali,  dekat pohon Sidrah terting-gi, yang di dekatnya ada surga, tempat tinggal. (Al-Najm [53]:13-16).

Makna “Sidratul Muthaha” &
Syariat Islam (Al-Quran)

       Kasyaf yang dialami Nabi Besar Muhammad saw. dalam mikraj  itu suatu pengalaman ruhani berganda.    Pada waktu mikraj, Nabi Besar Muhammad saw.  telah mencapai martabat qurb Ilahi (kedekatan kepada Allah Swt.) demikian tinggi, sehingga sungguh berada di luar jangkauan otak manusia untuk memahaminya; atau ayat ini dapat berarti bahwa pada martabat itu terbentang di hadapan beliau saw. samudera luas tanpa tepi – yakni samudera makrifat Ilahi,  hakikat-hakikat serta kebenaran-kebenaran abadi.
           Sadir yang diambil dari akar kata yang sama berarti,  bahwa makrifat Ilahi yang dilimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad saw.  akan seperti halnya pohon Sidrah memberikan kesenangan dan naungan kepada para musafir ruhani yang merasa kakinya letih dan payah. Lebih-lebih karena daun pohon Sidrah memiliki khasiat mengawetkan mayat dari proses pembusukan.
          Jadi,  ayat ini dapat berarti  bahwa ajaran yang diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad saw.  (Agama Islam/Al-Quran) tidak hanya kebal terhadap bahaya kerusakan (QS.15:10), melainkan juga baik sekali guna menolong dan memelihara umat manusia terhadap kerusakan akhlak dan ruhani.
       Atau, ayat ini mengandung kabar gaib yang mengisyaratkan kepada sebatang pohon, yang di bawah pohon itu para sahabat Nabi Besar Muhammad saw.  mengikat janji setia (baiat) kepada beliau saw. pada peristiwa Perjanjian Hudaibiyah (QS.48:19).   
       Dari makna-makna mengenai  sidrah  dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya yang dimaksud dengan Sidratul Muntaha  adalah ajaran Islam atau Al-Quran, yang merupakan syariat terakhir dan tersempurna (QS.5:4) yang  terhadapnya Allah Swt. telah   menjelmakan -- yakni “menyelubunyinya” -- dengan  Sifat-sifat-Nya yang paling lengkap dan paling sempurna. Mengenai hal tersebut selanjutnya Nabi Swt. berfirman:
اِذۡ  یَغۡشَی السِّدۡرَۃَ  مَا یَغۡشٰی  ﴿ۙ ﴾  مَا زَاغَ الۡبَصَرُ  وَ مَا طَغٰی ﴿ ﴾  لَقَدۡ رَاٰی مِنۡ اٰیٰتِ رَبِّہِ  الۡکُبۡرٰی ﴿ ﴾
Ketika pohon Sidrah diselubungi oleh sesuatu yang menyelubungi.   Penglihatannya sekali-kali tidak menyimpang dan tidak pula melantur.    Sungguh  ia benar-benar melihat Tanda paling besar dari Tanda-tanda Tuhan-Nya. (Al-Najm [53]:18-19).

Nabi Musa a.s. & “Tajalli Ilahi”

       Dengan demikian jelaslah bahwa kalimat “Ketika pohon Sidrah diselubungi oleh sesuatu yang menyelubung maknanya ialah penjelmaan Ilahi (tajalli Ilahi), yang Nabi Musa a.s. pun tidak mampu untuk “melihat-Nya” ketika beliau  berkhalwat di gunung Thur untuk “bertemu” dengan Allah Swt., firman-Nya:
وَ لَمَّا جَآءَ مُوۡسٰی لِمِیۡقَاتِنَا وَ کَلَّمَہٗ رَبُّہٗ ۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِیۡۤ   اَنۡظُرۡ   اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰىنِیۡ  وَ لٰکِنِ  انۡظُرۡ  اِلَی  الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَکَانَہٗ فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ  لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ  دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا ۚ فَلَمَّاۤ  اَفَاقَ قَالَ سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ  اِلَیۡکَ  وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿ 
Dan  tatkala Musa datang pada waktu yang Kami tetapkan dan Tuhan-nya bercakap-cakap dengan-nya, ia berkata: “Ya Tuhan-ku, perlihatkanlah kepadaku supaya aku dapat memandang Engkau.” Dia berfirman: “Engkau tidak akan pernah dapat me-lihat-Ku  tetapi pandanglah gunung itu, lalu jika ia tetap ada pada tempatnya  maka engkau pasti  akan dapat melihat-Ku.” Maka  tatkala Tuhan-nya menjelmakan keagungan-Nya pada  gunung itu  Dia menjadikannya hancur lebur, dan Musa pun jatuh pingsan. Lalu tatkala ia sadar kembali  ia berkata: “Mahasuci Engkau, aku bertaubat  kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.” (Al-A’rāf [7]:144).
       Ayat ini memberikan penjelasan mengenai salah satu masalah keagamaan yang sangat penting, yaitu mungkinkah bagi seseorang menyaksikan  Allah Swt.  dengan mata jasmaninya? Ayat itu sedikit pun tidak mendukung pendapat bahwa  Allah Swt.  dapat disaksikan oleh mata jasmani (QS.6:104). Jangankan melihat  Allah Swt.   dengan mata jasmani, bahkan manusia tidak dapat pula melihat malaikat-malaikat, kita hanya dapat melihat penjelmaan mereka belaka.
         Begitu pula hanya tajalli (penjelmaan keagungan)  Allah Swt.   sajalah yang dapat manusia saksikan, tetapi  Allah Swt.   sendiri tidak. Oleh karena itu tidak dapat dimengerti bahwa seorang nabi yang besar seperti Nabi Musa a.s.  dengan segala makrifat mengenai Sifat-sifat  Allah Swt.    akan mempunyai keinginan mengenai hal-hal yang mustahil.
Nabi Musa a.s.  mengetahui bahwa beliau hanyalah dapat menyaksikan Tajalli (penampakkan kekuasaan)  Allah Swt. ,  dan bukan Wujud-Nya Sendiri. Akan tetapi beliau sebelumnya sudah melihat suatu Tajalli  Allah Swt.    dalam bentuk “api” dalam perjalanan beliau dari Midian ke Mesir (QS. 28:30). Jadi  apa gerangan maksud Nabi Musa a.s. dengan perkataan: “Ya Tuhan-ku, tampak-kanlah  kepadaku supaya aku dapat melihat Engkau?”

Nabi Musa a.s. Menyatakan Beriman
kepada Nabi Besar Muhammad Saw.

        Permohonan itu nampaknya mengisyaratkan kepada tajalli-sempurna Allah Swt.  yang kelak akan menjelma pada diri Nabi Besar Muhammad saw. beberapa masa kemudian. Karena kaumnya (Bani Israil) berulang kali melakukan kedurhakaan kepada Allah Swt. dan para nabi Allah yang dibangkitkan di kalangan mereka (QS.2:88-89; QS.61:6-7), maka Nabi Musa a.s.  diberi janji bahwa dari antara saudara-saudara Bani Israil – yaitu Bani Ismail  -- akan muncul seorang nabi Allah yang di mulutnya Tuhan akan meletakan Kalam-Nya (Kitab Ulangan 18:18-22).
        Nubuatan ini berkenaan dengan suatu tajalli yang lebih besar daripada yang pernah dilimpahkan kepada Nabi Musa a.s. , karena itu beliau dengan sendirinya sangat berhasrat melihat macam bagaimana Keagungan dan Kemuliaan Allah Swt. yang akan tampak dalam tajalli yang dijanjikan itu. Beliau berharap bahwa Keagungan dan Kemuliaan itu, ada yang dapat diperlihatkan kepada beliau.
        Nabi Musa a.s.  diberi tahu bahwa Tajalli ini berada di luar batas kemampuan beliau untuk menanggungnya,  tajalli itu tidak akan dapat terjelma pada hati beliau, tetapi Allah Swt.  memilih gunung untuk  tajalli. Gunung itu berguncang dengan hebat  serta nampak  seakan-akan ambruk, dan Nabi Musa a.s.  karena dicekam oleh pengaruh guncangan itu rebah tidak sadarkan diri (pingsan).
         Dengan cara demikian Nabi Musa a.s. dibuat sadar (mengerti) bahwa beliau tidak mencapai  tingkata yang demikian tingginya dalam martabat keruhanian yang dapat membuat beliau boleh menyaksikannya sendiri tempat  Allah Swt.     bertajalli sebagaimana dimohonkan beliau. Hak istimewa yang unik itu disediakan untuk seorang yang lebih besar daripada beliau, tak lain ialah Mahkota segala makhluk Ilahi, yaitu Baginda Nabi Muhammad saw., Khātaman Nabiyyīn (QS.33:41).
           Mungkin pula permohonan Nabi Musa a.s.  itu karena didesak para pemuka Bani Israil yang menuntut untuk melihat Allah Swt.    dengan mata lahir (QS.2:56). Pengalaman Nabi Musa a.s. yang sangat luar biasa itu memberi kesadaran kepada beliau bahwa permohonan beliau itu tidak layak.
          Dengan serta merta beliau berseru: “Aku bertaubat kepada Engkau, dan aku orang pertama di antara orang-orang beriman,” yang berarti beliau telah sadar bahwa beliau tidak dianugerahi kemampuan melihat tajalli-sempurna Keagungan Ilahi yang seharusnya akan menjelma pada hati Nabi Yang dijanjikan itu,  dan bahwa beliau (Nabi Musa a.s.) adalah orang yang pertama-tama beriman di masa itu kepada keluhuran kedudukan ruhani yang telah ditakdirkan akan dicapai oleh Nabi Besar itu. Keimanan Nabi Musa a.s.  kepada Nabi Besar Muhammad saw. itu telah disinggung juga dalam QS.46:11.

Beratnya Memikul  Amanat” Terakhir dan Tersempurna
(Syariat Islam/Al-Quran)

       Gunung itu sebenarnya tidak hancur-lebur. Kata-kata itu telah dipergunakan secara majasi (kiasan) untuk menyatakan kehebatan gempa bumi itu akibat  tajjali Ilahi tersebut. Lihat Keluaran 24:18. Dan mengisyaratkan kepada ketidak-mampuan hati Nabi Musa a.s.  untuk  menerima tajalli Ilahi itu pulalah yang diisyaratkan oleh firman-Nya berikut ini tentang penawaran  untuk memikul amanat (syariat Islam/Al-Quran):
اِنَّا عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ ﴾
Sesungguhnya Kami telah  menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya dan mereka takut terhadapnya, akan sedangkan insan (manusia) memikulnya, sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan  abai  terhadap dirinya.  (Al-Ahzab [33]:73).
      Hamala al-amānata berarti: ia membebankan atas dirinya atau menerima amanat; ia mengkhianati amanat itu. Zhalum adalah bentuk kesangatan dari zhalim yang adalah fa’il atau pelaku dari zhalama, yang berarti ia meletakkan benda itu di tempat yang salah; zhalamahu berarti: ia membebani diri sendiri dengan suatu beban yang melewati batas kekuatan atau kemampuan pikulnya. Jahul adalah bentuk kesangatan dari kata jahil, yang berarti  lalai, dungu, dan alpa (Lexicon Lane).
        (1) Manusia dianugerahi kemampuan-kemampuan dan kekuatan fitri besar sekali untuk meresapkan dan menjelmakan di dalam dirinya Sifat-sifat Ilahi untuk menyerap dan menjelmakan  citra (bayangan) Khāliq-nya (QS.2:31). Sungguh inilah amanat agung yang hanya manusia saja dari seluruh isi jagat raya ini yang ternyata sanggup melaksanakannya; sedangkan makhluk-makhluk dan benda-benda lainnya — para malaikat, seluruh langit (planit-planit), bumi, gunung-gunung  -- sama sekali tidak dapat menandinginya. Mereka seakan-akan menolak mengemban amanat itu.
     Manusia menerima tanggungjawab ini sebab hanya dialah yang dapat melaksanakannya. Ia mampu menjadi zhalum (aniaya terhadap dirinya sendiri) dan jahul (mengabaikan diri sendiri),  dalam pengertian bahwa ia dapat aniaya terhadap dirinya sendiri dalam arti bahwa ia dapat menanggung kesulitan apa pun dan menjalani pengorbanan apa pun demi Khāliq-nya, dan ia mampu mengabaikan diri atau alpa,  dalam arti bahwa dalam mengkhidmati amanat-Nya yang agung lagi suci itu, ia dapat mengabaikan kepentingan pribadinya dan hasratnya untuk memperoleh kesenangan dan kenikmatan hidup (QS.6:162-164).
         (2) Jika kata al-amānat diambil dalam arti sebagai hukum Al-Quran dan kata al-insan sebagai manusia sempurna, yakni, Nabi Besar Muhammad saw., maka ayat ini akan berarti,  bahwa dari semua penghuni seluruh langit dan bumi – termamsuk para rasul Allah -- hanyalah Nabi Besar Muhammad saw.  sendiri saja yang mampu diamanati wahyu yang mengandung syariat yang paling sempurna dan penutup, ialah syariat Al-Quran (QS.5:4),  sebab tidak ada orang atau wujud lain yang pernah dianugerahi sifat-sifat agung yang mutlak diperlukan untuk melaksanakan tanggungjawab besar ini sepenuhnya dan sebaik-baiknya.
         (3) Kalau kata hamala diambil dalam arti mengkhianati atau tidak jujur terhadap suatu amanat, maka ayat ini akan berarti bahwa amanat syariat Ilahi telah dibebankan atas manusia dan makhluk-makhluk lainnya yang ada di bumi maupun di langit. Mereka itu semua — kecuali manusia — menolak mengkhianati amanat ini, yakni mereka itu sepenuhnya dan dengan setia menjalankan segala hukum yang kepada hukum-hukum itu mereka harus tunduk.
     Seluruh alam setia kepada hukum-hukumnya dan para malaikat juga melaksanakan tugas mereka dengan setia dan patuh (QS.16:50-51), hanya manusia saja yang disebabkan telah dikaruniai kebebasan bertindak dan berkemauan mau juga mengingkari dan melanggar perintah Allah Swt., sebab ia aniaya dan mengabaikan serta tidak mempedulikan tugas dan kewajibannya. Arti demikian mengenai ayat ini didukung oleh QS.41:12.

“Nabi yang Seperti Musa” & “Roh Kebenaran”

        Kesempurnaan ajaran Islam (Al-Quran)  yang diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad saw. tersebut disebutkan pula dalam Bible ketika Nabi Musa a.s. menceritakan pengutusan “Nabi yang seperti dirinya” dari kalangan “Bani Isma’il”, yang akan menceritakan “segala yang diperintahkan Allah kepadanya   yakni:
Seorang nabi dari  tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku, akan dibangkitkan bagimu oleh Tuhan Allahmu; dialah yang harus kamu dengarkan. Tepat seperti yang kamu minta dahulu kepada Tuhan Allahmu di gunung Horeb, pada hari perkumpulan, dengan berkata: “Tidak mau aku mendengar lagi suara Tuhan Allahku, dan api yang besar ini tidak mau aku melihatnya lagi, supaya jangan aku mati.” Lalu berkatalah Tuhan  kepadaku: “Apa yang dikatakan mereka itu baik; seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya. Orang yang tidak mendengarkan segala firmanKu yang akan diucapkan nabi itu demi namaKu, daripadanya akan Kutuntut pertanggungjawaban. Tetapi seorang nabi yang terlalu berani untuk mengucapkan demi namaKu perkataan yang tidak Kuperintahkan untuk dikatakan olehnya, atau yang berkata demi nama allah lain, nabi itu harus mati.” (Ulangan 18:15-20).
        Demikian juga Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (Yesus Kristus) atau Mesiah, ketika menceritakan kedatangan “Roh Kebenaran” -- yakni Nabi Besar Muhammad saw. atau “Dia yang datang dalam nama Tuhan” (Matius 23:37-39) -- telah menyatakan bahwa  beliau saw.   akan “memimpin ke dalam seluruh kebenaran”, sebab sampai zaman Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Allah Swt. belum menurunkan “seluruh kebenaran  yakni agama Islam (Al-Quran)  -- yang merupakan syariat  tersempurna dan terakhir (QS.5:4) – karena umat manusia belum sanggup untuk menanggungnya, termasuk Bani Israil:
Masih banyak  hal yang harus kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila ia datang,  yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab ia tidak akan berkata-kata dari dirinya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengarnya itulah yang akan dikatakannya dan ia akan menceritakan kepadamu hal-hal yang akan datang.” (Yohanes 16:12-13).
       Dengan demikian benarlah firman Allah Swt. di awal Bab ini mengenai kesempurnaan martabat ruhani Nabi Besar Muhammad saw.:
    عَلَّمَہٗ  شَدِیۡدُ الۡقُوٰی  ۙ﴿ ﴾  ذُوۡ مِرَّۃٍ ؕ  فَاسۡتَوٰی  ۙ﴿ ﴾ وَ ہُوَ  بِالۡاُفُقِ الۡاَعۡلٰی ؕ﴿ ﴾   ثُمَّ  دَنَا فَتَدَلّٰی ۙ﴿ ﴾  فَکَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ  اَوۡ اَدۡنٰی  ۚ﴿ ﴾ فَاَوۡحٰۤی  اِلٰی عَبۡدِہٖ  مَاۤ  اَوۡحٰی  ﴿ؕ    مَا کَذَبَ الۡفُؤَادُ  مَا  رَاٰی  ﴿ ﴾
Tuhan Yang Mahakuat Perkasa mengajarinya, Pemilik Kekuatan, lalu  Dia bersemayam  di atas ‘Arasy,  dan Dia mewahyukan Kalam-Nya ketika ia, Rasulullah, berada di  ufuk tertinggi.  Kemudian ia, Rasulullāh, mendekati Allāh, lalu Dia semakin dekat kepadanya,  maka jadilah ia  seakan-akan  seutas tali dari dua buah busur, atau lebih dekat lagi.   Lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan.  (Al-Najm [53]:6-11).
          Jadi, karena  dari seluruh rasul Allah  hanya Nabi Besar Muhammad saw. sajalah yang mampu “memikul” (mengemban) “amanat” syariat terakhir dan tersempurna   Islam (Al-Quran – QS.5:4)  --  yang merupakan penjelmaan tajalli Ilahi yang paling sempurna pula   (QS.7:144; QS.33:73) maka Allah Swt. telah mengabadikan hal tersebut dalam dua Kalimah Syahadat yaitu:
Kami bersaksi bahwa tidak Ada Tuhan kecuali Allah dan kami bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul Allah.”
        Dengan adanya dua Kalimah Syahadat  tersebut akan menjaga umat Islam dari mempertuhankan Nabi Besar Muhammad saw., walaua pun martabat akhlak dan ruhani beliau saw. jauh lebih sempurna dari para rasul Allah sebelumnya, yang kemudian “dipertuhankan” oleh para pemeluknya, seperti contohnya  Nabi Uzair a.s. dan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.9:30-33).

 (Bersambung). 

Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar”, 20 Oktober 2012
Ki Langlang Buana Kusuma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar