بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN
JANTUNG AL-QURAN
Bab 50
Dialog Nabi Zakaria a.s. dengan
Maryam binti 'Imran Mengenai "Rezeki"
Oleh
Ki Langlang
Buana Kusuma
Dalam Bab sebelumnya telah
dikemukakan mengenai latar
belakang kelahiran Maryam binti ‘Imran yang istimewa,
firman-Nya:
فَلَمَّا وَضَعَتۡہَا قَالَتۡ
رَبِّ اِنِّیۡ وَضَعۡتُہَاۤ اُنۡثٰی ؕ وَ اللّٰہُ
اَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ ؕ وَ لَیۡسَ الذَّکَرُ کَالۡاُنۡثٰی ۚ وَ اِنِّیۡ سَمَّیۡتُہَا
مَرۡیَمَ وَ اِنِّیۡۤ اُعِیۡذُہَا بِکَ وَ
ذُرِّیَّتَہَا مِنَ الشَّیۡطٰنِ الرَّجِیۡمِ
﴿﴾
Maka tatkala ia yakni istri ’Imran telah melahirkannya ia
berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya bayi yang kulahirkan ini seorang perempuan; dan Allah
lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, sedangkan
anak lelaki yang
diharapkannya itu tidaklah sama baiknya
seperti anak perempuan ini; dan
bahwa aku menamainya Maryam, dan sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya dari
syaitan yang terkutuk.” (Ali
‘Imran) [3]:37).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman
mengenai pelaksaan pengabulan doa ibu
yang menazarkan anak perempuan yang baru
dilahirkannya tersebut, firman-Nya:
فَتَقَبَّلَہَا رَبُّہَا
بِقَبُوۡلٍ حَسَنٍ وَّ اَنۡۢبَتَہَا نَبَاتًا حَسَنًا ۙ وَّ کَفَّلَہَا زَکَرِیَّا
ۚؕ کُلَّمَا دَخَلَ عَلَیۡہَا زَکَرِیَّا الۡمِحۡرَابَ ۙ وَجَدَ عِنۡدَہَا رِزۡقًا
ۚ قَالَ یٰمَرۡیَمُ اَنّٰی لَکِ ہٰذَا ؕ قَالَتۡ ہُوَ مِنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ ؕ اِنَّ
اللّٰہَ یَرۡزُقُ مَنۡ یَّشَآءُ بِغَیۡرِ حِسَابٍ ﴿﴾
Maka Tuhan-nya telah menerimanya dengan penerimaan yang sangat baik,
menumbuhkannya dengan pertumbuhan yang
sangat baik dan menyerahkan
pemeliharaannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria datang menemuinya di mihrab
didapatinya ada rezeki padanya. Ia
berkata: “Hai Maryam, dari manakah
engkau mendapatkan rezeki ini?” Ia berkata: “Rezeki itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya
Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa hisab. (Ali
‘Imran [3]:38).
Makna Lain “Rizqan” (Rezeki)
&
Menggugah Semangat Nabi Zakaria a.s.
Nabi Zakaria a.s. itu
nama seorang orang-suci dari kalangan Bani Israil yang dikemukakan oleh
Al-Quran sebagai seorang nabi (QS.6:86), tetapi dalam Bible hanya disebut
sebagai seorang imam (Lukas
1:5). Orang yang dikemukakan sebagai nabi
oleh Bible ialah Zakharya (perhatikan
perbedaan-perbedaan ejaannya) yang Al-Quran tidak menyebutnya. Nabi Zakaria
a.s. dari Al-Quran itu ialah
ayahanda Nabi Yahya a.s., saudara
sepupu Nabi Isa Ibnu Maryam a.s..
Kalimat “Setiap kali Zakaria
datang menemuinya di mihrab didapatinya
ada rezeki padanya.” Keberadaan hadiah-hadiah
itu dibawa oleh orang-orang yang
berkunjung ke tempat itu untuk beribadah
dan tidak ada hal luar biasa dalam bunyi jawaban Maryam binti ‘Imran bahwa
hadiah-hadiah itu dari Allah Swt., sebab tiap-tiap barang baik yang datang kepada manusia sebenarnya berasal dari Allah Swt., karena Allah Swt. itu Maha
Pemberi.
Pada hakikatnya, suatu jawaban lain dari seorang anak perempuan dengan
didikan agama seperti yang diperoleh Maryam binti ‘Imran tentu akan mengherankan. Kata yang dipakai
dalam ayat tersebut adalah rizqan (rezeki), yang mengandung makna yang
sangat luas, yakni bias berupa rezeki jasmani dan dapat juga berupa rezeki ruhani.
Karena Allah Swt. telah menjadikan Maryam binti ‘Imran sebagai misal hamba-hamba Allah yang memiliki tingkat
keruhanian yang tinggi (QS.66:12-13) maka kata rizqan
(rezeki) tersebut dapat mengisyaratkan kepada rizki ruhani, dengan
demikian maknanya adalah bahwa setiap
kali Nabi Zakaria a.s. memberikan pengajaran
atau bimbingan ruhani kepadanya maka ia mendapatkan dalam diri gadis Maryam ucapan-ucapan yang memiliki nilai-nilai ruhani yang tinggi, yang
jauh melebihi umurnya yang masih sangat
muda.
Jadi, jawaban
yang saleh dari anak perempuan itu
memberi kesan sangat mendalam pada
pikiran Nabi Zakaria a.s., dan
membangkitkan dalam jiwanya keinginan terpendam yang wajar untuk
mempunyai anak sendiri yang shalih
seperti dia. Beliau mendoa kepada Allah Swt. untuk dianugerahi seorang anak seperti Maryam
binti ‘Imran.
Doa itu nampaknya dipanjatkan
berulang-ulang selama satu masa yang panjang seperti disebutkan dengan
kata-kata lain di berbagai tempat dalam Al-Quran (QS.3:39; QS.19:4-7;
QS.21:90), firman-Nya:
ہُنَالِکَ دَعَا زَکَرِیَّا رَبَّہٗ ۚ قَالَ رَبِّ ہَبۡ
لِیۡ مِنۡ لَّدُنۡکَ ذُرِّیَّۃً طَیِّبَۃً ۚ اِنَّکَ سَمِیۡعُ الدُّعَآءِ ﴿﴾ فَنَادَتۡہُ الۡمَلٰٓئِکَۃُ وَ ہُوَ قَآئِمٌ یُّصَلِّیۡ فِی
الۡمِحۡرَابِ ۙ اَنَّ اللّٰہَ یُبَشِّرُکَ بِیَحۡیٰی مُصَدِّقًۢا بِکَلِمَۃٍ مِّنَ
اللّٰہِ وَ سَیِّدًا وَّ حَصُوۡرًا وَّ نَبِیًّا مِّنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾
Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhan-nya, dia
berkata: ”Ya Tuhan-ku, anugerahilah aku juga
dari sisi Engkau keturunan yang suci, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” Maka malaikat menyerunya ketika ia sedang
berdiri shalat di mihrab: “Sesungguhnya Allah
memberi engkau kabar gembira tentang
Yahya, yang akan menggenapi
kalimat dari Allah, dan ia seorang pemimpin, pengekang hawa nafsu, dan seorang nabi dari antara orang-orang saleh.” (Ali ‘Imran [3]:39-40).
Makna “Istri Nabi Zakaria a.s. yang Mandul”
Jika istri
‘Imran memiliki keprihatinan yang luar biasa terhadap keadaan akhlak dan ruhani kaumnya, tentu
lebih-lebih lagi Nabi Zakaria a.s. yang
dalam kaumnya beliau sebagai imam, karena itu keinginan
beliau untuk mempunyai seorang anak
bukan karena semata-mata ingin memiliki anak, melainkan seorang anak
yang akan mewarisi keruhanian sebagaimana diri beliau, sebab Nabi Zakaria
a.s. pun
-- seperti halnya istri ‘Imran – sangat prihatin melihat keadaan akhlak dan ruhani para pemuka kaumnya –
yakni ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi – sebagaimana
digambatkan dalam kecaman keras Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. (Matius 23:1-36).
Yahya
(Yohanes/Yuhana) adalah seorang nabi
yang datang sebelum Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s. Kelahiran Nabi Yahya a.s. sebagai perintis
bagi kedatangan Nabi isa Ibnu Maryam a.s., sesuai dengan nubuatan Bible (Maleakhi.
3:1 dan 4:5). Kata Ibrani Yahya ialah
Yuhanna, yang dalam bahasa itu berarti
"Tuhan telah bermurah hati"
(Encyclopaedia Britannica).
Nama Yahya diberikan oleh Allah Swt. Sendiri.
Nabi Yahya a.s. datang sesuai dengan nubuatan Maleakhi: “Bahwasanya
Aku menyuruhkan kepadamu Elia, nabi itu, dahulu daripada datang hari Tuhan yang
besar dan hebat itu” (Maleakhi
4:5). Selanjuutnya Allah Swt.
berfirman:
قَالَ رَبِّ اَنّٰی یَکُوۡنُ لِیۡ غُلٰمٌ وَّ قَدۡ بَلَغَنِیَ الۡکِبَرُ وَ امۡرَاَتِیۡ
عَاقِرٌ ؕ قَالَ کَذٰلِکَ اللّٰہُ یَفۡعَلُ مَا یَشَآءُ ﴿﴾
Ia, Zakaria, berkata:
”Ya Tuhan-ku, bagaimanakah aku akan mendapat anak laki-laki, sedangkan masa tua telah menjelangku dan lagi pula istriku mandul?” Dia berfirman: “Demikianlah kekuasaan Allah, Dia
berbuat apa yang Dia kehendaki.”
(Ali
‘Imran [3]:41).
Ghulam berarti anak muda (Lexicon
Lane). Pertanyaan Nabi Zakaria
a.s. “Ya Tuhan-ku, bagaimanakah aku akan mendapat anak
laki-laki, sedangkan masa tua telah menjelangku dan lagi pula istriku mandul?” merupakan ungkapan yang tercetus dari rasa heran yang tulus dan polos tatkala
mendengar janji Ilahi itu. Pertanyaan
itu mengandung pula doa terselubung
agar mudah-mudahan ia mendapat umur cukup panjang sehingga dapat melihat anak itu lahir dan tumbuh menjadi seorang
pemuda.
Kalau
pertanyaan Nabi Zakaria tersebut
mengenai keadaan diri
beliau yang sudah tua dan keadaan
istrinya yang mandul -- yakni: “Ya Tuhan-ku, bagaimanakah aku akan mendapat anak
laki-laki, sedangkan masa tua telah menjelangku dan lagi pula istriku mandul?” – disandingkan dengan firman Allah Swt. mengenai
istri-istri durhaka Nabi Nuh
a.s. dan Nabi Luth a.s. sebagai misal
orang-orang kafir (QS.66:11), maka terdapat hikmah
yang sangat dalam:
(1)
Istri-istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. dari segi jasmani bukan istri-istri yang rahimnya mandul karena terbukti kedua istri
durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s.
dapat melahirkan anak-anak jasmani.
Tetapi dari segi ruhani kedua istri durhaka tersebut adalah istri-istri
yang mandul karena hati (rahim
ruhani) mereka menolak pendakwaan Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. sebagai rasul Allah, dan kedua istri durhaka tersebut
memilih bergabung dengan
kaumnya, yakni mendustakan dan menentang misi suci kedua suaminya yang berpangkat rasul
Allah, itulah saebabnya Allah Swt. telah menjadikan kedua istri durhaka tersebut sebagai misal orang-orang kafir,
firman-Nya:
ضَرَبَ اللّٰہُ
مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ کَفَرُوا امۡرَاَتَ نُوۡحٍ وَّ امۡرَاَتَ لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ
عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ
شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا النَّارَ
مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿﴾
Allah mengemukakan istri Nuh dan istri
Luth sebagai misal bagi orang-orang
kafir. Keduanya di bawah dua hamba
dari hamba-hamba Kami yang shalih,
tetapi kedua istrinya berbuat khianat kepada kedua
suami mereka, maka mereka berdua sedikit pun tidak dapat membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan
dikatakan kepada mereka: “Masuklah
kamu berdua ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.” (Al-Tahrīm
[66]:11).
(2) Istri Nabi Zakaria a.s. bukanlah
seorang istri durhaka kepada suaminya,
tetapi dari segi jasmani
“kemandulan” beliau yang bersifat sementara tersebut melambangkan “kemandulan ruhani” kaum Yahudi, di mana di kalangan mereka sangat sedikit kaum laki-laki yang memiliki akhlak dan ruhani yang baik
– terutama para pemuka kaumnya – itulah sebabnya ketika Nabi Zakaria a.s.
berdialog dengan anak asuhnya yang masih muda belia, Maryam
binti ‘Imran, beliau mendengar kata-katanya
yang memiliki nilai-nilai ruhani yang
tinggi, maka semangat Nabi Zakaria
a.s. untuk memiliki pewaris ruhani yang seperti Maryam binti ‘Imran timbul kembali, firman-Nya:
ہُنَالِکَ دَعَا زَکَرِیَّا رَبَّہٗ ۚ قَالَ رَبِّ ہَبۡ
لِیۡ مِنۡ لَّدُنۡکَ ذُرِّیَّۃً طَیِّبَۃً ۚ اِنَّکَ سَمِیۡعُ الدُّعَآءِ ﴿﴾ فَنَادَتۡہُ الۡمَلٰٓئِکَۃُ وَ ہُوَ قَآئِمٌ یُّصَلِّیۡ فِی
الۡمِحۡرَابِ ۙ اَنَّ اللّٰہَ یُبَشِّرُکَ بِیَحۡیٰی مُصَدِّقًۢا بِکَلِمَۃٍ مِّنَ
اللّٰہِ وَ سَیِّدًا وَّ حَصُوۡرًا وَّ نَبِیًّا مِّنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾
Di sanalah
Zakaria berdoa kepada Tuhan-nya, dia berkata: ”Ya Tuhan-ku, anugerahilah aku juga dari sisi Engkau keturunan yang suci, sesungguhnya
Engkau Maha Mendengar doa.” Maka malaikat menyerunya ketika ia sedang berdiri shalat di mihrab:
“Sesungguhnya Allah memberi engkau kabar gembira tentang Yahya, yang akan menggenapi kalimat dari Allah, dan ia seorang pemimpin, pengekang hawa nafsu, dan seorang nabi dari antara orang-orang saleh.” (Ali ‘Imran [3]:39-40).
قَالَ رَبِّ اَنّٰی یَکُوۡنُ لِیۡ غُلٰمٌ وَّ قَدۡ بَلَغَنِیَ الۡکِبَرُ وَ امۡرَاَتِیۡ
عَاقِرٌ ؕ قَالَ کَذٰلِکَ اللّٰہُ یَفۡعَلُ مَا یَشَآءُ ﴿﴾
Ia, Zakaria, berkata: ”Ya Tuhan-ku, bagaimanakah aku akan mendapat anak laki-laki, sedangkan masa tua telah menjelangku dan lagi pula istriku mandul?” Dia berfirman: “Demikianlah kekuasaan Allah, Dia
berbuat apa yang Dia kehendaki.”
(Ali
‘Imran [3]:41).
Nabi Zakaria a.s. Tidak Menjadi
Bisu
Mendengar jawaban Allah Swt. yang sangat
meyakinkan “Demikianlah kekuasaan Allah,
Dia berbuat apa yang Dia kehendaki” pernyataan Allah Swt. tersebut menambah
semangat Nabi Zakaria a.s., firman-Nya:
قَالَ رَبِّ اجۡعَلۡ لِّیۡۤ اٰیَۃً ؕ قَالَ اٰیَتُکَ اَلَّا تُکَلِّمَ النَّاسَ ثَلٰثَۃَ
اَیَّامٍ اِلَّا رَمۡزًا ؕ وَ اذۡکُرۡ
رَّبَّکَ کَثِیۡرًا وَّ سَبِّحۡ بِالۡعَشِیِّ وَ الۡاِبۡکَارِ ﴿٪﴾
Ia
berkata: “Ya Tuhan-ku, berikanlah
kepadaku suatu Tanda.” Dia
berfirman: “Tanda bagi engkau yaitu
engkau tidak boleh berbicara dengan
manusia selama tiga hari kecuali dengan isyarat, dan ingatlah
Tuhan engkau sebanyak-banyaknya
serta bertasbihlah di waktu petang
dan pagi hari.” (Ali ‘Imran [3]:42).
Nabi
Zakaria a.s. harus pantang
berbicara selama tiga hari, dan kemudian janji
itu baru akan dipenuhi. Beliau tidak kehilangan kemampuan bicara yakni menjadi bisu, seperti nampaknya dikatakan Bible, sebagai hukuman
karena tidak percaya kepada perkataan
Allah Swt. (Lukas 1:20-22).
Perintah supaya membisu dimaksudkan agar memberikan kesempatan baik kepada Nabi Zakaria
a.s. untuk menggunakan waktu
beliau dengan bertafakur dan berdoa — suatu syarat yang istimewa sekali, berfaedah untuk menarik rahmat dan berkat
Ilahi. Pantang bercakap-cakap
juga ternyata sangat berfaedah dalam keadaan tertentu untuk membuat seseorang
memulihkan kembali daya hayati dan kekuatan jasmani yang telah hilang.
Kebiasaan itu agaknya lazim terdapat di tengah kaum Yahudi di zaman itu.
(Bersambung).
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
“Pajajaran
Anyar”, 28 Ramadhan 2012
Ki
Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar