Jumat, 17 Agustus 2012

Dialog Nabi Zakaria a.s. dengan Maryam binti Imran Mengenai "Rezeki"



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


  SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN

Bab 50

 Dialog Nabi Zakaria a.s. dengan 
Maryam binti 'Imran  Mengenai "Rezeki"

 Oleh
                                                                                
Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam Bab  sebelumnya telah dikemukakan  mengenai  latar belakang kelahiran  Maryam binti ‘Imran yang istimewa, firman-Nya:
 فَلَمَّا وَضَعَتۡہَا قَالَتۡ رَبِّ اِنِّیۡ وَضَعۡتُہَاۤ  اُنۡثٰی ؕ وَ اللّٰہُ اَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ ؕ وَ لَیۡسَ الذَّکَرُ  کَالۡاُنۡثٰی ۚ وَ اِنِّیۡ سَمَّیۡتُہَا مَرۡیَمَ وَ اِنِّیۡۤ  اُعِیۡذُہَا بِکَ وَ ذُرِّیَّتَہَا مِنَ الشَّیۡطٰنِ  الرَّجِیۡمِ ﴿﴾
Maka tatkala ia yakni istri ’Imran telah melahirkannya ia berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya bayi yang kulahirkan ini seorang perempuan;  dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, sedangkan  anak lelaki yang diharapkannya itu tidaklah sama baiknya seperti anak perempuan ini; dan bahwa aku menamainya Maryam,  dan sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya  dari syaitan yang terkutuk.” (Ali ‘Imran) [3]:37).
        Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai pelaksaan pengabulan doa ibu yang menazarkan anak  perempuan yang baru dilahirkannya tersebut, firman-Nya:
 فَتَقَبَّلَہَا رَبُّہَا بِقَبُوۡلٍ حَسَنٍ وَّ اَنۡۢبَتَہَا نَبَاتًا حَسَنًا ۙ وَّ کَفَّلَہَا زَکَرِیَّا ۚؕ کُلَّمَا دَخَلَ عَلَیۡہَا زَکَرِیَّا الۡمِحۡرَابَ ۙ وَجَدَ عِنۡدَہَا رِزۡقًا ۚ قَالَ یٰمَرۡیَمُ اَنّٰی لَکِ ہٰذَا ؕ قَالَتۡ ہُوَ مِنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ یَرۡزُقُ مَنۡ یَّشَآءُ بِغَیۡرِ حِسَابٍ ﴿﴾
Maka Tuhan-nya telah menerimanya dengan penerimaan yang sangat baik, menumbuhkannya dengan pertumbuhan yang sangat baik dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria datang menemuinya di mihrab didapatinya ada rezeki padanya. Ia berkata: “Hai Maryam,  dari manakah engkau mendapatkan rezeki ini?” Ia berkata: “Rezeki itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa hisab. (Ali ‘Imran  [3]:38).

Makna Lain “Rizqan” (Rezeki)  &
Menggugah Semangat Nabi Zakaria a.s.

      Nabi Zakaria a.s.  itu nama seorang orang-suci dari kalangan Bani Israil yang dikemukakan oleh Al-Quran sebagai seorang nabi (QS.6:86), tetapi dalam Bible hanya disebut sebagai seorang imam (Lukas 1:5). Orang yang dikemukakan sebagai nabi oleh Bible ialah Zakharya (perhatikan perbedaan-perbedaan ejaannya) yang Al-Quran tidak menyebutnya. Nabi Zakaria a.s.  dari Al-Quran itu ialah ayahanda Nabi Yahya a.s.,  saudara sepupu Nabi Isa Ibnu Maryam a.s..  
        Kalimat “Setiap kali Zakaria datang menemuinya di mihrab didapatinya ada rezeki padanya.” Keberadaan hadiah-hadiah itu  dibawa oleh orang-orang yang berkunjung ke tempat itu untuk beribadah dan tidak ada hal luar biasa dalam bunyi jawaban Maryam binti ‘Imran    bahwa hadiah-hadiah itu dari Allah Swt.,  sebab tiap-tiap barang baik yang datang kepada manusia sebenarnya berasal dari Allah Swt.,  karena Allah  Swt. itu Maha Pemberi.
      Pada hakikatnya, suatu jawaban lain dari seorang anak perempuan dengan didikan agama seperti yang diperoleh  Maryam binti ‘Imran  tentu akan mengherankan. Kata yang dipakai dalam ayat tersebut adalah rizqan  (rezeki), yang mengandung makna yang sangat  luas, yakni bias berupa rezeki jasmani dan dapat juga berupa rezeki ruhani.
 Karena Allah Swt. telah menjadikan Maryam binti ‘Imran sebagai misal hamba-hamba Allah yang memiliki tingkat keruhanian yang tinggi (QS.66:12-13) maka  kata rizqan (rezeki) tersebut dapat mengisyaratkan kepada rizki ruhani,  dengan demikian   maknanya adalah bahwa setiap kali  Nabi Zakaria a.s. memberikan pengajaran atau bimbingan ruhani kepadanya maka ia mendapatkan dalam diri gadis Maryam ucapan-ucapan yang memiliki nilai-nilai ruhani yang tinggi, yang jauh melebihi  umurnya yang masih sangat muda.
   Jadi, jawaban yang saleh dari anak perempuan itu memberi kesan sangat mendalam pada pikiran Nabi Zakaria a.s.,  dan membangkitkan dalam jiwanya keinginan terpendam yang wajar untuk mempunyai anak sendiri yang shalih seperti dia. Beliau mendoa kepada Allah Swt.  untuk dianugerahi seorang anak seperti Maryam binti ‘Imran.  
       Doa itu nampaknya dipanjatkan berulang-ulang selama satu masa yang panjang seperti disebutkan dengan kata-kata lain di berbagai tempat dalam Al-Quran (QS.3:39; QS.19:4-7; QS.21:90), firman-Nya:
ہُنَالِکَ دَعَا زَکَرِیَّا رَبَّہٗ ۚ قَالَ رَبِّ ہَبۡ لِیۡ مِنۡ لَّدُنۡکَ ذُرِّیَّۃً طَیِّبَۃً ۚ اِنَّکَ سَمِیۡعُ  الدُّعَآءِ ﴿﴾   فَنَادَتۡہُ  الۡمَلٰٓئِکَۃُ وَ ہُوَ قَآئِمٌ یُّصَلِّیۡ فِی الۡمِحۡرَابِ ۙ اَنَّ اللّٰہَ یُبَشِّرُکَ بِیَحۡیٰی مُصَدِّقًۢا بِکَلِمَۃٍ مِّنَ اللّٰہِ وَ سَیِّدًا وَّ حَصُوۡرًا وَّ نَبِیًّا مِّنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾
Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhan-nya, dia berkata: ”Ya Tuhan-ku, anugerahilah aku juga dari sisi Engkau keturunan yang suci, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.”   Maka malaikat menyerunya ketika ia sedang berdiri shalat di mihrab: “Sesungguhnya  Allah memberi engkau kabar gembira  tentang Yahya, yang akan menggenapi  kalimat dari  Allah, dan ia seorang pemimpin, pengekang hawa nafsu, dan seorang nabi  dari antara orang-orang saleh.” (Ali ‘Imran [3]:39-40).

Makna “Istri Nabi Zakaria a.s. yang Mandul

       Jika istri ‘Imran memiliki keprihatinan yang  luar biasa terhadap keadaan akhlak dan ruhani kaumnya, tentu lebih-lebih lagi  Nabi Zakaria a.s. yang dalam kaumnya beliau sebagai imam,    karena itu keinginan beliau untuk mempunyai seorang anak bukan  karena semata-mata ingin memiliki anak, melainkan seorang anak yang akan mewarisi keruhanian  sebagaimana diri beliau, sebab Nabi Zakaria a.s.  pun  -- seperti halnya istri ‘Imran – sangat prihatin melihat keadaan  akhlak dan ruhani para pemuka kaumnya – yakni ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi – sebagaimana digambatkan dalam kecaman keras Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (Matius 23:1-36).
        Yahya (Yohanes/Yuhana) adalah seorang nabi yang datang sebelum Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Kelahiran Nabi Yahya a.s.   sebagai perintis bagi kedatangan Nabi isa Ibnu Maryam a.s., sesuai dengan nubuatan Bible (Maleakhi. 3:1 dan 4:5). Kata Ibrani Yahya ialah Yuhanna, yang dalam bahasa itu berarti  "Tuhan telah bermurah hati" (Encyclopaedia Britannica). Nama Yahya  diberikan oleh Allah Swt.  Sendiri.
       Nabi  Yahya a.s.  datang sesuai dengan nubuatan Maleakhi: “Bahwasanya Aku menyuruhkan kepadamu Elia, nabi itu, dahulu daripada datang hari Tuhan yang besar dan hebat itu” (Maleakhi  4:5). Selanjuutnya Allah Swt. berfirman:
قَالَ رَبِّ اَنّٰی یَکُوۡنُ لِیۡ غُلٰمٌ  وَّ قَدۡ بَلَغَنِیَ الۡکِبَرُ وَ امۡرَاَتِیۡ عَاقِرٌ ؕ قَالَ کَذٰلِکَ اللّٰہُ  یَفۡعَلُ مَا یَشَآءُ ﴿﴾
Ia, Zakaria,  berkata:   ”Ya Tuhan-ku, bagaimanakah aku akan mendapat anak laki-laki,  sedangkan masa tua telah menjelangku dan lagi pula istriku mandul?” Dia berfirman: “Demikianlah kekuasaan Allah, Dia berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Ali ‘Imran [3]:41).
        Ghulam berarti anak muda (Lexicon Lane). Pertanyaan Nabi Zakaria a.s. “Ya Tuhan-ku, bagaimanakah aku akan mendapat anak laki-laki,  sedangkan masa tua telah menjelangku dan lagi pula istriku mandul?” merupakan ungkapan yang tercetus dari rasa heran yang tulus dan polos tatkala mendengar janji Ilahi itu. Pertanyaan itu mengandung pula doa terselubung agar mudah-mudahan ia mendapat umur cukup panjang sehingga dapat melihat anak itu lahir dan tumbuh menjadi seorang pemuda.
       Kalau  pertanyaan Nabi Zakaria tersebut  mengenai keadaan diri beliau  yang sudah tua dan keadaan istrinya yang mandul -- yakni: “Ya Tuhan-ku, bagaimanakah aku akan mendapat anak laki-laki,  sedangkan masa tua telah menjelangku dan lagi pula istriku mandul?” – disandingkan dengan firman Allah Swt.  mengenai  istri-istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. sebagai misal orang-orang kafir (QS.66:11), maka terdapat hikmah yang  sangat dalam:
        (1) Istri-istri  durhaka Nabi Nuh  a.s. dan Nabi Luth a.s. dari segi jasmani bukan istri-istri yang rahimnya mandul karena terbukti  kedua istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s.  dapat melahirkan anak-anak jasmani. Tetapi dari segi ruhani kedua istri durhaka tersebut adalah  istri-istri yang mandul karena hati (rahim ruhani) mereka menolak pendakwaan  Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. sebagai rasul Allah, dan kedua istri durhaka tersebut  memilih bergabung dengan kaumnya, yakni mendustakan dan menentang  misi suci kedua suaminya yang berpangkat rasul Allah, itulah saebabnya Allah Swt. telah menjadikan kedua istri durhaka tersebut sebagai misal orang-orang kafir,  firman-Nya:
ضَرَبَ اللّٰہُ  مَثَلًا  لِّلَّذِیۡنَ  کَفَرُوا امۡرَاَتَ  نُوۡحٍ وَّ امۡرَاَتَ  لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا  النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿﴾  
Allah mengemukakan istri Nuh  dan istri Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. Keduanya di bawah dua hamba dari hamba-hamba Kami yang shalih, tetapi kedua istrinya berbuat khianat  kepada kedua suami mereka, maka mereka berdua sedikit pun tidak dapat membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, dan dikatakan kepada mereka: Masuklah kamu berdua ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.” (Al-Tahrīm [66]:11).
         (2) Istri Nabi Zakaria a.s. bukanlah seorang istri durhaka kepada  suaminya,  tetapi dari segi jasmani “kemandulan” beliau yang bersifat sementara tersebut melambangkan “kemandulan ruhani” kaum Yahudi,  di mana di kalangan mereka sangat sedikit kaum laki-laki  yang memiliki akhlak dan ruhani yang baik – terutama para pemuka kaumnya – itulah sebabnya ketika Nabi Zakaria a.s. berdialog dengan  anak asuhnya yang masih muda belia,   Maryam binti ‘Imran, beliau mendengar kata-katanya yang memiliki nilai-nilai ruhani yang tinggi, maka semangat Nabi Zakaria a.s. untuk memiliki pewaris ruhani yang seperti Maryam binti ‘Imran timbul kembali, firman-Nya:
ہُنَالِکَ دَعَا زَکَرِیَّا رَبَّہٗ ۚ قَالَ رَبِّ ہَبۡ لِیۡ مِنۡ لَّدُنۡکَ ذُرِّیَّۃً طَیِّبَۃً ۚ اِنَّکَ سَمِیۡعُ  الدُّعَآءِ ﴿﴾   فَنَادَتۡہُ  الۡمَلٰٓئِکَۃُ وَ ہُوَ قَآئِمٌ یُّصَلِّیۡ فِی الۡمِحۡرَابِ ۙ اَنَّ اللّٰہَ یُبَشِّرُکَ بِیَحۡیٰی مُصَدِّقًۢا بِکَلِمَۃٍ مِّنَ اللّٰہِ وَ سَیِّدًا وَّ حَصُوۡرًا وَّ نَبِیًّا مِّنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾
Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhan-nya, dia berkata: ”Ya Tuhan-ku, anugerahilah aku juga dari sisi Engkau keturunan yang suci, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.”   Maka malaikat menyerunya ketika ia sedang berdiri shalat di mihrab: “Sesungguhnya  Allah memberi engkau kabar gembira  tentang Yahya, yang akan menggenapi  kalimat dari  Allah, dan ia seorang pemimpin, pengekang hawa nafsu, dan seorang nabi  dari antara orang-orang saleh.” (Ali ‘Imran [3]:39-40).
قَالَ رَبِّ اَنّٰی یَکُوۡنُ لِیۡ غُلٰمٌ  وَّ قَدۡ بَلَغَنِیَ الۡکِبَرُ وَ امۡرَاَتِیۡ عَاقِرٌ ؕ قَالَ کَذٰلِکَ اللّٰہُ  یَفۡعَلُ مَا یَشَآءُ ﴿﴾
Ia, Zakaria, berkata:  ”Ya Tuhan-ku, bagaimanakah aku akan mendapat anak laki-laki,  sedangkan masa tua telah menjelangku dan lagi pula istriku mandul?” Dia berfirman: “Demikianlah kekuasaan Allah, Dia berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Ali ‘Imran [3]:41).

Nabi Zakaria a.s. Tidak Menjadi Bisu

    Mendengar jawaban Allah Swt. yang sangat meyakinkan   Demikianlah kekuasaan Allah, Dia berbuat apa yang Dia kehendaki pernyataan Allah Swt. tersebut menambah semangat Nabi Zakaria a.s., firman-Nya:
قَالَ رَبِّ اجۡعَلۡ لِّیۡۤ  اٰیَۃً ؕ قَالَ اٰیَتُکَ  اَلَّا تُکَلِّمَ النَّاسَ ثَلٰثَۃَ اَیَّامٍ  اِلَّا رَمۡزًا ؕ وَ اذۡکُرۡ رَّبَّکَ کَثِیۡرًا وَّ سَبِّحۡ بِالۡعَشِیِّ وَ الۡاِبۡکَارِ ﴿٪﴾
Ia berkata:  “Ya Tuhan-ku, berikanlah kepadaku suatu Tanda.” Dia berfirman: “Tanda bagi engkau yaitu engkau tidak boleh berbicara dengan manusia selama tiga hari  kecuali dengan isyarat, dan ingatlah  Tuhan engkau sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari.” (Ali ‘Imran [3]:42).
       Nabi Zakaria a.s.  harus pantang berbicara selama tiga hari, dan kemudian janji itu baru akan dipenuhi. Beliau tidak kehilangan kemampuan bicara  yakni menjadi bisu, seperti nampaknya dikatakan Bible, sebagai hukuman karena tidak percaya kepada perkataan Allah Swt.  (Lukas 1:20-22).
     Perintah supaya membisu dimaksudkan agar memberikan kesempatan baik kepada Nabi Zakaria a.s.  untuk menggunakan waktu beliau dengan bertafakur dan berdoa — suatu syarat yang istimewa sekali, berfaedah untuk menarik rahmat dan berkat Ilahi. Pantang bercakap-cakap juga ternyata sangat berfaedah dalam keadaan tertentu untuk membuat seseorang memulihkan kembali daya hayati dan kekuatan jasmani yang telah hilang. Kebiasaan itu agaknya lazim terdapat di tengah kaum Yahudi di zaman itu.

(Bersambung). 

 Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar”, 28 Ramadhan 2012
Ki Langlang Buana Kusuma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar