بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN
JANTUNG AL-QURAN
Bab 53
“Bapak Ruhani” Umat Manusia &
Makna “Khātaman Nabiyyīn”
Oleh
Ki Langlang
Buana Kusuma
Dalam akhir Bab sebelumnya
telah dikemukakan tentang kelahiran
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. tanpa ayah
seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil sebagai As-Sā’ah
(Tanda Saat) berakhirnya silsilah
kenabian di kalangan Bani Israil,
karena selanjutnya rasul Allah -- yakni Nabi
yang seperti Musa (Ulangan 18-18-19; QS.46:11) -- yang dijanjikan kepada mereka sama sekali tidak memiliki hubungan
darah langsung dengan Bani
Israil, karena ia dibangkitkan dari kalangan
Bani Isma’il, yakni “Ia yang datang
dalam nama Tuhan” (Matius 23:30) atau “Roh Kebenaran” (Yohanes 16:12-13) atau Periclutos (Penghibur) atau “Emeth/Ahmad” (QS.61:7).
Perjanjian Allah Swt. dengan Nabi
Ibrahim a.s.
Sunnatullāh tersebut sesuai dengan perjanjian Allah Swt. dengan
Nabi Ibrahim a.s. ketika Allah Swt. menjadikan beliau a.s. sebagai imam bagi mausia, firman-Nya:
وَ اِذِ ابۡتَلٰۤی
اِبۡرٰہٖمَ رَبُّہٗ بِکَلِمٰتٍ فَاَتَمَّہُنَّ ؕ قَالَ اِنِّیۡ جَاعِلُکَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ؕ قَالَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِیۡ ؕ قَالَ لَا یَنَالُ عَہۡدِی الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika Ibrahim diuji oleh
Tuhan-nya dengan beberapa perintah
maka dilaksanakannya sepenuhnya. Dia berfirman: “Sesungguhnya Aku
akan menjadikan engkau imam bagi
manusia.” Ia, Ibrahim, berkata: “Dan
jadikanlah juga imam dari
keturunanku.” Dia berfirman: “Janji-Ku tidak mencapai yakni tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (Al-Baqarah
[2]:125).
Imam berarti setiap obyek yang
diikuti, baik manusia atau suatu Kitab (Al-Mufradāt
Imam Raghib). Pemindahan nikmat kenabian dll (QS.5:21) dari
kalangan Bani Israil kepada kalangan Bani Isma’il (bangsa Arab) sesuai dengan
pernyataan Allah Swt.: “Janji-Ku tidak
mencapai yakni tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”
Demikian pula halnya
kedudukan Al-Masih Mau’ud a.s.
(Al-Masih Akhir Zaman) yang dibangkitkan dari kalangan umat Islam pun dari satu segi merupakan As-Sā’ah (Tanda Saat) bagi Bani
Isma’il (bangsa Arab), karena
sebagaimana halnya hubungan darah
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dengan Bani
Israil hanya dari pihak ibu
(perempuan), demikian pula hubungan darah
antara Al-Masih Mau’ud a.s. – yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s. – dengan Bani
Isma’il (Bangsa Arab) hanya dari pihak ibu (perempuan), karena Nabi Besar Muhammad saw. tidak memiliki seorang anak laki-laki
yang berumur panjang, melainkan hanya melalui
Siti Fatimah r.a.
silsilah Ahli Bait Nabi Besar
Muhammad saw. berlanjut.
Oleh karena itu jika
ada yang berpendapat bahwa kalau pun setelah Nabi Besar Muhammad saw. ada lagi rasul Allah maka ia harus dari kalangan Bani Isma’il (bangsa Arab), pendapat tersebut bertentangan dengan sikap
buruk bangsa Arab (Bani Isma’il) sendiri ketika semua anak laki-laki Nabi BGesar Muhammad saw. wafat pada waktu masih kecil, mereka gembira dengan hal tersebut dan menuduh beliau saw. sebagai seorang yang abtar (terputus
keturunannya) -- na’ūdzubillāhi min dzālik –
namun dengan tegas Allah Swt.
berfirman:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡمِ﴿﴾ اِنَّاۤ اَعۡطَیۡنٰکَ الۡکَوۡثَرَ ؕ﴿﴾ فَصَلِّ لِرَبِّکَ وَ انۡحَرۡ ؕ﴿﴾ اِنَّ شَانِئَکَ ہُوَ الۡاَبۡتَرُ ٪﴿﴾
Aku
baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Sesungguhnya
Kami telah menganugerahkan kepada engkau berlimpah-limpah
kebaikan, maka
shalatlah bagi Tuhan engkau dan berkorbanlah. Sesungguhnya musuh engkau, dialah yang tanpa keturunan. (Al-Kautsar
[108]:1-4).
Arti Kautsar
Kautsar antara
lain berarti berlimpah-limpah kebaikan. Kautsar berarti pula orang yang mempunyai banyak kebaikan dan orang yang banyak dan
sering memberi (Al-Mufradat Imam Raghib dan Tafsir Ibnu Jarir). Surah ini
mengemukakan Nabi Besar Muhammad saw. sebagai pribadi yang telah dianugerahi
Allah kautsar (kebaikan
berlimpah-limpah), termasuk dianugerahi putra-putra
ruhani yang tak terbilang jumlahnya (QS.33:7), bukannya putra-putra jasmani (QS.33:41).
Surah Al-Kautsar diturunkan kepada
Nabi Besar Muhammad saw. pada saat ketika beliau saw. tidak memiliki apapun dan tidak punya
sesuatu untuk diberikan. Ketika itu beliau saw. sangat miskin dan pengakuan beliau
sebagai rasul Allah dipandang dengan hina dan sebagai sesuatu yang tidak
perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh oleh kaum beliau saw. (bangsa Arab).
Bertahun-tahun lamanya sesudah Surah ini turun, Nabi Besar
Muhammad saw. masih terus juga
diperolok-olokkan dan ditertawakan, dilawan serta ditindas, dan pada akhirnya
beliau terpaksa hijrah meninggalkan
kota kelahiran beliau saw. sebagai seorang pelarian,
dan telah dijanjikan hadiah bagi siapa yang berhasil menangkap beliau dalam
keadaan hidup atau mati (QS.8:31).
Selama beberapa tahun di
Madinah pun jiwa beliau saw. dalam keadaan bahaya dan musuh dengan tidak sabar
menanti-nanti peluang untuk menyaksikan kesudahan Islam yang tragis
(menyedihkan) dan cepat datangnya, yang menurut ukuran otak manusia memang
bakal demikian terjadinya. Kemudian menjelang akhir hayat beliau saw., kebaikan berlimpah-limpah (kautsar) dalam
segala corak dan bentuk turun kepada beliau saw. bagaikan air hujan, dan janji
yang terkandung dalam Surah ini, telah menjadi sempurna secara harfiah.
“Pelarian” dari Makkah itu telah menjadi orang yang menentukan
nasib seluruh negeri Arab, dan sang putra padang pasir yang tidak dapat membaca
dan menulis itu terbukti menjadi Guru
Abadi seluruh umat manusia. Allah Swt. telah memberi beliau saw. sebuah Kitab yang merupakan petunjuk yang tidak mungkin gagal, untuk
seluruh umat manusia dan untuk sepanjang masa; dan dengan meresapkan Sifat-sifat Tuhan ke dalam diri beliau
saw., beliau saw. telah mencapai martabat tertinggi, yakni kedekatan kepada Khaliq-nya,
yang mungkin dapat dicapai oleh seorang manusia.
Nabi Besar Muhammad saw. dikaruniai sahabat-sahabat
yang kesetiakawanan serta pengabdiannya tidak pernah ada tara bandingannya; dan
ketika panggilan Al-Khāliq datang
kepada beliau saw. agar meninggalkan dunia yang fana ini, beliau saw. merasa
puas telah melaksanakan tugas suci yang
diserahkan kepada beliau saw. dengan sepenuhnya dan sesempurna-sempurnanya.
Pendek kata, segala macam kebaikan --
baik bersifat kebendaan maupun moral --
telah dilimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad saw. dalam ukuran yang penuh. Oleh
sebab itu beliaulah yang paling pantas disebut “Nabi paling berhasil dari antara sekalian nabi” (Encyclopaedia
Britannica).
Adalah
sangat bermakna bahwa dalam Al-Kautsar
ayat 4 musuh-musuh Nabi Besar
Muhammad saw. telah disebut dengan kata-kata tegas bahwa mereka itu abtar
(tidak mempunyai anak laki-laki), sedangkan menurut kenyataan sejarah
sendiri, semua putra beliau saw., baik yang dilahirkan sebelum maupun sesudah
ayat ini turun telah wafat dan beliau saw. idak meninggalkan seorang pun putra (anak
laki-laki). Hal itu menunjukkan bahwa kata abtar di sini hanya berarti: orang yang tidak mempunyai keturunan ruhani (putra-putra
ruhani) dan bukan putra-putra seperti biasa dikatakan orang, yakni anak-anak jasmani.
Makna Khātaman-nabiyyīn
Pada hakikatnya, hal ini
merupakan rencana Allah Swt. Sendiri
bahwa Nabi Besar Muhammad saw. tidak akan meninggalkan anak laki-laki seorang pun, oleh karena
beliau telah ditakdirkan menjadi ayah
ruhani berjuta-juta putra ruhani,
sepanjang masa sampai Akhir Zaman –
putra-putra yang akan jauh lebih setia, patuh taat dan penuh cinta daripada
putra-putra jasmani ayah mana pun.
Jadi, menurut Surah Al-Kautsar
ayat 4 bukan Nabi Besar Muhammad saw. melainkan musuh-musuh beliaulah yang mati
tanpa berketurunan, sebab dengan masuknya putra-putra mereka ke dalam pangkuan
Islam – seperti contohnya Khalid bin
Walid r.a., Ikrimah bin Abu Jahal dll
-- mereka itu telah menjadi putra-putra ruhani Nabi Besar Muhammad
saw., dan mereka itu merasa malu dan merasa hina, bila asal-usul
mereka itu dikaitkan kepada ayah jasmani
yang melahirkan mereka sendiri,
firman-Nya:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَ لٰکِنۡ رَّسُوۡلَ
اللّٰہِ وَ خَاتَمَ النَّبِیّٖنَ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ
بِکُلِّ شَیۡءٍ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Muhammad bukanlah bapak salah
seorang laki-laki di antara laki kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Khātaman-nabiyyīn, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzab
[33]:41).
Khātam berasal dari kata khatama
yang berarti: ia memeterai, mencap, mensahkan atau mencetakkan pada barang itu.
Inilah arti-pokok kata itu. Adapun arti kedua ialah: ia mencapai ujung benda
itu; atau menutupi benda itu, atau melindungi apa yang tertera dalam tulisan
dengan memberi tanda atau mencapkan secercah tanah liat di atasnya, atau dengan
sebuah meterai jenis apa pun.
Khātam berarti juga sebentuk cincin
stempel; sebuah segel, atau meterai dan sebuah tanda; ujung atau bagian
terakhir dan hasil atau anak (cabang) suatu benda. Kata itu pun berarti hiasan
atau perhiasan; terbaik atau paling sempurna. Kata-kata khatim, khatm dan
khatam hampir sama artinya (Lexicon
Lane; Al-Mufradat
Imam Raghib; Fath-ul-Bari,
dan Zurqani). Maka kata khātaman
nabiyyin akan berarti: meterai para nabi; yang terbaik dan paling sempurna
dari antara nabi-nabi; hiasan dan perhiasan nabi-nabi. Arti kedua ialah nabi
terakhir.
Di Makkah pada waktu semua putra Nabi Besar Muhammad saw. telah meninggal dunia semasa masih kanak-kanak, musuh-musuh beliau saw. mengejek
beliau seorang abtar (yang tidak mempunyai anak laki-laki), yang berarti
karena ketiadaan ahliwaris lelaki itu
untuk menggantikan beliau saw. maka jemaat beliau cepat atau lambat akan
menemui kesudahan (Al-Bahrul Muhith).
Sebagai jawaban terhadap ejekan orang-orang kafir Quraisy Makkah,
secara tegas dinyatakan dalam Surah Al-Kautsar
bahwa bukan Nabi Besar Muhammad saw. melainkan musuh-musuh beliaulah yang akan abtar
(tidak akan berketurunan). Sesudah Surah
Al-Kautsar diturunkan, tentu saja
terdapat anggapan di kalangan kaum Muslimin di zaman permulaan bahwa Nabi Besar
Muhammad saw. akan dianugerahi
anak-anak lelaki yang akan hidup sampai dewasa.
Ayat Al-Ahzab 41 yang sedang dibahas ini menghilangkan salah paham itu,
sebab ayat ini menyatakan bahwa Nabi Besar Muhammad saw., baik sekarang maupun
dahulu ataupun di masa yang akan datang bukan atau tidak pernah akan menjadi bapak seorang orang lelaki dewasa (rijal berarti pemuda).
Dalam pada itu ayat ini nampaknya
bertentangan dengan Surah Al-Kautsar,
yang di dalamnya bukan Nabi Besar Muhammad saw., melainkan musuh-musuh
beliau saw. yang diancam dengan abtar
(tidak akan berketurunan), tetapi sebenarnya berusaha menghilangkan
keragu-raguan dan prasangka-prasangka terhadap timbulnya arti yang kelihatannya
bertentangan itu. Ayat 41 Al Ahzab ini
mengatakan bahwa kedudukan ruhani Baginda
Nabi Besar Muhammad saw. adalah rasul Allah, yang mengandung arti
bahwa beliau adalah bapak ruhani
seluruh umat manusia (QS.7:159; QS.21L108; QS.25:2; QS.34:29), dan beliau
juga Khātaman Nabiyyīn, yang
maksudnya bahwa beliau adalah bapak ruhani seluruh nabi. Maka bila beliau saw. bapak
ruhani semua orang beriman dan
semua nabi, jadi bagaimana mungkin beliau
saw. dapat disebut abtar atau tak
berketurunan.
Nabi Terakhir Pembawa Syariat
Apabila ungkapan ini diambil
dalam arti bahwa Nabi Besar Muhammad saw. adalah nabi yang
terakhir, dan bahwa tidak ada nabi
akan datang sesudah beliau, maka ayat ini akan nampak sumbang bunyinya dan tidak mempunyai pertautan dengan konteks ayat,
dan daripada menyanggah ejekan
orang-orang kafir bahwa Nabi Besar Muhammad saw. tidak berketurunan (abtar), malahan mendukung dan menguatkannya.
Pendek kata, menurut arti yang
tersimpul dalam kata khātam seperti dikatakan di atas, maka ungkapan Khātaman
Nabiyyīn dapat mempunyai kemungkinan empat macam arti:
(1) Nabi Besar Muhammad saw. adalah meterai
para nabi, yakni, tidak ada nabi
dapat dianggap benar kalau kenabiannya
tidak bermeteraikan beliau saw.. Kenabian
semua nabi yang sudah lampau harus dikuatkan dan disahkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. dan juga tidak ada seorang
pun yang dapat mencapai tingkat kenabian
sesudah beliau saw., kecuali dengan menjadi pengikut
beliau (QS.3:32; QS.4:70-71).
(2) Nabi Besar Muhammad saw. adalah
yang terbaik, termulia, dan paling sempurna
dari antara semua nabi, dan juga
beliau saw. adalah sumber hiasan bagi
mereka (Zurqani; Syarah Muwahib al-Laduniyyah).
(3) Nabi Besar Muhammad saw. adalah yang terakhir di antara para nabi
pembawa syari'at. Penafsiran ini telah diterima oleh para ulama terkemuka,
orang-orang suci dan waliullah seperti Ibn ‘Arabi, Syah Waliullah, Imam ‘Ali
Qari, Mujaddid Alf Tsani, dan lain-lain.
Menurut ulama-ulama besar dan
para waliullāh itu, tidak ada nabi dapat datang sesudah Nabi Besar Muhammad
saw. yang dapat memansukhkan (membatalkan) millah beliau saw. atau yang
akan datang dari luar umat beliau (Futuhat-ul-Makiyyah,
Tafhimat; Maktubat, dan Yawaqit wa’l Jawahir).
Sitti Aisyah r.a., istri Nabi Besar Muhammad saw., yang amat
berbakat menurut riwayat pernah mengatakan: “Katakanlah bahwa beliau adalah Khātaman
Nabiyyīn, tetapi janganlah mengatakan tidak
akan ada nabi lagi sesudah beliau” (Mantsur).
(4) Nabi Besar Muhammad saw. adalah nabi yang terakhir (Akhirul Anbiya) hanya dalam arti kata bahwa semua nilai dan sifat kenabian terjelma dengan sesempurna-sempurnanya dan
selengkap-lengkapnya dalam diri beliau saw; khatam dalam arti sebutan
terakhir untuk menggambarkan kebagusan dan kesempurnaan, adalah sudah lazim
dipakai. Lebih-lebih Al-Quran dengan jelas mengatakan tentang bakal diutusnya nabi-nabi sesudah Nabi Besar Muhammad
saw. wafat (QS.7:36).
Nabi Besar Muhammad saw. sendiri jelas
mempunyai tanggapan mengenai berlanjutnya
kenabian sesudah beliau. Menurut riwayat, beliau saw. pernah bersabda: “Seandainya Ibrahim (putra beliau) masih
hidup, niscaya ia akan menjadi nabi” (Ibnu Majah,
Kitab al-Jana’iz) dan: “Abu Bakar adalah
sebaik-baik orang sesudahku, kecuali bila ada seorang nabi muncul” (Kanzul-Umal).
(Bersambung).
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
“Pajajaran
Anyar”, 27 Agustus 2012
Ki Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar