Jumat, 20 Juli 2012

Hakikat Pingsannya Nabi Musa a.s.





بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

   

SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN

BAB 3

    Hakikat Pingsannya Nabi Musa a.s. 

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam akhir BAB 2 telah dikemukakan firman Allah Swt. berikut ini mengenai “pingsannya” Nabi Musa a.s. ketika  ingin “melihat Allah Swt.” dalam peristiwa ruhani (kasyaf) yang dialaminya:
وَ لَمَّا جَآءَ مُوۡسٰی لِمِیۡقَاتِنَا وَ کَلَّمَہٗ رَبُّہٗ ۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِیۡۤ   اَنۡظُرۡ   اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰىنِیۡ  وَ لٰکِنِ  انۡظُرۡ  اِلَی  الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَکَانَہٗ فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ  لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ  دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا ۚ فَلَمَّاۤ  اَفَاقَ قَالَ سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ  اِلَیۡکَ  وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan tatkala Musa datang pada waktu yang Kami tetapkan dan Tuhan-nya bercakap-cakap dengan-nya, ia berkata: “Ya Tuhan-ku, perlihatkanlah kepadaku supaya aku dapat memandang Engkau.” Dia berfirman: “Engkau tidak akan pernah dapat melihat-Ku  tetapi pandanglah gunung itu, lalu jika ia tetap ada pada tempatnya  maka engkau pasti  akan dapat melihat-Ku.” Maka  tatkala Tuhan-nya menjelmakan keagungan-Nya pada  gunung itu  Dia menjadikannya hancur lebur, dan Musa pun jatuh pingsan. Lalu tatkala ia sadar kembali  ia berkata: “Mahasuci Engkau, aku bertaubat  kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.” (Al-A’rāf [7]:144).
     Ayat ini memberikan penjelasan mengenai salah satu masalah keagamaan yang sangat penting, yaitu mungkinkah bagi seseorang menyaksikan  Allah Swt.  dengan mata jasmaninya? Ayat itu sedikit pun tidak mendukung pendapat bahwa Allah Swt.  dapat disaksikan oleh mata jasmani, firman-Nya:
لَا تُدۡرِکُہُ  الۡاَبۡصَارُ ۫ وَ ہُوَ یُدۡرِکُ الۡاَبۡصَارَ ۚ وَ  ہُوَ  اللَّطِیۡفُ الۡخَبِیۡرُ ﴿﴾
Penglihatan mata tidak mencapai-Nya tetapi Dia mencapai penglihatan, dan  Dia Mahahalus, Maha Mengetahui. (Al-An’ām [6]:104).
  Abshār adalah jamak dari bashar yang berarti penglihatan atau pengertian, dan lathīf berarti:  yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera; halus (Lexicon Lane & Taj’ul ‘Urus). Ayat itu berarti, bahwa akal manusia sendiri tanpa pertolongan wahyu Ilahi tidak bisa menghayati pengertian mengenai Allah Swt.. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata jasmani, tetapi Dia menampakkan Diri-Nya (tajjali) kepada manusia, melalui nabi-nabi-Nya atau melalui bekerjanya Sifat-sifat-Nya. Dia pun nampak kepada mata ruhani.
       Jangankan melihat Allah Swt.  dengan mata jasmani, bahkan manusia tidak dapat pula melihat malaikat-malaikat, kita hanya dapat melihat penjelmaan mereka belaka.   Begitu pula hanya tajalli (penjelmaan keagungan) Allah Swt. sajalah yang dapat kita saksikan, tetapi Allah Swt. sendiri tidak. Oleh karena itu tidak dapat dimengerti bahwa seorang nabi yang besar seperti Nabi Musa a.s. dengan segala makrifat (pengetahuan) mengenai Sifat-sifat sempurna Allah Swt. akan mempunyai keinginan mengenai hal-hal yang mustahil.
     Nabi Musa a.s. mengetahui bahwa beliau hanyalah dapat menyaksikan Tajalli (penampakkan kekuasaan)  Allah Swt.,  dan bukan Wujud-Nya Sendiri. Akan tetapi beliau sebelumnya sudah melihat suatu Tajalli  Allah Swt.  dalam bentuk “api” dalam perjalanan beliau dari Midian ke Mesir (QS.28:30). Jadi  apa gerangan maksud Nabi Musa a.s. dengan perkatan: “Ya Tuhan-ku, tampak-kanlah  kepadaku supaya aku dapat melihat Engkau?”

Tajjali (Penampakkan Kekuasaan) Sempurna Allah Swt.

      Permohonan itu nampaknya mengisyaratkan kepada tajalli-sempurna Allah Swt. yang kelak akan menjelma pada diri seorang nabi yang seperti (mitsal) beliau – yakni Nabi Besar Muhammad saw.  beberapa masa kemudian (QS.46:11). Nabi Musa a.s.  diberi janji bahwa dari antara saudara-saudara Bani Israil – yaitu dari kal;angan Bani Isma’il -- akan muncul seorang nabi yang di mulutnya Tuhan akan meletakan Kalam-Nya (Kitab Ulangan 18:18-22).
     Nubuatan ini berkenaan dengan suatu tajalli lebih besar daripada yang pernah dilimpahkan kepada Nabi Musa a.s., karena itu beliau dengan sendirinya sangat berhasrat melihat (mengetahui) macam bagaimana Keagungan dan Kemuliaan Allah  Swt.  yang akan tampak dalam tajalli yang dijanjikan itu. Beliau berharap bahwa Keagungan dan Kemuliaan itu, ada yang dapat diperlihatkan kepada beliau, sebagaimana tergambar dalam perkataan beliau: “Ya Tuhan-ku, perlihatkanlah kepadaku supaya aku dapat memandang Engkau.”
    Allah Swt. menjawab: “Engkau tidak akan pernah dapat melihat-Ku”, namun demikian untuk meyakinkan Nabi Musa a.s. atas jawaban Allah Swt. tersebut, selanjutnya DIa berfirman: “tetapi pandanglah gunung itu, lalu jika ia tetap ada pada tempatnya  maka engkau pasti  akan dapat melihat-Ku.” Selanjutnya Allah Swt. berfirman: “Maka  tatkala Tuhan-nya menjelmakan keagungan-Nya pada  gunung itu  Dia menjadikannya hancur lebur, dan Musa pun jatuh pingsan.”      
        Akhirnya  Nabi Musa a.s.  benar-benar yakin bahwa Tajalli ini berada di luar batas kemampuan beliau untuk menanggungnya,  tajalli itu tidak akan dapat terjelma pada hati beliau, karena itu  dalam peristiwa ruhani (kasyaf) tersebut Allah Swt. telah memilih gunung untuk bertajalli.
      Gunung itu berguncang dengan hebat  serta nampak  seakan-akan ambruk, dan Nabi Musa a.s. karena dicekam oleh pengaruh guncangan itu rebah tidak sadarkan diri (pingsan) . Dengan cara demikian beliau dibuat sadar bahwa beliau tidak mencapai taraf yang demikian tingginya dalam martabat keruhanian yang dapat membuat beliau boleh menyaksikannya sendiri tempat  Allah Swt.  bertajalli sebagaimana dimohonkan beliau. Hak istimewa yang unik itu disediakan untuk seorang yang lebih besar daripada beliau, tak lain ialah Mahkota segala makhluk Ilahi, Baginda Nabi Muhammad saw., yang bergelar Khātaman Nabiyyin (QS.33:41).
       Mungkin pula permohonan Nabi Musa a.s.  itu karena didesak para pemuka Bani Israil yang menuntut untuk melihat Allah Swt. dengan mata lahir, firman-Nya:
وَ اِذۡ قُلۡتُمۡ یٰمُوۡسٰی لَنۡ نُّؤۡمِنَ لَکَ حَتّٰی نَرَی اللّٰہَ جَہۡرَۃً فَاَخَذَتۡکُمُ الصّٰعِقَۃُ وَ اَنۡتُمۡ تَنۡظُرُوۡنَ ﴿﴾
Dan, ingatlah ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak akan pernah mempercayai  engkau hingga kami terlebih dulu melihat Allah secara nyata”, lalu kamu disambar petir sedangkan kamu menyaksikan. (Al-Baqarah [2]:56).

Nabi Musa a.s. Beriman Kepada Nabi Besar Muhammad Saw.

       Pengalaman Nabi Musa a.s. yang sangat luar biasa itu memberi kesadaran kepada beliau bahwa permohonan beliau itu tidak layak. Dengan serta merta beliau berseru: “Aku bertaubat kepada Engkau, dan aku orang pertama di antara orang-orang beriman,” yang berarti beliau telah sadar bahwa beliau tidak dianugerahi kemampuan melihat tajalli-sempurna Keagungan Ilahi yang seharusnya akan menjelma pada hati Nabi Yang dijanjikan itu dan bahwa beliau (Nabi Musa a.s.)  adalah orang yang pertama-tama beriman kepada keluhuran kedudukan ruhani yang telah ditakdirkan akan dicapai oleh Nabi Besar itu. Keimanan Nabi Musa a.s.  kepada Nabi Besar Muhammad saw.  itu telah disinggung juga dalam QS.46:11, firman-Nya:
قُلۡ مَا کُنۡتُ بِدۡعًا مِّنَ الرُّسُلِ وَ مَاۤ اَدۡرِیۡ  مَا یُفۡعَلُ بِیۡ  وَ لَا بِکُمۡ ؕ اِنۡ  اَتَّبِعُ اِلَّا مَا یُوۡحٰۤی  اِلَیَّ وَ مَاۤ  اَنَا  اِلَّا نَذِیۡرٌ مُّبِیۡنٌ ﴿﴾  قُلۡ  اَرَءَیۡتُمۡ  اِنۡ کَانَ مِنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ وَ کَفَرۡتُمۡ  بِہٖ وَ شَہِدَ شَاہِدٌ مِّنۡۢ  بَنِیۡۤ اِسۡرَآءِیۡلَ  عَلٰی مِثۡلِہٖ  فَاٰمَنَ وَ اسۡتَکۡبَرۡتُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ  لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿٪﴾
Katakanlah: "Aku sekali-kali bukan rasul baru di antara rasul-rasul, dan  aku  sekali-kali tidak  mengetahui apa yang akan diperbuat Allah terhadapku atau pun terhadap kamu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku, dan aku tidak lain hanyalah  seorang pem-beri peringatan yang nyata."  Katakanlah: "Terangkanlah ke-padaku jika Al-Quran ini dari Allāh dan kamu tidak percaya kepadanya dan  seorang saksi dari antara Bani Israil  memberi kesaksian terhadap kedatangan seseorang semisalnya  lalu ia beriman tetapi kamu berlaku sombong?" Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (Al-Ahqāf [46]:10-11).
      Saksi dari antara Bani Israil adalah Nabi Musa a.s.. Kepada nubuatan beliau berkenaan dengan kedatangan Nabi Besar Muhammad saw. itulah yang telah diisyaratkan dalam ayat ini. Adapun nubuatan itu berbunyi sebagai berikut: "Bahwa Aku akan menjadikan bagi mereka itu seorang nabi dari antara segala saudaranya yang seperti engkau, dan Aku akan memberikan segala firman-Ku dalam mulutnya dan ia pun akan mengatakan segala yang Kusuruh akan dia. Bahwa sesungguhnya barangsiapa yang tidak mau dengar akan segala firman-Ku yang akan dikatakan olehnya dengan nama-Ku niscaya Aku menuntutnya kelak kepada orang itu (Ulangan 18:18-19).
  Ayat 11 yang didukung oleh Ulangan 18:18 menunjuk kepada kedatangan seorang nabi dari antara Bani Isma’il. Ayat yang sekarang ini menunjuk ke tanah Arab sebagai tempat turunnya nabi, yang akan mempunyai persamaan dengan Nabi Musa a.s. itu dan juga kepada Kitab (Al-Quran) yang akan menggenapi nubuatan-nubuatan yang terkandung di dalam Kitab Musa dan juga akan diunggulinya. Nubuatan yang bersangkutan adalah sebagai berikut: "Bahwa inilah firman akan hal negeri Arab: Di dalam gurun Arab kamu akan bermalam, hai kafilah orang Dedan. Datanglah mendapatkan orang yang berdahaga sambil membawa air, hai orang isi negeri Tema! Dan unjuklah roti kepada orang-orang yang lari itu" (Yesaya 21:13-15).
      Perlu diketahui,  bahwa sebenarnya gunung dalam QS.7:144 itu sebenarnya tidak hancur-lebur. Kata-kata itu telah dipergunakan secara majasi (kiasan) untuk menyatakan kehebatan gempa bumi yang terjadi saat. Lihat Keluaran 24:18.

Berbagai Ketidaktaatan Bani Israil Kepada Nabi Musa a.s.

       Jangankan untuk “memikul” amanat syariat terakhir dan tersempurna – yakni agama Islam (Al-Quran) --  untuk melaksanakan hukum Taurat pun Nabi Musa a.s. banyak mengalami kesedihan akibat berbagai bentuk pembangkangan kaumnya (Bani Israil). Misalnya ketika diperintahkan untuk menyembelih sapi mereka banyak melakukan pertanyaan kepada Nabi Musa a.s.  tentang rincian mengenai sapi yang harus mereka sembelih tersebut (QS.2:68-72).
      Demikian pula ketika Nabi Musa a.s. mengajak mereka untuk  memasuki “negeri yang dijanjikan” Allah Swt. kepada mereka  menolak   karena di dalam negeri itu ada kaum-kaum  yang mereka takut terhadap mereka itu (QS.5:21-27), padahal selama itu atas izin Allah Swt. mereka telah menyaksikan berbagai mukjizat yang diperlihat oleh Nabi Musa a.s., baik ketika masih berada di Mesir mau pun setelah ke luar dari Mesir.
      Agar umat Islam tidak melakukan hal yang sama  dengan sikap-sikap buruk kaum Nabi Musa a.s. (Bani Israil), maka Allah Swt. telah  memperingatkan  mereka, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰہَ وَ قُوۡلُوۡا  قَوۡلًا  سَدِیۡدًا  ﴿ۙ﴾  یُّصۡلِحۡ  لَکُمۡ  اَعۡمَالَکُمۡ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ ؕ وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ  وَ رَسُوۡلَہٗ  فَقَدۡ  فَازَ  فَوۡزًا عَظِیۡمًا ﴿﴾ 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti   orang-orang yang telah menyusahkan Musa, tetapi Allah membersihkannya dari apa yang mereka katakan.  Dan ia di sisi Allah adalah orang yang terhormat. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang jujur, Dia akan memperbaiki    amal-amal kamu dan akan mengampuni  dosa-dosa kamu.  Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia akan meraih kemenangan besar. (Al-Ahzab [33]:70-72).
        Ādzahu berarti: ia melakukan atau mengatakan apa yang tidak disenanginya atau yang dibencinya, mengganggu atau menjengkelkan atau melukai perasaan dia. Nabi Musa a.s. telah dijadikan sasaran fitnahan-fitnahan berat, antara lain: (1) Qarun (Qorah) menghasut seorang perempuan mengada-adakan tuduhan terhadap beliau bahwa beliau pernah mengadakan hubungan gelap dengan dirinya. (2) Karena timbul iri hati melihat semakin meningkatnya pengaruh Nabi Harun di tengah kaum beliau, Nabi Musa a.s. berusaha membunuh Nabi Harun a.s. (3) Beliau mengidap penyakit lepra dan rajasinga atau syphilis. (4) Samiri menuduh beliau berbuat syirik. (5) Adik perempuan beliau sendiri melemparkan tuduhan palsu terhadap beliau (Bilangan 12:1).

Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar”, 1 Ramadhan 2012
Ki Langlang Buana Kusuma





Tidak ada komentar:

Posting Komentar