بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN
BAB 3
Hakikat
Pingsannya Nabi Musa a.s.
Oleh
Ki Langlang
Buana Kusuma
Dalam akhir
BAB 2 telah dikemukakan firman Allah Swt. berikut ini mengenai “pingsannya”
Nabi Musa a.s. ketika ingin “melihat
Allah Swt.” dalam peristiwa ruhani
(kasyaf) yang dialaminya:
وَ لَمَّا جَآءَ
مُوۡسٰی لِمِیۡقَاتِنَا وَ کَلَّمَہٗ رَبُّہٗ ۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِیۡۤ اَنۡظُرۡ
اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰىنِیۡ
وَ لٰکِنِ انۡظُرۡ اِلَی
الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَکَانَہٗ فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا
تَجَلّٰی رَبُّہٗ لِلۡجَبَلِ
جَعَلَہٗ دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی
صَعِقًا ۚ فَلَمَّاۤ اَفَاقَ قَالَ
سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ اِلَیۡکَ وَ اَنَا
اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan tatkala Musa datang pada waktu yang Kami tetapkan dan Tuhan-nya bercakap-cakap dengan-nya, ia
berkata: “Ya Tuhan-ku, perlihatkanlah
kepadaku supaya aku dapat memandang Engkau.” Dia berfirman: “Engkau tidak akan pernah dapat melihat-Ku tetapi pandanglah
gunung itu, lalu jika ia tetap ada
pada tempatnya maka engkau pasti akan dapat melihat-Ku.” Maka tatkala Tuhan-nya
menjelmakan keagungan-Nya pada gunung
itu Dia menjadikannya hancur lebur,
dan Musa pun jatuh pingsan. Lalu
tatkala ia sadar kembali ia berkata: “Mahasuci Engkau, aku bertaubat
kepada Engkau dan aku adalah
orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.”
(Al-A’rāf
[7]:144).
Ayat ini memberikan penjelasan
mengenai salah satu masalah keagamaan yang sangat penting, yaitu mungkinkah
bagi seseorang menyaksikan Allah Swt. dengan mata jasmaninya? Ayat itu sedikit pun tidak mendukung pendapat
bahwa Allah Swt. dapat disaksikan oleh mata jasmani, firman-Nya:
لَا
تُدۡرِکُہُ الۡاَبۡصَارُ ۫ وَ ہُوَ
یُدۡرِکُ الۡاَبۡصَارَ ۚ وَ ہُوَ اللَّطِیۡفُ الۡخَبِیۡرُ ﴿﴾
Penglihatan mata tidak mencapai-Nya
tetapi Dia mencapai penglihatan, dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui. (Al-An’ām [6]:104).
Abshār adalah jamak dari bashar yang
berarti penglihatan atau pengertian, dan lathīf berarti:
yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera; halus (Lexicon Lane & Taj’ul ‘Urus). Ayat itu berarti, bahwa akal manusia sendiri
tanpa pertolongan wahyu Ilahi tidak bisa menghayati pengertian mengenai Allah Swt.. Tuhan
tidak dapat dilihat dengan mata jasmani, tetapi Dia menampakkan Diri-Nya (tajjali) kepada manusia, melalui nabi-nabi-Nya atau melalui bekerjanya Sifat-sifat-Nya. Dia pun nampak kepada mata ruhani.
Jangankan melihat Allah Swt. dengan
mata jasmani, bahkan manusia tidak dapat pula melihat malaikat-malaikat, kita hanya dapat melihat penjelmaan mereka belaka.
Begitu pula hanya tajalli (penjelmaan keagungan) Allah Swt.
sajalah yang dapat kita saksikan, tetapi Allah Swt. sendiri tidak. Oleh karena
itu tidak dapat dimengerti bahwa seorang nabi yang besar seperti Nabi Musa a.s.
dengan segala makrifat (pengetahuan)
mengenai Sifat-sifat sempurna Allah
Swt. akan mempunyai keinginan mengenai hal-hal yang mustahil.
Nabi Musa a.s. mengetahui bahwa beliau hanyalah dapat menyaksikan Tajalli (penampakkan kekuasaan) Allah Swt.,
dan bukan Wujud-Nya Sendiri.
Akan tetapi beliau sebelumnya sudah melihat suatu Tajalli Allah Swt. dalam bentuk “api” dalam perjalanan
beliau dari Midian ke Mesir (QS.28:30). Jadi
apa gerangan maksud Nabi Musa a.s. dengan perkatan: “Ya Tuhan-ku,
tampak-kanlah kepadaku supaya aku dapat
melihat Engkau?”
Tajjali (Penampakkan Kekuasaan) Sempurna
Allah Swt.
Permohonan itu nampaknya mengisyaratkan kepada tajalli-sempurna Allah Swt. yang kelak
akan menjelma pada diri seorang nabi yang
seperti (mitsal) beliau – yakni Nabi Besar Muhammad saw. beberapa masa kemudian (QS.46:11). Nabi
Musa a.s. diberi janji bahwa
dari antara saudara-saudara Bani Israil
– yaitu dari kal;angan Bani Isma’il
-- akan muncul seorang nabi yang di mulutnya Tuhan akan meletakan Kalam-Nya
(Kitab Ulangan 18:18-22).
Nubuatan ini berkenaan dengan suatu tajalli lebih besar
daripada yang pernah dilimpahkan kepada Nabi Musa a.s., karena itu beliau
dengan sendirinya sangat berhasrat melihat
(mengetahui) macam bagaimana Keagungan
dan Kemuliaan Allah Swt. yang akan tampak dalam tajalli
yang dijanjikan itu. Beliau berharap
bahwa Keagungan dan Kemuliaan itu, ada yang dapat
diperlihatkan kepada beliau, sebagaimana tergambar dalam perkataan beliau: “Ya Tuhan-ku, perlihatkanlah kepadaku supaya aku dapat memandang Engkau.”
Allah Swt. menjawab: “Engkau tidak akan pernah dapat melihat-Ku”,
namun demikian untuk meyakinkan Nabi
Musa a.s. atas jawaban Allah Swt. tersebut, selanjutnya DIa berfirman: “tetapi pandanglah
gunung itu, lalu jika ia tetap ada
pada tempatnya maka engkau pasti akan dapat melihat-Ku.” Selanjutnya
Allah Swt. berfirman: “Maka tatkala Tuhan-nya
menjelmakan keagungan-Nya pada gunung
itu Dia menjadikannya hancur lebur,
dan Musa pun jatuh pingsan.”
Akhirnya Nabi Musa a.s. benar-benar yakin bahwa Tajalli ini berada di luar batas kemampuan beliau untuk menanggungnya, tajalli itu tidak akan dapat terjelma pada hati beliau, karena itu dalam peristiwa ruhani (kasyaf) tersebut Allah Swt. telah memilih gunung untuk bertajalli.
Akhirnya Nabi Musa a.s. benar-benar yakin bahwa Tajalli ini berada di luar batas kemampuan beliau untuk menanggungnya, tajalli itu tidak akan dapat terjelma pada hati beliau, karena itu dalam peristiwa ruhani (kasyaf) tersebut Allah Swt. telah memilih gunung untuk bertajalli.
Gunung itu berguncang dengan hebat
serta nampak seakan-akan ambruk,
dan Nabi Musa a.s. karena dicekam oleh pengaruh
guncangan itu rebah tidak sadarkan diri (pingsan) . Dengan cara demikian
beliau dibuat sadar bahwa beliau tidak mencapai taraf yang demikian tingginya
dalam martabat keruhanian yang dapat
membuat beliau boleh menyaksikannya
sendiri tempat Allah Swt. bertajalli sebagaimana dimohonkan
beliau. Hak istimewa yang unik itu disediakan untuk seorang yang lebih besar
daripada beliau, tak lain ialah Mahkota
segala makhluk Ilahi, Baginda Nabi Muhammad saw., yang bergelar Khātaman Nabiyyin (QS.33:41).
Mungkin pula permohonan Nabi Musa a.s. itu karena didesak para pemuka Bani
Israil yang menuntut untuk melihat
Allah Swt. dengan mata lahir, firman-Nya:
وَ اِذۡ
قُلۡتُمۡ یٰمُوۡسٰی لَنۡ نُّؤۡمِنَ لَکَ حَتّٰی نَرَی اللّٰہَ جَہۡرَۃً
فَاَخَذَتۡکُمُ الصّٰعِقَۃُ وَ اَنۡتُمۡ تَنۡظُرُوۡنَ ﴿﴾
Dan, ingatlah ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak akan pernah mempercayai engkau hingga kami terlebih dulu melihat Allah secara nyata”, lalu kamu disambar petir sedangkan kamu
menyaksikan. (Al-Baqarah [2]:56).
Nabi Musa a.s. Beriman Kepada Nabi Besar Muhammad Saw.
Pengalaman Nabi Musa a.s.
yang sangat luar biasa itu memberi kesadaran
kepada beliau bahwa permohonan beliau itu tidak layak. Dengan serta merta
beliau berseru: “Aku bertaubat kepada Engkau, dan aku orang pertama di
antara orang-orang beriman,” yang berarti beliau telah sadar bahwa beliau
tidak dianugerahi kemampuan melihat tajalli-sempurna Keagungan Ilahi
yang seharusnya akan menjelma pada hati Nabi
Yang dijanjikan itu dan bahwa beliau (Nabi Musa a.s.) adalah orang yang pertama-tama beriman kepada keluhuran kedudukan ruhani yang telah ditakdirkan akan dicapai oleh Nabi
Besar itu. Keimanan Nabi Musa a.s. kepada Nabi Besar Muhammad saw. itu telah disinggung juga dalam
QS.46:11, firman-Nya:
قُلۡ مَا کُنۡتُ بِدۡعًا مِّنَ
الرُّسُلِ وَ مَاۤ اَدۡرِیۡ مَا یُفۡعَلُ
بِیۡ وَ لَا بِکُمۡ ؕ اِنۡ اَتَّبِعُ اِلَّا مَا یُوۡحٰۤی اِلَیَّ وَ مَاۤ اَنَا
اِلَّا نَذِیۡرٌ مُّبِیۡنٌ ﴿﴾ قُلۡ اَرَءَیۡتُمۡ اِنۡ کَانَ مِنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ وَ
کَفَرۡتُمۡ بِہٖ وَ شَہِدَ شَاہِدٌ
مِّنۡۢ بَنِیۡۤ اِسۡرَآءِیۡلَ عَلٰی مِثۡلِہٖ فَاٰمَنَ وَ اسۡتَکۡبَرۡتُمۡ ؕ اِنَّ
اللّٰہَ لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ
الظّٰلِمِیۡنَ ﴿٪﴾
Katakanlah: "Aku
sekali-kali bukan rasul baru di antara rasul-rasul, dan aku
sekali-kali tidak mengetahui apa
yang akan diperbuat Allah terhadapku atau pun terhadap kamu. Aku tidak
lain hanyalah mengikuti apa yang
diwahyukan kepadaku, dan aku tidak lain hanyalah seorang
pem-beri peringatan yang nyata."
Katakanlah: "Terangkanlah ke-padaku jika Al-Quran ini dari
Allāh dan kamu tidak percaya kepadanya dan
seorang saksi dari antara Bani
Israil memberi kesaksian
terhadap kedatangan seseorang semisalnya lalu ia
beriman tetapi kamu berlaku sombong?" Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada kaum yang zalim. (Al-Ahqāf
[46]:10-11).
Saksi
dari antara Bani Israil adalah Nabi Musa a.s.. Kepada nubuatan beliau berkenaan
dengan kedatangan Nabi Besar Muhammad saw. itulah yang telah diisyaratkan dalam
ayat ini. Adapun nubuatan itu berbunyi sebagai berikut: "Bahwa Aku akan menjadikan bagi mereka itu
seorang nabi dari antara segala saudaranya yang seperti engkau, dan Aku akan
memberikan segala firman-Ku dalam mulutnya dan ia pun akan mengatakan segala
yang Kusuruh akan dia. Bahwa sesungguhnya barangsiapa yang tidak mau dengar
akan segala firman-Ku yang akan dikatakan olehnya dengan nama-Ku niscaya Aku
menuntutnya kelak kepada orang itu (Ulangan 18:18-19).
Ayat 11 yang didukung oleh Ulangan 18:18 menunjuk kepada
kedatangan seorang nabi dari antara Bani
Isma’il. Ayat yang sekarang ini menunjuk ke tanah Arab sebagai tempat
turunnya nabi, yang akan mempunyai persamaan
dengan Nabi Musa a.s. itu dan juga kepada Kitab (Al-Quran) yang akan menggenapi
nubuatan-nubuatan yang terkandung di dalam Kitab Musa dan juga akan
diunggulinya. Nubuatan yang bersangkutan adalah sebagai berikut: "Bahwa inilah firman akan hal negeri Arab: Di
dalam gurun Arab kamu akan bermalam, hai kafilah orang Dedan. Datanglah
mendapatkan orang yang berdahaga sambil membawa air, hai orang isi negeri Tema!
Dan unjuklah roti kepada orang-orang yang lari itu" (Yesaya
21:13-15).
Perlu
diketahui, bahwa sebenarnya gunung dalam QS.7:144 itu sebenarnya
tidak hancur-lebur. Kata-kata itu telah dipergunakan secara majasi (kiasan) untuk menyatakan
kehebatan gempa bumi yang terjadi
saat. Lihat Keluaran 24:18.
Berbagai
Ketidaktaatan Bani Israil Kepada Nabi Musa a.s.
Jangankan untuk
“memikul” amanat syariat terakhir dan
tersempurna – yakni agama Islam
(Al-Quran) -- untuk melaksanakan hukum Taurat pun Nabi Musa a.s. banyak
mengalami kesedihan akibat berbagai bentuk pembangkangan kaumnya (Bani Israil).
Misalnya ketika diperintahkan untuk menyembelih sapi mereka banyak melakukan
pertanyaan kepada Nabi Musa a.s. tentang
rincian mengenai sapi yang harus mereka sembelih tersebut (QS.2:68-72).
Demikian pula ketika
Nabi Musa a.s. mengajak mereka untuk
memasuki “negeri yang dijanjikan”
Allah Swt. kepada mereka menolak karena di dalam negeri itu ada
kaum-kaum yang mereka takut terhadap
mereka itu (QS.5:21-27), padahal selama itu atas izin Allah Swt. mereka telah
menyaksikan berbagai mukjizat yang
diperlihat oleh Nabi Musa a.s., baik ketika masih berada di Mesir mau pun
setelah ke luar dari Mesir.
Agar umat Islam tidak
melakukan hal yang sama dengan sikap-sikap buruk kaum Nabi Musa a.s.
(Bani Israil), maka Allah Swt. telah
memperingatkan mereka,
firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا
اتَّقُوا اللّٰہَ وَ قُوۡلُوۡا
قَوۡلًا سَدِیۡدًا ﴿ۙ﴾
یُّصۡلِحۡ لَکُمۡ اَعۡمَالَکُمۡ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ
ؕ وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ
رَسُوۡلَہٗ فَقَدۡ فَازَ
فَوۡزًا عَظِیۡمًا ﴿﴾
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu seperti orang-orang yang telah menyusahkan Musa,
tetapi Allah membersihkannya dari
apa yang mereka katakan. Dan
ia di sisi Allah adalah orang yang terhormat. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang jujur, Dia
akan memperbaiki amal-amal kamu dan akan mengampuni dosa-dosa kamu.
Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya
maka sesungguhnya ia akan meraih
kemenangan besar. (Al-Ahzab [33]:70-72).
Ādzahu
berarti: ia melakukan atau mengatakan apa yang tidak disenanginya atau yang
dibencinya, mengganggu atau menjengkelkan atau melukai perasaan dia. Nabi Musa
a.s. telah dijadikan sasaran fitnahan-fitnahan
berat, antara lain: (1) Qarun (Qorah) menghasut seorang perempuan
mengada-adakan tuduhan terhadap beliau bahwa beliau pernah mengadakan hubungan
gelap dengan dirinya. (2) Karena timbul iri hati melihat semakin meningkatnya
pengaruh Nabi Harun di tengah kaum beliau, Nabi Musa a.s. berusaha membunuh
Nabi Harun a.s. (3) Beliau mengidap penyakit lepra dan rajasinga atau syphilis.
(4) Samiri menuduh beliau berbuat syirik. (5) Adik perempuan beliau sendiri
melemparkan tuduhan palsu terhadap beliau (Bilangan 12:1).
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam
Farid
***
“Pajajaran Anyar”, 1 Ramadhan 2012
Ki Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar