بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN
BAB 4
Gelar “Yā Sīn” dan “Khātaman Nabiyyīn”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam BAB 3 telah dikemukakan berbagai kelakuan buruk
Bani Israil yang telah menyakitkan hati Nabi Musa a.s., dan Allah Swt. telah
menjadikan hal tersebut sebagai peringatan
agar umat Islam (Bani Ismail) tidak
melakukan hal yang sama dengan sikap-sikap buruk kaum Nabi Musa a.s.
(Bani Israil), firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰہَ وَ قُوۡلُوۡا قَوۡلًا سَدِیۡدًا ﴿ۙ﴾
یُّصۡلِحۡ لَکُمۡ اَعۡمَالَکُمۡ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ ؕ
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ فَقَدۡ فَازَ فَوۡزًا عَظِیۡمًا ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu seperti orang-orang yang telah menyusahkan Musa,
tetapi Allah membersihkannya dari
apa yang mereka katakan. Dan
ia di sisi Allah adalah orang yang terhormat. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang jujur, Dia
akan memperbaiki amal-amal kamu dan akan mengampuni dosa-dosa kamu.
Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya
maka sesungguhnya ia akan meraih
kemenangan besar. (Al-Ahzab [33]:70-72).
Ādzahu berarti: ia melakukan atau
mengatakan apa yang tidak disenanginya atau yang dibencinya, mengganggu atau
menjengkelkan atau melukai perasaan dia. Nabi Musa a.s. telah dijadikan sasaran
fitnahan-fitnahan berat, antara lain:
(1) Qarun (Qorah) menghasut seorang perempuan mengada-adakan tuduhan terhadap
beliau bahwa beliau pernah mengadakan hubungan gelap dengan dirinya. (2) Karena
timbul iri hati melihat semakin meningkatnya pengaruh Nabi Harun di tengah kaum
beliau, Nabi Musa a.s. berusaha membunuh Nabi Harun a.s. (3) Beliau mengidap
penyakit lepra dan rajasinga atau syphilis. (4) Samiri menuduh beliau berbuat
syirik. (5) Adik perempuan beliau sendiri melemparkan tuduhan palsu terhadap
beliau (Bilangan 12:1).
Beratnya “Memikul” Amanat Syariat
Islam (Al-Quran)
Selanjutnya
Allah Swt. berfirman:
اِنَّا
عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ
اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ
کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾ لِّیُعَذِّبَ
اللّٰہُ الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ
وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
وَ الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ غَفُوۡرًا رَّحِیۡمًا ﴿٪﴾
Sesungguhnya
Kami telah menawarkan amanat syariat kepada
seluruh langit, bumi dan gunung-gunung,
tetapi semuanya enggan memikulnya
dan mereka takut terhadapnya, akan
sedangkan insan memikulnya, sesungguhnya ia sanggup
berbuat zalim dan abai terhadap dirinya. Supaya Allah akan menghukum orang-orang munafik lelaki dan orang-orang munafik perempuan, dan
orang-orang musyrik lelaki
dan orang-orang musyrik perempuan, dan Allah senantiasa kembali dengan kasih sayang kepada
orang-orang lelaki dan perempuan-perempuan yang
beriman, dan Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Ahzab
[33]:73-74).
Hamala al-amānata berarti, ia membebankan atas
dirinya atau menerima amanat; ia mengkhianati amanat itu. Zhalum adalah
bentuk kesangatan dari zhalim yang adalah fa’il atau pelaku dari zhalama,
yang berarti ia meletakkan benda itu di tempat yang salah; zhalamahu
berarti: ia membebani diri sendiri dengan suatu beban yang melewati batas
kekuatan atau kemampuan pikulnya. Jahul adalah bentuk kesangatan dari
kata jahil, yang berarti lalai,
dungu, dan alpa (Lexicon Lane).
(1) Manusia dianugerahi
kemampuan-kemampuan dan kekuatan fitri besar
sekali untuk meresapkan dan menjelmakan di dalam dirinya Sifat-sifat Ilahi untuk menayang citra (bayangan) Khaliq-nya (QS.2:31). Sungguh inilah amanat agung yang hanya manusia sendiri
dari seluruh isi jagat raya ini yang ternyata sanggup melaksanakannya;
makhluk-makhluk dan benda-benda lainnya — para malaikat, seluruh langit
(planit-planit), bumi, gunung-gunung sama sekali tidak dapat menandinginya.
Mereka seakan-akan menolak mengemban amanat
itu. Manusia menerima tanggungjawab ini sebab hanya dialah yang dapat
melaksanakannya. Ia mampu menjadi zhalum (aniaya terhadap dirinya
sendiri) dan jahul (mengabaikan diri sendiri) dalam pengertian bahwa ia
dapat aniaya terhadap dirinya sendiri dalam arti bahwa ia dapat menanggung
kesulitan apa pun dan menjalani pengorbanan apa pun demi Khaliq-nya, dan ia mampu mengabaikan diri atau alpa dalam arti bahwa
dalam mengkhidmati amanat-Nya yang agung lagi suci itu, ia dapat mengabaikan
kepentingan pribadinya dan hasratnya untuk memperoleh kesenangan dan kenikmatan
hidup.
(2) Jika kata al-amānat
diambil dalam arti sebagai hukum Al-Quran dan kata al-insan sebagai
manusia sempurna, yakni, Nabi Besar Muhammad saw. maka ayat ini akan berarti
bahwa dari semua penghuni seluruh langit dan bumi, hanyalah beliau saw. sendiri
saja yang mampu diamanati wahyu yang
mengandung syariat terakhir yang paling sempurna, yaitu syariat Al-Quran, sebab tidak ada orang
atau wujud lain yang pernah dianugerahi sifat-sifat
agung yang mutlak diperlukan untuk melaksanakan tanggungjawab besar ini
sepenuhnya dan sebaik-baiknya.
(3) Kalau kata hamala
diambil dalam arti mengkhianati atau tidak jujur terhadap suatu amanat,
maka ayat ini akan berarti bahwa amanat
syariat Ilahi telah dibebankan atas manusia dan makhluk-makhluk lainnya
yang ada di bumi maupun di langit. Mereka itu semua — kecuali manusia — menolak
mengkhianati amanat ini, yakni mereka itu sepenuhnya dan dengan setia
menjalankan segala hukum yang kepada hukum-hukum itu mereka harus tunduk.
Seluruh alam setia kepada
hukum-hukumnya dan para malaikat juga melaksanakan tugas mereka dengan setia
dan patuh (QS.16:50-51), hanya manusia saja yang disebabkan telah dikaruniai
kebebasan bertindak dan berkemauan mau juga mengingkari dan melanggar perintah
Allāh, sebab ia aniaya dan mengabaikan serta tidak mempedulikan tugas dan
kewajibannya. Arti demikian mengenai ayat ini didukung oleh QS.41:12.
Sebutan “Yā Sīn” (Pemimpin Sempurna) &
Khātaman Nabiyyīn
Pendek kata, penganugerahan gelar Yā Sīn (Pemimpin sempurna) dan Khātaman Nabiyyīn kepada Nabi Besar Muhammad saw. sangat tepat,
sebab beliau saw. benar-benar merupakan seorang rasul Allah yang memberikan suri teladan tersempurna (QS.3:32;
QS.33:22) dalam pengamalan syariat Islam (Al-Quran) yang merupakan syariat terakhir dan tersempurna (QS.5:4).
Sehubungan dengan kenyataan
tersebut selanjutnya Allah Swt. berfirman dalam Surah Yā Sīn:
عَلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ؕ﴿۴﴾
“Pada jalan yang lurus” (Yā Sīn [36]:5).
Jalan -- yakni syariat -- Nabi Besar Muhammad saw. merupakan
satu-satunya jalan benar dan lurus yang membawa penempuhnya kepada
Allah Swt.. Ayat ini membuat perbedaan
indah antara seorang nabi dengan
seorang ahli filsafat. Seorang ahli
filsafat memerlukan waktu panjang untuk menemukan kebenaran dan seringkali kehilangan arah dalam penyelidikannya,
tetapi seorang nabi Allah
menemukannya dengan jalan dan waktu yang paling singkat. Tidak seperti halnya
ahli filsafat, beliau dibimbing kepada kebenaran itu secara langsung dengan
perantaraan wahyu Ilahi, tanpa
bertualang di tempat kesesatan gagasan khayali dan sukar dipahami.
Pendapat para ahli filsafat
tentang keberadaan Tuhan adalah bahwa
hanya berupa kesimpulan yang tidak
meyakinkan, yakni: “Dengan
adanya keteraturan hukum yang
meliputi alam semesta ini maka sudah seharusnya
ada Tuhan Pencipta.” Tetapi mereka
sampai mati pun tidak pernah sekali pun punya pengalaman secara pribadi berhubungan
(berkomunikasi) dengan Tuhan,
sehingga mereka benar-benar meyakini
bahwa Tuhan Pencipta alam semesta itu
benar-benar ada. Tetapi seorang Rasul
Allah dengan penuh keyakinan akan
menyatakan bahwa: “Tuhan benar-benar ada,
dan aku adalah Utusan-Nya”.(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
“Pajajaran
Anyar”, 2 Ramadhan 2012
Ki Langlang
Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar