Minggu, 22 Juli 2012

Gelar "Yā Sīn" dan "Khātaman Nabiyyīn"



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

   

SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN

BAB 4

    Gelar “Yā Sīn” dan “Khātaman Nabiyyīn”

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma


Dalam BAB 3  telah dikemukakan berbagai kelakuan buruk Bani Israil yang telah menyakitkan hati Nabi Musa a.s., dan Allah Swt. telah menjadikan hal tersebut sebagai peringatan agar umat Islam (Bani Ismail) tidak melakukan hal yang sama  dengan sikap-sikap buruk kaum Nabi Musa a.s. (Bani Israil), firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰہَ وَ قُوۡلُوۡا  قَوۡلًا  سَدِیۡدًا  ﴿ۙ﴾  یُّصۡلِحۡ  لَکُمۡ  اَعۡمَالَکُمۡ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ ؕ وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ  وَ رَسُوۡلَہٗ  فَقَدۡ  فَازَ  فَوۡزًا عَظِیۡمًا ﴿﴾ 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti   orang-orang yang telah menyusahkan Musa, tetapi Allah membersihkannya dari apa yang mereka katakan.  Dan ia di sisi Allah adalah orang yang terhormat. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang jujur, Dia akan memperbaiki    amal-amal kamu dan akan mengampuni  dosa-dosa kamu.  Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia akan meraih kemenangan besar. (Al-Ahzab [33]:70-72).
        Ādzahu berarti: ia melakukan atau mengatakan apa yang tidak disenanginya atau yang dibencinya, mengganggu atau menjengkelkan atau melukai perasaan dia. Nabi Musa a.s. telah dijadikan sasaran fitnahan-fitnahan berat, antara lain: (1) Qarun (Qorah) menghasut seorang perempuan mengada-adakan tuduhan terhadap beliau bahwa beliau pernah mengadakan hubungan gelap dengan dirinya. (2) Karena timbul iri hati melihat semakin meningkatnya pengaruh Nabi Harun di tengah kaum beliau, Nabi Musa a.s. berusaha membunuh Nabi Harun a.s. (3) Beliau mengidap penyakit lepra dan rajasinga atau syphilis. (4) Samiri menuduh beliau berbuat syirik. (5) Adik perempuan beliau sendiri melemparkan tuduhan palsu terhadap beliau (Bilangan 12:1).

Beratnya “Memikul” Amanat Syariat Islam (Al-Quran)

       Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
اِنَّا عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾ لِّیُعَذِّبَ اللّٰہُ  الۡمُنٰفِقِیۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ وَ الۡمُشۡرِکٰتِ وَ یَتُوۡبَ اللّٰہُ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ  الۡمُؤۡمِنٰتِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ  غَفُوۡرًا  رَّحِیۡمًا ﴿٪﴾
Sesungguhnya Kami telah  menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya dan mereka takut terhadapnya, akan sedangkan insan  memikulnya, sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan  abai  terhadap dirinya.  Supaya Allah akan menghukum orang-orang munafik lelaki dan orang-orang munafik perempuan, dan  orang-orang musyrik lelaki dan orang-orang musyrik perempuan,  dan Allah senantiasa kembali dengan kasih sayang kepada orang-orang lelaki  dan  perempuan-perempuan  yang beriman, dan Allah   Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Ahzab [33]:73-74).
       Hamala al-amānata berarti, ia membebankan atas dirinya atau menerima amanat; ia mengkhianati amanat itu. Zhalum adalah bentuk kesangatan dari zhalim yang adalah fa’il atau pelaku dari zhalama, yang berarti ia meletakkan benda itu di tempat yang salah; zhalamahu berarti: ia membebani diri sendiri dengan suatu beban yang melewati batas kekuatan atau kemampuan pikulnya. Jahul adalah bentuk kesangatan dari kata jahil, yang berarti  lalai, dungu, dan alpa (Lexicon Lane).
      (1) Manusia dianugerahi kemampuan-kemampuan dan kekuatan fitri besar sekali untuk meresapkan dan menjelmakan di dalam dirinya Sifat-sifat Ilahi untuk menayang citra (bayangan) Khaliq-nya (QS.2:31). Sungguh inilah amanat agung yang hanya manusia sendiri dari seluruh isi jagat raya ini yang ternyata sanggup melaksanakannya; makhluk-makhluk dan benda-benda lainnya — para malaikat, seluruh langit (planit-planit), bumi, gunung-gunung sama sekali tidak dapat menandinginya. Mereka seakan-akan menolak mengemban amanat itu. Manusia menerima tanggungjawab ini sebab hanya dialah yang dapat melaksanakannya. Ia mampu menjadi zhalum (aniaya terhadap dirinya sendiri) dan jahul (mengabaikan diri sendiri) dalam pengertian bahwa ia dapat aniaya terhadap dirinya sendiri dalam arti bahwa ia dapat menanggung kesulitan apa pun dan menjalani pengorbanan apa pun demi Khaliq-nya, dan ia mampu mengabaikan diri atau alpa dalam arti bahwa dalam mengkhidmati amanat-Nya yang agung lagi suci itu, ia dapat mengabaikan kepentingan pribadinya dan hasratnya untuk memperoleh kesenangan dan kenikmatan hidup.
      (2) Jika kata al-amānat diambil dalam arti sebagai hukum Al-Quran dan kata al-insan sebagai manusia sempurna, yakni, Nabi Besar Muhammad saw. maka ayat ini akan berarti bahwa dari semua penghuni seluruh langit dan bumi, hanyalah beliau saw. sendiri saja yang mampu diamanati wahyu yang mengandung syariat  terakhir yang paling sempurna, yaitu syariat Al-Quran, sebab tidak ada orang atau wujud lain yang pernah dianugerahi sifat-sifat agung yang mutlak diperlukan untuk melaksanakan tanggungjawab besar ini sepenuhnya dan sebaik-baiknya.
        (3) Kalau kata hamala diambil dalam arti mengkhianati atau tidak jujur terhadap suatu amanat, maka ayat ini akan berarti bahwa amanat syariat Ilahi telah dibebankan atas manusia dan makhluk-makhluk lainnya yang ada di bumi maupun di langit. Mereka itu semua — kecuali manusia — menolak mengkhianati amanat ini, yakni mereka itu sepenuhnya dan dengan setia menjalankan segala hukum yang kepada hukum-hukum itu mereka harus tunduk.
     Seluruh alam setia kepada hukum-hukumnya dan para malaikat juga melaksanakan tugas mereka dengan setia dan patuh (QS.16:50-51), hanya manusia saja yang disebabkan telah dikaruniai kebebasan bertindak dan berkemauan mau juga mengingkari dan melanggar perintah Allāh, sebab ia aniaya dan mengabaikan serta tidak mempedulikan tugas dan kewajibannya. Arti demikian mengenai ayat ini didukung oleh QS.41:12.

Sebutan “Yā Sīn” (Pemimpin Sempurna) &
Khātaman Nabiyyīn

       Pendek kata, penganugerahan gelar Yā Sīn (Pemimpin sempurna) dan Khātaman Nabiyyīn  kepada Nabi Besar Muhammad saw. sangat tepat, sebab beliau saw. benar-benar merupakan seorang rasul Allah yang memberikan suri teladan tersempurna (QS.3:32; QS.33:22) dalam  pengamalan syariat Islam (Al-Quran) yang merupakan syariat   terakhir dan tersempurna (QS.5:4).
      Sehubungan dengan kenyataan tersebut selanjutnya Allah Swt. berfirman dalam Surah Yā Sīn:
عَلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ؕ﴿۴﴾
“Pada jalan yang lurus” (Yā Sīn [36]:5).
       Jalan --  yakni syariat --  Nabi Besar Muhammad saw. merupakan satu-satunya jalan benar dan lurus yang membawa penempuhnya kepada Allah Swt..  Ayat ini membuat perbedaan indah antara seorang nabi dengan seorang ahli filsafat. Seorang ahli filsafat memerlukan waktu panjang untuk menemukan kebenaran dan seringkali kehilangan arah dalam penyelidikannya, tetapi seorang nabi Allah menemukannya dengan jalan dan waktu yang paling singkat. Tidak seperti halnya ahli filsafat, beliau dibimbing kepada kebenaran itu secara langsung dengan perantaraan wahyu Ilahi, tanpa bertualang di tempat kesesatan gagasan khayali dan sukar dipahami.
       Pendapat para ahli filsafat tentang keberadaan Tuhan adalah bahwa hanya berupa kesimpulan yang tidak  meyakinkan, yakni: “Dengan  adanya  keteraturan hukum yang meliputi alam semesta ini maka sudah seharusnya ada Tuhan Pencipta.” Tetapi mereka sampai mati pun tidak pernah sekali pun punya pengalaman secara pribadi berhubungan (berkomunikasi) dengan Tuhan, sehingga mereka benar-benar meyakini bahwa Tuhan Pencipta alam semesta itu benar-benar ada. Tetapi seorang Rasul Allah dengan penuh keyakinan akan menyatakan bahwa: “Tuhan benar-benar ada, dan aku adalah Utusan-Nya”.(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar”, 2 Ramadhan 2012
Ki Langlang Buana Kusuma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar