بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN
Bab 76
"Doa Takabur" Abu Jahal
Dikabulkan Dalam Perang Badar
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam bagian
akhir Bab sebelum ini telah dijelaskan mengenai
“peniupan nafiri” dan “orang yang
keluar dari kuburan”, firman-Nya:
وَ
نُفِخَ فِی الصُّوۡرِ فَاِذَا ہُمۡ مِّنَ الۡاَجۡدَاثِ اِلٰی
رَبِّہِمۡ یَنۡسِلُوۡنَ ﴿ ﴾ قَالُوۡا یٰوَیۡلَنَا مَنۡۢ بَعَثَنَا مِنۡ
مَّرۡقَدِنَا ٜۘؐ ہٰذَا مَا
وَعَدَ الرَّحۡمٰنُ وَ صَدَقَ
الۡمُرۡسَلُوۡنَ ﴿ ﴾ اِنۡ کَانَتۡ اِلَّا صَیۡحَۃً وَّاحِدَۃً فَاِذَا ہُمۡ جَمِیۡعٌ لَّدَیۡنَا
مُحۡضَرُوۡنَ ﴿ ﴾ فَالۡیَوۡمَ لَا تُظۡلَمُ نَفۡسٌ
شَیۡئًا وَّ لَا تُجۡزَوۡنَ اِلَّا مَا
کُنۡتُمۡ تَعۡمَلُوۡنَ ﴿ ﴾
Dan nafiri akan ditiup
maka tiba-tiba mereka akan segera keluar dari kuburan kepada Tuhan mereka.
Mereka akan berkata: ”Aduh celakalah kami! Siapakah yang telah
membangkitkan kami dari tempat tidur kami?” Inilah apa
yang telah dijanjikan Tuhan Yang Maha Pemurah, dan benarlah
rasul-rasul itu. Itu tidak
lain hanya satu ledakan maka tiba-tiba
mereka itu semua akan dihadirkan di hadapan
Kami. Maka pada hari itu tidak ada satu jiwa pun akan dizalimi sedikit pun,
dan kamu tidak akan dibalas
melainkan apa yang telah kamu kerjakan.
(Yā
Sīn [36]:52-55).
Kata-kata, “nafiri akan ditiup,” di samping yang
dimaksud ialah peniupan terompet pada Hari Pembalasan, dapat pula berarti kedatangan seorang mushlih rabbani yakni
rasul Allah , yang karena “seruan terompetnya” – yakni seruan kepada Tauhid Ilahi (QS.16:37)
-- maka mereka yang secara ruhani telah mati itu bangkit dari kuburan (keadaan kematian ruhani)
mereka, dan segera mendengarkan dan menerima panggilan
Ilahi (QS.3:191-195).
Bila pada Hari Kiamat orang-orang akan
dibangkitkan dan kepada orang-orang kafir
akan dihadapkan perbuatan-perbuatan jahat
mereka, dan azab akan mengancam mereka, mereka akan dicekam rasa putus-asa dan akan menjerit dalam
kegemparan: “Aduh celaka kami! Siapakah yang telah membangkitkan kami
dari tempat tidur kami?”
Pengutusan
Rasul Allah Dianggap
Mengusik “Ketentraman Hidup” Kaumnya
Tetapi untuk melanjutkan kiasan ayat sebelum ini, ayat ini
berpaling kepada orang-orang yang pada saat seorang nabi Allah datang, tidak mau
mendengar seruan Ilahi dan lebih menyukai tetap tinggal dalam keadaan mati ruhani itu. Atau lebih
senang berada dalam “kuburan
hawa-nafsunya”, setelah mendengar seruan
Ilahi itu mereka menyahut dengan penuh kemarahan: “Mengapakah orang
harus mengganggu jalan hidup kami yang tenang, dan menimbulkan keributan dan
kegelisahan di antara kami dengan mengajak kami mengikuti dia dan menganut cara
hidup baru?.”
Mengisyaratkan kepada
kenyataan itulah perkataan para pemuka kaum Madyan berikut ini terhadap missi kerasulan Nabi Syua’ib a.s. , firman-Nya:
وَ اِلٰی مَدۡیَنَ اَخَاہُمۡ شُعَیۡبًا ؕ قَالَ یٰقَوۡمِ اعۡبُدُوا اللّٰہَ مَا لَکُمۡ مِّنۡ اِلٰہٍ غَیۡرُہٗ ؕ وَ
لَا تَنۡقُصُوا الۡمِکۡیَالَ وَ الۡمِیۡزَانَ
اِنِّیۡۤ اَرٰىکُمۡ بِخَیۡرٍ وَّ اِنِّیۡۤ
اَخَافُ عَلَیۡکُمۡ عَذَابَ یَوۡمٍ مُّحِیۡطٍ ﴿ ﴾ وَ یٰقَوۡمِ اَوۡفُوا الۡمِکۡیَالَ وَ الۡمِیۡزَانَ
بِالۡقِسۡطِ وَ لَا تَبۡخَسُوا النَّاسَ اَشۡیَآءَہُمۡ وَ لَا تَعۡثَوۡا فِی
الۡاَرۡضِ مُفۡسِدِیۡنَ ﴿ ﴾ بَقِیَّتُ اللّٰہِ خَیۡرٌ
لَّکُمۡ اِنۡ کُنۡتُمۡ مُّؤۡمِنِیۡنَ ۬ۚ
وَ مَاۤ اَنَا عَلَیۡکُمۡ بِحَفِیۡظٍ ﴿ ﴾
Dan kepada Madyan Kami mengutus
saudara mereka Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sama sekali tidak
ada Tuhan bagi kamu yang bukan Dia, dan
janganlah kamu
mengurangi sukatan dan timbangan.
Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan baik, tetapi sesungguhnya aku khawatir atasmu azab hari yang
membinasakan. Dan hai kaumku, cukupkanlah sukatan dan timbangan dengan adil, dan janganlah
kamu merugikan manusia atas
barang-barang mereka, dan janganlah
kamu mengacau di bumi dengan berbuat
kerusakan. Apa yang disisakan
Allah itu lebih baik bagimu
jika kamu sungguh orang-orang yang
beriman, dan aku sama sekali bukanlah penjaga atasmu.” (Hūd
[11]:85-87)
Baqiyyah
yakni “apa yang disisakan Allah itu”di sini berarti kekayaan yang diperoleh dengan jalan halal
dan jujur serta sesuai dengan hukum-hukum Ilahi. Kata itu dapat pula berarti taufik dan kemampuan yang dikaruniakan
Allah Swt. Atas seruan Nabi Syu’aib a.s. tersebut para
pemuka kaumnya menjawab:
قَالُوۡا یٰشُعَیۡبُ اَصَلٰوتُکَ تَاۡمُرُکَ اَنۡ نَّتۡرُکَ مَا یَعۡبُدُ اٰبَآؤُنَاۤ اَوۡ اَنۡ نَّفۡعَلَ فِیۡۤ اَمۡوَالِنَا مَا نَشٰٓؤُاؕ
اِنَّکَ لَاَنۡتَ الۡحَلِیۡمُ الرَّشِیۡدُ ﴿ ﴾ قَالَ یٰقَوۡمِ اَرَءَیۡتُمۡ اِنۡ کُنۡتُ عَلٰی بَیِّنَۃٍ مِّنۡ رَّبِّیۡ وَ رَزَقَنِیۡ مِنۡہُ رِزۡقًا حَسَنًا ؕ وَ مَاۤ اُرِیۡدُ اَنۡ اُخَالِفَکُمۡ اِلٰی مَاۤ اَنۡہٰکُمۡ عَنۡہُ ؕ اِنۡ اُرِیۡدُ اِلَّا الۡاِصۡلَاحَ مَا اسۡتَطَعۡتُ ؕ وَ مَا
تَوۡفِیۡقِیۡۤ اِلَّا بِاللّٰہِ ؕعَلَیۡہِ تَوَکَّلۡتُ وَ اِلَیۡہِ اُنِیۡبُ ﴿ ﴾ وَ یٰقَوۡمِ لَا یَجۡرِمَنَّکُمۡ
شِقَاقِیۡۤ اَنۡ یُّصِیۡبَکُمۡ مِّثۡلُ مَاۤ اَصَابَ قَوۡمَ نُوۡحٍ اَوۡ قَوۡمَ ہُوۡدٍ اَوۡ قَوۡمَ صٰلِحٍ ؕ وَ مَا قَوۡمُ لُوۡطٍ مِّنۡکُمۡ بِبَعِیۡدٍ ﴿ ﴾
Mereka berkata:
“Hai Syu’aib, apakah shalat engkau menyuruh engkau supaya kami meninggalkan apa
yang disembah oleh bapak-bapak kami, atau
melarang kami berbuat apa yang
kami kehendaki berkenaan dengan harta
kami? Sesungguhnya engkau menganggap dirimu seorang penyantun lagi berbudi
baik.” Ia, Syu’aib, berkata:
“ Hai kaumku, bagaimana pandangan kamu jika aku berdiri atas suatu dalil yang nyata dari Tuhan-ku,
dan Dia
telah memberikan kepadaku dari sisi-Nya rezeki yang baik. Dan aku
sama sekali tidak menginginkan
berbuat terhadapmu kecuali mengenai apa yang kularang kamu mengerjakannya.
Aku tidak menginginkan kecuali hanya memperbaiki sejauh kemampuanku, dan tidak ada kemampuan padaku kecuali dengan karunia Allah, kepada Dia-lah aku bertawakal
dan kepada Dia-lah aku kembali. Dan hai kaumku, janganlah permusuhanmu terhadapku menyebabkan kamu berbuat dosa
lalu akan menimpa kamu seperti apa
yang telah menimpa kaum Nuh atau kaum
Hud atau kaum Shalih,
sedangkan kaum Luth pun tidak jauh darimu. (Hūd [11]:88-90).
Jadi, para pemuka kaum Madyan merasa terganggu dengan dakwah dan seruan Ilahi
yang disampaikan oleh Nabi Syu’aib a.s., dan para penentang Nabi Syu’aib a.s. curiga, bahwa beliau dengan mencegah (melarang) mereka dari perbuatan mereka yang curang, akan mencari jalan untuk memajukan usaha beliau sendiri. Nabi
Syu’aib a.s. melenyapkan
kekhawatiran mereka dengan kata-kata yang tersebut dalam ayat ini: “Hai kaumku, bagaimana pandangan kamu jika aku berdiri atas suatu dalil yang nyata dari Tuhan-ku, dan Dia
telah memberikan kepadaku dari sisi-Nya rezeki yang baik. ”
Hasutan Fir’aun &
Doa Takabur Abu Jahal
Demikian
pula halnya dengan Fir’aun dan para pemuka kaumnya, mereka pun merasa sangat
terganggu kemapanan hidup mereka di
Mesir oleh dakwah Nabi Musa a.s. dan
Nabi Harun a.s., firman-Nya:
فَتَنَازَعُوۡۤا اَمۡرَہُمۡ بَیۡنَہُمۡ وَ اَسَرُّوا
النَّجۡوٰی ﴿ ﴾ قَالُوۡۤا
اِنۡ ہٰذٰىنِ لَسٰحِرٰنِ یُرِیۡدٰنِ اَنۡ یُّخۡرِجٰکُمۡ مِّنۡ اَرۡضِکُمۡ بِسِحۡرِہِمَا وَ یَذۡہَبَا بِطَرِیۡقَتِکُمُ الۡمُثۡلٰی ﴿۶۳﴾ فَاَجۡمِعُوۡا
کَیۡدَکُمۡ ثُمَّ ائۡتُوۡا صَفًّا ۚ وَ قَدۡ اَفۡلَحَ
الۡیَوۡمَ مَنِ اسۡتَعۡلٰی
﴿ ﴾
Maka mereka mempertengkarkan perkara mereka di antara mereka dan menyembunyikan perundingan rahasianya.
Mereka berkata: "Sesungguhnya kedua
orang ini benar-benar tukang sihir yang hendak mengusir kamu dari
negerimu dengan sihir mereka berdua dan menghapuskan cara hidup kamu yang terbaik, maka himpunlah tipu-daya kamu kemudian datanglah
berbaris, dan sungguh akan berhasil siapa yang unggul pada
hari ini." (Thā Hā [20]:63-65).
Lihat pula QS.7:110-111; QS.26:35-36.
Thariqah
berarti, cara hidup; cita-cita; lembaga; adat istiadat (Lexicon Lane). Fir’aun dan para permuka kaumnya menyebut kehidupan yang mereka jalani sebagai thariqah,
tetapi Allah Swt. menyebutnya sebagai “kuburan” atau “tempat tidur” mereka, firman-Nya:
وَ
نُفِخَ فِی الصُّوۡرِ فَاِذَا ہُمۡ مِّنَ الۡاَجۡدَاثِ اِلٰی
رَبِّہِمۡ یَنۡسِلُوۡنَ ﴿ ﴾ قَالُوۡا یٰوَیۡلَنَا مَنۡۢ بَعَثَنَا مِنۡ
مَّرۡقَدِنَا ٜۘؐ ہٰذَا مَا
وَعَدَ الرَّحۡمٰنُ وَ صَدَقَ
الۡمُرۡسَلُوۡنَ ﴿ ﴾
Dan nafiri akan ditiup
maka tiba-tiba mereka akan segera keluar dari kuburan kepada Tuhan mereka.
Mereka akan berkata: ”Aduh celakalah kami! Siapakah yang telah
membangkitkan kami dari tempat tidur kami?” Inilah apa
yang telah dijanjikan Tuhan Yang Maha Pemurah, dan benarlah
rasul-rasul itu. (Yā
Sīn [36]:52-53).
Demikian pula missi suci Nabi Besar Muhammad saw. pun oleh para pemuka kaumnya –
Abu Jahal dkk. – sebagai pembuat
kerusakan, karena menurut mereka ajaran
Al-Quran yang beliau saw. sampaikan benar-benar membuat adat-istiadat jahiliyah bangsa Arab yang selama itu mereka jalani selama ribuan tahun menjadi porak-poranda.
Menurut Abu Jahal dkk. ajaran
Al-Quran telah memutuskan silaturahmi
kaumnya, karena telah memisahkan ayah
dari anak, memisahkan
suami dari istrinya serta memisahkan saudara dari saudaranya dll
(QS.3:29; 4:145; QS.9:16 &23; QS.58:23). Itulah sebabnya Abu Jahal telah memanjatkan doa buruk berikut ini pada Perang Badar,
firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالُوا اللّٰہُمَّ اِنۡ کَانَ ہٰذَا ہُوَ الۡحَقَّ مِنۡ عِنۡدِکَ
فَاَمۡطِرۡ عَلَیۡنَا حِجَارَۃً مِّنَ السَّمَآءِ اَوِ ائۡتِنَا بِعَذَابٍ
اَلِیۡمٍ ﴿﴾ وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُعَذِّبَہُمۡ وَ اَنۡتَ فِیۡہِمۡ ؕ وَ مَا کَانَ اللّٰہُ
مُعَذِّبَہُمۡ وَ ہُمۡ یَسۡتَغۡفِرُوۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika mereka berkata: “Ya Allah,
jika Al-Quran ini benar-benar kebenaran dari Engkau maka hujanilah kami dengan batu dari
langit atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.” Tetapi Allah sekali-kali tidak akan mengazab
mereka selama engkau berada di tengah-tengah mereka, dan Allah
sekali-kali tidak akan mengazab mereka sedangkan mereka meminta ampun. (Al-Anfāl [9]:33).
Rasul Allah Merupakan Benteng
Perlindungan dari Azab Ilahi
Kira-kira seperti kata-kata itu jugalah Abu
Jahal mendoa di medan perang Badar (Bukhari
— Kitab Tafsir). Doa itu dikabulkan secara harfiah. Abu Jahal bersama beberapa
pemimpin Quraisy yang lain, terbunuh dan ayat-ayat mereka dilemparkan ke dalam sebuah lubang.
Perhatikan doa yang dipanjatkan oleh Abu Jahal yang penuh ketakaburan
tersebut, seharusnya ia memohon rahmat
dan karunia Allah, atau memaohon ampunan Allah Swt. bukannya memohon agar ditimpa
azab Ilahi karena Allah Swt. telah berfirman “Allah sekali-kali tidak akan
mengazab mereka sedangkan mereka meminta ampun.”
Orang-orang Makkah mendapat hukuman setelah Nabi Besar Muhammad
saw. terpaksa hijrah meninggalkan Makkah
karena Abu Jahal dkk merencanakan makar buruk dan hendak membunuh beliau saw. (QS.8:31).
Rasul-rasul Allah berfungsi semacam perisai terhadap hukuman-hukuman (azab) dari langit.
(Bersambung).
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam
Farid
***
“Pajajaran Anyar”, 16 September 2012
Ki Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar