بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN
Bab 68
Mengembalikan "Iman" dari Bintang Tsurayya
Mengembalikan "Iman" dari Bintang Tsurayya
Oleh
Ki Langlang Buana
Kusuma
Dalam bagian
akhir Bab sebelum ini telah dijelaskan mengenai masalah ruh manusia, firman-Nya:
وَ یَسۡـَٔلُوۡنَکَ عَنِ الرُّوۡحِ ؕ قُلِ الرُّوۡحُ
مِنۡ اَمۡرِ رَبِّیۡ وَ مَاۤ اُوۡتِیۡتُمۡ مِّنَ الۡعِلۡمِ اِلَّا قَلِیۡلًا ﴿﴾
Dan mereka bertanya kepada engkau mengenai ruh, katakanlah: “Ruh telah diciptakan atas perintah Tuhan-ku, dan kamu sama sekali tidak
diberi ilmu tentang itu melainkan sedikit.” (Bani Israil [17]:86).
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa dalam
masa kemunduran dan kejatuhan ruhani mereka, nampaknya orang-orang
Yahudi asyik berkecimpung dalam kebiasaan-kebiasaan ilmu klenik (occult), seperti halnya banyak ahli kebatinan modern, para pengikut gerakan teosofi dan yogi-yogi
Hindu. Nampaknya di masa Nabi Besar Muhammad saw. pun beberapa orang Yahudi di Madinah telah menempuh
cara-cara kebiasaan semacam itu.
Itulah sebabnya mengapa ketika orang-orang musyrik Makkah mencari bantuan orang-orang Yahudi untuk membungkam Nabi Besar Muhammad saw. mereka
memberi saran supaya orang-orang musyrik Makkah itu menanyakan kepada beliau saw.
hakikat ruh manusia.
Dalam ayat yang sedang dibahas ini Al-Quran menjawab pertanyaan mereka
dengan mengatakan bahwa ruh memperoleh daya kekuatannya dari perintah
Ilahi, dan apa pun yang menurut kepercayaan
orang dapat diperoleh dengan perantaraan apa yang dikatakan latihan-latihan batin (olah batin) dan ilmu sihir, adalah semata-mata tipuan dan omong-kosong belaka, sebab sebagaimana yang menciptakan ruh manusia adalah Allah Swt. (QS.23:15), demikian pula
yang memiliki kekuasaan untuk mencabut
dan mengembalikan ruh Al-Quran adalah Allah Swt., manusia sama sekali tidak
memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut, sebagai firman-Nya: “kamu
sama sekali tidak diberi ilmu tentang itu melainkan sedikit.”
Menurut riwayat pertanyaan-pertanyaan mengenai
sifat ruh manusia pertama-tama diajukan
kepada Nabi Besar Muhammad saw. di kota
Makkah oleh orang-orang Quraisy dan kemudian menurut ‘Abdullah bin Mas’ud r.a.
— oleh orang-orang Yahudi di Madinah.
Di sini ruh
disebut sesuatu yang diciptakan atas perintah
langsung dari Tuhan. Menurut Al-Quran semua penciptaan terdiri dari dua jenis: (1) Kejadian permulaan yang
dilaksanakan tanpa mempergunakan zat atau benda yang telah diciptakan sebelumnya. (2) Kejadian selanjutnya
yang dilaksanakan dengan mempergunakan sarana dan benda yang telah diciptakan
sebelumnya.
Kejadian macam pertama termasuk
jenis amr (arti harfiahnya ialah perintah – kun fayakun), yang untuk itu lihat QS.2:118, dan yang terakhir
disebut khalq (arti harfiahnya ialah menciptakan). Ruh manusia termasuk jenis penciptaan pertama, yakni “kun fayakun” (Jadilah, maka terjadi),
atau melalui “peniupan ruh” dari
Allah Swt. (QS.15:30; QS.38:73). Kata ruh
itu berarti pula wahyu Ilahi (Lexicon Lane)
atau wahyu Al-Quran (QS.42:52-54).
Letaknya kata ini di sini agaknya mendukung arti demikian.
Pencabutan Kembali “Ruh Al-Quran”
Setelah menyinggung masalah ruh manusia, selanjutnya Allah Swt. berfirman
mengenai ruh Al-Quran:
وَ لَئِنۡ شِئۡنَا لَنَذۡہَبَنَّ بِالَّذِیۡۤ اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَکَ
بِہٖ عَلَیۡنَا وَکِیۡلًا ﴿ۙ ﴾ اِلَّا رَحۡمَۃً
مِّنۡ رَّبِّکَ ؕ اِنَّ فَضۡلَہٗ کَانَ عَلَیۡکَ کَبِیۡرًا﴿ ﴾ قُلۡ لَّئِنِ اجۡتَمَعَتِ الۡاِنۡسُ وَ الۡجِنُّ
عَلٰۤی اَنۡ یَّاۡتُوۡا بِمِثۡلِ ہٰذَا الۡقُرۡاٰنِ لَا یَاۡتُوۡنَ بِمِثۡلِہٖ وَ لَوۡ
کَانَ بَعۡضُہُمۡ لِبَعۡضٍ ظَہِیۡرًا ﴿ ﴾
Dan
jika Kami benar-benar menghendaki,
niscaya Kami mengambil kembali apa yang telah Kami wahyukan kepada engkau
dan kemudian engkau tidak akan memperoleh penjaga baginya terhadap Kami dalam hal itu. Kecuali karena rahmat dari Tuhan engkau, sesungguhnya karunia-Nya sangat besar kepada engkau. Katakanlah: “Jika manusia
dan jin benar-benar berhimpun
untuk mendatangkan yang semisal Al-Quran ini, mereka tidak akan sanggup mendatangkan yang sama seperti ini, walaupun sebagian
mereka membantu sebagian yang lain.” (Bani Israil [17]:87-89).
Ayat 87
--
“niscaya Kami mengambil kembali apa yang telah Kami wahyukan kepada engkau” -- nampaknya mengandung nubuatan bahwa akan datang suatu saat ketika ilmu Al-Quran akan lenyap dari bumi
atau dari umat Islam. Nubuatan Nabi
Besar Muhammad saw. serupa itu telah diriwayatkan oleh Mardawaih, Baihaqi, dan
Ibn Majah, ketika ruh dan jiwa ajaran Al-Quran akan hilang lenyap dari bumi, dan semua orang yang dikenal sebagai ahli-ahli mistik dan para sufi yang mengakui memiliki kekuatan batin istimewa — seperti pula
diakui oleh segolongan orang-orang Yahudi
dahulu kala yang sifatnya serupa dengan mereka — tidak akan berhasil
mengembalikan jiwa ajaran Al-Quran
dengan usaha mereka bersama-sama.
Tantangan ini pertama-tama diajukan kepada
mereka yang berkecimpung dalam kebiasaan-kebiasaan klenik, supaya mereka meminta pertolongan ruh-ruh gaib, yang darinya orang-orang ahli kebatinan itu — menurut
pengakuannya sendiri — menerima ilmu
ruhani. Tantangan ini berlaku pula untuk semua orang yang menolak Al-Quran bersumber pada Allah Swt. dan merupakan Kitab suci untuk sepanjang masa.
“Kaum Âkharīn”
Sehubungan
dengan penarikan kembali “ruh Al-Quran” tersebut (QS.32:6 & QS17:87-89)
tersebut, dalam hadits lain Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan pernah menyebutnya iman
akan terbang ke Bintang Tsuraya, dan
yang akan membawanya kembali turun bukan
dari kalangan bangsa Arab, melainkan seseorang
dari keturunan Parsi akan
mengembalikannya ke bumi (Bukhari,
Kitab-ut-Tafsir). Hadits tersebut berhubungan “kaum ākharīn” dalam
firman Allah Swt. mengenai dua kali pengutusan Nabi Besar Muhammad saw.,
firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡ
بَعَثَ فِی الۡاُمِّیّٖنَ رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِہٖ
وَ یُزَکِّیۡہِمۡ وَ یُعَلِّمُہُمُ
الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ
لَفِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ۙ﴿ ﴾ وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿ ﴾ ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ
یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ
ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿ ﴾
Dia-lah Yang
telah membangkitkan di kalangan bangsa
yang buta huruf seorang rasul dari antara me-reka, yang
membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya,
mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah walaupun
sebelumnya mereka berada dalam kesesatan
yang nyata; dan juga akan membangkitkan-nya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha
Perkasa, Maha Bijaksana. Itulah karunia
Allah, Dia meng-anugerahkannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allāh
mempunyai karunia yang besar. (Al-Jumu’ah [62]:3).
Tugas suci Nabi Besar Muhammad saw. meliputi penunaian keempat macam kewajiban mulia yang disebut dalam ayat
ini. Tugas agung dan mulia itulah yang dipercayakan kepada beliau saw., sebab
untuk kedatangan beliau saw. di tengah-tengah orang-orang Arab buta huruf itu
leluhur beliau, Nabi Ibrahim a.s. telah
memanjatkan doa beberapa ribu tahun yang lampau ketika dengan disertai
putranya, Nabi Isma’il a.s., beliau
mendirikan dasar (pondasi) Ka’bah (QS.2:128-130).
Pada hakikatnya tidak
ada Pembaharu dapat benar-benar
berhasil dalam misinya bila ia tidak menyiapkan dengan contoh mulia dan quat-qudsiahnya
(daya pensuciannya), suatu jemaat yang pengikut-pengikutnya terdiri dari
orang-orang mukhlis, patuh, dan bertakwa, yang kepada mereka itu mula-mula mengajarkan cita-cita dan asas-asas ajarannya serta mengajarkan falsafah, arti, dan
kepentingan cita-cita dan asas-asas ajarannya itu, kemudian mengirimkan
pengikut-pengikutnya ke luar negeri untuk mendakwahkan
ajaran itu kepada bangsa lain.
Didikan yang Nabi Besar Muhammad saw. berikan kepada para pengikut beliau saw. memperluas dan mempertajam kecerdasan mereka, dan falsafah ajaran beliau menimbulkan dalam diri mereka keyakinan iman, sedangkan contoh mulia beliau saw. menciptakan di
dalam diri mereka kesucian hati.
Kenyataan-dasar agama itulah yang diisyaratkan oleh ayat ini. Selanjutnya Allah
Swt. berfirman:
وَّ
اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا
بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿ ﴾
Dan juga akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha
Bijaksana. (Al-Jumu’ah [62]:4).
Makna ayat tersebut adalah bahwa ajaran Nabi Besar Muhammad saw. ditujukan bukan kepada bangsa Arab belaka -- yang di
tengah-tengah bangsa itu beliau saw. dibangkitkan
-- melainkan kepada seluruh bangsa bukan-Arab
juga, dan bukan hanya kepada orang-orang sezaman
beliau saw., melainkan juga kepada keturunan (generasi) demi keturunan manusia
yang akan datang hingga kiamat.
Atau ayat ini dapat juga
berarti bahwa Nabi Besar Muhammad saw.
akan dibangkitkan
lagi di antara kaum yang belum pernah
tergabung dalam para pengikut semasa hidup beliau saw.. Isyarat di dalam
ayat ini dan di dalam hadits Nabi saw. yang termasyhur, tertuju kepada
pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. untuk kedua kali dalam wujud Al-Masih
Mau’ud a.s., di Akhir
Zaman.
Salman Al-Farsi r.a.
Abu Hurairah r.a. berkata: “Pada suatu hari kami sedang
duduk-duduk bersama Rasulullah saw.
ketika Surah Jumu’ah diturunkan. Saya minta keterangan kepada beliau
saw.: “Siapakah yang diisyaratkan oleh kata-kata Dan Dia akan membangkitkannya pada kaum
lain dari antara mereka yang belum bertemu dengan mereka?” Saat itu Salman
al-Farsi (Salman asal Parsi) sedang duduk di antara kami.
Setelah saya berulang-ulang mengajukan pertanyaan itu, Rasulullah
saw. meletakkan tangan beliau pada Salman
dan bersabda: “Bila iman telah terbang ke
Bintang Tsuraya, seorang lelaki dari mereka ini pasti akan menemukannya.” (Bukhari).
Hadits Nabi saw. ini menunjukkan bahwa ayat ini dikenakan kepada seorang lelaki
dari keturunan Parsi. Al-Masih Mau’ud a.s., pendiri Jemaat
Ahmadiyah, adalah dari keturunan Parsi.
Hadits Nabi saw.. lainnya
menyebutkan kedatangan Al-Masih pada
saat ketika tidak ada yang tertinggal di dalam Al-Quran kecuali kata-katanya,
dan tidak ada yang tertinggal di dalam Islam
selain namanya, yaitu, jiwa ajaran Islam yang sejati akan lenyap (Baihaqi). Jadi, Al-Quran dan
hadits kedua-duanya sepakat bahwa ayat ini menunjuk kepada kedatangan kedua kali Nabi Besar Muhammad saw. dalam wujud Al-Masih
Mau’ud a.s. atau misal Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58).
Menurut Allah Swt. semua
itu terjadi adalah semata-mata fadhal
(karunia) Allah Swt., firman-Nya:
ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ
اللّٰہُ ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿ ﴾
Itulah karunia Allah, Dia menganugerahkannya kepada siapa
yang Dia kehendaki. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al-Jumu’ah [62]:5).
Atau merupakan “rahmat-Nya”, sebagaimana firman-Nya sebelum ini mengenai “pencabutan ruh” Al-Quran”:
وَ لَئِنۡ شِئۡنَا لَنَذۡہَبَنَّ بِالَّذِیۡۤ اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَکَ
بِہٖ عَلَیۡنَا وَکِیۡلًا ﴿ۙ ﴾ اِلَّا رَحۡمَۃً
مِّنۡ رَّبِّکَ ؕ اِنَّ فَضۡلَہٗ کَانَ عَلَیۡکَ کَبِیۡرًا﴿ ﴾ قُلۡ لَّئِنِ اجۡتَمَعَتِ الۡاِنۡسُ وَ الۡجِنُّ
عَلٰۤی اَنۡ یَّاۡتُوۡا بِمِثۡلِ ہٰذَا الۡقُرۡاٰنِ لَا یَاۡتُوۡنَ بِمِثۡلِہٖ وَ لَوۡ
کَانَ بَعۡضُہُمۡ لِبَعۡضٍ ظَہِیۡرًا ﴿ ﴾
Dan
jika Kami benar-benar menghendaki,
niscaya Kami mengambil kembali apa yang telah Kami wahyukan kepada engkau
dan kemudian engkau tidak akan memperoleh penjaga baginya terhadap Kami dalam hal itu. Kecuali karena rahmat dari Tuhan engkau, sesungguhnya karunia-Nya sangat besar kepada engkau. Katakanlah: “Jika manusia
dan jin benar-benar berhimpun
untuk mendatangkan yang semisal Al-Quran ini, mereka tidak akan sanggup mendatangkan yang sama seperti ini, walaupun sebagian
mereka membantu sebagian yang lain.” (Bani Israil [17]:87-89).
Ya, karena di Akhir Zaman ini, Mirza
Ghulam Ahmad a.s. atau Al-Masih Mau’ud a.s., adalah pengikut sejati Nabi Besar Muhmmad
saw., yang dengan karunia Allah Swt. telah memasuki tingkat ruhani
Maryam binti ‘Imran dan tingkat ruhani Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.66:12-13), karena itu
dengan perantaraan beliau itulah
Allah Swt. berkenan mengembalikan lagi “ruh” Al-Quran
dari “Bintang Tsurayya”, tidak
melalui ahli-ahli kebatinan mau pun
mereka yang menggeluti dunia sufisme yang sudah melantur dari ajaran asli para Sufi yang hakiki , sebagaimana yang diamalkan dan diajarkan oleh para Sufi besar
seperti Imam Ghazali, Syekh Abdul
Qadir Al-Jailani, Ibnu Arabi dll.
Demikianlah penjelasan mengenai makna “apabila matahari digulung” dan
pengembalian kembali “cahaya matahari”
Al-Quran oleh Al-Masih Akhir Zaman,
yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s.,
firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿۱﴾ اِذَا الشَّمۡسُ کُوِّرَتۡ ۪ۙ﴿۱﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Apabila matahari digulung, (Al-Takwir
[81]:1-2)
(Bersambung).
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam
Farid
***
“Pajajaran Anyar”, 10 September 2012
Ki Langlang Buana Kusuma
Goblok... Ahmadiyah itu sesat....
BalasHapus