بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN
JANTUNG AL-QURAN
Bab 64
Persamaan Tatanan Alam Semesta dan
Pemerintahan Nabi Besar Muhammad Saw.
Oleh
Ki Langlang
Buana Kusuma
Dalam Bab
sebelum ini telah dijelaskan mengenai Surah Yā
Sīn berikut ini sehubungan
tatanan alam semesta, khususnya mengenai
matahari dan bulan, firman-Nya:
وَ اٰیَۃٌ لَّہُمُ
الَّیۡلُ ۚۖ نَسۡلَخُ مِنۡہُ النَّہَارَ فَاِذَا
ہُمۡ مُّظۡلِمُوۡنَ ﴿ۙ ﴾ وَ الشَّمۡسُ تَجۡرِیۡ
لِمُسۡتَقَرٍّ لَّہَا ؕ ذٰلِکَ تَقۡدِیۡرُ
الۡعَزِیۡزِ الۡعَلِیۡمِ ﴿ؕ ﴾ وَ الۡقَمَرَ قَدَّرۡنٰہُ مَنَازِلَ حَتّٰی عَادَ کَالۡعُرۡجُوۡنِ الۡقَدِیۡمِ ﴿ ﴾ لَا الشَّمۡسُ یَنۡۢبَغِیۡ لَہَاۤ اَنۡ تُدۡرِکَ
الۡقَمَرَ وَ لَا الَّیۡلُ سَابِقُ
النَّہَارِ ؕ وَ کُلٌّ فِیۡ فَلَکٍ یَّسۡبَحُوۡنَ ﴿ ﴾
Dan suatu Tanda bagi mereka adalah malam, darinya siang hari Kami tanggalkan maka tiba-tiba mereka berada dalam kegelapan.
Dan matahari beredar ke arah tujuan yang telah ditetapkan baginya,
demikian itulah takdir Tuhan Yang
Maha Perkasa, Maha Mengetahui. Dan bagi bulan telah Kami tetapkan tingkat-tingkatnya,
sehingga ia kembali lagi seperti bentuk tandan
korma yang tua. Matahari tidak kuasa menyusul bulan, dan tidak pula malam mendahului siang. Dan semua itu terus beredar pada tempat
peredarannya. (Yā Sīn [36]:38-41).
Jadi, sebagaimana di kalangan Bani Israil silsilah syariat dimulai dengan Nabi Musa a.s.
sebagai "matahari ruhani" dan diakhiri oleh Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. atau Al-Masih
sebagai "bulan ruhaninya", hal yang sama terjadi pula di
kalangan Bani Isma’il atau umat
Islam, yakni Nabi Besar Muhammad saw. atau misal Musa (Ulangan
18:18-19; QS.46:11) berkedudukan sebagai "matahari ruhani",
dan Al-Masih Mau'ud a.s. atau misal Isa Ibnu Maryam a.s.
(QS.43:58) berkedudukan sebagai "bulan ruhani".
Matahari Alam Semesta Ruhani
Namun perlu diketahui, bahwa kedudukan
Nabi Musa a.s. sebagai “matahari ruhani” terbatas hanya untuk kalangan Bani
Israil saja, sedang Nabi Besar Muhammad saw. adalah “matahari ruhani” untuk seluruh
umat manusia (QS.7:159; QS.21:108; QS.25:2; QS.34:29), termasuk juga untuk Bani Israil, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ
اِنَّاۤ اَرۡسَلۡنٰکَ شَاہِدًا وَّ
مُبَشِّرًا وَّ نَذِیۡرًا ﴿ۙ﴾ وَّ
دَاعِیًا اِلَی اللّٰہِ بِاِذۡنِہٖ وَ
سِرَاجًا مُّنِیۡرًا ﴿﴾ وَ بَشِّرِ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ بِاَنَّ لَہُمۡ مِّنَ
اللّٰہِ فَضۡلًا کَبِیۡرًا ﴿﴾
Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan
sebagai penyeru kepada Allah
dengan perintah-Nya, dan juga sebagai
matahari yang memancarkan cahaya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang beriman bahwa sesungguhnya bagi mereka ada karunia yang besar dari Allah. (Al-Ahzab
[33]:46-48).
Sebagaimana matahari merupakan titik-pusat alam semesta lahiriah, begitulah pribadi Nabi Besar
Muhammad saw. pun merupakan titik-pusat alam keruhanian. Beliau
merupakan matahari dalam jumantara nabi-nabi dan mujaddid-mujaddid, yang seperti sekalian banyak bintang dan bulan berkeliling di sekitar beliau saw. dan meminjam cahaya dari beliau saw. Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan
pernah bersabda: “Sahabat-sahabatku
adalah bagaikan bintang-bintang yang begitu banyak; siapa pun di antara mereka
kamu ikut, kamu akan mendapat petunjuk” (Shaghir).
“Tiang Penunjang” tatanan Alam Semesta Jasmani
yang Tidak Kelihatan & ‘Arasy (Singgasana) Ilahi
Jadi, Nabi Besar Muhammad saw.
benar-benar Yā Sīn (Pemimpin
Sempurna) atau matahari alam semesta ruhani yang hakiki, yang di sekitar beliau saw. beredar seluruh hamba-hamba Allah Swt. atau wujud-wujud ruhani hakiki, bagaikan
beredarnya seluruh bagian alam semesta ini – mulai dari partikel yang terkecil hingga gugusan benda-benda langit terbesar -- di sekitar di sekitar titik pusat alam semesta, sehingga
tercipta tatanan alam semesta, yang
sekali pun tidak ditunjang dengan tiang-tiang penunjang yang kelihatan
oleh mata jasmani, namun struktur bangunan alam semesta eksis dengan
segala aktifitasnya yang sangat menakjubkan, firman-Nya:
اَللّٰہُ
الَّذِیۡ رَفَعَ السَّمٰوٰتِ بِغَیۡرِ عَمَدٍ تَرَوۡنَہَا ثُمَّ اسۡتَوٰی عَلَی الۡعَرۡشِ وَ سَخَّرَ الشَّمۡسَ
وَ الۡقَمَرَ ؕ کُلٌّ یَّجۡرِیۡ لِاَجَلٍ مُّسَمًّی ؕ یُدَبِّرُ الۡاَمۡرَ
یُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ بِلِقَآءِ رَبِّکُمۡ تُوۡقِنُوۡنَ ﴿﴾
Allah, Dia-lah Yang telah meninggikan seluruh
langit tanpa suatu tiang pun yang kamu melihatnya, kemudian Dia
bersemayam di atas ‘Arasy. Dan Dia telah menundukkan bagi kamu
matahari dan bulan, masing-masing beredar menurut arah
perjalanannya hingga suatu masa yang telah ditetapkan. Dia mengatur segala urusan dan Dia menjelaskan Tanda-tanda itu, supaya kamu berkeyakinan
teguh mengenai pertemuan dengan Tuhan-mu. (Al-Ra’d [13]:3). Lihat
pula QS.31:11.
Kata-kata itu berarti: (1) Kamu melihat bahwa seluruh langit berdiri tanpa
tiang-tiang; (2) bahwa seluruh langit berdiri tidak atas tiang-tiang
yang dapat kamu lihat; artinya, seluruh langit itu mempunyai pendukung, tetapi kamu tidak dapat melihatnya. Secara
harfiah ayat itu berarti bahwa seluruh
langit berdiri tanpa ditunjang oleh tiang-tiang.
Secara kiasan ayat itu berarti, bahwa seluruh langit atau benda-benda langit memang memerlukan penopang, tetapi penopang-penopang
itu tidak nampak kepada mata manusia, umpamanya daya tarik (daya gravitasi) atau tenaga magnetis atau gerakan-gerakan
khusus planit-planit atau cara-cara lain, yang ilmu pengetahuan telah
menemukannya hingga saat ini atau yang mungkin akan ditemukan lagi di hari
depan.
Kata ‘Arsy (singgasana) telah dipakai
dalam Al-Quran untuk menyatakan proses membawa hukum-hukum ruhani atau jasmani
kepada kesempurnaannya. Peng-gunaan ungkapan itu selaras dengan kebiasaan
raja-raja dunia. Mereka itu menyatakan proklamasi-proklamasi
penting “dari singgasana”.
Pada hakikatnya para rasul
Allah pembawa syariat
berkedudukan juga sebagai raja
pemerintahan (kerajaan) jasmani juga, contohnya
Nabi Musa a.s. di kalangan Bani Israil,
dan Nabi Besar Muhammad saw. di kalangan
Bani Isma’il. Di kalangan Bani Israil, rasul Allah setelah Nabi Musa a.s.yang
juga sebagai raja adalah Nabi Daud a.s.
dan Nabi Sulaiman a.s., keduanya
mengelola wilayah kerajaan Bani Israil
yang sangat luas dari dalam istana
atau dari atas singgasana kerajaan.
Berbeda dengan keadaan di
lingkungan Bani Israil – teruatama di
masa pemerintahan Nabi Daud a.s. dan
Nabi Sulaiman a.s. -- Nabi Besar
Muhammad saw. dan para Khalifah Rasyidin, melaksanakan tugasnya
sebagai pemimpin ruhani dan pemimpin jasmani (raja) dari dalam
sebuah mesjid di Madinah, yang keadaannya sangat sederhana --
yakni mesjid nabi (nabawi) -- yang
dibangun atas perintah Nabi Besar
Muhammad saw., sesampainya beliau saw.
di Madinah setelah hijrah dari Makkah
(QS.9:40).
“Tiang-tiang Penunjang Kerajaan” Nabi Besar Muhammad saw.
Adalah Ketakwaan dan Ketaatan Sempurna Umat Islam
Jadi, betapa wilayah kekuasaan kerajaan umat Islam di zaman Nabi Besar Muhammad saw. sampai dengan
para Khalifah Rasyidah – yang pusat pemerintahannya berada di dalam
sebuah mesjid yang sangat sederhana
-- memiliki perasamaan dengan tatanan atau bangunan alam semesta yang ditunjang dengan “tiang-tiang penopang” yang tidak
kelihatan oleh mata (QS.13:3; QS.31:11), yaitu “tiang-tiang penunjang”
berupa ketakwaan kepada Allah Swt. dan ketaatan sepenuhnya kepada Rasul Allah (Nabi Besar Muhammad saw.)
dan para Khalifah Rasyidah, firman-Nya:
اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُکُمۡ اَنۡ تُؤَدُّوا الۡاَمٰنٰتِ
اِلٰۤی اَہۡلِہَا ۙ وَ اِذَا حَکَمۡتُمۡ بَیۡنَ النَّاسِ اَنۡ تَحۡکُمُوۡا
بِالۡعَدۡلِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ نِعِمَّا یَعِظُکُمۡ بِہٖ ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ
سَمِیۡعًۢا بَصِیۡرًا ﴿﴾
Sesungguhnya
Allah memerintahkan kamu menyerahkan amanat-amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menghakimi di antara
manusia hendaklah kamu menghakimi dengan
adil, sesungguhnya dengan itu Allah menasihati kamu sebaik-baiknya,
sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Me-lihat. (Al-Nisā [4]:59).
“Allah Swt.” dan “Sunnah Rasul
Saw.” adalah
Rujukan Hukum Tertinggi
Wewenang
atau kekuasaan memerintah telah
dilukiskan di dalam ayat ini sebagai
amanat rakyat guna menunjukkan, bahwa kekuasaan
itu hak rakyat dan bukan hak bawaan lahir satu individu
atau suatu wangsa (keluarga
raja-raja). Al-Quran tidak menyetujui pemerintahan
dinasti (wangsa) atau secara
turun-temurun, dan sebagai gantinya adalah mengadakan pemerintahan perwakilan.
Kepala pemerintahan harus dipilih, dan dalam memilihnya rakyat diperintahkan supaya memberi suara bagi orang yang paling cocok untuk jabatan
itu. Kepala
negara Islam, begitu pula semua orang yang dipercayakan memikul tugas
menatalaksana pemerintahan diharuskan
menggunakan kekuasaan secara adil dan
baik. Lebih lanjut Allah Swt. berfirman:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَطِیۡعُوا اللّٰہَ وَ اَطِیۡعُوا
الرَّسُوۡلَ وَ اُولِی الۡاَمۡرِ مِنۡکُمۡ ۚ فَاِنۡ تَنَازَعۡتُمۡ فِیۡ شَیۡءٍ
فَرُدُّوۡہُ اِلَی اللّٰہِ وَ الرَّسُوۡلِ
اِنۡ کُنۡتُمۡ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ وَ الۡیَوۡمِ الۡاٰخِرِ ؕ ذٰلِکَ
خَیۡرٌ وَّ اَحۡسَنُ تَاۡوِیۡلًا ﴿٪﴾
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah
Rasul-Nya dan juga taatilah orang-orang
yang memegang kekuasaan di antara kamu. Dan jika kamu saling berselisih mengenai sesuatu maka kembalikanlah
hal itu kepada keputusan Allah
dan Rasul-Nya, jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, hal demikian itu paling baik dan paling bagus
akibatnya. (Al-Nisā [4]:59-60).
Kata “taat” yang
terletak sebelum kata-kata “Allah” dan “Rasul”, telah ditiadakan sebelum
perkataan orang-orang yang memegang kekuasaan, agar menunjukkan bahwa ketaatan sepenuh-penuhnya kepada penguasa yang diangkat menurut undang-undang, berarti pula taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Perintah yang terkandung dalam
kata-kata “kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul-Nya” dapat
ditujukan kepada sengketa antara penguasa-penguasa dan rakyatnya, atau kepada orang-orang di
antara rakyat itu sendiri. Jika ditujukan kepada keadaan yang pertama maka maksudnya ialah, seandainya ada suatu perkara yang mengenainya timbul ketidaksepakatan antara penguasa-penguasa dan rakyat, maka hal itu hendaknya diputuskan menurut ajaran Al-Quran, dan jika Al-Quran
diam mengenai hal itu maka hendaknya
menuruti sunah dan hadits. Akan tetapi apabila Al-Quran, sunah, dan hadits diam
mengenai masalah itu, hendaknya
diserahkan kepada orang-orang yang diberi
wewenang mengurusi perkara-perkara
kaum Muslimin.
Nampaknya ayat itu menunjuk kepada hal-hal yang khusus berhubungan dengan perkara-perkara kenegaraan. Dalam hal
ini yang menjadi dasar perintah
itu adalah bahwa segala ketaatan
kepada penguasa itu harus tunduk
kepada ketaatan terhadap Allah Swt. dan Rasul-Nya.
Tetapi apabila ada perbedaan paham dan sengketa mengenai urusan kemasyarakatan
dan sebagainya yang nampaknya disinggung dengan kata-kata jika kamu saling
berselisih, kaum Muslimin harus dibimbing
oleh hukum syariat Islam dan bukan
oleh hukum yang lain.
(Bersambung).
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
“Pajajaran
Anyar”, 6 September 2012
Ki Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar