Rabu, 05 September 2012

Persamaan Tatanan Alam Semesta dan Pemerintahan Nabi Besar Muhammad Saw.



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


  SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN

Bab 64

Persamaan Tatanan Alam Semesta dan 
Pemerintahan Nabi Besar Muhammad Saw.   

 Oleh
                                                                                
Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam Bab sebelum ini telah dijelaskan mengenai  Surah Yā Sīn   berikut ini sehubungan tatanan  alam semesta, khususnya mengenai matahari dan bulan, firman-Nya: 
وَ اٰیَۃٌ  لَّہُمُ الَّیۡلُ ۚۖ نَسۡلَخُ مِنۡہُ النَّہَارَ  فَاِذَا ہُمۡ  مُّظۡلِمُوۡنَ ﴿ۙ ﴾   وَ الشَّمۡسُ تَجۡرِیۡ لِمُسۡتَقَرٍّ  لَّہَا ؕ ذٰلِکَ تَقۡدِیۡرُ  الۡعَزِیۡزِ  الۡعَلِیۡمِ ﴿ؕ ﴾   وَ الۡقَمَرَ قَدَّرۡنٰہُ  مَنَازِلَ حَتّٰی عَادَ کَالۡعُرۡجُوۡنِ  الۡقَدِیۡمِ ﴿ ﴾   لَا الشَّمۡسُ یَنۡۢبَغِیۡ لَہَاۤ اَنۡ تُدۡرِکَ الۡقَمَرَ  وَ لَا الَّیۡلُ سَابِقُ النَّہَارِ ؕ وَ کُلٌّ فِیۡ  فَلَکٍ  یَّسۡبَحُوۡنَ ﴿ ﴾
Dan suatu Tanda bagi mereka adalah malam, darinya siang hari Kami tanggalkan maka tiba-tiba mereka berada dalam kegelapan. Dan matahari beredar ke arah tujuan yang telah ditetapkan baginya, demikian itulah takdir Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha MengetahuiDan bagi bulan telah Kami tetapkan tingkat-tingkatnya, sehingga ia kembali lagi seperti bentuk tandan korma yang tua. Matahari tidak kuasa menyusul bulan,  dan tidak pula malam mendahului siang.  Dan semua itu terus beredar pada tempat peredarannya.  (Yā Sīn [36]:38-41).
       Jadi, sebagaimana di kalangan Bani Israil silsilah syariat dimulai dengan Nabi Musa a.s. sebagai "matahari ruhani"   dan diakhiri  oleh  Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  atau Al-Masih sebagai "bulan ruhaninya",  hal yang sama terjadi pula di kalangan Bani Isma’il atau umat Islam, yakni Nabi Besar Muhammad saw.  atau misal Musa (Ulangan 18:18-19; QS.46:11) berkedudukan sebagai "matahari ruhani", dan Al-Masih Mau'ud a.s. atau misal Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58) berkedudukan sebagai "bulan ruhani". 

Matahari Alam Semesta Ruhani

      Namun perlu diketahui, bahwa kedudukan Nabi Musa a.s. sebagai “matahari ruhani  terbatas hanya untuk   kalangan Bani Israil saja, sedang Nabi Besar Muhammad saw. adalah “matahari ruhani” untuk seluruh umat manusia (QS.7:159; QS.21:108; QS.25:2; QS.34:29),  termasuk juga untuk Bani Israil, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ  اِنَّاۤ  اَرۡسَلۡنٰکَ شَاہِدًا وَّ مُبَشِّرًا وَّ  نَذِیۡرًا ﴿ۙ﴾ وَّ دَاعِیًا اِلَی اللّٰہِ  بِاِذۡنِہٖ وَ سِرَاجًا مُّنِیۡرًا ﴿﴾   وَ بَشِّرِ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ بِاَنَّ لَہُمۡ مِّنَ اللّٰہِ فَضۡلًا کَبِیۡرًا ﴿﴾
Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatanDan  sebagai penyeru kepada Allah dengan perintah-Nya, dan juga sebagai matahari yang memancarkan cahaya.  Dan berilah kabar gembira  kepada orang-orang beriman  bahwa sesungguhnya bagi mereka ada karunia yang besar dari Allah. (Al-Ahzab [33]:46-48).
       Sebagaimana matahari merupakan titik-pusat alam semesta lahiriah, begitulah pribadi Nabi Besar Muhammad saw.  pun merupakan titik-pusat alam keruhanian. Beliau merupakan matahari dalam jumantara nabi-nabi dan mujaddid-mujaddid, yang seperti sekalian banyak bintang dan bulan berkeliling di sekitar beliau saw. dan meminjam cahaya dari beliau saw. Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan pernah bersabda: “Sahabat-sahabatku adalah bagaikan bintang-bintang yang begitu banyak; siapa pun di antara mereka kamu ikut, kamu akan mendapat petunjuk” (Shaghir).

“Tiang Penunjang”   tatanan Alam Semesta Jasmani
yang Tidak Kelihatan & ‘Arasy (Singgasana) Ilahi

         Jadi, Nabi Besar Muhammad saw. benar-benar Yā Sīn (Pemimpin Sempurna) atau matahari alam semesta ruhani yang hakiki,  yang di sekitar beliau saw. beredar seluruh hamba-hamba Allah Swt.  atau  wujud-wujud ruhani hakiki, bagaikan beredarnya seluruh bagian alam semesta ini – mulai dari partikel yang terkecil hingga gugusan benda-benda langit terbesar -- di sekitar di sekitar titik pusat alam semesta, sehingga tercipta tatanan alam semesta, yang sekali pun tidak ditunjang dengan tiang-tiang penunjang yang kelihatan oleh mata jasmani, namun  struktur bangunan alam semesta eksis dengan segala aktifitasnya yang  sangat menakjubkan, firman-Nya:
اَللّٰہُ الَّذِیۡ رَفَعَ السَّمٰوٰتِ بِغَیۡرِ عَمَدٍ تَرَوۡنَہَا ثُمَّ  اسۡتَوٰی عَلَی الۡعَرۡشِ وَ سَخَّرَ الشَّمۡسَ وَ الۡقَمَرَ ؕ کُلٌّ یَّجۡرِیۡ لِاَجَلٍ مُّسَمًّی ؕ یُدَبِّرُ الۡاَمۡرَ یُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ بِلِقَآءِ رَبِّکُمۡ تُوۡقِنُوۡنَ ﴿﴾
Allah, Dia-lah Yang telah meninggikan seluruh langit tanpa suatu tiang pun yang kamu melihatnya,   kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy.   Dan Dia  telah menundukkan bagi kamu matahari dan bulan, masing-masing beredar menurut arah perjalanannya  hingga suatu masa yang telah ditetapkan. Dia mengatur segala urusan dan Dia menjelaskan Tanda-tanda itu, supaya kamu berkeyakinan teguh mengenai pertemuan dengan Tuhan-mu. (Al-Ra’d [13]:3). Lihat pula  QS.31:11.
        Kata-kata itu berarti:  (1) Kamu  melihat bahwa seluruh langit berdiri tanpa tiang-tiang; (2) bahwa seluruh langit berdiri tidak atas tiang-tiang yang dapat kamu lihat; artinya, seluruh langit itu mempunyai pendukung, tetapi kamu tidak dapat melihatnya. Secara harfiah ayat itu berarti  bahwa seluruh langit berdiri tanpa ditunjang oleh tiang-tiang.
     Secara kiasan ayat itu berarti, bahwa seluruh langit atau benda-benda langit memang memerlukan penopang, tetapi penopang-penopang itu tidak nampak kepada mata manusia, umpamanya daya tarik (daya gravitasi) atau tenaga magnetis atau gerakan-gerakan khusus planit-planit atau cara-cara lain, yang ilmu pengetahuan telah menemukannya hingga saat ini atau yang mungkin akan ditemukan lagi di hari depan.
      Kata ‘Arsy (singgasana) telah dipakai dalam Al-Quran untuk menyatakan proses membawa hukum-hukum ruhani atau jasmani kepada kesempurnaannya. Peng-gunaan ungkapan itu selaras dengan kebiasaan raja-raja dunia. Mereka itu menyatakan proklamasi-proklamasi penting “dari singgasana”.
       Pada hakikatnya para  rasul Allah pembawa syariat berkedudukan juga sebagai raja pemerintahan (kerajaan)  jasmani juga, contohnya Nabi Musa a.s. di kalangan Bani Israil, dan Nabi Besar Muhammad saw.  di kalangan Bani Isma’il. Di kalangan Bani Israil,  rasul Allah setelah Nabi Musa a.s.yang juga sebagai raja adalah Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s., keduanya mengelola wilayah kerajaan Bani Israil yang sangat luas dari dalam istana atau dari atas  singgasana  kerajaan.
     Berbeda dengan keadaan di lingkungan Bani Israil – teruatama di masa pemerintahan Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. --  Nabi Besar Muhammad saw.  dan para Khalifah Rasyidin, melaksanakan tugasnya  sebagai pemimpin ruhani dan pemimpin jasmani (raja) dari dalam sebuah mesjid di Madinah,  yang keadaannya sangat sederhana    -- yakni mesjid nabi (nabawi) -- yang dibangun  atas perintah Nabi Besar Muhammad saw.,  sesampainya beliau saw. di Madinah setelah hijrah dari Makkah (QS.9:40).

“Tiang-tiang Penunjang   Kerajaan” Nabi Besar Muhammad saw.
Adalah Ketakwaan dan Ketaatan Sempurna Umat Islam

     Jadi, betapa wilayah kekuasaan kerajaan umat Islam di zaman Nabi Besar Muhammad saw. sampai dengan para Khalifah Rasyidah – yang pusat pemerintahannya berada di dalam sebuah mesjid yang sangat sederhana --  memiliki perasamaan   dengan  tatanan atau bangunan alam semesta yang ditunjang dengan “tiang-tiang penopang” yang tidak kelihatan oleh mata (QS.13:3; QS.31:11), yaitu “tiang-tiang penunjang” berupa ketakwaan  kepada Allah Swt. dan ketaatan sepenuhnya kepada Rasul Allah (Nabi Besar Muhammad saw.) dan  para Khalifah Rasyidah, firman-Nya:
اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُکُمۡ اَنۡ تُؤَدُّوا الۡاَمٰنٰتِ اِلٰۤی اَہۡلِہَا ۙ وَ اِذَا حَکَمۡتُمۡ بَیۡنَ النَّاسِ اَنۡ تَحۡکُمُوۡا بِالۡعَدۡلِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ نِعِمَّا یَعِظُکُمۡ بِہٖ ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ سَمِیۡعًۢا بَصِیۡرًا ﴿﴾
Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu  menyerahkan amanat-amanat  kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menghakimi di antara manusia hendaklah kamu menghakimi dengan adil,  sesungguhnya dengan itu Allah menasihati kamu sebaik-baiknya, sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Me-lihat. (Al-Nisā [4]:59).

“Allah Swt.” dan “Sunnah Rasul Saw.” adalah
Rujukan Hukum Tertinggi

      Wewenang atau kekuasaan memerintah telah dilukiskan di dalam ayat ini  sebagai  amanat  rakyat guna menunjukkan,  bahwa kekuasaan itu hak rakyat dan bukan hak bawaan lahir satu individu atau suatu wangsa (keluarga raja-raja). Al-Quran tidak menyetujui pemerintahan dinasti (wangsa) atau secara turun-temurun, dan sebagai gantinya adalah mengadakan pemerintahan perwakilan.
       Kepala pemerintahan harus dipilih, dan dalam memilihnya rakyat diperintahkan supaya memberi suara bagi orang yang paling cocok untuk jabatan itu.  Kepala negara Islam, begitu pula semua orang yang dipercayakan memikul tugas menatalaksana pemerintahan diharuskan menggunakan kekuasaan secara adil dan baik. Lebih lanjut Allah Swt. berfirman:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَطِیۡعُوا اللّٰہَ وَ اَطِیۡعُوا الرَّسُوۡلَ وَ اُولِی الۡاَمۡرِ مِنۡکُمۡ ۚ فَاِنۡ تَنَازَعۡتُمۡ فِیۡ شَیۡءٍ فَرُدُّوۡہُ اِلَی اللّٰہِ وَ الرَّسُوۡلِ  اِنۡ کُنۡتُمۡ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ وَ الۡیَوۡمِ الۡاٰخِرِ ؕ ذٰلِکَ خَیۡرٌ  وَّ  اَحۡسَنُ  تَاۡوِیۡلًا ﴿٪﴾
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah,   taatilah  Rasul-Nya dan juga taatilah orang-orang yang memegang kekuasaan di antara kamu. Dan jika kamu saling berselisih mengenai sesuatu  maka kembalikanlah hal itu kepada keputusan Allah dan Rasul-Nya, jika kamu  benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, hal demikian itu paling baik dan paling bagus akibatnya. (Al-Nisā [4]:59-60).
        Kata “taat” yang terletak sebelum kata-kata “Allah” dan “Rasul”, telah ditiadakan sebelum perkataan orang-orang yang memegang kekuasaan, agar menunjukkan bahwa ketaatan sepenuh-penuhnya kepada penguasa yang diangkat menurut undang-undang, berarti pula taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
      Perintah yang terkandung dalam kata-kata “kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul-Nya” dapat ditujukan kepada sengketa antara penguasa-penguasa dan rakyatnya, atau kepada orang-orang di antara rakyat itu sendiri. Jika ditujukan kepada keadaan yang pertama  maka maksudnya ialah, seandainya ada suatu perkara yang mengenainya timbul ketidaksepakatan antara penguasa-penguasa dan rakyat, maka hal itu hendaknya diputuskan menurut ajaran Al-Quran, dan jika Al-Quran diam mengenai hal itu  maka hendaknya menuruti sunah dan hadits. Akan tetapi apabila Al-Quran, sunah, dan hadits diam mengenai masalah itu, hendaknya diserahkan kepada orang-orang yang diberi wewenang mengurusi perkara-perkara kaum Muslimin.
       Nampaknya  ayat itu menunjuk kepada hal-hal yang khusus berhubungan dengan perkara-perkara kenegaraan. Dalam hal ini yang menjadi dasar perintah itu  adalah bahwa  segala ketaatan kepada penguasa itu harus tunduk kepada ketaatan terhadap Allah Swt. dan Rasul-Nya.
   Tetapi apabila ada perbedaan paham dan sengketa mengenai urusan kemasyarakatan dan sebagainya yang nampaknya disinggung dengan kata-kata jika kamu saling berselisih, kaum Muslimin harus dibimbing oleh hukum syariat Islam dan bukan oleh hukum yang lain.

(Bersambung). 

Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar”, 6 September 2012
Ki Langlang Buana Kusuma



Tidak ada komentar:

Posting Komentar