Rabu, 12 September 2012

Pengutusan Rasul Allah Mendahului Kedatangan Azab Ilahi





بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


  SURAH YÂ SÎN JANTUNG AL-QURAN

 Bab 74

   Pengutusan Rasul Allah
Mendahului Kedatangan Azab Ilahi

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma
                                                                                
  
Dalam bagian akhir Bab sebelum ini telah dijelaskan mengenai  nasib buruk yang menimpa   Qarun dan tempat tinggal yang dibanggakannya akibat  menolak  nasihat kaumnya agar mencari “rumah akhirat” dan “berbuat ihsan” sebagaimana Allah Swt. telah berlaku ihsan kepadanya,  firman-Nya:
وَ ابۡتَغِ  فِیۡمَاۤ  اٰتٰىکَ اللّٰہُ  الدَّارَ الۡاٰخِرَۃَ  وَ لَا تَنۡسَ نَصِیۡبَکَ مِنَ الدُّنۡیَا وَ اَحۡسِنۡ کَمَاۤ  اَحۡسَنَ اللّٰہُ  اِلَیۡکَ وَ لَا تَبۡغِ الۡفَسَادَ فِی الۡاَرۡضِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ  لَا یُحِبُّ الۡمُفۡسِدِیۡنَ ﴿﴾
“Dan carilah rumah akhirat  itu dalam apa yang telah Allah berikan kepada engkau,  tetapi  janganlah engkau melupakan nasib engkau di dunia, dan berbuat ihsanlah sebagaimana Allah telah berbuat ihsan terhadap engkau, dan janganlah engkau menimbulkan kerusakan di bumi, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang berbuat kerusakan.”  (Al-Qashash [28]:78).
        Akibat ketidak-bersyukurannya tersebut  Allah Swt. telah menghinakan Qarun dan apa yang dibangga-banggakannya sebagai buah ilmu pengetahuan yang dimilikinya, Firman-Nya:
فَخَسَفۡنَا بِہٖ وَ بِدَارِہِ  الۡاَرۡضَ ۟ فَمَا  کَانَ لَہٗ  مِنۡ فِئَۃٍ  یَّنۡصُرُوۡنَہٗ  مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ ٭ وَ مَا  کَانَ مِنَ الۡمُنۡتَصِرِیۡنَ ﴿ ﴾
Lalu  Kami membenamkan dia   beserta rumahnya ke dalam bumi,  maka  selain Allah tidak ada baginya satu golongan pun yang menolongnya, dan tidak pula ia termasuk orang-orang yang dapat membela diri. (Al-Qashash [28]:82).

Adil, Ihsan dan Iyta-i-dzil-qurba

      Sehubungan dengan pentingnya berbuat ihsan dalam rangka bersyukur kepada Allah Swt. tersebut Allah Swt. telah berfirman:    
   اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَ یَنۡہٰی عَنِ الۡفَحۡشَآءِ  وَ الۡمُنۡکَرِ وَ الۡبَغۡیِ ۚ یَعِظُکُمۡ   لَعَلَّکُمۡ   تَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya Allah memerintahkan  berlaku adil, berbuat ihsan, dan  memberi  seperti kepada kaum kerabat,   serta melarang dari perbuatan keji, mungkar, dan pemberontakan.  Dia memberi kamu nasihat supaya kamu mengambil pelajaran. (Al-Nahl [16]:91).
        Ayat ini mengandung tiga macam perintah dan tiga macam larangan, yang secara singkat membahas semua macam derajat perkembangan akhlak dan keruhanian manusia, bersama segi kebaikan dan keburukannya masing-masing. Ayat ini menganjurkan berlaku adil, berbuat ihsan kepada orang lain, dan kasih sayang antara kaum kerabat; dan melarang berbuat hal yang tidak senonoh (fahsya) berbuat keburukan (munkar) dan pelanggaran yang nyata (baghyi).
      Keadilan mengandung arti bahwa seseorang harus memperlakukan orang-orang lain seperti ia diperlakukan oleh mereka. Ia hendaknya membalas kebaikan dan keburukan orang-orang lain secara setimpal menurut besarnya dan ukurannya yang diterima olehnya dari mereka.
      Lebih tinggi dari ‘adl (keadilan) adalah derajat ihsan (kebaikan), yaitu  bila manusia harus berbuat kebaikan kepada orang-orang lain tanpa mengindahkan macamnya perlakuan yang diterima dari mereka, atau sekalipun ia diperlakukan buruk oleh mereka. Perbuatannya tidak boleh digerakkan oleh pertimbangan-pertimbangan menuntut balas.
       Pada derajat perkembangan akhlak terakhir dan tertinggi, ialah ītā’i dzil qurbā (memberi seperti kepada kerabat), seorang mukmin diharapkan untuk berlaku baik terhadap orang-orang lain, bukan sebagai membalas sesuatu kebaikan yang diterima dari mereka; begitu pun tidak dengan pertimbangan untuk berbuat lebih baik dari kebaikan yang ia peroleh, melainkan untuk berbuat kebaikan yang ditimbulkan oleh dorongan fitri, seperti ia berbuat baik kepada orang-orang yang mempunyai perhubungan darah yang dekat sekali. Keadaan  pada derajat ini serupa dengan keadaan seorang ibu yang menyusui anak yang kecintaan terhadap anak-anaknya bersumber pada dorongan fitri. Sesudah orang mukmin mencapai derajat ini perkembangan akhlaknya menjadi sempurna.

Tiga macam Akhlak Buruk

      Ketiga derajat akhlak ini merupakan segi baiknya dari perkembangan akhlak manusia. Namun Qarun lebih suka memilih segi buruknya  dari perkembangan akhlak manusia, yang digambarkan dengan tiga perkataan juga, yakni fahsyā (perbuatan yang tidak senonoh), munkar (keburukan yang nyata), dan baghy (pelanggaran keji); dan munkar mengandung arti keburukan-keburukan yang orang-orang lain juga melihat dan mengutuknya walaupun mereka boleh jadi tidak menderita sesuatu kerugian atau pelanggaran atas hak-hak mereka sendiri oleh si pelaku dosa itu. Akan tetapi baghy merangkum semua dosa dan keburukan, yang tidak hanya nampak, dirasakan, dan dicela oleh orang-orang lain, melainkan juga menimbulkan kemudaratan yang nyata pada mereka. Ketiga kata yang sederhana ini meliputi segala macam dosa.
      Keburukan-keburukan akhlak itulah yang mengundang datangnya azab Ilahi, sebab semuanya  merupakan suatu kezaliman, yang bukan saja terhadap diri pelakunya saja tetapi terhadap orang-orang lain. Mereka inilah – ketika menolak nansihat dan peringatan rasul Allah yang diutus kepada mereka – telah menantang turunnya azab Ilahi  yang diperingatkan kepada mereka, firman-Nya:
وَ یَقُوۡلُوۡنَ مَتٰی ہٰذَا الۡوَعۡدُ اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾
Dan mereka berkata: “Kapankah janji azab ini akan terlaksana jika kamu adalah  orang-orang benar?” (Yā Sīn [36]:49). Lihat pula QS.21:39; QS.34:30; QS.67:26.
Firman-Nya lagi:
وَ اِذَاۤ  اَرَدۡنَاۤ  اَنۡ نُّہۡلِکَ قَرۡیَۃً  اَمَرۡنَا مُتۡرَفِیۡہَا فَفَسَقُوۡا فِیۡہَا فَحَقَّ عَلَیۡہَا الۡقَوۡلُ  فَدَمَّرۡنٰہَا  تَدۡمِیۡرًا ﴿﴾   وَ کَمۡ  اَہۡلَکۡنَا مِنَ الۡقُرُوۡنِ مِنۡۢ  بَعۡدِ نُوۡحٍ ؕ وَ کَفٰی بِرَبِّکَ بِذُنُوۡبِ عِبَادِہٖ خَبِیۡرًۢا  بَصِیۡرًا ﴿﴾
Dan  apabila Kami hendak membinasakan suatu kota,  Kami terlebih dahulu memerintahkan warganya yang hidup mewah untuk menempuh kehidupan yang shalih, tetapi mereka durhaka di dalamnya, maka berkenaan dengan kota itu firman Kami menjadi sempurna  lalu Kami menghancur-leburkannya.   Dan betapa banyak keturunan (generasi)  yang telah Kami binasakan sesudah Nuh, dan cukuplah Tuhan engkau Maha Mengetahui,  Maha Melihat dosa-dosa hamba-hamba-Nya. (Bani Israil [17]:17-18).

Pengutusan Rasul Allah

      Namun azab Ilahi tersebut akan ditimpakan setelah Allah Swt. mengutus kepada mereka rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan kepada mereka (QS.7:35-37), tetapi  mereka mendustakan dan menentangnya secara zalim,  firman-Nya:
مَنِ اہۡتَدٰی فَاِنَّمَا یَہۡتَدِیۡ لِنَفۡسِہٖ ۚ وَ مَنۡ ضَلَّ فَاِنَّمَا یَضِلُّ عَلَیۡہَا ؕ وَ لَا تَزِرُ وَازِرَۃٌ  وِّزۡرَ  اُخۡرٰی ؕ وَ مَا کُنَّا مُعَذِّبِیۡنَ  حَتّٰی  نَبۡعَثَ  رَسُوۡلًا ﴿ ﴾
Barangsiapa telah mendapat petunjuk maka sesungguhnya petunjuk itu untuk faedah dirinya,  dan barangsiapa sesat maka kesesatan itu hanya kemudaratan atas dirinya, dan  tidak ada pemikul beban akan memikul beban orang lain. Dan  Kami tidak menimpakan azab  hingga Kami  terlebih dahulu mengirimkan seorang rasul. (Bani Israil [17]:17-18).
  Azab Ilahi bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan terbit dan timbul dari dalam diri manusia sendiri. Pada hakikatnya siksaan-siksaan neraka dan ganjaran-ganjaran surga akan hanya merupakan sekian banyak perwujudan dan penjelmaan perbuatan manusia — baik atau buruk — yang pernah dilakukannya dalam kehidupan ini.
  Jadi, dalam kehidupan ini manusia menjadi perancang nasibnya sendiri, dan seolah-olah pada kehidupan yang akan datang ia sendiri akan menjadi pengganjar dan penghukum terhadap dirinya sendiri. Itulah sebabnya selanjutnya dikatakan bahwa  tiap orang harus memikul tanggung-jawab perbuatannya sendiri. Pengorbanan dan penebusan dari siapa pun, tidak dapat mendatangkan faedah apa pun kepada orang lain. Ayat ini mematahkan kepercayaan tentang penebusan dosa sampai ke akar-akarnya.
       Sehubungan  dengan kalimat selanjutnya “Dan  Kami tidak menimpakan azab  hingga Kami  terlebih dahulu mengirimkan seorang rasul.“ Dalam generasi kita sendiri dunia telah menyaksikan wabah-wabah, kelaparan-kelaparan, peperangan-peperangan, gempa-gempa bumi, serta malapetaka lainnya, yang serupa itu belum pernah terjadi sebelumnya, dan datangnya begitu bertubi-tubi, sehingga kehidupan manusia telah dirasakan pahit karenanya. Sebelum malapetaka-malapetaka dan bencana-bencana menimpa bumi ini, sudah selayaknya Allāh Swt. membangkitkan seorang pemberi peringatan, yakni rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan di Akhir Zaman ini.
      Sehubungan dengan hal tersebut selanjutnya Allah Swt. berfirman dalam Surah Yā Sīn:
مَا یَنۡظُرُوۡنَ  اِلَّا صَیۡحَۃً وَّاحِدَۃً تَاۡخُذُہُمۡ  وَ ہُمۡ  یَخِصِّمُوۡنَ ﴿ ﴾  فَلَا یَسۡتَطِیۡعُوۡنَ تَوۡصِیَۃً  وَّ لَاۤ  اِلٰۤی اَہۡلِہِمۡ   یَرۡجِعُوۡنَ ﴿٪ ﴾
Mereka sekali-kali tidak menunggu melainkan satu  ledakan  yang akan menyergap mereka sementara mereka sedang bertengkar, maka mereka tidak akan mampu  membuat sebuah wasiat pun dan tidak pula mereka akan dapat kembali kepada keluarganya. Yā Sīn [36]:50-51).
       Azab yang disebut di sini akan laksana halilintar di siang hari bolong. Datangnya akan begitu cepat dan tiba-tiba sehingga seperti disebut dalam ayat berikutnya, orang-orang durhaka bahkan tidak sempat membuat wasiat sekalipun.
(Bersambung). 

Rujukan: The Holy Quran
Editor:    Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar”, 13 September 2012
Ki Langlang Buana Kusuma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar